Wednesday, 13 March 2013

Blok 10 UP 5



LEARNING OBJECTIVE
1.      Bagaimana respon imun terhadap infeksi Jamur?
2.      Jelaskan mengenai infeksi jamur, meliputi:
a.       Etiologi
b.      Gejala Klinis
c.       Patogenesis
d.      Diagnosa



PEMBAHASAN
1.      Respon imun terhadap infeksi jamur
Sel-Sel Efektor pada Infeksi Jamur
                 Resistensi alamiah terhadap banyak jamur patogen tergantung fagosit. Meskipun dapat terjadi pembunuhan intraseluler, jamur terbanyak diserang ekstraseluler oleh karena ukurannya yang besar. Neutrofil merupakan sel terefektif, terutama terhadap kandida dan aspergillus. Jamur juga merangsang produksi sitokin seperti IL-1 dan TNF-a yang meningkatkan ekspresi molekul adhesi di endotel setempat yang meningkatkan infiltrasi netrofil ke tempat infeksi. Netrofil membunuh jamur yang oksigen dependen dan oksigen independen yang toksik.
                 Makrofag alveolar berperan sebagai sel dalam pertahanan pertama terhadap spora jamur yang terhirup. Aspergillus biasanya mudah dihancurkan oleh makrofag alveolar tetapi Koksidioides imunitis dan histoplasma kapsulatum dapat ditemukan pada orang normal dan resisten terhadap makrifag. Dalam hal ini makrofag masih dapat menunjukkan perannya melalui aktivasi sel Th 1 untuk membentuk granuloma. Sel NK juga dapat melawan jamur melalui pelepasan granul yang mengandung sitolisin. Sel NK juga dapat membunuh secara langsung bila dirangsang oleh bahan asal jamur yang emmacu makrofag memproduksi sitokin seperti TNF dan IFN-λ yang mengaktifkan sel NK (Baratawidjaya, 2009).

Imunitas Nonspesifik
                 Sawar fisik kulit dan membran mukosa, faktor kimiawi dalam serum dan sekresi kulit berperan dalam imunitas nonspesifik. Efektor utama imunitas nonspesifik terhadap jamur adalah netrofil dan makrofag. Penderita dengan netropenia sangat rentan terhadap jamur opotunistik. Netrofil diduga melepas bahan fungisidal seperti ROI dan enzim lisosom serta memakan jamur untuk dibunuh intraseluler. Galur virulen seperti kriptokok neoformans menghambat produksi sitokin TNF dan IL-12 oleh makrofag dan merangsang produksi IL-10 yang menghambat aktivasi makrofag (Baratawidjaya, 2009).

Imunitas Spesifik
                 Imunitas nonspesifik kadang kurang efektif, tidak mampu membatasi pertumbuhan jamur patogen. Tidak banyak bukti bahwa antibodi berperan dalam resolusi dan kontrol infeksi. CMI merupakan efektro imunitas spesifik utama terhadap infeksi jamur. Histoplasma kapsulatum, parasit intraseluler fakultatif hidup dalam makrofag dan dieliminasi oleh efektor selular sama yang efektir terhadap bakteri intraseluler. CD4+ dan CD8+ bekerja sama untuk menyingkirkan bentuk K.neoformans yang cenderung mengkolonisasi paru dan otak pada pejamu imunokompromais.
                 Infeksi kandida sering berawal pada permukaan mukosa dan CMI diduga dapat mencegah penyebarannya ke jaringan. Paad semua keadaan tersebut, respon TH1 adalah protektif sedangkan respon Th2 dapat merusak pejamu. Inflamasi granuloma dapat menimbulkan kerusakan pejamu seperti pada infeksi histoplasma. Kadang terjadi respon humoral yang dapat digunakan dalam diagnostik serologik namun efek proteksinya belum diketahui (Baratawidjaya, 2009).

