LEARNING
OBJECTIVE
1.
Bagaimana Respon Imun Terhadap Tumor?
2.
Infeksi Parasit Spirocerca lupi
a. Etiologi
b. Siklus
Hidup
c. Gejala
Klinis
d. Patogenesis
e. Pengobatan
PEMBAHASAN
1. Respon
imun
Sel kanker dikenal sebagai nonself
yang bersifat antigenik pada sistem
imunitas tubuh manusia sehingga ia akan
menimbulkan respons imun secara seluler maupun humoral. Respons sistem imun terhadap sel kanker dapat
dibagi dua yaitu humoral dan seluler (Halim, 2001).
1 Peranan
sistem imun humoral terhadap sel kanker
Merupakan reaksi dimana adanya
antien, tubuh memproduksi immunoglobulin (antibody). Reaksi antigen dan anti
body secara in vitro dapat dilihat dengan adanya presipitasi atau aglutinasi,
sedang sacara in vivo dapat dilihat dengan aglutinasi atau lisis sel yang
mengandung antigen dan sel yang mengandung antigen yang mudah di fagositosis,
secara klinis manifestasi reaksi antigen dan antibody adalah streril, kebal,
resisten, atau alergi, bagi hospes dengan timbulnya kekebalan atau resistensi
sangat menguntungkan apalagi kalau sampai tingkat steril tetapi jika yang
muncul adalah reaksi hipersensivitas malah akan merugikan hospes itu sendiri
walaupun ada yang menguntungkan.
Kemungkinan bahwa sistem imun dapat
memegang peranan dalam penghancuran sel-sel tumor yang biasa di sebut dengan penyigian immmun, misalnya banyak tumor
yang diinduksi oleh zat kimia atau virus atau terjadi secara spontan dan sebab
yang tidak diketahui, pada permukaan komponen selny amemperoleh antigen
spesifik (TSA, tumor specific antigen) yang baru yang tidak terdapat dalam
jaringan normal, antigen ini terpapar pada permukaan sel bersifat asing
terhadap sistem imun dan pertahanan tubuh belum pernah terpapar keadaannya.
Limfosit dan makrofag yang telah
disenfiasi, yang membelah sel-sel tumor, tumor juga menginduksi produksi
antibody yang beredar, antibody ini membentuk kompleks dengan antigen tumor dan
kompreks imun yang dihasikannya mencegah penghancuran tumor secara imunologis
oleh limfosit dan makrofag, antibody tersebut diberi nama antibody penghalang,
ini sesungguhnya dapat meningkatkan pertumbuhan tumor.
Pada teknik imunohistonikimia suatu
antibody yang mengenal antigen yang dikehendaki itu sendiri ditunjukkan
eksistensinya oleh antibody yang berlabel yang mengenal epitob antibody
pertama, antibody dapat diapakai untuk menentukan tumor secara radiologis,
antibody dapat dilabel dengan zat radioaktif, disuntikkan ke dalam hospes dan
disana berkaitan dengan sel-sel yang mengekspresikan antigen termaksud,
akhirnya antibody dapat dipakai sebagai terapi, missal sumsum tulang yang
dipengaruhi oleh limfoma dapat diekstraksi dari pasien dan dicampur dengan
suatu antibody komplemen, campuran ini kemudian melisiskan sel-sel tumor yang
mengekspresikan antigen ketika dengan antibody.
1. CTL
( Cytotoxic T Lymphocyte )
Banyak studi menunjukkan bahwa tumor
yang mengekspresikan antigen unik dapat memacu CTL / Tc spesifik yang dapat
menghancurkan tumor. CTL biasanya mengenal peptida asat TSA ( Tumor Spesific
Agent ) yang diikat MHC-I. CTL tidak selalu efisien, disamping respons CTL
tidak selalu terjadi tumor ( Baratawidjaja, 2009).
2. Sel
NK
Sel NK adalah limfosit sitotoksik
yang mengenal sel sasaran yang tidak antigen spesifik dan juga tidak MHC (
Major Histocompability Complex ) dependen. Diduga bahwa fungsi terpenting sel
NK adalah antitumor. Sel NK mengekspresikan FcR yang dapat mengikat sel tumor
yang dilapisis antibody dan dapat membunuh sel sasaran melalui ADCC dan
pelepasan enzyme protease, perforin, dan granzim ( Baratawidjaja, 2009 ).
