Wednesday, 6 March 2013

BLOK 10 UP 4



LEARNING OBJECTIVE
1.      Bagaimana Respon Tubuh Terhadap Investasi Parasit Cacing?
2.      Bagaimana Mekanisme Pertahanan Cacing Terhadap Respon Imun?
3.      Bagaimana Gejala Klinis, Diagnosa dan Pengendaliaan Investasi Parasit Cacing?


PEMBAHASAN
1.    Respon imun terhadap cacing
a.       Mekanisme Pertahanan Humoral       
Cacing, pada umumnya dapat ditemukan dalam 2 keadaan dalam tubuh: dalam jaringan sebagai bentuk larva atau di dalam saluran gastrointestinal atau saluran respirasi sebagai cacing dewasa (Tizard, 1988).
Walaupun antibodi konvensional dari kelas IgM, IgG, dan IgA diproduksi sebagai tanggap terhadap antigen cacing, bukti-bukti menunjukkan bahwa kelas imunoglobulin yang terpenting terlibat dalam resistensi terhadap cacing adala IgE. Misalnya, kadar IgE biasanya sangat meningkat pada individu yang terserang parasit, kebanyakakn hipersensitifitas tingkat I, termasuk eosinofil, edema, asma, dan dermatitis urtikaria, dan kebanyakan infeksi cacing disertai dengan reaksi positif anafilaksis kutan yang pasif (AKP) terhadap antigen cacing (Tizard, 1988).
Add caption
Sebagai contoh adalah mekanisme self cure. Cacing yang terkena dalam selaput lendir usus dan abomasum mengeluarkan antigen selama ekdises ketiga yang berlaku sebagai alergens. Akibatnya terbentuknya beban cacing merangsang reaksi hipersensitifitas tipe I lokal yang akut, dibagian usus yang mengandung parasit. Kombinasi antara antigen cacing dengan IgE terikat sel mast menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast dan dilepaskannya amin vasoaktif. Senyawa ini merangsang kontraksi otot usus dan pertambahan permeabilitas vaskular yang memungkinkan keluarnya cairan ke dalam lumen usus. Kombinasi ini menghasilkan pelepasan dan pengeluaran sebagian besar beban cacing dalam saluran gastrointestinal hewan (Tizard, 1988).
IgE memiliki peranan yang lain dalam mengurangi jumlah cacing pada hewan. Misalnya, makrofag dapat berikatan pada larva cacing melalui jalur yang diperantarai IgE untuk menghancurkannya. Demikian juga dengan memperantarai sel mast, IgE merangsang pelepasan Faktor Anafilaksis Kemotaktik Eosinofil (FAKE). Bahan ini menyebabkan dilepaskannya eosinofil dalalm jumlah besar ke dalam sirkulasi. Atas dasar inilah maka eosinofilia menjadi demikian khas pada infeksi cacing. Eosinofil memegang 2 peranan. Pertama, mengandung enzim yang mampu menetralkan bahan vasoaktif yang dikeluarkan oleh sel mast. Kedua, bersama-sama dengan antibodi dan komplemen, eosinofil dapat membunuh beberapa larva cacing dan karena itu juga membantu fungsi proteksi. Eosinofil melekat pada cacing melalui IgG. Kemudian mengalami degranulasi, melepaskan isi granulanya pada kutikel cacing. Protein basa utama granula dapat menyebabkan kerusakan langsung pada kutikel dan juga membantu perlekatan eosinofil tambahan. Efek sitotoksik dari protein basa diperbesar oleh faktor yang berasal dari sel mast misalnya histamin ataupun komplemen (Tizard, 1988).
Mekanisme lainnya yang terlibat meliputi netralisasi yang diperantarai antibodi terhadap enzim proteolitik yang dipakai larva untuk menembus jaringan, penyumbatan lubang anus dan mulut larva oleh sekresi dari larva dan pencegahan terhadap ekdisis dan terhadap antigen kelompok luar (Tizard, 1988).

