LEARNING
OBJECTIVE
1. Mengetahui
tentang CEM berdasarkan etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa,
penanganan dan pencegahan
2. Mengetahui
penyebab hipofungsiovaria berdasarkan skenario
PEMBAHASAN
1. CEM
CEM merupakan
penyakit kelamin yang sangat menular pada kuda. Penyakit ini menyebar melalui coitus, dan fomites (peralatan, kandang, glove) yang disebabkan oleh Taylorella equigenitalis.
Secara klinis,
kuda betina mengeluarkan leleran mukopurulen putih antara 2-10 hari pascakawin.
Leleran dapat persisten sampai 3 minggu dan memperpendek siklus estrus. Secara
eksperimental, kuda betina yang terinfeksi menunjukkan salpingitis ringan
bilateral. Peradangan paling berat terjadi sekitar 14 hari setelah infeksi.
Namun, tidak ada laporan yang menunjukkan erosi atau hiperplasia pada bagian
glandular uterus. Diagnosis dilakukan dengan inkubasi swab uterus, cervix, dan
klitoris pada media (Amies atau chocolate
agar). Penyakit ini penting karena sifat alaminya dan efek merugikan terhadap
fertilitas (Knottenbelt & Pascoe, 1998).
a. Etiologi
Pada tahun 1977, wabah penyakit kelamin menular kuda
terjadi di Inggris yang kemudian dinamakan contagious
equine metritis (CEM). Setahun kemudian, terjadi wabah lagi di peternakan
Kentucky, Amerika Serikat, setelah mengimpor dua pejantan Thoroughbred karier
dari Prancis tahun 1977. Pada tahun 1982, agen etiologiknya diidentifikasi
sebagai bakteri Gram-negatif, mikroaerofilik, kokobasil, dan awalnya
diidentifikasi sebagai Haemophillus
equiegenitalis, tetapi kemudian diubah namanya menjadi Taylorella
equigenitalis. Lebih dari 20 genotipe berbeda di antara lebih dari 200
strain T. equigenitalis yang telah
diidentifikasi melalui pulsed-field gel
electrophoresis (Samper, et al., 2007).
Sifat-sifat Taylorella
equigenitalis:
·
Batang
pendek, non motil, Gram-negatif.
·
Fastidious, pertumbuhan optimal pada agar cokelat.
·
Mikroaerofilik,
membutuhkan 5-10% karbon dioksida.
·
Oksidase,
katalase, dan fosfatase positif, tetapi dapat tidak bereaksi.
·
Menyebabkan
CEM.
Organisme ini ditemukan di saluran reproduksi kuda
jantan, kuda betina, dan anak kuda. Pada kuda jantan, T. equigenitalis berada di fossa urethra dan yang patogen pada kuda
betina berada di fossa klitoris (Quinn, et al., 2002).
b. Patogenesis
Cairan pre-ejakulat dan semen dapat terkontaminasi
oleh T. equigenitalis dari fossa
urehtra. Terdapat perbedaan klinis dan epidemiologis pada berbagai strain yang
berbeda patogenesitasnya. Setelah introduksi ke uterus, organisme patogen
bereplikasi dan menginduksi endometritis akut. Awalnya, sel mononuklear dan
infiltrasi sel plasma yang dominan, yang jarang terjadi pada endometritis
bakteri akut. Kemudian, neutrofil bermigrasi ke lumen uterus memproduksi
eksudat mukopurulen profus. Meskipun patogen dapat persisten di uterus,
perubahan endometrium akut akan mereda dalam beberapa hari (Quinn, et al.,
2002).
c. Gejala
Klinis
Kuda betina yang terinfeksi pertama kali biasanya
menunjukkan leleran vulva putih keabu-abuan yang sangat banyak selama 8-10 hari
setelah infeksi, yang akan persisten selama 13-17 hari. Leleran secara khas
menghilang tanpa penanganan.
Gejala klinis lain adalah pemendekan interval antar
estrus karena endometritis akut. Kebanyakan kuda betina sembuh dengan spontan.
Namun, beberapa kuda betina menjadi karier kronis bakteri, kemudian menularkan
bakteri ke pejantan.
Pada kasus lain, kuda betina dapat terinfeksi oleh
pejantan dan tidak menunjukkan gejala klinis, menjadi karier asimtomatis.
Betina ini dapat bunting dan partus.
Organisme T.
equigenitalis telah ditemukan pada plasenta betina positif dan dari
genitalia anak kuda jantan dan betina, mengindikasikan bahwa organisme ini
dapat menular melalui uterus dan/atau saat parturisi. Telah ada dua laporan
kasus abortus pada kuda betina yang disebabkan oleh infeksi T. equigenitalis. Pada kasus ini bakteri
dapat dikultur dari berbagai bagian fetus yang abortus. Namun, penularan CEM
yang paling utama adalah melalui coitus
atau melalui fomites yang dipakai
untuk handling dan penanganan kuda
yang terinfeksi (Samper, et al., 2007).
d. Diagnosa
1)
Kultur
Bakteri
Uji bakteriologis adalah uji diagnosa CEM yang paling
dapat dipercaya, tetapi kekurangan utama metode ini adalah waktu kultur yang
lama, menyebabkan penundaan diagnosis (Samper, et al., 2007).
