Wednesday 20 March 2013

Blok 10 UP 6



LEARNING OBJECTIVE
1.      Bagaimana Respon Imun Terhadap Tumor?
2.      Infeksi Parasit Spirocerca lupi
a.       Etiologi
b.      Siklus Hidup
c.       Gejala Klinis
d.      Patogenesis
e.       Pengobatan


PEMBAHASAN
1.      Respon imun
Sel kanker dikenal sebagai nonself yang bersifat antigenik  pada sistem imunitas tubuh manusia sehingga ia akan  menimbulkan respons imun secara seluler maupun humoral.  Respons sistem imun terhadap sel kanker dapat dibagi dua  yaitu humoral dan seluler (Halim, 2001).
1      Peranan sistem imun humoral terhadap sel kanker
Merupakan reaksi dimana adanya antien, tubuh memproduksi immunoglobulin (antibody). Reaksi antigen dan anti body secara in vitro dapat dilihat dengan adanya presipitasi atau aglutinasi, sedang sacara in vivo dapat dilihat dengan aglutinasi atau lisis sel yang mengandung antigen dan sel yang mengandung antigen yang mudah di fagositosis, secara klinis manifestasi reaksi antigen dan antibody adalah streril, kebal, resisten, atau alergi, bagi hospes dengan timbulnya kekebalan atau resistensi sangat menguntungkan apalagi kalau sampai tingkat steril tetapi jika yang muncul adalah reaksi hipersensivitas malah akan merugikan hospes itu sendiri walaupun ada yang menguntungkan.
Kemungkinan bahwa sistem imun dapat memegang peranan dalam penghancuran sel-sel tumor yang biasa di sebut dengan penyigian immmun, misalnya banyak tumor yang diinduksi oleh zat kimia atau virus atau terjadi secara spontan dan sebab yang tidak diketahui, pada permukaan komponen selny amemperoleh antigen spesifik (TSA, tumor specific antigen) yang baru yang tidak terdapat dalam jaringan normal, antigen ini terpapar pada permukaan sel bersifat asing terhadap sistem imun dan pertahanan tubuh belum pernah terpapar keadaannya.
Limfosit dan makrofag yang telah disenfiasi, yang membelah sel-sel tumor, tumor juga menginduksi produksi antibody yang beredar, antibody ini membentuk kompleks dengan antigen tumor dan kompreks imun yang dihasikannya mencegah penghancuran tumor secara imunologis oleh limfosit dan makrofag, antibody tersebut diberi nama antibody penghalang, ini sesungguhnya dapat meningkatkan pertumbuhan tumor.
Pada teknik imunohistonikimia suatu antibody yang mengenal antigen yang dikehendaki itu sendiri ditunjukkan eksistensinya oleh antibody yang berlabel yang mengenal epitob antibody pertama, antibody dapat diapakai untuk menentukan tumor secara radiologis, antibody dapat dilabel dengan zat radioaktif, disuntikkan ke dalam hospes dan disana berkaitan dengan sel-sel yang mengekspresikan antigen termaksud, akhirnya antibody dapat dipakai sebagai terapi, missal sumsum tulang yang dipengaruhi oleh limfoma dapat diekstraksi dari pasien dan dicampur dengan suatu antibody komplemen, campuran ini kemudian melisiskan sel-sel tumor yang mengekspresikan antigen ketika dengan antibody.
1. CTL ( Cytotoxic T Lymphocyte )
Banyak studi menunjukkan bahwa tumor yang mengekspresikan antigen unik dapat memacu CTL / Tc spesifik yang dapat menghancurkan tumor. CTL biasanya mengenal peptida asat TSA ( Tumor Spesific Agent ) yang diikat MHC-I. CTL tidak selalu efisien, disamping respons CTL tidak selalu terjadi tumor ( Baratawidjaja, 2009).
2. Sel NK
Sel NK adalah limfosit sitotoksik yang mengenal sel sasaran yang tidak antigen spesifik dan juga tidak MHC ( Major Histocompability Complex ) dependen. Diduga bahwa fungsi terpenting sel NK adalah antitumor. Sel NK mengekspresikan FcR yang dapat mengikat sel tumor yang dilapisis antibody dan dapat membunuh sel sasaran melalui ADCC dan pelepasan enzyme protease, perforin, dan granzim ( Baratawidjaja, 2009 ).