3. Makrofag
Makrofag memiliki enzyme dengan
fungsi sitotoksik dan melepas mediator oksidatif seperti superoksid dan oksida
nitrit. Makrofag juga melepas TNF-α yang mengawali apoptosis. Diduga makrofag
mengenal sel tumor melalui IgG-R yang mengikat antigen tumor. Makrofag dapat
memakan dan mencerna sel tumor dan mempresentasikannya ke sel CD4+. Jadi
makrofag dapt berfungsi sebagai inisiator dan efektor imun terhadap tumor (
Baratawidjaja, 2009 ).
Penjelasan
Sistem Imun Tubuh Terhadap Cacing Penyebab Tumor
(Utami, 1994)
Respon Pejamu
terhadap infeksi cacing pada umumnya lebih kompleks oleh karena pathogen lebih
besar dan tidak bisa ditelan oleh fagosit. Pertahanan terhadap banyak infeksi
cacing diperankan oleh aktivasi sel T helper2 ( Th2). Cacing merangsang subset
Th2 sel Cluster of Differentiation ( CD4+) yang melepas Interleukin 4 ( IL-4 )
dan Interleukin 5 ( IL-5 ). IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang
perkembangan dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing
diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzyme
yang menghancurkan parasit. Eosinofil lebih efektif disbanding leukosit lain
karena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik disbanding enzyme
proteolitik dan Reaktif Oxygen Intermediate ( ROI ) yang diproduksi neutrofil
dan makrofag. Parasit yang masuk dalam lumen saluran cerna, pertama dirusak
oleh IgG, IgE, dan juga mungkin dibantu oleh ADCC ( Antibody Dependent Cell
Citoxity ). Sitokin yang dilepaskan sel T yang dipacu antigen spesifik
merangsang proliferasi sel goblet dan sekresi bahan mucus yang menyelubungi
cacing yang dirusak. Hal itu memungkinkan cacing dikeluarkan dari tubuh melalui
peningkatan gerakan usus yang diinduksi mediator sel mast seperti LTD4 dan
diare akibat pencegahan absorbs natrium yang tergantung glukosa oleh histamine
dan prostaglandin asal sel mast. Cacing biasanya terlalu besar untuk
fagositosis. Degranulasi sel mast/basofil yang IgE dependen menghasilkan
produksi histamine yang menimbulkan spasme usus temapt cacing hidup. Eosinofil
menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik. Myelin Basic
Protein ( MBP ) dan Neurotoksin. Polymorfonuklear dan makrofag menempel melalui
IgA/ IgG melepas superoksida, oksida nitrit dan enzyme yang membunuh cacing (
Baratwidjaja, 2009).
Dikemukakan 4 macam kemungkinan
mekanisme respon imun;
1. Mekanisme pertama: dalam respon imun
hanya melibatkan sel Th l saja, karena sel Th2 tidak berperan dalam sekresi
sitokin maka terjadi sekresi IFN gama, IL-2 dan LT yang berlebih, akibatnya terjadi
inaktivasi sel B, tidak ada sekresi antibodi, aktivasi makrofag, respon DTH
kuat dan supresi sel Th2; keadaan ini mengakibatkan parasit-parasit intrasel
dapat terbunuh dengan efektif.
2. Mekanisme kedua: bila terjadi respon
sel Th1 yang kuat tetapi disertai dengan sedikit respon sel Th2; pengaruh IFN
gama, IL-2 dan LT berkurang karena adanya pengaruh IL-4, IL-5 dan IL-6 yang
diproduksi oleh sel Th2. Terjadi aktivasi sel B dan produksi antibodi, respon
DTH tidak sekuat pada mekanisme pertama.
3. Mekanisme ketiga: yaitu bila terjadi
respon sel Th2 yang kuat, tetapi sedikit respon sel Th1. Terjadi sekresi IL-4,
IL-5 dan IL-6 yang cukup, dapat menyebabkan sekresi antibodi lebih baik
dibandingkan dengan yang terjadi pada mekanisme 1 dan 2. Produksi IgG2a, IgG 1
karena pengaruh IL-4, IgE tidak mencolok karena masih ada pengaruh IFN gama.
Respon DTH mungkin masih terjadi, mungkin tidak.
4. Mekanisme keempat:
Bila respon imun hanya melibatkan sel Th2 saja; pada
mekanisme ini terjadi sekresi antibodi dalam konsentrasi yang tinggi, tidak
terjadi aktivasi DTH. Karena terdapat IL-4 dalam jumlah banyak maka terjadi
sekresi IgE dalam jumlah banyak; makrofag juga teraktivasi tetapi tidak sama
dengan keadaan bila respon imun karena pengaruh sel Thl, adanya IL-5 menyebabkan
aktivasi fungsi eosinophil; dengan demikian gambaran klinis yang timbul adalah
gejala alergi.
