LEARNING
OBJECTIVE
1. Mengetahui
tentang MMA : Etiologi, Patogenesis, Gejala Klinis, Diagnosa, Penanganan dan
Pencegahan
2. Mengetahui
penyakit reproduksi yang sering menyerang pada babi
PEMBAHASAN
1. MMA
MMA
(Mastitis-Metritis-Agalactia)
a. Etiologi
Mastritis,
metritis dan agalactia
(MAA) adalah sindrom yang kompleks dari etiologi yang terjadi pada 1-3 hari
setelah Induk babi melahirkan. Induk babi dipengaruhi oleh faktor
predisposisi, yaitu kebersihan yang buruk saat melahirkan, kelebihan berat
badan dan pemberian pakan sesaat sebelum melahirkan (Wiliamson,1993).
E. coli dan Klebsiella
pneumoniae adalah patogen utama yang menyebabkan mastitis infeksius. Streptococcus spp. dan Staphylococcus spp. juga telah
diisolasi, tetapi seringkali juga dapat diisolasi dari kelenjar yang sehat
tanpa perubahan patologis. Pelepasan prolaktin dan oksitosin dapat dihentikan
oleh stressor dan toksin bakteri seperti E.
coli (Radostits, et al., 2006).
Faktor stress yang berupa puasa sebelum melahirkan,
hingga terjadi penurunan kadar glukosa darah secara signifkan juga mendorong
terjadinya agalaktia. Stress yang berupa pemberian pakan berlebihan, hingga
kekenyangan, dan bentuk pakan yang terlalu halus juga merupakan faktor
predisposisi agalaktia (Subronto, 2004).
Faktor keturunan juga berperan dalam kejadian
agalaktia. Ada hubungan dengan sifat individual babi yang rentan stress (stress-susceptible) dan tahan stress (stress-resistant) (Subronto, 2004).
Agalaktia
dapat disebabkan oleh:
1)
Aplasia
kelenjar mammae
2)
Kegagalan
milk let-down, yang disebabkan oleh
banyak faktor:
-
Inhibisi
karena gelisah: terutama pada induk yang baru pertama kali melahirkan, yang
terlalu khawatir untuk rebah dan menyusui anaknya.
-
Inhibisi
karena rasa sakit: terjadi terutama pada babi dengan anak babi yang giginya
panjang tidak dipotong.
-
Kurangnya
stimulasi putting oleh anak: hipotermia, penyakit, hipoglikemia, dan kelaparan
dapat melemahkan anak babi sehingga tidak bisa menstimulir milk let-down
3)
Induk
sakit
Induk
yang sakit menyebabkan ketidakstabilan fisiologis sehingga tidak mampu
memproduksi susu. Terutama pada penyakit yang berat, seperti metritis septika.
4)
Luka
pada ambing
Kerusakan
pada kelenjar dapat mencegah produksi susu.
5)
Penyakit
kelenjar mammae
Terutama
mastitis berat yang disebabkan oleh Klebsiella
segera setelah melahirkan (Jackson, 2004).
Tiga
faktor fisiologis yang menyebabkan kegagalan sistem laktasi adalah:
1)
Ketidakcukupan
atau rendahnya perkembangan kelenjar mammari.
2)
Ketidakcukupan
atau rendahnya sintesis susu.
3)
Ketidakcukupan
adaptasi terhadap homeorhesis laktasional (Jackson, 2004).
b. Patogenesis
Patogenesis mastitis yang disebabkan oleh E. coli atau Klebsiella
sp. kemungkinan mirip dengan mastitis pada sapi, dimana infeksi masuk melalui
teat canal dan menginvasi jaringan
mammari menyebabkan mastitis. Endotoksemia terjadi dengan gejala demam,
kemudian depresi, anoreksia, dan agalaktia, meskipun kelenjarnya tidak terkena.
Endotoksin lipopolisakarida bekerja pada level hipotalamus dan hipofisis,
menekan pelepasan prolaktin yang menyebabkan penurunan produksi susu.
Endotoksin dapat juga memiliki efek inhibitori langsung pada kelenjar mammae.
Terdapat prevalensi tinggi endotoksin bakteri pada darah babi yang terkena
dibandingkan hewan yang sehat. Endotoksin dapat dideteksi pada darah 33% babi
yang terkena mastitis coliform.