3. Makrofag  
Makrofag memiliki enzyme dengan fungsi sitotoksik dan melepas mediator oksidatif seperti superoksid dan oksida nitrit. Makrofag juga melepas TNF-α yang mengawali apoptosis. Diduga makrofag mengenal sel tumor melalui IgG-R yang mengikat antigen tumor. Makrofag dapat memakan dan mencerna sel tumor dan mempresentasikannya ke sel CD4+. Jadi makrofag dapt berfungsi sebagai inisiator dan efektor imun terhadap tumor ( Baratawidjaja, 2009 ).

Penjelasan Sistem Imun Tubuh Terhadap Cacing Penyebab Tumor (Utami, 1994)
Respon Pejamu terhadap infeksi cacing pada umumnya lebih kompleks oleh karena pathogen lebih besar dan tidak bisa ditelan oleh fagosit. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel T helper2 ( Th2). Cacing merangsang subset Th2 sel Cluster of Differentiation ( CD4+) yang melepas Interleukin 4 ( IL-4 ) dan Interleukin 5 ( IL-5 ). IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzyme yang menghancurkan parasit. Eosinofil lebih efektif disbanding leukosit lain karena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik disbanding enzyme proteolitik dan Reaktif Oxygen Intermediate ( ROI ) yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Parasit yang masuk dalam lumen saluran cerna, pertama dirusak oleh IgG, IgE, dan juga mungkin dibantu oleh ADCC ( Antibody Dependent Cell Citoxity ). Sitokin yang dilepaskan sel T yang dipacu antigen spesifik merangsang proliferasi sel goblet dan sekresi bahan mucus yang menyelubungi cacing yang dirusak. Hal itu memungkinkan cacing dikeluarkan dari tubuh melalui peningkatan gerakan usus yang diinduksi mediator sel mast seperti LTD4 dan diare akibat pencegahan absorbs natrium yang tergantung glukosa oleh histamine dan prostaglandin asal sel mast. Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel mast/basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamine yang menimbulkan spasme usus temapt cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik. Myelin Basic Protein ( MBP ) dan Neurotoksin. Polymorfonuklear dan makrofag menempel melalui IgA/ IgG melepas superoksida, oksida nitrit dan enzyme yang membunuh cacing ( Baratwidjaja, 2009).
Dikemukakan 4 macam kemungkinan mekanisme respon imun;
1.      Mekanisme pertama: dalam respon imun hanya melibatkan sel Th l saja, karena sel Th2 tidak berperan dalam sekresi sitokin maka terjadi sekresi IFN gama, IL-2 dan LT yang berlebih, akibatnya terjadi inaktivasi sel B, tidak ada sekresi antibodi, aktivasi makrofag, respon DTH kuat dan supresi sel Th2; keadaan ini mengakibatkan parasit-parasit intrasel dapat terbunuh dengan efektif.
2.      Mekanisme kedua: bila terjadi respon sel Th1 yang kuat tetapi disertai dengan sedikit respon sel Th2; pengaruh IFN gama, IL-2 dan LT berkurang karena adanya pengaruh IL-4, IL-5 dan IL-6 yang diproduksi oleh sel Th2. Terjadi aktivasi sel B dan produksi antibodi, respon DTH tidak sekuat pada mekanisme pertama.
3.      Mekanisme ketiga: yaitu bila terjadi respon sel Th2 yang kuat, tetapi sedikit respon sel Th1. Terjadi sekresi IL-4, IL-5 dan IL-6 yang cukup, dapat menyebabkan sekresi antibodi lebih baik dibandingkan dengan yang terjadi pada mekanisme 1 dan 2. Produksi IgG2a, IgG 1 karena pengaruh IL-4, IgE tidak mencolok karena masih ada pengaruh IFN gama. Respon DTH mungkin masih terjadi, mungkin tidak.
4.      Mekanisme keempat:
Bila respon imun hanya melibatkan sel Th2 saja; pada mekanisme ini terjadi sekresi antibodi dalam konsentrasi yang tinggi, tidak terjadi aktivasi DTH. Karena terdapat IL-4 dalam jumlah banyak maka terjadi sekresi IgE dalam jumlah banyak; makrofag juga teraktivasi tetapi tidak sama dengan keadaan bila respon imun karena pengaruh sel Thl, adanya IL-5 menyebabkan aktivasi fungsi eosinophil; dengan demikian gambaran klinis yang timbul adalah gejala alergi.


