Monday 5 May 2014

BLOK 17 UP 5



LEARNING OBJECTIVE
1.      Mengetahui tentang MMA : Etiologi, Patogenesis, Gejala Klinis, Diagnosa, Penanganan dan Pencegahan
2.      Mengetahui penyakit reproduksi yang sering menyerang pada babi


PEMBAHASAN
1.    MMA
MMA (Mastitis-Metritis-Agalactia)
a.    Etiologi
Mastritis, metritis dan agalactia (MAA) adalah sindrom yang kompleks dari etiologi yang terjadi pada 1-3 hari setelah Induk babi melahirkan.  Induk babi dipengaruhi oleh faktor predisposisi, yaitu kebersihan yang buruk saat melahirkan, kelebihan berat badan dan pemberian pakan sesaat sebelum melahirkan (Wiliamson,1993).
E. coli dan Klebsiella pneumoniae adalah patogen utama yang menyebabkan mastitis infeksius. Streptococcus spp. dan Staphylococcus spp. juga telah diisolasi, tetapi seringkali juga dapat diisolasi dari kelenjar yang sehat tanpa perubahan patologis. Pelepasan prolaktin dan oksitosin dapat dihentikan oleh stressor dan toksin bakteri seperti E. coli (Radostits, et al., 2006).
Faktor stress yang berupa puasa sebelum melahirkan, hingga terjadi penurunan kadar glukosa darah secara signifkan juga mendorong terjadinya agalaktia. Stress yang berupa pemberian pakan berlebihan, hingga kekenyangan, dan bentuk pakan yang terlalu halus juga merupakan faktor predisposisi agalaktia (Subronto, 2004).
Faktor keturunan juga berperan dalam kejadian agalaktia. Ada hubungan dengan sifat individual babi yang rentan stress (stress-susceptible) dan tahan stress (stress-resistant) (Subronto, 2004).
Agalaktia dapat disebabkan oleh:
1)   Aplasia kelenjar mammae
2)   Kegagalan milk let-down, yang disebabkan oleh banyak faktor:
-     Inhibisi karena gelisah: terutama pada induk yang baru pertama kali melahirkan, yang terlalu khawatir untuk rebah dan menyusui anaknya.
-     Inhibisi karena rasa sakit: terjadi terutama pada babi dengan anak babi yang giginya panjang tidak dipotong.
-     Kurangnya stimulasi putting oleh anak: hipotermia, penyakit, hipoglikemia, dan kelaparan dapat melemahkan anak babi sehingga tidak bisa menstimulir milk let-down
3)   Induk sakit
Induk yang sakit menyebabkan ketidakstabilan fisiologis sehingga tidak mampu memproduksi susu. Terutama pada penyakit yang berat, seperti metritis septika.
4)   Luka pada ambing
Kerusakan pada kelenjar dapat mencegah produksi susu.
5)   Penyakit kelenjar mammae
Terutama mastitis berat yang disebabkan oleh Klebsiella segera setelah melahirkan (Jackson, 2004).
Tiga faktor fisiologis yang menyebabkan kegagalan sistem laktasi adalah:
1)   Ketidakcukupan atau rendahnya perkembangan kelenjar mammari.
2)   Ketidakcukupan atau rendahnya sintesis susu.
3)   Ketidakcukupan adaptasi terhadap homeorhesis laktasional (Jackson, 2004).

