Wednesday 1 October 2014

BLOK 19 UP 6


LEARNING OBJECTIVE
Jelaskan tentang intususepsi pada hewan kesayangan meliputi etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, terapi dan penanganan!

PEMBAHASAN
1.      Etiologi
Intususepsi adalah suatu kondisi dimana salah satu segmen usus invaginasi ke dalam lumen dari segmen usus lain yang berdekatan. Paling sering intususepsi berhubungan dengan beberapa masalah yang menyebabkan peradangan usus (enteritis). Penyebab umum enteritis adalah parasit usus (cacing tambang, whipworms, dan cacing gelang), protozoa (Giardia), infeksi bakteri (Salmonella) atau virus (distemper dan parvovirus), benda asing usus (tulang, mainan plastik, dsb), perubahan pola makan tiba-tiba, massa usus (tumor) dan setiap prosedur pembedahan dilakukan pada usus. Peningkatan motilitas dalam segmen usus (hipermotilitas) yang berdekatan dengan segmen yang memiliki kekurangan motilitas (ileus) dapat menyebabkan intususepsi.
Intususepsi dapat terjadi pada setiap lokasi di saluran pencernaan dari lambung ke usus besar. Paling sering segmen usus yang terlibat adalah jejunum (di tengah usus kecil) atau persimpangan ileocecocolic (dimana usus kecil bergabung dengan usus besar). Umumnya intususeptum adalah bagian yang lebih proksimal dari usus (yaitu lebih dekat ke mulut) yang menjadi segmen intususepiens (lebih dekat ke anus) lebih distal. Pola ini mengikuti arah gerakan peristaltik normal (Nelson, 2006 ; Tobias, 2010).
Intususepsi lebih sering terjadi pada pada anjing dibandingkan pada kucing. Biasanya intususepsi menyerang pada anjing muda (umur kurang dari 1 tahun) karena pada usia muda sangat rentan terserang infeksi baik virus (parvo dan distemper), parasit (cacingan) maupun infeksi bakterial yang menyerang saluran gastrointestinal. Selain itu pada usia muda, sistem pencernaan belum sepenuh bekerja secara optimal sehingga mudah terkena intusepsi. Ras anjing yang sering terkena penyakit ini German Shepherd, karena anjing tersebut memiliki ligamen gastro-limpa yang lemah dibandingkan dengan ras lain. Kelemahan ini membuat usus dapat memutar pada porosnya hingga 90° atau 180°. Selain itu aktivitas bermain setelah makan akan mendukung terjadinya rotasi yang kemudian dapat berlanjut menjadi itususepsi (Tobias, 2010).
2.      Patogenesis
Enteritis ataupun obstruksi akibat penelanan benda asing mengakibatkan terjadinya hipermotilitas disertai menurunnya integritas jaringan usus. Hal tersebut dapat meningkatkan gerakan peristaltik yang dapat dibarengai oleh adanya gerakan anti peristaltik yang arahnya berlawanan pada segmen usus selanjutnya. Ketika kedua gerakan terjadi di segmen yang berdekatan maka segmen proksimal akan membentuk invaginasi ke dalam lumen segmen usus yang lebih distal. Maka terbentuklah intususepsi yang terdiri atas segmen proksimal sebagai intususeptum dan segmen distal sebagai intususipien. Terbentuknya intususepsi akan mengakibatkan terjadinya obstruksi parsial segmen usus. Obstruksi ini dapat menyebabkan vasa darah pada submukosa dan mesenterium kolaps. Selain itu terjadi juga peningkatan tekanan intraluminal yang dapat membuat dinding usus edematous,  sel-sel interstinal juga dapat mengalami ischemia akibat ketidaklancaran sirkulasi darah pada usus (kongesti). Bila terus menerus terjadi, akan menyebabkan peningkatan turgiditas yang lama kelamaan akan terjadi ekstravasasi darah ke lumen usus maupun keluar dari serosa menuju peritonium. Hal tersebut dapat memacu terjadinya peritonitis dan juga nekrosis pada bagian yang mengalami intususepsi (Fossum, 2007).
3.      Gejala Klinis
Manifestasi penyakit mulai tampak dalam waktu 3-24 jam setelah terjadi intususepsi. Gejala-gejala sebagai tanda-tanda obstruksi usus yaitu nyeri perut, muntah dan perdarahan. Nyeri perut bersifat serangan setiap 15-30 menit, lamanya 1-2 menit. Biasanya nyeri disusul oleh muntah, gejala muntah lebih sering pada invaginasi usus halus bagian atas jejunum dan ileumdaripada ileo-colica. Setelah serangan kolik yang petama, tinja masih normal, kemudian disusul oleh defekasi darah bercampur lendir, perdarahan terjadi dalam waktu 12 jam. Darah lendir berwarna segar pada awal penyakit, kemudian berangsur-angsur bercampur jaringan nekrosis, disebut jelly stool oleh karena terjadi kerusakan jaringan dan pembuluh darah. Gejala klinis lainnya distensi abdomen, demam, dehidrasi dan lethargy (Tilley, 2000).
4.      Diagnosa
Diagnosa dalam peneguhan penyakit dapat dilakukan dengan melakukan anamnesa mengenai riwayat penyakit intestinal, riwayat operasi, dan gejala klinis yang timbul. Selain itu perhatikan juga sinyalemen khususnya menyangkut usia dan ras. Selanjutnya melalui pemeriksaan fisik dengan palpasi abdominal apakah disertai rasa sakit dan teraba adanya bentukan seperti sosis yang merupakan gejala menciri dari intususepsi. Endoskopi akan terlihat invaginasi dari lumen intususipien. Pemeriksaan laboratoris bersifat pendukung, terjadi leukositosis akibat stres, kenaikan PCV, dan anemia. Radiografi juga dapat membantu dalam mendiagnosa dengan menggunakan media kontras, terjadi daerah radiopaque akibat akumulasi media kontras pada lumen intususeptum dan intususipien. Pada pemeriksaan secara USG dapat terlihat bentukan cincin hiperekogenik dan hipoekogenik akibat akumulasi cairan pada proksimal intususepsi (Fossum, 2007).
 