Imunitas humoral lebih sedikit berperan daripada imunitas seluler dalam
proses penghancuran sel kanker, tetapi tubuh
tetap membentuk antibodi terhadap antigen tumor. Dua mekanisme antibodi diketahui dapat menghancurkan
target kanker yaitu:
a)
Antibody
dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC)
Pada ADCC antibodi IgG spesifik
berikatan terhadap Tumor Associated
Antigen (TAA) dan sel efektor yang
membawa reseptor untuk bagian Fc dari molekul Ig. Antibodi bertindak sebagai jembatan antara efektor dan
target. Antibodi yang terikat dapat merangsang pelepasan superoksida atau
peroksida dari sel efektor. Sel yang dapat bertindak sebagai efektor di sini
adalah limfosit null (sel K), monosit, makrofag, Lekosit PMN (polimorfonuklear)
dan fragmen trombosit. Ini akan mengalami lisis optimal dalam 4 sampai 6 jam (Halim, 2001).
b)
Complement
Dependent Cytotoxicity
Di sini pengikatan antibodi ke
permukaan sel tumor menyebabkan rangkaian peristiwa komplemen klasik dari C'
1,4,2,3,5,6,7,8,9. Komponen C' akhir menciptakan saluran atau kebocoran pada
permukaan sel tumor. IgM lebih efisien dibanding IgM dalam merangsang proses complement
dependent citotoxicity (Halim,
2001).
2 Peranan
sistem imun seluler sel kanker
Pada
pemeriksaan patologi-anatomik tumor, sering ditemukan infiltrat sel-sel yang
terdiri atas sel fagosit mononuklear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel
mastosit. Meskipun pada beberapa neoplasma, infiltrasi sel mononuklear
merupakan indikator untuk prognosis yang baik, pada umumnya tidak ada hubungan
antara infiltrasi sel dengan prognosis. Sistem imun yang nonspesifik dapat
langsung menghancurkan sel tumor tanpa sensitisasi sebelumnya. Efektor sistem
imun tersebut adalah sel Tc, fagosit mononuklear, polinuklear, Sel NK. Aktivasi
sel T melibatkan sel Th dan Tc. Sel Th penting pada pengerahan dan aktivasi
makrofag dan sel NK (Halim,
2001).
a)
Sitotoksitas
melalui sel T
Kontak langsung antara sel target
dan limfosit T menyebabkan interaksi antara reseptor spesifik pada permukaan sel
T dengan antigen membran sel target yang mencetuskan induksi kerusakan membran
yang bersifat lethal. Peningkatan kadar cyclic Adenosine Monophosphate
(cAMP) dalam sel T dapat menghambat sitotoksisitas dan efek inhibisi
Prostaglandin (PG) E 1 dan PGE2 terhadap sitotoksisitas mungkin diperantarai
cAMP. Mekanisme penghancuran sel tumor yang pasti masih belum diketahui
walaupun pengrusakan membran sel target dengan hilangnya integritas osmotik
merupakan peristiwa akhir. Pelepasan Limfotoksin (LT), interaksi membran-membran langsung dan
aktifitas T cell associated enzyme seperti phospholipase diperkirakan
merupakan penyebab rusaknya membran. Interleukin (IL), interferon (IFN) dan sel
T mengaktifkan pul asel Natural Killer (NK). Sel ini berbentuk large granulocytic lymphocyte (LGL).
Kebanyakan sel ini mengandung reseptor Fc dan banyak yang mengekspresikan
antigen sel T. Lisis sel target dapat terjadi tanpa paparan pendahuluan dan
target dapat dibunuh langsung. Sel NK menunjukkan beberapa spesifisitas yang
lebih luas terhadap target tumor yang biasanya dibunuh lebih cepat dibanding
sel normal. Kematian sel tumor dapat sebagai akibat paparan terhadap toxin yang
terdapat dalam granula LGL, produksi superoksida atau aktivitas protease serine
pada permukaan sel efektor. Sel NK diaktivasi IFN dan II-2 in vitro.