Gambar Respon Imun Terhadap Mikotoksik


2.      Jamur
a.       Mikosis
Mikosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh fungi. Ada berbagai macam mikosis yang menyerang pada unggas, terutama ayam, antara lain:
1.      Aspergilosis
Etiologi
Aspergilosis pada unggas terutama disebabkan oleh Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus. Organisme lain yang mungkin ditemukan sebagai penyebab aspergilosis adalah A. terrus, A. glaucus, A. nidulans, A. niger, A. amstelodami dan A. nigrescens. Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus tidak memiliki stadium seksual sehinga digolongkan pada famili Moniliaceae (Tabbu, 2006).
Bentuk-bentuk Aspergilosis
Aspergilosis bentuk pulmonum dapat ditemukan pada puyuh, kalkun, ayam dan terutama penguin. Aspergilosis bentuk sistemik dapat ditemukan pada kalkun dan ayam. Aspergilosis bentuk kulit jarang ditemukan. Namun bila ditemukan dapat dijumpai pada merpati dan ayam. Pada bentuk ini ditandai dermatitis dan granulomatosa. Aspergilosis bentuk tulang (osteomikosis) dapat ditemukan pada ayam yang ditandai adanya infeksi Aspergillus sp. pada tulang punggung dan dapat mengakibatkan paralysis (Ressang,1984).
Aspergilosis bentuk mata dapat ditemukan pada ayam dan kalkun. Bentuk ini dapat bersifat unilateral dan lesiterutama pada konjunctivadan permukaan luar mata yang ditandai adanya eksudat kaseus atau pembentukan plaque di bawah membrane niktitan. Kontak antara permukaan konjungtiva dengan spora jamur dari lingkungan menimbulkan keratitis (radang kornea) dan infeksi bagian superficial mata.
Faktor-faktor yang mendukung timbulnya aspergilosis antaralain ventilasi kandang kurang, berdebu, kelembapan tinggi, temperature > 25°C, kadar amoniak tinggi, litter basah dan lembab, pakan lembab dan berjamur, penyakit immunosupresif (terutama gumboro) (Tabbu, 2006).
Cara penularan
Penularan aspergilosis adalah dengan cara menghirup spora dalam jumlah yang banyak. Penyakit ini dapat juga ditularkan melalui telur, karena Aspergillus fumigatus dapat tumbuh di bagian dalam telur dan dapat menurunkan daya tetas telur. Anak ayam yang menetas dari telur tersebut berisiko terkena aspergilosis (Tabbu, 2006).
Gejala klinik
Masa inkubasi sekitar 4-10 hari, dan proses penyakit sekitar 2 sampai beeberapa minggu. Penyakit ini dapat ditemukan dalam 2 bentuk yaitu kronis dan akut.
Aspergilosis bentuk kronis memperlihatkan gejala meliputi kehilangan nafsu makan, lesu, bernafas dengan mulut, emasiasi, sianosis (kebiruan pada kulit daerah kepala dan jengger) dan dapat berlanjut dengan kematian. Ditemukan pula gangguan saraf terutama pada kalkun. Ayam yang terkena aspergilosis mengalami gangguan pertumbuhan. Aspergilosis bentuk kronis terjadi pada ayam dewasa. Aspergilosis kronis menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang rendah.
