Monday, 5 May 2014

BLOK 17 UP 4



LEARNING OBJECTIVE
1.      Mengetahui tentang CEM berdasarkan etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, penanganan dan pencegahan
2.      Mengetahui penyebab hipofungsiovaria berdasarkan skenario


PEMBAHASAN
1.    CEM
CEM merupakan penyakit kelamin yang sangat menular pada kuda. Penyakit ini menyebar melalui coitus, dan fomites (peralatan, kandang, glove) yang disebabkan oleh Taylorella equigenitalis.
Secara klinis, kuda betina mengeluarkan leleran mukopurulen putih antara 2-10 hari pascakawin. Leleran dapat persisten sampai 3 minggu dan memperpendek siklus estrus. Secara eksperimental, kuda betina yang terinfeksi menunjukkan salpingitis ringan bilateral. Peradangan paling berat terjadi sekitar 14 hari setelah infeksi. Namun, tidak ada laporan yang menunjukkan erosi atau hiperplasia pada bagian glandular uterus. Diagnosis dilakukan dengan inkubasi swab uterus, cervix, dan klitoris pada media (Amies atau chocolate agar). Penyakit ini penting karena sifat alaminya dan efek merugikan terhadap fertilitas (Knottenbelt & Pascoe, 1998).
a.    Etiologi
Pada tahun 1977, wabah penyakit kelamin menular kuda terjadi di Inggris yang kemudian dinamakan contagious equine metritis (CEM). Setahun kemudian, terjadi wabah lagi di peternakan Kentucky, Amerika Serikat, setelah mengimpor dua pejantan Thoroughbred karier dari Prancis tahun 1977. Pada tahun 1982, agen etiologiknya diidentifikasi sebagai bakteri Gram-negatif, mikroaerofilik, kokobasil, dan awalnya diidentifikasi sebagai Haemophillus equiegenitalis, tetapi kemudian diubah namanya  menjadi Taylorella equigenitalis. Lebih dari 20 genotipe berbeda di antara lebih dari 200 strain T. equigenitalis yang telah diidentifikasi melalui pulsed-field gel electrophoresis (Samper, et al., 2007).
Sifat-sifat Taylorella equigenitalis:
·      Batang pendek, non motil, Gram-negatif.
·      Fastidious, pertumbuhan optimal pada agar cokelat.
·      Mikroaerofilik, membutuhkan 5-10% karbon dioksida.
·      Oksidase, katalase, dan fosfatase positif, tetapi dapat tidak bereaksi.
·      Menyebabkan CEM.
Organisme ini ditemukan di saluran reproduksi kuda jantan, kuda betina, dan anak kuda. Pada kuda jantan, T. equigenitalis berada di fossa urethra dan yang patogen pada kuda betina berada di fossa klitoris (Quinn, et al., 2002).
b.   Patogenesis
Cairan pre-ejakulat dan semen dapat terkontaminasi oleh T. equigenitalis dari fossa urehtra. Terdapat perbedaan klinis dan epidemiologis pada berbagai strain yang berbeda patogenesitasnya. Setelah introduksi ke uterus, organisme patogen bereplikasi dan menginduksi endometritis akut. Awalnya, sel mononuklear dan infiltrasi sel plasma yang dominan, yang jarang terjadi pada endometritis bakteri akut. Kemudian, neutrofil bermigrasi ke lumen uterus memproduksi eksudat mukopurulen profus. Meskipun patogen dapat persisten di uterus, perubahan endometrium akut akan mereda dalam beberapa hari (Quinn, et al., 2002).
c.    Gejala Klinis
Kuda betina yang terinfeksi pertama kali biasanya menunjukkan leleran vulva putih keabu-abuan yang sangat banyak selama 8-10 hari setelah infeksi, yang akan persisten selama 13-17 hari. Leleran secara khas menghilang tanpa penanganan.
Gejala klinis lain adalah pemendekan interval antar estrus karena endometritis akut. Kebanyakan kuda betina sembuh dengan spontan. Namun, beberapa kuda betina menjadi karier kronis bakteri, kemudian menularkan bakteri ke pejantan.
Pada kasus lain, kuda betina dapat terinfeksi oleh pejantan dan tidak menunjukkan gejala klinis, menjadi karier asimtomatis. Betina ini dapat bunting dan partus.
Organisme T. equigenitalis telah ditemukan pada plasenta betina positif dan dari genitalia anak kuda jantan dan betina, mengindikasikan bahwa organisme ini dapat menular melalui uterus dan/atau saat parturisi. Telah ada dua laporan kasus abortus pada kuda betina yang disebabkan oleh infeksi T. equigenitalis. Pada kasus ini bakteri dapat dikultur dari berbagai bagian fetus yang abortus. Namun, penularan CEM yang paling utama adalah melalui coitus atau melalui fomites yang dipakai untuk handling dan penanganan kuda yang terinfeksi (Samper, et al., 2007).
d.   Diagnosa
1)   Kultur Bakteri
Uji bakteriologis adalah uji diagnosa CEM yang paling dapat dipercaya, tetapi kekurangan utama metode ini adalah waktu kultur yang lama, menyebabkan penundaan diagnosis (Samper, et al., 2007).
Beberapa set spesimen untuk kultur harus dikoleksi dari permukaan mukosa fossa dan sinus klitoris pada tiga waktu yang berbeda sampai hari ke-7 karantina. Pintu sinus klitoris terletak pada muka dorsal klitoris, membutuhkan swab kecil. Spesimen swab kultur harus ditempatkan pada media transpor Amies dengan arang (charcoal) dan dijaga pada suhu 4O-6OC untuk transit. Spesimen harus diterima dalam waktu kurang dari 48 jam oleh laboratorium dengan sertifikat otoritas resmi (Samper, et al., 2007).
T. equigenitalis membutuhkan agar cokelat ditambah darah kuda 10% sebagai media pertumbuhan. Plat diinkubasi 37OC, selama 4-7 hari dengan atmosfer 5-10% karbon dioksida. Pertumbuhan lebih cepat pada atmosfer 90% gas hidrogen dan 10% karbon dioksida (Samper, et al., 2007).