Aktivitas NK dapat dirangsang secara in vitro dengan pemberian IFN,
inducer atau imunostimulan seperti Bacille Calmette Guerin (BCG) dan Corynebacterium
(C) parvum. Penghambatan aktivasi sel NK terlihat pada beberapa PG (PGE1,
PGE2, PGA1 dan PGA2), phorbol ester, glukokortikoid dan siklofosfamid. Pada
banyak kasus, agen ini langsung mempengaruhi aktivitas NK, sel supresor juga
dapat mempengaruhi sel NK. Sel NC (Natural Cytotoxic) juga
teridentifikasi menghancurkan sel tumor. Berbeda dengan sel NK, sel NC
kelihatannya distimulasi oleh IL-3 dan relatif tahan terhadap glukokortikoid dan siklofosfamid.
Populasi LAK (lymphocyte activated killer) cell dapat tumbuh di bawah
pengaruh IL-2 (Halim,
2001).
b)
Sitotoksisitas
melalui makrofag
Makrofag yang teraktivasi berikatan
dengan sel neoplastik lebih cepat dibanding dengan sel normal. Pengikatan
khusus makrofag yang teraktivasi ke membran sel tumor adalah melalui struktur
yang sensitif terhadap tripsin. Pengikatan akan bertambah kuat dan erat dalam 1
sampai 3 jam dan ikatan ini akan mematikan sel. Sekali pengikatan terjadi,
mekanisme sitotoksisitas melalui makrofag berlanjut dengan transfer enzim
lisosim, superoksida, protease, faktor sitotoksis yang resisten terhadap
inhibitor protease dan yang menyerupai LT. Sekali teraktivasi, makrofag dapat
menghasilkan PG yang dapat membatasi aktivasinya sendiri. Makrofag yang teraktivasi
dapat menekan proliferasi limfosit, aktivitas NK dan produksi mediator.
Aktivasi supresi dapat berhubungan dengan pelepasan PG atau produksi
superoksida. Sebagai tambahan, makrofag dapat merangsang dan juga menghambat
pertumbuhan sel tumor, yang bergantung dengan bagian yang rentan dari sel
tumor, ratio makrofag dengan sel target dan status fungsional makrofag.
Indometasin dapat menghambat
efek perangsangan makrofag pada
pertumbuhan tumor ovarium yang diperkirakan prostaglandin mungkin berperan
sebagai mediatornya. Macrophage derived factor dapat merangsang
pertumbuhan tumor dan menekan imunitas sel T. Akumulasi makrofag dalam tumor
mungkin menggambarkan interaksi makrofag kompleks dari beberapa faktor dan juga
kinetik produksi monosit oleh sumsum tulang. Jadi status fungsional makrofag
dalam tumor juga berperan selain jumlahnya.
Makrofag bila diaktifkan oleh limfokin, endotoksin, RNA dan IFN akan
menunjukkan aktivasi berupa adanya perubahan morfologik, biokimiawi dan fungsi
sel. Makrofag yang diaktifkan biasanya menjadi sitotoksik nonspesifik terhadap
sel tumor in vitro. Makrofag dapat pula berfungsi sebagai efektor pada
ADCC terhadap tumor. Di samping itu makrofag dapat menimbulkan efek negatif
berupa supresi yang disebut makrofag supresor. Hal tersebut dapat disebabkan
oleh tumor itu sendiri atau akibat pengobatan (Halim, 2001).
Urutan enam langkah kematian sel kanker. Sebuah sel kanker
telah bermigrasi melalui lubang-lubang dari membran dilapisi matriks dari atas
ke bawah, simulasi migrasi alami sel kanker menyerang antara, dan kadang-kadang
melalui, endotelium vaskular. Perhatikan paku atau pseudopodia yang merupakan
ciri khas dari sel kanker menyerang (1). Sebuah buffy coat yang mengandung sel
darah merah, limfosit dan makrofag ditambahkan ke bagian bawah membran.
Sekelompok makrofag mengidentifikasi sel kanker sebagai benda asing dan mulai
menempel pada sel kanker, yang masih memiliki paku nya (2). Tampil: Makrofag
mulai menyatu dengan, dan menyuntikkan racun ke dalam, sel kanker. Sel mulai
mengumpulkan dan kehilangan paku nya (3). Sebagai sel makrofag menjadi halus
(4). Sel kanker muncul kental dalam tahap terakhir sebelum mati. Benjolan ini
sebenarnya makrofag menyatu dalam sel kanker (5). Sel kanker kemudian
kehilangan morfologi, menyusut dan mati (6) (Anonim, 2001).
5.
Spirocerca
lupi
a.
Etiologi
Cacing Spirocerca lupi ditemukan didalam tumor
kerongkongan, lambung dan aorta anjing serta berbagai hewan pemakan daging
lainnya. Cacing dewasa berukuran 3-8 cm, berwarna merah, dan terdapat melingkar
didalan tumor jaringan ikat pada dinding kerongkongan atau organ lainnya.,
Telur cacing berdinding tebal,oval dan dinding lateral yang hamper parallel.