Beberapa set spesimen untuk kultur harus dikoleksi
dari permukaan mukosa fossa dan sinus klitoris pada tiga waktu yang berbeda
sampai hari ke-7 karantina. Pintu sinus klitoris terletak pada muka dorsal
klitoris, membutuhkan swab kecil. Spesimen swab kultur harus ditempatkan pada
media transpor Amies dengan arang (charcoal)
dan dijaga pada suhu 4O-6OC untuk transit. Spesimen harus
diterima dalam waktu kurang dari 48 jam oleh laboratorium dengan sertifikat
otoritas resmi (Samper, et al., 2007).
T. equigenitalis membutuhkan agar cokelat ditambah darah kuda 10%
sebagai media pertumbuhan. Plat diinkubasi 37OC, selama 4-7 hari
dengan atmosfer 5-10% karbon dioksida. Pertumbuhan lebih cepat pada atmosfer
90% gas hidrogen dan 10% karbon dioksida (Samper, et al., 2007).
2)
Kriteria
Identifikasi Isolat
-
Koloni
dapat diamati setelah 48 jam, koloni kecil, halus, abu-abu kekuningan, dan tepi
koloninya rata (entire).
-
Organisme
tersebut bersifat oksidase, katalase, dan fosfatase positif, tetapi dapat juga
nonreaktif secara biokimiawi.
-
Slide agglutination test, menggunakan antiserum T. equigenitalis.
-
Teknik
antibodi fluoresensi.
-
Secara
komersial menggunakan latex agglutination
kit untuk identifikasi patogen.
Teknik
polymerase chain reaction (PCR) telah
dikembangkan untuk mendeteksi T.
equigenitalis pada spesimen. Uji serologis termasuk serum agglutination test, complement
fixation test, dan uji ELISA berguna untuk konfirmasi infeksi aktif, tetapi
tidak mendeteksi karier asimtomatis (Quinn, et al., 2002).
e. Terapi
dan Penanganan
Infeksi CEM yang berhubungan dengan infertilitas
biasanya hanya sementara, dan tidak ada efek jangka panjang terhadap fertilitas
yang telah dilaporkan.
Stadium akut dari CEM harus ditangani menggunakan
prosedur seperti penanganan endometritis biasa, yaitu pencucian uterus
menggunakan sejumlah besar cairan fisiologik steril, injeksi oksitosin, dan
infusa uterus dengan antibiotik berdasarkan kultur dan sensitivitas. Untuk
infeksi karier, standar yang digunakan oleh USDA adalah: setelah tiga set
spesimen dikoleksi untuk kultur, semua debris organik dan smegma (sebum dengan bau khas yang ditemukan pada klitoris dan
penis) harus dibuang secara manual dari sinus dan fossa klitoris, dan dibilas
dengan larutan chlorhexidine 2%
dilanjutkan dengan larutan garam fisiologis. Dilakukan selama 5 hari
berturut-turut. Setelah setiap pembersihan dilakukan, fossa dan sinus klitoris
diolesi dengan salep antibiotik yang efektif melawan T. equigenitalis (Samper, et al., 2007).
Kebanyakan krim dan salep antibakteri, kecuali
streptomisin, seperti salep nitrofurazone dan krim Silvadene efektif melawan T. equigenitalis.
Jika setelah penanganan dilakukan kultur dan hasilnya
tetap positif (persisten), kuda betina dapat diserahkan ke pemiliknya untuk
pertimbangan sinusektomi klitoris (Samper, et al., 2007).
2. Hipofumgsi
ovaria
Faktor manajemen sangat erat hubungannya dengan
faktor pakan/ nutrisi. Jika tubuh kekurangan nutrisi terutama untuk jangka
waktu yang lama maka akan mempengaruhi fungsi reproduksi, efisiensi reproduksi
menjadi rendah dan akhirnya produktifitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan
mempengaruhi fungsi hipofisis anterior sehingga produksi dan sekresi
hormon FSH dan LH rendah (karena tidak cukupnya ATP), akibatnya ovarium tidak
berkembang (hipofungsi). Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan gagalnya
produksi dan pelepasan hormon gonadotropin, terutama FSH dan LH,
akibatnya ovarium tidak aktif (Ratnawati, 2007).
DAFTAR
PUSTAKA
Knottenbelt, D., and Pascoe, R. 1998. Color Atlas of Diseases and Disorders of
the Horse. New York: WB Saunders
Prihatno, S.A.
2004. Infertilitas dan Sterilitas. Yogyakarta : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada
Quinn, P., Markey, B., Carter, M., Donnelly, W., & Leonard, F. (2002).
Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Oxford: Blackwell Science
Ratnawati, Dian., Wulan Cahya Pratiwi dan Lukman Affandhy. S. 2007. Penanganan Gangguan Reproduksi pada
Ternak. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
Samper, J., Pycock, J., & McKinnon, A. 2007. Current Therapy in
Equine Reproduction. St. Louis: Saunders Elsevier
No comments:
Post a Comment