LEARNING
OBJECTIVE
1. Bagaimana
Respon Tubuh Terhadap Investasi Parasit Cacing?
2. Bagaimana
Mekanisme Pertahanan Cacing Terhadap Respon Imun?
3. Bagaimana
Gejala Klinis, Diagnosa dan Pengendaliaan Investasi Parasit Cacing?
PEMBAHASAN
1. Respon
imun terhadap cacing
a.
Mekanisme
Pertahanan Humoral
Cacing, pada umumnya
dapat ditemukan dalam 2 keadaan dalam tubuh: dalam jaringan sebagai bentuk
larva atau di dalam saluran gastrointestinal atau saluran respirasi sebagai
cacing dewasa (Tizard, 1988).
Walaupun
antibodi konvensional dari kelas IgM, IgG, dan IgA diproduksi sebagai tanggap
terhadap antigen cacing, bukti-bukti menunjukkan bahwa kelas imunoglobulin yang
terpenting terlibat dalam resistensi terhadap cacing adala IgE. Misalnya, kadar
IgE biasanya sangat meningkat pada individu yang terserang parasit, kebanyakakn
hipersensitifitas tingkat I, termasuk eosinofil, edema, asma, dan dermatitis
urtikaria, dan kebanyakan infeksi cacing disertai dengan reaksi positif
anafilaksis kutan yang pasif (AKP) terhadap antigen cacing (Tizard, 1988).
Add caption |
Sebagai contoh adalah mekanisme self cure. Cacing yang terkena dalam selaput lendir usus dan
abomasum mengeluarkan antigen selama ekdises ketiga yang berlaku sebagai
alergens. Akibatnya terbentuknya beban cacing merangsang reaksi hipersensitifitas
tipe I lokal yang akut, dibagian usus yang mengandung parasit. Kombinasi antara
antigen cacing dengan IgE terikat sel mast menyebabkan terjadinya degranulasi
sel mast dan dilepaskannya amin vasoaktif. Senyawa ini merangsang kontraksi
otot usus dan pertambahan permeabilitas vaskular yang memungkinkan keluarnya
cairan ke dalam lumen usus. Kombinasi ini menghasilkan pelepasan dan
pengeluaran sebagian besar beban cacing dalam saluran gastrointestinal hewan
(Tizard, 1988).
IgE memiliki peranan yang lain dalam mengurangi
jumlah cacing pada hewan. Misalnya, makrofag dapat berikatan pada larva cacing
melalui jalur yang diperantarai IgE untuk menghancurkannya. Demikian juga
dengan memperantarai sel mast, IgE merangsang pelepasan Faktor Anafilaksis
Kemotaktik Eosinofil (FAKE). Bahan ini menyebabkan dilepaskannya eosinofil
dalalm jumlah besar ke dalam sirkulasi. Atas dasar inilah maka eosinofilia
menjadi demikian khas pada infeksi cacing. Eosinofil memegang 2 peranan.
Pertama, mengandung enzim yang mampu menetralkan bahan vasoaktif yang
dikeluarkan oleh sel mast. Kedua, bersama-sama dengan antibodi dan komplemen,
eosinofil dapat membunuh beberapa larva cacing dan karena itu juga membantu
fungsi proteksi. Eosinofil melekat pada cacing melalui IgG. Kemudian mengalami
degranulasi, melepaskan isi granulanya pada kutikel cacing. Protein basa utama
granula dapat menyebabkan kerusakan langsung pada kutikel dan juga membantu
perlekatan eosinofil tambahan. Efek sitotoksik dari protein basa diperbesar
oleh faktor yang berasal dari sel mast misalnya histamin ataupun komplemen
(Tizard, 1988).
Mekanisme lainnya yang
terlibat meliputi netralisasi yang diperantarai antibodi terhadap enzim
proteolitik yang dipakai larva untuk menembus jaringan, penyumbatan lubang anus
dan mulut larva oleh sekresi dari larva dan pencegahan terhadap ekdisis dan
terhadap antigen kelompok luar (Tizard, 1988).
b. Mekanisme Pertahanan Selular
Sel T limfosit yang
telah disensitisasi dapat berhasil menyerang cacing yang terbenam di dalam
mukosa usus atau yang sedang mengalami stadium jaringan. Limfosit T tersebut
menekan aktifitas cacing dengan dua mekanisme. Pertama, terjadinya tanggap
perbarahan dari mononuklear ke tempat invasi larva dan merubah lingkungan
setempat menjadi tidak cocok untuk pertumbuhan dan migrasi. Kedua, limfosit
sitotoksik mungkin mampu menyebabkan kehancuran larva (Tizard, 1988).