5.      Penanganan
Operasi untuk menangani Intususepsi dilaksanakan dengan cara laparotomi, ada dua tindakan yang dapat dilakukan.
   Retraksi intususepsi, menarik bagian usus yang mengalami intususepsi (untuk intususepsi yang belum menyebabkan kematian dan adesi jaringan usus) lalu lakukan enteroplikasi.
   Enterektomi untuk bagian usus yang sudah mengalami adesi dan nekrosis akibat intususepsi, ditandai dengan penarikan yang sulit, pembuluh darah mengalami thrombosis, dinding usus diragukan mengalami kebocoran, dan adanya masa adesi maka dilakukan reseksi dan anastomosis (Fossum, 2007).
Enterektomi
Enterektomi merupakan operasi pemotongan bagian usus karena kerusakan dan penyakit usus. Enterektomi dilakukan apabila terjadi gangguan pada usus akibat neoplasia, intususepsi, dan infeksi yang disebabkan oleh bakterial, fungal, dan lain-lain (Fossum, 2007).
a.      Persiapan Operasi
1)   Ruang bedah
2)   Alat-alat
Sebelum peralatan disterilkan, semua peralatan harus bebas dari noda pus, darah, feses, dan lemak atau minyak. Peralatan yang telah steril dikemas dalam kemasan standar atau khusus. Paket harus disimpan dalam cara yang tepat setelah sterilisasi dan dibungkus kemasan yang baik.
3)   Persiapan Operator
4)   Persiapan hewan
Hewan yang akan dioperasi harus dicukur pada area operasi, sebelum dicukur kulit dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan kotoran, lemak dan bakteri yang menetap, kemudian dicukur searah rebah rambut, dibilas dengan air dan dikeringkan menggunakan handuk (Wind, 1987).
b.      Operasi
1)   Pramedikasi dan Anestesi
Premedikasi yang digunakan pada operasi ini adalah Atropine Sulfat 0,025% dengan dosis 0,04 mg/kg berat badan secara subkutan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya muntah, hipersalivasi dan sebagai sedatif. Setelah sepuluh menit dilanjutkan dengan pemberian anastesi umum, diberikan Ketamin 2% dosis 2 mg/kg berat badan, Xylazin 10% dosis 10-15 mg/kg berat badan yang dikombinasikan dalam satu spuit secara intra muskulus.
Kombinasi obat anastesi dilakukan untuk mendapatkan anastesi yang sempurna, dimana kedua obat ini mempunyai efek kerja yang antagonis atau berlawanan, sehingga efek buruk yang ditimbulkan berkurang.
Ketamin mempunyai sifat analgesik dan kataleptik dengan kerja singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem viceral. Tidak menyebabkan relaksasi otot skelet, bahkan kadang-kadang tonusnya meninggi. Ketamin memiliki kekurangan yaitu sangat lemah sifat analgesik pada visceral karena itu tidak dapat diberikan secara tunggal untuk prosedur operasi.
Sedangkan xylazin mempunyai efek sedasi, analgesi,anastesi dan relaksasi otot pada dosis tertentu. Xylazin mempunyai efek terhadap sistem sirkulasi, penapasan dan penurunan suhu tubuh. Selain itu dapat menyebabkan bradiaritmia, serta diikuti oleh hipotensi yang berlangsung lama.
Setelah hewan benar-benar teranastesi baru dilakukan penyayatan pada linea alba daerah abdomen dengan posisi dorso recumbency dari mulai kulit sampai menembus lapisan peritonium. Pada saat penyayatan lapisan peritonium hendaknya dibantu dengan jari tangan untuk menghindari tersayat atau tergunting organ visceral. Selama berlangsung stadium anastesi, cardiolog memonitor frekuensi denyut jantung dan pernafasan setiap 5 menit sekali sampai pembedahan selesai (Fossum, 2007 : Tilley, 2000).
2)   Teknik Operasi
Setelah pasien teranastesi, pasien diletakkan di atas meja operasi pada posisi dorsal recumbency, kemudian daerah yang akan diinsisi didesinfeksi dengan alkohol 70% dan Iodium tincture 3%, pada daerah operasi dipasang dukuntuk mencegah terjadinya kontaminasi.
Kulit diinsisi pada linea median dari umbilicus ke caudal sepanjang kurang lebih 5-6 cm dengan menggunakan scalpel. Preparasi tumpul dilakukan untuk mendapatkan linea alba, kemudian bagian kanan dan kiri linea alba dijepit dengan allis forcep, kemudian dengan ujung gunting atau scalpel dibuat irisan kecil pada linea alba. Irisan diperpanjang dengan menggunakan gunting lurus (sebagai pemandu, jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri diletakkan di bawah linea alba agar organ dalam tidak tergunting).
Kemudian ususdikeluarkan, bagian kiri dan kanan dari ususyang akan disayat diikat dengan kain kasa kemudian kain kasa tersebut diklem. Dibuat sayatan pada permukaan usus dan benda asing dikeluarkan usahakan agar usus tetap dalam keadaan basah dengan cara membilas dengan NaCl Fisiologis.
Prosedurenterektomi/anastomosis adalahsebagaiberikut. Klembagiankirikananusus yang akandipotong, untukmenghindaribergeraknyaususpadadaerah yang akandipotong, lalupotongdengan Doyen Forceps ataujariasisten operator.Ligasiarteri yang mensuplaidaerah yang akandipotongdenganligasidobel, pastikanarteri yang diligasibukanarteri yang mencabangidaerah lain yang tidakikutdipotong. Tipe jahitan tergantung pada lokasi intususepsi. Pada kasus ileo-colic dilakukan end-to-side anastomosis, pada ileo-ileal dapat dilakukan end-to-end, dan pada colo-colic dilakukan end-to-end dengan colostomy proximal menggunakan benang catgut chromic pola jahitan sederhana tunggal.
Kemudian dilakukan pengujian kebocoran dan kebuntuan usus, dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya menyuntikan larutan NaCl Fisiologis kedalam lumen sambungan usus, bila larutan tidak keluar maka sambungan sudah baik. Menekan ditempat persambungan/jahitan, maka akan terasa usus buntu atau tidak.Jika sambungan usus tersebut buntu maka dapat dibuat irisan sepanjang 1 cm, kira-kira 3 cm dari persambungan, lewat irisan tadi dimasukan hemostatik forseps untuk membuka persambungan yang buntu tersebut.
Setelah dipastikan tidak bocor, ususdimasukkan kembali ke rongga abdomen, kemudian peritoneum dijahit dengan menggunakan benang cutgat kromik dengan pola  simple interrupted, musculus dan fascia dijahit dengan benang catgut plainpola simple continous dan kulit dijahit dengan benang silk pola simple interrupted(Tilley, 2000).
                 