Imunitas humoral lebih sedikit berperan daripada imunitas seluler dalam proses penghancuran sel kanker, tetapi tubuh  tetap membentuk antibodi terhadap antigen tumor.  Dua mekanisme antibodi diketahui dapat menghancurkan target kanker yaitu:
a)      Antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC)
Pada ADCC antibodi IgG spesifik berikatan terhadap  Tumor Associated Antigen (TAA) dan sel efektor yang  membawa reseptor untuk bagian Fc dari molekul Ig. Antibodi  bertindak sebagai jembatan antara efektor dan target. Antibodi yang terikat dapat merangsang pelepasan superoksida atau peroksida dari sel efektor. Sel yang dapat bertindak sebagai efektor di sini adalah limfosit null (sel K), monosit, makrofag, Lekosit PMN (polimorfonuklear) dan fragmen trombosit. Ini akan mengalami lisis optimal dalam 4 sampai 6 jam (Halim, 2001).
b)     Complement Dependent Cytotoxicity
Di sini pengikatan antibodi ke permukaan sel tumor menyebabkan rangkaian peristiwa komplemen klasik dari C' 1,4,2,3,5,6,7,8,9. Komponen C' akhir menciptakan saluran atau kebocoran pada permukaan sel tumor. IgM lebih efisien dibanding IgM dalam merangsang proses complement dependent citotoxicity (Halim, 2001).

2      Peranan sistem imun seluler sel kanker
Pada pemeriksaan patologi-anatomik tumor, sering ditemukan infiltrat sel-sel yang terdiri atas sel fagosit mononuklear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel mastosit. Meskipun pada beberapa neoplasma, infiltrasi sel mononuklear merupakan indikator untuk prognosis yang baik, pada umumnya tidak ada hubungan antara infiltrasi sel dengan prognosis. Sistem imun yang nonspesifik dapat langsung menghancurkan sel tumor tanpa sensitisasi sebelumnya. Efektor sistem imun tersebut adalah sel Tc, fagosit mononuklear, polinuklear, Sel NK. Aktivasi sel T melibatkan sel Th dan Tc. Sel Th penting pada pengerahan dan aktivasi makrofag dan sel NK (Halim, 2001).
a)      Sitotoksitas melalui sel T
Kontak langsung antara sel target dan limfosit T menyebabkan interaksi antara reseptor spesifik pada permukaan sel T dengan antigen membran sel target yang mencetuskan induksi kerusakan membran yang bersifat lethal. Peningkatan kadar cyclic Adenosine Monophosphate (cAMP) dalam sel T dapat menghambat sitotoksisitas dan efek inhibisi Prostaglandin (PG) E 1 dan PGE2 terhadap sitotoksisitas mungkin diperantarai cAMP. Mekanisme penghancuran sel tumor yang pasti masih belum diketahui walaupun pengrusakan membran sel target dengan hilangnya integritas osmotik merupakan peristiwa akhir. Pelepasan Limfotoksin (LT),  interaksi membran-membran langsung dan aktifitas T cell associated enzyme seperti phospholipase diperkirakan merupakan penyebab rusaknya membran. Interleukin (IL), interferon (IFN) dan sel T mengaktifkan pul asel Natural Killer (NK). Sel ini berbentuk large  granulocytic lymphocyte (LGL). Kebanyakan sel ini mengandung reseptor Fc dan banyak yang mengekspresikan antigen sel T. Lisis sel target dapat terjadi tanpa paparan pendahuluan dan target dapat dibunuh langsung. Sel NK menunjukkan beberapa spesifisitas yang lebih luas terhadap target tumor yang biasanya dibunuh lebih cepat dibanding sel normal. Kematian sel tumor dapat sebagai akibat paparan terhadap toxin yang terdapat dalam granula LGL, produksi superoksida atau aktivitas protease serine pada permukaan sel efektor. Sel NK diaktivasi IFN dan II-2 in vitro. Aktivitas NK dapat dirangsang secara in vitro dengan pemberian IFN, inducer atau imunostimulan seperti Bacille Calmette Guerin (BCG) dan Corynebacterium (C) parvum. Penghambatan aktivasi sel NK terlihat pada beberapa PG (PGE1, PGE2, PGA1 dan PGA2), phorbol ester, glukokortikoid dan siklofosfamid. Pada banyak kasus, agen ini langsung mempengaruhi aktivitas NK, sel supresor juga dapat mempengaruhi sel NK. Sel NC (Natural Cytotoxic) juga teridentifikasi menghancurkan sel tumor. Berbeda dengan sel NK, sel NC kelihatannya distimulasi oleh IL-3 dan relatif tahan  terhadap glukokortikoid dan siklofosfamid. Populasi LAK (lymphocyte activated killer) cell dapat tumbuh di bawah pengaruh IL-2 (Halim, 2001).