Respon imun pejamu
terhadap infeksi cacing pada umumnya lebih kompleks oleh karena patogen lebih
besar dan tidak bisa ditelan oleh fagosit. Pertahanan terhadap banyak infeksi
cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+
yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktifasi
eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat oleh eosinofil.
Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granula enzim yang
menghancurkan parasit (Baratawidjaya, 2009).
Parasit yang masuk ke
dalam lumen saluran cerna, pertama dirusak oleh IgG, IgE dan juga dibantu oleh
ADCC. Sitokin yang dilepas sel T yang dipacu antigen spesifik merangsang
proliferasi sel goblet dan sekresi bahan mukus yang menyelubungi cacing yang
dirusak. Hal itu memungkinkan cacing dapat dikeluarkan dari tubuh melalui
peningkatan gerakan usus yang diinduksi mediator sel mast seperti LTD4 dan diare
akibat pencegahan absorbsi natrium yang tergantung glukosa oleh histamin dan
protaglandin asal sel mast (Baratawidjaya, 2009).
2. Pertahanan
Cacing
Ada Berbagai macam Pengelakann
cacing pada Respon tubuh, yaitu: mimikri antigen induk semang, penyerapan antigen
induk semang, variasi antigenik, penghalang antibodi dan toleransi (Tizard,
1982).
Mekanisme yang pertama mengenalkan
konsep bahwa cacing membuat antigen histokompabilitas atau antigen golongan
darah yang cocok dengan yang dimiliki induk semangnya. Jelas bahwa semua cacing
tidak dapat membuat semua antigen yang diperlukan, karena untuk itu dibutuhkan
adanya sistem genetik yang sama rumitnya dengan sistem penghasil antibodi.
Namun demikian tentunya mungkin juga untuk meniru sebagian dari antigen induk semang,
sehingga, misalnya domba lebih tanggap sedikit antigen H. contortus dibandingkan kelinci. Hal ini menunjukkan bahwa H. contortus memiliki kemiripan
antigenik lebih dekat dengan domba, induk semang alamiahnya daripada kelinci
induk semang yang biasa tidak diinfeksi. Telah ditunjukkan bahwa banyak
trematoda dan cestoda mampu membuat antigen golongan darah yang bila hal itu
terjadi akan identik dengan yang dimiliki induk semang, juga membantu
mengurangi antigenesitas yang efektif dari cacing (Tizard, 1982).
Kedua, terdapat banyak bukti yang
menunjukkan bahwa jaringan cacing dapat terlindungi dari konsekuensi tanggap
kebal induk semangnya, dengan penyerapan antigen induk semang pada
permukaannya. Contohnya, Schistosoma
mansoni dewasa, trematoda yang hidup dalam pembuluh darah mesenterium
manusia dan yang mampu menyerap eritrosit induk semang dan antigen
histokompabilitas pada permukannya. Cysticercus juga dapat menyerap antigen histokompanilitas
dengan cara lain (Tizard, 1982).
Mekanisme ketiga pengelakan tanggap
kebal melibatkan variasi antigenik. Walaupun cacing tidak mengembangkan suatu
sistem seefisien seperti yang terlihat pada tripanosomiasis, tetapi dekenal
adanya variasi antigenetik secara berangsur-angsur. Jadi, antigen kutikula dari
larva T. spiralis memperlihatkan
perubahan yang luas setelah tiap pergantian kulit. Bahkan selama fase
pertumbuhannya memperlihatkan perubahan kuantitatif dan pengungkapan dari
antigen protein permukaan (Tizard, 1982).
Suatu tanggapan yang lain yang
dapat berperan dalam kelangsungan hidup parasit cacing adalah imunosupresi.
Misalnya, domba yang tertulari oleh H.
contortus khusus tertekan sehingga tidak bereaksi terhadap H. contortus
walaupun tetap tanggap ini belum diketahui. Mekanisme dapat melibatkan induksi
pada supresor khusus, seperti apa yang ditunjukkan pada filariasis atau yang
lainnya, hal itu dapat terjadi sebagai akibat dari produksi antibodi penghalang
dengan cara analog dengan apa yang terlihat pada kebuntingan dan beberapa
kondisi neoplastik. Pada infeksi cacing yang lain seperti misalnya trichinosis,
hewan yang tertulari mengalami kebal-tertekan tidak khusus. Imunosupresi ini
dicerminkan pada ketahanan yang menurun terhadap infeksi yang lain, tanggap
yang tidak baik terhadap vaksinasi dan bertambah lamanya waktu kelangsungan
congkok kulit (Tizard, 1982).