Aspergilosis bentuk akut memperlihatkan dyspnoea, bernafas melalui mulut dengan leher yang dijulurkan ke atas, peningkatan frekuensi pernafasan, kehilangan nafsu makan, mengantuk, kadang terjadi paralisisdan kejang-kejang yang disebabkan oleh toksin dari Aspergillus sp. pada otak. Ayam yang terinfeksi berat biasanya akan mati dalam waktu 2-4 minggu. Aspergilosis terjadi pada ayam muda serta menyebabkan morbiditas dan mortalitas tinggi. Aspergilosis bentuk ensefalitik dapat ditemukan pada kalkun, ayam dan itik. Terdaat lesi ditimbulkan oleh hyphae dan gejala gangguan saraf pusat atau lesi pada otak berhubungan dengan toksin yang dihasilkan oleh Aspergillus sp. (Tabbu, 2006).
Perubahan Patologik
Yang terlihat adalah terdapat lesi di paru-paru berupa noduli kaseus kecil berwarna kekuningan dengan diameter ± 1 mm. Lesi disertai plaque yang terdiri atas eksudat kaseus berwarna kuning mengumpul pada daerah koloni jamur. Noduli kaseus terdiri dari eksudat radang dan jaringan jamur. Pada kasus yang melanjut, plaque semakin banyak dan membentuk agregat.
Secara mikroskopik, lesi pada stadium awal menciri karena adanya timbunan limfosit, sejumlah makrofag dan beberapa giant cells. Pada stadium selanjutnya akan terlihat lesi yang telah menjadi granuloma terdiri dari daerah nekrosis sentral mengandung heterofil dan dikelilingi makrofag, giant cells, limfosit dan sejumlah jaringan ikat. Lesi pada otak terdiri dari abses dengan bagian yang sama. Namun, pada daerah nekrosis ditemukan hyphae. Pada chamber dan retina dapat ditemukan infiltrasi heterofil, makrofag, hancuran sel dan hyphae (Tabbu, 2006).
Diagnosis
Pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan dengan menempatkan noduli pada KOH  20% digerus dan ditutup deck glas, dipanaskan,dilihat pada mikroskop terhadap kemungkinan adanya hyphae yang akan tercat biru jika diwarnai dengan tinta. Isolasi dan identifikasi jamur dapat dilakukan dengan pembenihan kusus pada Sobourauds Dextrose Agar.
Pemeriksaan serologic mempunyai tidak terlalu efektif karena antigen jamur tidak spesifik. Uji agar gel presipitasi (AGP) dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dapat dilakukan untuk mengetahui adanya antibody terhadap Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus.  Differensial diagnosisnya adalah daktilariosis (Tabbu, 2006).
Terapi
Prinsip pengobatan yang disebabkan oleh jamur Aspergillus fumigatus adalah dengan menghilangkan jamur dan sporanya yang terdapat dalam tubuh. Penderita diobati sesuai proses penyakitnya, karena aspergilosis terjadi akibat proses hipersensitivitas, maka respon alergi harus dikurangi. Meskipun aspergilosis terjadi karena pemakaian kortikosteroid terus-menerus, namun pengobatannya juga menggunakan kortikosteroid, namun dengan oral, bukan lagi inhalasi. Aspergilosis yang kronik memerlukan antijamur semisal itraconazole yang dapat mempercepat hilangnya infiltrat. Aspergilosis yang berbarengan dengan sinusitis alergik fungal memerlukan tindakan operasi jika terdapat polip obstruktif. Kadang-kadang dapat juga dibilas dengan amfoterisin untuk mempercepat peyembuhan (Jawetz, 1996).