b.      Mekanisme Pertahanan Selular
Sel T limfosit yang telah disensitisasi dapat berhasil menyerang cacing yang terbenam di dalam mukosa usus atau yang sedang mengalami stadium jaringan. Limfosit T tersebut menekan aktifitas cacing dengan dua mekanisme. Pertama, terjadinya tanggap perbarahan dari mononuklear ke tempat invasi larva dan merubah lingkungan setempat menjadi tidak cocok untuk pertumbuhan dan migrasi. Kedua, limfosit sitotoksik mungkin mampu menyebabkan kehancuran larva (Tizard, 1988).
Respon imun pejamu terhadap infeksi cacing pada umumnya lebih kompleks oleh karena patogen lebih besar dan tidak bisa ditelan oleh fagosit. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktifasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat oleh eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granula enzim yang menghancurkan parasit (Baratawidjaya, 2009).
Parasit yang masuk ke dalam lumen saluran cerna, pertama dirusak oleh IgG, IgE dan juga dibantu oleh ADCC. Sitokin yang dilepas sel T yang dipacu antigen spesifik merangsang proliferasi sel goblet dan sekresi bahan mukus yang menyelubungi cacing yang dirusak. Hal itu memungkinkan cacing dapat dikeluarkan dari tubuh melalui peningkatan gerakan usus yang diinduksi mediator sel mast seperti LTD4 dan diare akibat pencegahan absorbsi natrium yang tergantung glukosa oleh histamin dan protaglandin asal sel mast (Baratawidjaya, 2009).

2.    Pertahanan Cacing
Ada Berbagai macam Pengelakann cacing pada Respon tubuh, yaitu: mimikri antigen induk semang, penyerapan antigen induk semang, variasi antigenik, penghalang antibodi dan toleransi (Tizard, 1982).
Mekanisme yang pertama mengenalkan konsep bahwa cacing membuat antigen histokompabilitas atau antigen golongan darah yang cocok dengan yang dimiliki induk semangnya. Jelas bahwa semua cacing tidak dapat membuat semua antigen yang diperlukan, karena untuk itu dibutuhkan adanya sistem genetik yang sama rumitnya dengan sistem penghasil antibodi. Namun demikian tentunya mungkin juga untuk meniru sebagian dari antigen induk semang, sehingga, misalnya domba lebih tanggap sedikit antigen H. contortus dibandingkan kelinci. Hal ini menunjukkan bahwa H. contortus memiliki kemiripan antigenik lebih dekat dengan domba, induk semang alamiahnya daripada kelinci induk semang yang biasa tidak diinfeksi. Telah ditunjukkan bahwa banyak trematoda dan cestoda mampu membuat antigen golongan darah yang bila hal itu terjadi akan identik dengan yang dimiliki induk semang, juga membantu mengurangi antigenesitas yang efektif dari cacing (Tizard, 1982).
Kedua, terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa jaringan cacing dapat terlindungi dari konsekuensi tanggap kebal induk semangnya, dengan penyerapan antigen induk semang pada permukaannya. Contohnya, Schistosoma mansoni dewasa, trematoda yang hidup dalam pembuluh darah mesenterium manusia dan yang mampu menyerap eritrosit induk semang dan antigen histokompabilitas pada permukannya. Cysticercus juga dapat menyerap antigen histokompanilitas dengan cara lain (Tizard, 1982).
Mekanisme ketiga pengelakan tanggap kebal melibatkan variasi antigenik. Walaupun cacing tidak mengembangkan suatu sistem seefisien seperti yang terlihat pada tripanosomiasis, tetapi dekenal adanya variasi antigenetik secara berangsur-angsur. Jadi, antigen kutikula dari larva T. spiralis memperlihatkan perubahan yang luas setelah tiap pergantian kulit. Bahkan selama fase pertumbuhannya memperlihatkan perubahan kuantitatif dan pengungkapan dari antigen protein permukaan (Tizard, 1982).
Suatu tanggapan yang lain yang dapat berperan dalam kelangsungan hidup parasit cacing adalah imunosupresi. Misalnya, domba yang  tertulari oleh H. contortus khusus tertekan sehingga tidak bereaksi terhadap H. contortus walaupun tetap tanggap ini belum diketahui. Mekanisme dapat melibatkan induksi pada supresor khusus, seperti apa yang ditunjukkan pada filariasis atau yang lainnya, hal itu dapat terjadi sebagai akibat dari produksi antibodi penghalang dengan cara analog dengan apa yang terlihat pada kebuntingan dan beberapa kondisi neoplastik. Pada infeksi cacing yang lain seperti misalnya trichinosis, hewan yang tertulari mengalami kebal-tertekan tidak khusus. Imunosupresi ini dicerminkan pada ketahanan yang menurun terhadap infeksi yang lain, tanggap yang tidak baik terhadap vaksinasi dan bertambah lamanya waktu kelangsungan congkok kulit (Tizard, 1982).
Secara teori mungkin bahwa toleransi dapat terjadi pada hewan muda yang menerima antigen parasit dalam jumlah yang banyak baik in utero seperti halnya pada toksocariasis atau segera setelah lahir (Tizard, 1982).