Secara eksperimen, mastitis dapat terjadi pada babi melalui kontaminasi kulit
puting dengan K. pneumonie baik
sebelum maupun sesudah parturisi. Gejala klinis mirip seperti gejala MMA.
Mastitis terjadi lebih dari 50% bagian kelenjar mammae dan terjadileukopenia.
Parturisi menyebabkan terjadinya penetrasi organisme vaginal ke dalam saluran
reproduksi dan absorpsi endotoksin mengurangi F2a di uterus yang menstimulasi prolaktin, sehingga dapat
menyebabkan hipogalaktia dan agalaktia (Subronto, 2004).
Jika pembengkakan glandula mammae akut terjadi bersama
agalaktia karena faktor noninfeksius, patogenesisnya belum jelas. Sulit untuk
melihat mekanisme patofisiologis yang menjelaskan bagaimana stress, kelebihan
pakan, perubahan diet, atau konstipasi dapat menghasilkan pembengkakan akut
kelenjar mammae babi (Radostits, et al., 2006).
c. Gejala
Klinis
-
depresi, gelisah ketika sedang menyusui
dan melemahnya kondisi anak babi
-
demam pada induk babi 39,5-41°C
-
agalaktia (tidak
keluarnya air susu) muncul saat partus atau dalam waktu 72 jam postpartus
-
terkadang terlihat
adanya leleran purulen dari vagina
-
terjadi peradangan pada ambing, bengkak,
panas dan memerah (Taylor,2004).
d. Diagnosa
1)
Gejala
Klinis
Diagnosis
biasanya berdasar pada gejala klinis. Diagnosis klinis metritis pada babi sulit
tetapi umumnya terdapat cairan coklat gelap dan berbau busuk yang keluar dalam
jumlah besar beberapa kali dalam sehari, bersamaan dengan terjadinya toksemia
berat. Hal tersebut tidak umum pada babi (Radostits, et al., 2006).
2)
Pemeriksaan
Susu
Jumlah
sel somatis pada susu babi mastitis berkisar antara 2-20 × 109/ml
sedangkan yang normal dibawah 2 × 109/ml. Sejumlah besar bakteria
terdapat dalam susu pada 80% babi yang menderita agalaktia. Susu dikirimkan
untuk pemeriksaan laboratorium dan dibuat kultur. Mastitis subklinis tidak
mudah dideteksi jika selnya tidak mencapai 2 × 109/ml (Radostits, et
al., 2006).
3)
Hematologi
dan Biokimiawi Serum
Pada
kasus mastitis infeksius berat, terjadi leukopenia dengan left shift degeneratif. Kasus sedang terdapat leukositosis dan left shift regeneratif. Perubahan
biokimiawi serum yang terjadi secara alami saat kejadian penyakit telah
diketahui. Level kortisol plasma biasanya meningkat, mungkin karena kombinasi
stress saat parturisi dan mastitis infeksius. Rasio protein plasma – fibrinogen
lebih rendah dari pada normal dan level fibrinogen biasanya meningkat pada
kasus berat yang terjadi 8-16 jam setelah parturisi (Radostits, et al., 2006).
4)
Nekropsi
Tidak ada lesi yang konsisten pada ambing maupun
saluran reproduksi. Jika ditemukan, yang paling penting adalah lesi kelenjar
mammae. Terdapat edema ekstensif dan hemorrhagi ringan pada jaringan subkutan.
Secara makroskopis, potongan melintang kelenjar mammae ditemukan lesi kemerahan
fokal maupun difus dan biasanya hanya satu bagian kelenjar mammae yang terkena.
Secara histologis, mastitis bersifat fokal atau difus
melihat distribusi dan intensitas lesi, bervariasi dari inflamasi kataral
ringan sampai mastitis purulen dan nekrotik berat yang dapat mengenai lebih
dari 50% kelenjar mammae. Tidak ada lesi yang berarti pada uterus jika
dibandingkan dengan uterus normal.
Kelenjar adrenal membesar dan lebih berat dari pada
normal, diperkirakan terjadi karena hiperaktifitas adrenokortikal. Pada
rangkaian kasus spontan, E. coli dan Klebsiella spp. sering dapat diisolasi
dari jaringan mammae. Abses pada kelenjar mammae yang ditemukan saat pemotongan
babi tidak dapat dihubungkan dengan mastitis coliform, tetapi kemungkinan terjadi karena luka-luka dan infeksi
sekunder (Radostits, et al., 2006).