b.   Patogenesis
 Patogenesis mastitis yang disebabkan oleh E. coli atau  Klebsiella sp. kemungkinan mirip dengan mastitis pada sapi, dimana infeksi masuk melalui teat canal dan menginvasi jaringan mammari menyebabkan mastitis. Endotoksemia terjadi dengan gejala demam, kemudian depresi, anoreksia, dan agalaktia, meskipun kelenjarnya tidak terkena. Endotoksin lipopolisakarida bekerja pada level hipotalamus dan hipofisis, menekan pelepasan prolaktin yang menyebabkan penurunan produksi susu. Endotoksin dapat juga memiliki efek inhibitori langsung pada kelenjar mammae. Terdapat prevalensi tinggi endotoksin bakteri pada darah babi yang terkena dibandingkan hewan yang sehat. Endotoksin dapat dideteksi pada darah 33% babi yang terkena mastitis coliform. Secara eksperimen, mastitis dapat terjadi pada babi melalui kontaminasi kulit puting dengan K. pneumonie baik sebelum maupun sesudah parturisi. Gejala klinis mirip seperti gejala MMA. Mastitis terjadi lebih dari 50% bagian kelenjar mammae dan terjadileukopenia. Parturisi menyebabkan terjadinya penetrasi organisme vaginal ke dalam saluran reproduksi dan absorpsi endotoksin mengurangi F2a di uterus yang menstimulasi prolaktin, sehingga dapat menyebabkan hipogalaktia dan agalaktia (Subronto, 2004).
Jika pembengkakan glandula mammae akut terjadi bersama agalaktia karena faktor noninfeksius, patogenesisnya belum jelas. Sulit untuk melihat mekanisme patofisiologis yang menjelaskan bagaimana stress, kelebihan pakan, perubahan diet, atau konstipasi dapat menghasilkan pembengkakan akut kelenjar mammae babi (Radostits, et al., 2006).

c.    Gejala Klinis
-       depresi, gelisah ketika sedang menyusui dan melemahnya kondisi anak babi
-       demam pada induk babi 39,5-41°C
-       agalaktia (tidak keluarnya air susu) muncul saat partus atau dalam waktu 72 jam postpartus
-       terkadang terlihat adanya leleran purulen dari vagina
-       terjadi peradangan pada ambing, bengkak, panas dan memerah (Taylor,2004).

d.   Diagnosa
1)   Gejala Klinis
Diagnosis biasanya berdasar pada gejala klinis. Diagnosis klinis metritis pada babi sulit tetapi umumnya terdapat cairan coklat gelap dan berbau busuk yang keluar dalam jumlah besar beberapa kali dalam sehari, bersamaan dengan terjadinya toksemia berat. Hal tersebut tidak umum pada babi (Radostits, et al., 2006).
2)   Pemeriksaan Susu
Jumlah sel somatis pada susu babi mastitis berkisar antara 2-20 × 109/ml sedangkan yang normal dibawah 2 × 109/ml. Sejumlah besar bakteria terdapat dalam susu pada 80% babi yang menderita agalaktia. Susu dikirimkan untuk pemeriksaan laboratorium dan dibuat kultur. Mastitis subklinis tidak mudah dideteksi jika selnya tidak mencapai 2 × 109/ml (Radostits, et al., 2006).
3)   Hematologi dan Biokimiawi Serum
Pada kasus mastitis infeksius berat, terjadi leukopenia dengan left shift degeneratif. Kasus sedang terdapat leukositosis dan left shift regeneratif. Perubahan biokimiawi serum yang terjadi secara alami saat kejadian penyakit telah diketahui. Level kortisol plasma biasanya meningkat, mungkin karena kombinasi stress saat parturisi dan mastitis infeksius. Rasio protein plasma – fibrinogen lebih rendah dari pada normal dan level fibrinogen biasanya meningkat pada kasus berat yang terjadi 8-16 jam setelah parturisi (Radostits, et al., 2006).
4)   Nekropsi
Tidak ada lesi yang konsisten pada ambing maupun saluran reproduksi. Jika ditemukan, yang paling penting adalah lesi kelenjar mammae. Terdapat edema ekstensif dan hemorrhagi ringan pada jaringan subkutan. Secara makroskopis, potongan melintang kelenjar mammae ditemukan lesi kemerahan fokal maupun difus dan biasanya hanya satu bagian kelenjar mammae yang terkena.
Secara histologis, mastitis bersifat fokal atau difus melihat distribusi dan intensitas lesi, bervariasi dari inflamasi kataral ringan sampai mastitis purulen dan nekrotik berat yang dapat mengenai lebih dari 50% kelenjar mammae. Tidak ada lesi yang berarti pada uterus jika dibandingkan dengan uterus normal.
Kelenjar adrenal membesar dan lebih berat dari pada normal, diperkirakan terjadi karena hiperaktifitas adrenokortikal. Pada rangkaian kasus spontan, E. coli dan Klebsiella spp. sering dapat diisolasi dari jaringan mammae. Abses pada kelenjar mammae yang ditemukan saat pemotongan babi tidak dapat dihubungkan dengan mastitis coliform, tetapi kemungkinan terjadi karena luka-luka dan infeksi sekunder (Radostits, et al., 2006).
5)   Sampel untuk Konfirmasi Diagnosis
Pengambilan sampel untuk uji bakteriologi dari kelenjar mammari dan  limfonodus regional. Serta dengan pemeriksaan histologi dari kelenjar mammari yang difiksasi dengan formalin (Radostits, et al., 2006).