3.    Gejala Klinis, diagnosa dan pengendalian parasit cacing
a.      Schistosoma sp.
Infeksi Schistosoma sp. dapat dilihat dengan terjadinya diarrhoea dan anoreksia yang terjadi selama 7-8 hari setelah infeksi berat terjadi. Selanjutnya terjadi inflamasi dan respon granuloma saat cacing mendeposisikan telurnya di vena mesentrika kemudian telur menyusup menuju ke mukosa intestinum sahingga ketika di nekropsi dapat ditemukan lesi hemoraghi pada mukosa intestinum. Dinding intestinum tampak berwarna keabuan, menebal, dan terjadi udema. Anemia dan hypoalbuminaemia juga terjadi (Urquhart, 1996).
Diagnosis dilakukan dengan demonstrasi dari karakteristik telur yang ditemukan di dalam feses. Diagnosis juga dilakukan dengan pemeriksaan postmortem dengan pengamatan adanya lesi pada mesenterium dan pengamatan terhadap kehadiran sejumlah schistosome di vena. Perlu pula dilakukan survey epidemological dan test serologi .
Penanganan dapat dilakukan dengan memberikan beberapa obat antara lain antimonial, tartar emetic, antimosan, dan stibophen. Praziquantel juga digunakan untuk perawatan schistosomosis pada manusia dan juga efektif diberikan untuk hewan. Untuk kontrol dari penyebaran penyakit yang disebabkan oleh parasit ini dapat dilakukan dengan cara mengurangi populasi siput sebagai hospes intermediet (Urquhart, 1996).

b.      Fasciola sp.
Parasit ini berkembang di hepar hospesnya. Pada intinya, patogenesis terdiri dari 2 fase, fase yang pertama adalah migrasi ke dalam parenkim hepar, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan hepar dan menyebabkan hemoraghi. Fase yang kedua adalah masuknya parasit ke dalam duktus biliverus dan menyebabkan rusaknya mukosa duktus biliverus
Gejala klinis tampak pada kalsifikasi dari duktus biliverus dan juga pembengkakan pada kantung empedu. Pada infeksi yang berat terjadi anemia dan hypoalbuminaemia, pada submandibullar tejadi pula udema. Parasit ini juga dapat menyebabkan berkurangnya produksi susu pada hewan perah (Urquhart, 1987).
Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan postmortem, pemeriksaan hematologi rutin dan pemeriksaan feses untuk menemukan telur dari parasit. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan laboratorium yang meliputi dua aspek, yaitu : pertama, perkiraan tingkat plasma enzim yang dikeluarkan oleh sel hati yang rusak. Terdapat dua enzim yang biasanya diukur. Glutamate dehydrogenase (GLDH) dikeluarkan bila sel parenkim rusak dan dan tingkatnya menjadi meningkat dalam beberapa minggu pertama infeksi. Selain itu, gamma glutamyl transpeptidase (GGT) mengindikasikan kerusakan pada sel-sel epitel yang melapisi saluran empedu, peningkatan dari enzyme ini terjadi terutama setelah parasit mencapai duktus biliverus dan peningkatannya akan dipertahankan dalam periode yang panjang. Kedua, dengan deteksi komponen antibodi parasit dengan menggunakan metode ELISA dan hemaglutinasi pasif (Urquhart, 1996).
Penanganan dapat dilakukan dengan memberikan beberapa obat antara lain carbon tetrachloride, hexachlorethane, dan hexachlorophene. Untuk kontrol dari penyebaran penyakit yang disebabkan parasit ini dapat dilakukan dengan cara mengurangi populasi siput sebagai hospes intermediet atau bisa digunakan anthelmintics (Urquhart, 1996).


DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaya, K.G. 2009. Imunologi Dasar Edisi ke-8. Jakarta : UI-Press.
Levine, N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Tizard, Ian. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press : Surabaya
Urquhart et all. 1996. Veterinary Parasitolgy Second Edition. Paris : Blackwell Science.

No comments:

Post a Comment