Secara teori mungkin bahwa
toleransi dapat terjadi pada hewan muda yang menerima antigen parasit dalam
jumlah yang banyak baik in utero seperti halnya pada toksocariasis atau segera
setelah lahir (Tizard, 1982).
3. Gejala
Klinis, diagnosa dan pengendalian parasit cacing
a.
Schistosoma
sp.
Infeksi Schistosoma
sp. dapat dilihat dengan
terjadinya diarrhoea dan anoreksia yang terjadi selama 7-8 hari setelah infeksi
berat terjadi. Selanjutnya terjadi inflamasi dan respon granuloma saat cacing
mendeposisikan telurnya di vena mesentrika kemudian telur menyusup menuju ke
mukosa intestinum sahingga ketika di nekropsi dapat ditemukan lesi hemoraghi
pada mukosa intestinum. Dinding intestinum tampak berwarna keabuan, menebal,
dan terjadi udema. Anemia dan hypoalbuminaemia juga terjadi (Urquhart, 1996).
Diagnosis dilakukan dengan demonstrasi
dari karakteristik telur yang ditemukan di dalam feses. Diagnosis juga
dilakukan dengan pemeriksaan postmortem dengan pengamatan adanya lesi pada
mesenterium dan pengamatan terhadap kehadiran sejumlah schistosome di vena.
Perlu pula dilakukan survey epidemological dan test serologi .
Penanganan
dapat dilakukan dengan memberikan beberapa obat antara lain antimonial, tartar
emetic, antimosan, dan stibophen. Praziquantel juga digunakan untuk perawatan
schistosomosis pada manusia dan juga efektif diberikan untuk hewan. Untuk
kontrol dari penyebaran penyakit yang disebabkan oleh parasit ini dapat
dilakukan dengan cara mengurangi populasi siput sebagai hospes intermediet (Urquhart, 1996).
b.
Fasciola
sp.
Parasit ini berkembang di hepar hospesnya.
Pada intinya, patogenesis terdiri dari 2 fase, fase yang pertama adalah migrasi
ke dalam parenkim hepar, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan hepar dan
menyebabkan hemoraghi. Fase yang kedua adalah masuknya parasit ke dalam duktus
biliverus dan menyebabkan rusaknya mukosa duktus biliverus
Gejala
klinis tampak pada kalsifikasi
dari duktus biliverus dan juga pembengkakan pada kantung empedu. Pada infeksi
yang berat terjadi anemia dan hypoalbuminaemia, pada submandibullar tejadi pula
udema. Parasit ini juga dapat menyebabkan berkurangnya produksi susu pada hewan
perah (Urquhart,
1987).
Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan
postmortem, pemeriksaan hematologi rutin
dan pemeriksaan feses untuk menemukan telur dari parasit. Selain itu dapat juga
dilakukan pemeriksaan laboratorium yang meliputi dua aspek, yaitu : pertama, perkiraan tingkat plasma enzim
yang dikeluarkan oleh sel hati yang rusak. Terdapat dua enzim yang biasanya
diukur. Glutamate dehydrogenase (GLDH) dikeluarkan bila sel parenkim rusak dan dan tingkatnya menjadi
meningkat dalam beberapa
minggu pertama infeksi. Selain
itu, gamma glutamyl transpeptidase (GGT) mengindikasikan kerusakan pada sel-sel epitel
yang melapisi saluran empedu, peningkatan dari enzyme ini terjadi terutama setelah parasit
mencapai duktus biliverus dan peningkatannya akan dipertahankan dalam periode
yang panjang. Kedua, dengan deteksi komponen antibodi parasit dengan
menggunakan metode ELISA dan hemaglutinasi pasif (Urquhart, 1996).
Penanganan
dapat dilakukan dengan memberikan beberapa obat antara lain carbon
tetrachloride, hexachlorethane, dan hexachlorophene. Untuk kontrol dari
penyebaran penyakit yang disebabkan parasit ini dapat dilakukan dengan cara
mengurangi populasi siput sebagai hospes intermediet atau bisa digunakan
anthelmintics (Urquhart,
1996).
DAFTAR
PUSTAKA
Baratawidjaya, K.G. 2009. Imunologi Dasar Edisi ke-8. Jakarta : UI-Press.
Levine, N.D. 1994. Buku Pelajaran
Parasitologi Veteriner. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Tizard, Ian. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press :
Surabaya
Urquhart et all. 1996. Veterinary Parasitolgy Second Edition.
Paris : Blackwell Science.
No comments:
Post a Comment