5)
Sampel
untuk Konfirmasi Diagnosis
Pengambilan
sampel untuk uji bakteriologi dari kelenjar mammari dan limfonodus regional. Serta dengan pemeriksaan
histologi dari kelenjar mammari yang difiksasi dengan formalin (Radostits, et
al., 2006).
e. Terapi
dan Pencegahan
Terapi
-
Pemberian
air susu pengganti selekas mungkin atau dianjurkan mendapatkan air susu dari
induk lain (foster-mother) yang
melahirkan anak bersamaan waktunya dengan yang menderita agalaktia (Subronto,
2004)
- Pencegahan infeksi
sekunder bagi genjik.
- Oxytocin secara
IM/SC 30 – 50 IU.
-
Corticosteroid
dengan interval 12-24 jam.
-
Antibakteria
diberikan setelah uji sensitivitas untuk menentukan jenis antibiotika, terutama penicillin (Benzyl penicillin G, procain penicillin-G,
ampicilin), cephalosporin, erythromycin, neomycin, novobiosin, oksitetrasiklin,
dan streptomycin.
-
Estradiol
benzoate digunakan menaikkan prolaktin dari pituitari untuk produksi susu.
-
Infusi
intravagina/intrauterina digunakan untuk refleks neurohormonal pada pituitari
posterior membantu pengeluaran oxytocin.
-
Feed supplement dan kandang hangat (Taylor, 2004).
Pencegahan
-
Perawatan yang baik saat
babi bunting.
-
Menjaga kebersihan kandang
babi.
-
Mencegah terjadinya
pencemaran/kontaminasi tinja terhadap tanah.
-
Pemberian vaksin yang
lengkap pada saat babi bunting.
-
Pemberian ransum pakan yang
tidak berlebihan agar bobot babi tidak overweight.
-
Sanitasi yang baik disekitar
kandang babi (Taylor, 2004).
2. Penyakit
Reproduksi Babi
Porcine
Parpovovirus
Pada babi dewasa umumnya asimtomatik, bila menyerang
pada babi bunting sebelum70 hari, menyebabkan mummifikasi dan stillbirth.
Jarang menyebabkan abortus karena tidak menyerang endometrium dan tidak ada
pelepasan PGF2α. PPV kebanyakan menyebabkan kegagalan reproduksi terutama
karena mummifikasi. Diagnosa dengan FAT. PPV dapat diisolasi dari semen jantan.
Vaksinasi dengan vaksin killed.
Pseudorabies
Kematian fetus dapat terjadi setiap
tahap kebuntingan, endometrium melepaskan PGF2α, luteolisis dan abortus.
Stillbirth, mummifikasi, embryonic death dan maserasi dapat terjadi. Hati fetus
mengalami foci nekrotik yang putih. Diagnosa dengan FAT atau isolasi virus.
Leptospirosis
Etiolosi : Leptospira interorgan
(terutama resevoar ramona). Pada babi menyebabkan kegagalan reproduksi.
Leptospirosis akut dapat menyerang babi dewasa tanpa menimbulkan gejala.
Abortus dapat terjadi 1-4 minggu setelah infeksi dan mengalami autolysis.
Stillbirth, mummifikasi, maserasi dan induknya lemah sering terjadi. Diagnosa
berdasarkan ditemukan leptospira dari jaringan fetus isi perut dengan seroloik
atau uji darkfield dari urin, atau ginjal fetus. Yang sakit dapat diberi
streptomycin 25 mg/kg. Dengan dosis yang sama dapat diberikan pada babi bunting
untuk mencegah abortus.
DAFTAR
PUSTAKA
Jackson, P.2004. Handbook of Veterinary Obstetrics. Philadelphia:
Elsevier
Radostits, O., Gay, C., Hinchcliff, K., Constable, P.2006. Veterinary
Medicine 10th edition. New York: Saunders Elsevier
Subronto, Tjahajati, I. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Taylor, R.E., 2004. Scientic
Farm Animal Production. New Jersey: Pearson Prentice Hall
Wiliamson,
G. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah
Tropis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
No comments:
Post a Comment