b)     Sitotoksisitas melalui makrofag
Makrofag yang teraktivasi berikatan dengan sel neoplastik lebih cepat dibanding dengan sel normal. Pengikatan khusus makrofag yang teraktivasi ke membran sel tumor adalah melalui struktur yang sensitif terhadap tripsin. Pengikatan akan bertambah kuat dan erat dalam 1 sampai 3 jam dan ikatan ini akan mematikan sel. Sekali pengikatan terjadi, mekanisme sitotoksisitas melalui makrofag berlanjut dengan transfer enzim lisosim, superoksida, protease, faktor sitotoksis yang resisten terhadap inhibitor protease dan yang menyerupai LT. Sekali teraktivasi, makrofag dapat menghasilkan PG yang dapat membatasi aktivasinya sendiri. Makrofag yang teraktivasi dapat menekan proliferasi limfosit, aktivitas NK dan produksi mediator. Aktivasi supresi dapat berhubungan dengan pelepasan PG atau produksi superoksida. Sebagai tambahan, makrofag dapat merangsang dan juga menghambat pertumbuhan sel tumor, yang bergantung dengan bagian yang rentan dari sel tumor, ratio makrofag dengan sel target dan status fungsional makrofag. Indometasin dapat menghambat
efek perangsangan makrofag pada pertumbuhan tumor ovarium yang diperkirakan prostaglandin mungkin berperan sebagai mediatornya. Macrophage derived factor dapat merangsang pertumbuhan tumor dan menekan imunitas sel T. Akumulasi makrofag dalam tumor mungkin menggambarkan interaksi makrofag kompleks dari beberapa faktor dan juga kinetik produksi monosit oleh sumsum tulang. Jadi status fungsional makrofag dalam tumor juga berperan selain jumlahnya.  Makrofag bila diaktifkan oleh limfokin, endotoksin, RNA dan IFN akan menunjukkan aktivasi berupa adanya perubahan morfologik, biokimiawi dan fungsi sel. Makrofag yang diaktifkan biasanya menjadi sitotoksik nonspesifik terhadap sel tumor in vitro. Makrofag dapat pula berfungsi sebagai efektor pada ADCC terhadap tumor. Di samping itu makrofag dapat menimbulkan efek negatif berupa supresi yang disebut makrofag supresor. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tumor itu sendiri atau akibat pengobatan (Halim, 2001).
Urutan enam langkah kematian sel kanker. Sebuah sel kanker telah bermigrasi melalui lubang-lubang dari membran dilapisi matriks dari atas ke bawah, simulasi migrasi alami sel kanker menyerang antara, dan kadang-kadang melalui, endotelium vaskular. Perhatikan paku atau pseudopodia yang merupakan ciri khas dari sel kanker menyerang (1). Sebuah buffy coat yang mengandung sel darah merah, limfosit dan makrofag ditambahkan ke bagian bawah membran. Sekelompok makrofag mengidentifikasi sel kanker sebagai benda asing dan mulai menempel pada sel kanker, yang masih memiliki paku nya (2). Tampil: Makrofag mulai menyatu dengan, dan menyuntikkan racun ke dalam, sel kanker. Sel mulai mengumpulkan dan kehilangan paku nya (3). Sebagai sel makrofag menjadi halus (4). Sel kanker muncul kental dalam tahap terakhir sebelum mati. Benjolan ini sebenarnya makrofag menyatu dalam sel kanker (5). Sel kanker kemudian kehilangan morfologi, menyusut dan mati (6) (Anonim, 2001).