c.       Pasca Operasi
Setelah operasi selesai, daerah incisi dibersihkan dan diolesi dengan iodium tincture 3%, ke dalam daerah bekas operasi disemprotkan penisilin oil, kemudian pasien diberi penisilin G dengan dosis 4000 – 10.000 IU/kg berat badan secara IM dan Vitamin B kompleks secara intra muscular. Antibiotik dan supportif diberikan selama tiga hari berturut-turut. Pasien dimasukkan ke dalam kandang yang bersih, kering dan terang. Selama masa perawatan diberikan makanan yang mudah dicerna, luka operasi dijaga kebersihannya, jahitan dibuka setelah luka operasi kering dan pada bekas operasi dioles Iodium tincture 3% (Wind, 1987).

Sumber Informasi (Daftar Pustaka)
Fossum, T. W., Hedlund C. S., Hulse D. A., Jhonson A. L., Seim H. B., Willard M. D., and Carroll G. L. 2007.Small Animal Surgery 3rd edition. Philadelphia : Elsevier Science company
Nelson, R. W. and Couto C. G. 2002.Small Animal Internal Medicine. New York : Mosby
Tilley, L.P. and Smith F.W.K. 2000. The 5 Minute Veterinary Consult Canine and Feline. Iowa : Lippincott Willians and Wilkins
Tobias, K. M. 2010. Manual of Animal Soft Tissue Surgery.London :Willey Blackwell
Wind G.G. and Rich N.M. 1987. Principles of Surgical Technique. The Art of Surgery2nd edition. Munich : Baltimore

No comments:

Post a Comment