2)   Kriteria Identifikasi Isolat
-       Koloni dapat diamati setelah 48 jam, koloni kecil, halus, abu-abu kekuningan, dan tepi koloninya rata (entire).
-       Organisme tersebut bersifat oksidase, katalase, dan fosfatase positif, tetapi dapat juga nonreaktif secara biokimiawi.
-       Slide agglutination test, menggunakan antiserum T. equigenitalis.
-       Teknik antibodi fluoresensi.
-       Secara komersial menggunakan latex agglutination kit untuk identifikasi patogen.
Teknik polymerase chain reaction (PCR) telah dikembangkan untuk mendeteksi T. equigenitalis pada spesimen. Uji serologis termasuk serum agglutination test, complement fixation test, dan uji ELISA berguna untuk konfirmasi infeksi aktif, tetapi tidak mendeteksi karier asimtomatis (Quinn, et al., 2002).

e.    Terapi dan Penanganan
Infeksi CEM yang berhubungan dengan infertilitas biasanya hanya sementara, dan tidak ada efek jangka panjang terhadap fertilitas yang telah dilaporkan.
Stadium akut dari CEM harus ditangani menggunakan prosedur seperti penanganan endometritis biasa, yaitu pencucian uterus menggunakan sejumlah besar cairan fisiologik steril, injeksi oksitosin, dan infusa uterus dengan antibiotik berdasarkan kultur dan sensitivitas. Untuk infeksi karier, standar yang digunakan oleh USDA adalah: setelah tiga set spesimen dikoleksi untuk kultur, semua debris organik dan smegma (sebum dengan bau khas yang ditemukan pada klitoris dan penis) harus dibuang secara manual dari sinus dan fossa klitoris, dan dibilas dengan larutan chlorhexidine 2% dilanjutkan dengan larutan garam fisiologis. Dilakukan selama 5 hari berturut-turut. Setelah setiap pembersihan dilakukan, fossa dan sinus klitoris diolesi dengan salep antibiotik yang efektif melawan T. equigenitalis (Samper, et al., 2007).
Kebanyakan krim dan salep antibakteri, kecuali streptomisin, seperti salep nitrofurazone dan krim Silvadene efektif melawan T. equigenitalis.
Jika setelah penanganan dilakukan kultur dan hasilnya tetap positif (persisten), kuda betina dapat diserahkan ke pemiliknya untuk pertimbangan sinusektomi klitoris (Samper, et al., 2007).

2.    Hipofumgsi ovaria
Faktor manajemen sangat erat hubungannya dengan faktor pakan/ nutrisi. Jika tubuh kekurangan nutrisi terutama untuk jangka waktu yang lama maka akan mempengaruhi fungsi reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah dan akhirnya produktifitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi hipofisis anterior sehingga produksi dan sekresi hormon FSH dan LH rendah (karena tidak cukupnya ATP), akibatnya ovarium tidak berkembang (hipofungsi). Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan gagalnya produksi dan pelepasan hormon gonadotropin, terutama FSH dan LH, akibatnya ovarium tidak aktif (Ratnawati, 2007).

DAFTAR PUSTAKA
Knottenbelt, D., and Pascoe, R. 1998. Color Atlas of Diseases and Disorders of the Horse. New York: WB Saunders
Prihatno, S.A. 2004. Infertilitas dan Sterilitas. Yogyakarta : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada
Quinn, P., Markey, B., Carter, M., Donnelly, W., & Leonard, F. (2002). Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Oxford: Blackwell Science
Ratnawati, Dian., Wulan Cahya Pratiwi dan Lukman Affandhy. S. 2007. Penanganan Gangguan Reproduksi pada Ternak. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
Samper, J., Pycock, J., & McKinnon, A. 2007. Current Therapy in Equine Reproduction. St. Louis: Saunders Elsevier

No comments:

Post a Comment