5.      Spirocerca lupi
a.       Etiologi
Cacing Spirocerca lupi ditemukan didalam tumor kerongkongan, lambung dan aorta anjing serta berbagai hewan pemakan daging lainnya. Cacing dewasa berukuran 3-8 cm, berwarna merah, dan terdapat melingkar didalan tumor jaringan ikat pada dinding kerongkongan atau organ lainnya., Telur cacing berdinding tebal,oval dan dinding lateral yang hamper parallel. Ukuran telur 30 x 12µ, berisi larva stadium pertama (Anonim, 2008).

b.      Siklus Hidup
Tinja,bahan muntahan → telur → dimakan oleh kumbag tahi → larva stadium 3→ Hospes paratenik (ayam, hewan pengerat dan kadal)→ larva membentuk kista → hospes paratenik dimakan anjing →larva membuat liang pada lambung bermigrasi dalam lapisan luar arteri visceral dan aorta sampai kerongkongan dan lambung → dewasa.
Periode pre paten : 17-18 minggu (
Anonim, 2008).

c.       Gejala Klinis
Ø  Migrasi larva : perdarahan dan radang
Ø  Nafsu makan hilang
Ø  Muntah
Ø  Iritasi menyebabkan tremor
Ø  Aneurisma aorta
Ø  Rupture pembuluh darah
Ø  Osteoarthropati paru-paru sekunder (Anonim, 2008).

d.      Patogenesis
Pada pertumbuhan sel tumor umumnya timbul beberapa antigen baru serta asing bagi tubuh. Dengan adanya antigen tersebut, mesin imunologik didalam tubuh dapat terangsang, sehingga menimbulkan suatu reaksi imun yang dapat menghancurkan sel tumor tadi. Dengan lain perkataan sistem respons imun bukan saja berfungsi sebagai benteng pertahanan tubuh terhadap serangan kuman penyakit, akan tetapi juga dapat memegang peranan dalam menjaga timbulnya sel-sel yang abnormal didalam tubuh; keadaan seperti ini dikenal dengan nama "immunological surveillance" (Tjokronegoro., 2009).
Timbulnya antigen baru pada suatu tumor dapat disebabkan oleh dua proses, yaitu (1) hilangnya beberapa antigen yang spesifik daripada jaringan normal, dan (2) timbulnya beberapa antigen baru yang spesifik untuk tumor dan tidak terdapat pada sel-sel normal lainnya. Proses menghilangnya antigen tubuh yang baru itu agaknya berhubungan dengan proses diferensiasi fungsi sel tumor. Oleh karena fungsi beberapa system enzim didalam sel tadi berubah atau menghilang, maka akibatnya proses-proses biokimianya daripada sel tumor berbeda dengan sel yang normal (Tjokronegoro, 2009).
Antigen sel tumor ini selain spesifik juga dapat mengakibatkan suatu reaksi penolakan pada proses transplantasi, oleh karena itu antigen ini dikenal sebagai "Tumor Specific Transplantation Antigen" atau sering disingkat dengan TSTA. Selain antigen pada permukaan sel ini, sebenarnya ada pula antigen baru yang letaknya lebih kedalam sel, yaitu pada nukleusnya; akan tetapi ditinjau dari sudut imunologi, antigen-antigen tersebut lebih sukar untuk dikenal (Tjokronegoro, 2009).

e.       Pengobatan
diethylcarbamazine, disophenol, levamisole, albendazole and fenbendazole.
Belakangan ini pemberian 400µg/kg ivermectin and doramectin melalui subkutan lebih mujarab (
Anonim, 2008).


DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Neoplasia Akibat Infeksi Spirocerca Lupi.http://www.vet-klinik.com/Pets-Animals/Neoplasia-akibat-infeksi-Spirocerca-lupi.html. Diakses Pada 20 Maret 2013
Baratawidjaja, K.G. 2009. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Bosman, F.T.; Velde, C.J.H. 1996. Onkologi. Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press.
Halim, Binarwan., M Fauzie Sahil. 2001. Imunologi Kanker. Medan: FK USU
Kurniasih. 1993. Pengantar Patologi Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press.
Tjokronegoro., A. 2009. Imunologi Tumor. Majalah Triwulan Cermin Dunia Kedokteran. P.T. Kalbe Farma.
Utami, B.S. 1994. Respon Imun Pada Filariasis. Jakarta: Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan.

No comments:

Post a Comment