2.      Kandidiasis
Kandidiasis dapat ditemukan pada ayam, kalkun, merpati, merak, puyuh dan angsa. Candida albicans tersebar luas di alam sehinga digolongkan ke dalam pathogen oportunistis. Factor pendukung kejadian kandidiasi adalah tingkat higienis dan sanitasi yang tidak memadai, penggunaan antibiotic yang berlebihan, penurunan kondisi tubuh, stres, defisiensi nutrisi dll (Tabbu, 2006).
Etiologi
Kandidiasis disebabkan oleh Candida albikans. Pada kultur tua dapat ditemukan hyphae dan kadang klamidospora (Tabbu, 2006).
Cara penularan
Kandidiasis dapat menular melalui per oral atau lingkungan yang tercermar, serta paling mudah melalui tempat makan atau minum yang tercemar Candida albicans (Tabbu, 2006).
Gejala Klinik
Ayam muda lebih sensitive terhadap mikosis bentuk pencernaan dibandingkan yang dewasa. Kandidiasis dapat ditemukan pada ayam mulai umur 1-2 minggu. Anak ayam yang menderita memperlihatkan gejala gangguan pertumbuhan, pucat, lesu dan bulu berdiri. Ayam petelur akan terlihat seperti obesitas, tetapi anemic. Ayam yang menderita keradangan pada kloaka, maka akan terdapat kotoran putih pada bulu sekitar kloaka (Tabbu, 2006).
Perubahan Patologik
Lesi makroskopik ditemukan pada tembolok, kadang pada rongga mulut, esophagus, dan proventrikulus. Pada kasus akut mukosa tembolok menebal, berlipat dan keruh. Pada kasus yang lebih kronis ditemukan daerah menonjol dan berwarna putih disertai pembetukan ulser. Mukosa tembolok memiliki lesi disebut Turkish towel.
Secara mikroskopik terdapat nekrosis pada epitel skuamus kompleks dan pembentukan ulser atau membrane difteroid sampai pseudodifterik pada mukosa tembolok. Daerah esophagus dan proventrikulus ditemukan spora dan hyphae. Lesi difteroid ditemukan pada proventrikulus dan usus (Tabbu, 2006).
Diagnosis
Diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan preparat apus mukosa tembolok diwarnai dengan methylene blue untuk mengidentifikasi adanya hyphae atau klamidospora. Diferensial diagnosanya adalah infeksi oleh Capillaria sp. dan trikomoniasis (Tabbu, 2006).
3.   Daktilariosis
Etiologi
     Daktilariosis desebabkan oleh Dactylaria gallopava. jamur ini hidup pada lingkungan dengan pH 2,1-5,0 serta pada suhu 43-45ºC. Jamur tersebut dapat diisolasi dari kayu.
Cara Penularan dan Gejala klinik
     Cara penularan melalui inhalasi spora dari litter yang lembab dan berjamur. Kejadian biasanya pada ayam dan kalkun umur 1-5 minggu. Gejala yang terlihat adalah gangguan saraf pusat seperti paralysis pada kaki, inkoordinasi dan tortikolis (Tabbu, 2006).
Perubahan Patologik
     Lesi terbatas pada otak di daerah serebrum, serebelum dan lobus optikus. Terlihat daerah berwarna kelabu atau kekuningan yuang berbatas jelas pada otak. Daktilariosis dapat juga menimbulkan kekeruhan pada mata. Lesi secara mikroskopik terlihat radang granulomatosa yang terdiri atas daerah nekrosis bagian sentaral dikelilingi limfoset, heterofil dan giant cells. Pada sejumlah lesi ditemukan hyphae pada daerah nekrosis.
Diagnosis
     Diagnosis didasarkan atas lesi serta dihubungkan dengan radang seta hyphae pada otak. Selain itu diagnosa akhir bisa dengan cara isolasi jamur. Pada pembenihan akan dihasilkan pigmen berwarna merah sapai coklat kemerahan. Diferensial diagnosisnya adalah aspergilosisdan avian ensefalmielitis (Tabbu, 2006).
4.   Favus (Avian Ringworm)
Etiologi
     Favus disebabkan oleh Trichophyton megnini, kadang oleh Trichophyton gallinae dan Trichophyton simii. Penyakit ini sering ditemukan didaerah tropis .
Cara Penularan
     Penyakit ini dapat menular melalui kontak langsung antara ayam yang sakit dengan ayam yang lain.
Gejala Klinik
     Terdapat lapisan berbentuk serbuk putih pada pial, balung dan kulit di daerah facial. Kulti di daerah tersebut biasanya menebal, kasar dan membentuk krusta. Gejala lain meliputi emasiasi jika penyakit sangat ekstensif.
Perubahan patologik
     Jamur ini terutama menyerang balung dan pial namun dapat juga menyebar ke kepala dan leher. Biasanya membentuk bagian sirkular menyerupai cangkir di sekitar folikel bulu selanjutnya mengingkat ukuran serta menebal, dan bertambah banyak. Pada kasus yang melanjut lesi dapat meluas ke daerah leher mnyebabkan kerontokan bulu.
Perubahan histopatologik meliputi hiperplasi epidermis, perifoikulitis, folikulitis, furunkolosis dan kadang pembentukan mikroabses. Pada sejumlah kasus dapat ditemukan hyphea atau spora dalam stratum korneum dan lapisan keratin dari folikel bulu (Tabbu, 2006).