Ukuran telur 30 x 12µ, berisi larva stadium pertama (Anonim, 2008).
b.
Siklus Hidup
Tinja,bahan
muntahan → telur → dimakan oleh kumbag tahi → larva stadium 3→ Hospes paratenik
(ayam, hewan pengerat dan kadal)→ larva membentuk kista → hospes paratenik
dimakan anjing →larva membuat liang pada lambung bermigrasi dalam lapisan luar
arteri visceral dan aorta sampai kerongkongan dan lambung → dewasa.
Periode pre paten : 17-18 minggu (Anonim, 2008).
Periode pre paten : 17-18 minggu (Anonim, 2008).
c.
Gejala Klinis
Ø Migrasi larva
: perdarahan dan radang
Ø Nafsu makan
hilang
Ø Muntah
Ø Iritasi
menyebabkan tremor
Ø Aneurisma
aorta
Ø Rupture
pembuluh darah
Ø Osteoarthropati
paru-paru sekunder (Anonim,
2008).
d.
Patogenesis
Pada
pertumbuhan sel tumor umumnya timbul beberapa antigen baru serta asing bagi
tubuh. Dengan adanya antigen tersebut, mesin imunologik didalam tubuh dapat terangsang,
sehingga menimbulkan suatu reaksi imun yang dapat menghancurkan sel tumor tadi.
Dengan lain perkataan sistem respons imun bukan saja berfungsi sebagai benteng
pertahanan tubuh terhadap serangan kuman penyakit, akan tetapi juga dapat
memegang peranan dalam menjaga timbulnya sel-sel yang abnormal didalam tubuh;
keadaan seperti ini dikenal dengan nama "immunological
surveillance" (Tjokronegoro., 2009).
Timbulnya
antigen baru pada suatu tumor dapat disebabkan oleh dua proses, yaitu (1)
hilangnya beberapa antigen yang spesifik daripada jaringan normal, dan (2)
timbulnya beberapa antigen baru yang spesifik untuk tumor dan tidak terdapat
pada sel-sel normal lainnya. Proses menghilangnya antigen tubuh yang baru itu
agaknya berhubungan dengan proses diferensiasi fungsi sel tumor. Oleh karena
fungsi beberapa system enzim didalam sel tadi berubah atau menghilang, maka
akibatnya proses-proses biokimianya daripada sel tumor berbeda dengan sel yang
normal (Tjokronegoro, 2009).
Antigen
sel tumor ini selain spesifik juga dapat mengakibatkan suatu reaksi penolakan
pada proses transplantasi, oleh karena itu antigen ini dikenal sebagai
"Tumor Specific Transplantation Antigen" atau sering disingkat dengan
TSTA. Selain antigen pada permukaan sel ini, sebenarnya ada pula antigen baru
yang letaknya lebih kedalam sel, yaitu pada nukleusnya; akan tetapi ditinjau
dari sudut imunologi, antigen-antigen tersebut lebih sukar untuk dikenal
(Tjokronegoro, 2009).
e.
Pengobatan
diethylcarbamazine,
disophenol, levamisole, albendazole and fenbendazole.
Belakangan ini pemberian 400µg/kg ivermectin and doramectin melalui subkutan lebih mujarab (Anonim, 2008).
Belakangan ini pemberian 400µg/kg ivermectin and doramectin melalui subkutan lebih mujarab (Anonim, 2008).
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 2008. Neoplasia Akibat Infeksi Spirocerca Lupi.http://www.vet-klinik.com/Pets-Animals/Neoplasia-akibat-infeksi-Spirocerca-lupi.html.
Diakses Pada 20 Maret 2013
Baratawidjaja,
K.G. 2009. Imunologi Dasar. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Bosman,
F.T.; Velde, C.J.H. 1996. Onkologi. Yogyakarta:
Gadjah Mada Univesity Press.
Halim, Binarwan., M Fauzie Sahil.
2001. Imunologi Kanker. Medan: FK USU
Kurniasih.
1993. Pengantar Patologi Umum.
Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press.
Tjokronegoro.,
A. 2009. Imunologi Tumor. Majalah Triwulan Cermin Dunia Kedokteran. P.T.
Kalbe Farma.
Utami,
B.S. 1994. Respon Imun Pada Filariasis.
Jakarta: Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Departemen Kesehatan.
No comments:
Post a Comment