e.    Terapi dan Pencegahan
Terapi
-       Pemberian air susu pengganti selekas mungkin atau dianjurkan mendapatkan air susu dari induk lain (foster-mother) yang melahirkan anak bersamaan waktunya dengan yang menderita agalaktia (Subronto, 2004)
-       Pencegahan infeksi sekunder bagi genjik.
-       Oxytocin secara IM/SC 30 – 50 IU.
-       Corticosteroid dengan interval 12-24 jam.
-       Antibakteria diberikan setelah uji sensitivitas untuk menentukan jenis antibiotika, terutama penicillin (Benzyl penicillin G, procain penicillin-G, ampicilin), cephalosporin, erythromycin, neomycin, novobiosin, oksitetrasiklin, dan streptomycin.
-       Estradiol benzoate digunakan menaikkan prolaktin dari pituitari untuk produksi susu.
-       Infusi intravagina/intrauterina digunakan untuk refleks neurohormonal pada pituitari posterior membantu pengeluaran oxytocin.
-       Feed supplement dan kandang hangat (Taylor, 2004).
Pencegahan
-       Perawatan yang baik saat babi bunting.
-       Menjaga kebersihan kandang babi.
-       Mencegah terjadinya pencemaran/kontaminasi tinja terhadap tanah.
-       Pemberian vaksin yang lengkap pada saat babi bunting.
-       Pemberian ransum pakan yang tidak berlebihan agar bobot babi tidak overweight.
-       Sanitasi yang baik disekitar kandang babi (Taylor, 2004).

2.    Penyakit Reproduksi Babi
Porcine Parpovovirus
Pada babi  dewasa umumnya asimtomatik, bila menyerang pada babi bunting sebelum70 hari, menyebabkan mummifikasi dan stillbirth. Jarang menyebabkan abortus karena tidak menyerang endometrium dan tidak ada pelepasan PGF2α. PPV kebanyakan menyebabkan kegagalan reproduksi terutama karena mummifikasi. Diagnosa dengan FAT. PPV dapat diisolasi dari semen jantan. Vaksinasi dengan vaksin killed.

Pseudorabies
Kematian fetus dapat terjadi setiap tahap kebuntingan, endometrium melepaskan PGF2α, luteolisis dan abortus. Stillbirth, mummifikasi, embryonic death dan maserasi dapat terjadi. Hati fetus mengalami foci nekrotik yang putih. Diagnosa dengan FAT atau isolasi virus.

Leptospirosis
Etiolosi : Leptospira interorgan (terutama resevoar ramona). Pada babi menyebabkan kegagalan reproduksi. Leptospirosis akut dapat menyerang babi dewasa tanpa menimbulkan gejala. Abortus dapat terjadi 1-4 minggu setelah infeksi dan mengalami autolysis. Stillbirth, mummifikasi, maserasi dan induknya lemah sering terjadi. Diagnosa berdasarkan ditemukan leptospira dari jaringan fetus isi perut dengan seroloik atau uji darkfield dari urin, atau ginjal fetus. Yang sakit dapat diberi streptomycin 25 mg/kg. Dengan dosis yang sama dapat diberikan pada babi bunting untuk mencegah abortus.



DAFTAR PUSTAKA
Jackson, P.2004. Handbook of Veterinary Obstetrics. Philadelphia: Elsevier
Radostits, O., Gay, C., Hinchcliff, K., Constable, P.2006. Veterinary Medicine 10th edition. New York: Saunders Elsevier
Subronto, Tjahajati, I. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
 Taylor, R.E., 2004. Scientic Farm Animal Production. New Jersey: Pearson Prentice Hall
Wiliamson, G. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

No comments:

Post a Comment