b.      Mikotoksikosis        
Mikotoksikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh mikotoksin, yaitu hasil metabolit sekunder dari fungi. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Mycotoksikosis antara lain adalah tatalaksana pengaturan keluar masuk pakan, kondisi kandang dan manajemen litter yang kurang baik, faktor sanitasi dan desinfeksi, dan defisiensi nutrisi dan infeksi agen penyakit. Ada bermacam-macam penyakit yang disebabkan mikotoksin yang menyerang pada ayam, antara lain:
1.      Aflatoksikosis
    Aflatoksin merupakan mikotoksin yang bersifat sangat toksik dan karsinogenik, yang merupakan hasil metabolit dari jamur Aspergillus flavus, A. parasiticus dan Penicillium puberulum. Pakan ayam dan bahan baku pakan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan fungi dan pembentukan aflatoksin.
    Berdasarkan atas reaksi warna terhadap sinar flouresen dan nilai Rf kromatografik, maka aflatoksin terdiri atas beberapa jenis, yaitu aflatoksin B­1 dan B2 yang berwarna biru dan aflatoksin G1  dan G2 yang berwarna hijau. Aflatoksin jenis B1 merupakn jenis yang paling toksik dan mempunyai efek primer yang bersifat hepatoksik pada berbagai jenis hewan (Tabbu, 2006).
Gejala Klinis
    Aflatoksin dapat bersifat akut maupun kronis tergantung pada dosis, lama kontak, dan umur ayam. Keracunan akut biasanya ditemukan pada ayam muda, sedangkan keracunan kronik dapat dijumpai pada ayam yang lebih tua. Gejala keracunan akut meliputi: lesu, kehilangan nafsu makan, gangguan pertumbuhan, pigmentasi abnormal pada kaki dan jari, kelumpuhan, terlihat adanya ataksia, konvulsi, dan opistotonus yang dapat berakhir dengan kematian.
    Sedangkan pada keracunan yang kronik terlihat adanya hambatan pertumbuhan, peningkatan konversi pakan, penurunan produksi telur, dan penurunan fertilitas dan daya tetas telur. Pada ayam pedaging terlihat juga penurunan kualitas karkas dan peningkatan lesi pada kulit akibat adanya pembuluh darah dan kapiler yang rapuh. Ayam yang menderita aflatoksikosis akan mengalami imunosupresi, sehingga lebih peka terhadap berbagai penyakit.

Perubahan Patologik
a.      Perubahan Makroskopik
Lesi yang ditimbulkan oleh aflatoksikosis akut, terutama ditemukan pada hati dan ginjal, yang ditandai oleh adanya pembesaran dan warna yang lebih pucat pada kedua organ tersebut. Hati biasanya berwarna lebih pucat atau kekuning-kuningan dan bersifat lebih rapuh. Duodenum dapat mengalami distensi akibat adanya timbunan cairan kataral didalam lumen. Di samping itu, terlihat juga adanya pendarahan padea kulit, otot, dan saluran pencernaan.
Aflatoksikosis bentuk kronik biasanya menimbulkan atrofi, pengerasan, dan perubahan bentuk nodular dari hati yang disertai adanya perdarahan dan distensi kantung empedu. Terlihat juga asites, hidroperikardium, dan atrofi bursa fabricius, timus dan limpa.

b.      Perubahan Mikroskopik
Lesi mikroskopik yang ditimbulkan oleh aflaktosikosis bentuk akut pada hati, meliputi pembentukan makro dan mikrovakuole didalam sitoplasma, nekrosis yang ekstensif, perdarahan, dan prliferasi duktus biliverus ukuran kecil. Lesi mikroskopik pada ginjal meliputi dilatasi tubukus proksimalis, nekrosis epitel tubuli, dan pembentukan nucleus yang sangat besar dengan nucleoli yang menonjol.Perubahan mikroskopik pada bursa fabricius meliputi nekrosis limfosit dan atrofi folikel, sedangkan perubahan pada timus dan limpa, meliputi nekrosis limfosit dan penurunan populasi folikel limfoid.
Diagnosis
Diagnosis sangkaan dapat didasarkan atas riwayat kasus dan perubahan patologik pada jaringan. Bahan pakan dapat diuji terrhadap kemungkinan adanya pertubuhan Aspergillus flavus menggunakan sinar ultraviolet untuk mengetahui pembentukan fluoresen warna biru hijau. Metode analisis untuk mikotoksin dapat menggunakan kromatografi (lapis tipis, gas, cair), spektrometri, dan teknik antibody monoclonal. Test kits untuk aflatoksin B1 menggunakan ELISA atau minicolumns dapat diperoleh secara komersial (Tabbu, 2006).
2.      Fusariotoxicosis
    Fusariotoksin merupakan racun yang merupakan metabolit yang dihasilkan oleh jamur Fusarium sporotrichioides, F. culmorum, F graminearum, F nivale dan lainnya, biasanya tumbuh pada sisa-sisa pakan atau bahan baku mentahnya. Perubahan patologi pada penyakit ini adalah jika ada radang ulcer sampai nekrosa pada mukosa mulut, bintik-bintik pada hati, dan adanya atrophi ginjal dan organ lymphoid lainnya.

3.      Ochratoxicosis
Ochratoksin merupakan racun yang merupakan metabolit yang dihasilkan oleh jamur Penicillium viridicatum, P. citrinum, Aspergillus ochraceus dan lainnya, biasanya tumbuh pada biji-bijian bahan baku pakan. Perubahan yang menciri dari penyakit ini adalah bila ginjal terlihat pucat dan membengkak disertai dengan oedema perirenal

4.      Ergotism
Toksin yang berupa Ergot alkaloids ini dihasilkan oleh jamur Claviceps purpurea, biasanya tumbuh pada biji-bijian seperti biji gandum dan lebih suka pada biji gandum hitam. Tanda yang menciri untuk Ergotism adalah jengger, pial, muka dan kelopak mata seperti berkerak/kering sampai dengan atrophi/mengecil, pada anak ayam jari-jari kaki terlihat menjadi kehitaman.

5.      Citrinin mycotoksikosis
Toksin Citrinin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus sp dan Penicillin sp ini merupakan kontaminan alami jagung, padi dan biji-bijian lainnya bahan baku pakan. Perubahan yang menciri dari penyakit ini adalah bila ginjal terlihat pucat dan membengkak disertai dengan oedema perirenal.

6.      Oosporein mycotoksikosis
Oosporein merupakan tksin yang dihasilkan jamur Chaetomium spp, yang biasanya tumbuh pada bungkil kacang, dedak dan jagung. Perubahan yang menciri dari penyakit ini adalah jika pada organ visceral dan ginjal terlihat penumpukan asam urat.

7.      Cyclopiazonic acid
Cyclopiazonic acid merupakan metabolit dari jamur Aspergillus flavus, yang biasanya tumbuh pada biji-bijian dan pakan. Perubahan yang menciri dari penyakit ini adalah jika ditemukan dilatasi proventriculus/penipisan dindingnya sampai hyperplasia yang disertai borok / ulcer (Ressang, 1984).


DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaya, K.G. 2009. Imunologi Dasar Edisi ke-8. Jakarta : UI-Press
Carter, G. R. 2004. Essential of Veterinary Bacteriology and Mycology 6th edition. Iowa : Iowa State University
Jawetz. E. 1996.  Microbiologi Kedokteran Edisi 20. Jakarta : Penerbit EGC
Quinn, P. J et all. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Australia : Blackwell Science
Ressang, A.A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Penerbit IPB: Bogor.
Tabbu, Charles Rangga. 2006. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Volume 1. Kanisius: Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment