LEARNING
OBJECTIVE
Jelaskan tentang intususepsi pada hewan
kesayangan meliputi etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, terapi dan
penanganan!
PEMBAHASAN
1. Etiologi
Intususepsi
adalah suatu kondisi dimana salah satu segmen usus invaginasi ke dalam lumen
dari segmen usus lain yang berdekatan. Paling sering intususepsi berhubungan
dengan beberapa masalah yang menyebabkan peradangan usus (enteritis). Penyebab
umum enteritis adalah parasit usus (cacing tambang, whipworms, dan cacing
gelang), protozoa (Giardia), infeksi bakteri (Salmonella) atau virus (distemper
dan parvovirus), benda asing usus (tulang, mainan plastik, dsb), perubahan pola
makan tiba-tiba, massa usus (tumor) dan setiap prosedur pembedahan dilakukan
pada usus. Peningkatan motilitas dalam segmen usus (hipermotilitas) yang
berdekatan dengan segmen yang memiliki kekurangan motilitas (ileus) dapat
menyebabkan intususepsi.
Intususepsi
dapat terjadi pada setiap lokasi di saluran pencernaan dari lambung ke usus
besar. Paling sering segmen usus yang terlibat adalah jejunum (di tengah usus
kecil) atau persimpangan ileocecocolic (dimana usus kecil bergabung dengan usus
besar). Umumnya intususeptum adalah bagian yang lebih proksimal dari usus
(yaitu lebih dekat ke mulut) yang menjadi segmen intususepiens (lebih dekat ke
anus) lebih distal. Pola ini mengikuti arah gerakan peristaltik normal (Nelson,
2006 ; Tobias, 2010).
Intususepsi
lebih sering terjadi pada pada anjing dibandingkan pada kucing. Biasanya intususepsi
menyerang pada anjing muda (umur kurang dari 1 tahun) karena pada usia muda
sangat rentan terserang infeksi baik virus (parvo dan distemper), parasit
(cacingan) maupun infeksi bakterial yang menyerang saluran gastrointestinal.
Selain itu pada usia muda, sistem pencernaan belum sepenuh bekerja secara
optimal sehingga mudah terkena intusepsi. Ras anjing yang sering terkena
penyakit ini German Shepherd, karena anjing tersebut memiliki ligamen
gastro-limpa yang lemah dibandingkan dengan ras lain. Kelemahan ini membuat
usus dapat memutar pada porosnya hingga 90° atau 180°. Selain itu aktivitas
bermain setelah makan akan mendukung terjadinya rotasi yang kemudian dapat
berlanjut menjadi itususepsi (Tobias, 2010).
2. Patogenesis
Enteritis ataupun obstruksi akibat
penelanan benda asing mengakibatkan terjadinya hipermotilitas disertai
menurunnya integritas jaringan usus. Hal tersebut dapat meningkatkan gerakan
peristaltik yang dapat dibarengai oleh adanya gerakan anti peristaltik yang
arahnya berlawanan pada segmen usus selanjutnya. Ketika kedua gerakan terjadi
di segmen yang berdekatan maka segmen proksimal akan membentuk invaginasi ke
dalam lumen segmen usus yang lebih distal. Maka terbentuklah intususepsi yang
terdiri atas segmen proksimal sebagai intususeptum dan segmen distal sebagai
intususipien. Terbentuknya intususepsi akan mengakibatkan terjadinya obstruksi
parsial segmen usus. Obstruksi ini dapat menyebabkan vasa darah pada submukosa
dan mesenterium kolaps. Selain itu terjadi juga peningkatan tekanan intraluminal
yang dapat membuat dinding usus edematous, sel-sel interstinal juga dapat
mengalami ischemia akibat ketidaklancaran sirkulasi darah pada usus (kongesti).
Bila terus menerus terjadi, akan menyebabkan peningkatan turgiditas yang lama
kelamaan akan terjadi ekstravasasi darah ke lumen usus maupun keluar dari
serosa menuju peritonium. Hal tersebut dapat memacu terjadinya peritonitis dan
juga nekrosis pada bagian yang mengalami intususepsi (Fossum, 2007).
3. Gejala Klinis
Manifestasi penyakit mulai tampak dalam
waktu 3-24 jam setelah terjadi intususepsi. Gejala-gejala sebagai tanda-tanda
obstruksi usus yaitu nyeri perut, muntah dan perdarahan. Nyeri perut bersifat
serangan setiap 15-30 menit, lamanya 1-2 menit. Biasanya nyeri disusul oleh
muntah, gejala muntah lebih sering pada invaginasi usus halus bagian atas
jejunum dan ileumdaripada ileo-colica. Setelah serangan kolik yang petama,
tinja masih normal, kemudian disusul oleh defekasi darah bercampur lendir,
perdarahan terjadi dalam waktu 12 jam. Darah lendir berwarna segar pada awal
penyakit, kemudian berangsur-angsur bercampur jaringan nekrosis, disebut jelly
stool oleh karena terjadi kerusakan jaringan dan pembuluh darah. Gejala
klinis lainnya distensi abdomen, demam, dehidrasi dan lethargy (Tilley,
2000).
4. Diagnosa
Diagnosa
dalam peneguhan penyakit dapat dilakukan dengan melakukan anamnesa mengenai
riwayat penyakit intestinal, riwayat operasi, dan gejala klinis yang timbul.
Selain itu perhatikan juga sinyalemen khususnya menyangkut usia dan ras.
Selanjutnya melalui pemeriksaan fisik dengan palpasi abdominal apakah disertai
rasa sakit dan teraba adanya bentukan seperti sosis yang merupakan gejala
menciri dari intususepsi. Endoskopi akan terlihat invaginasi dari lumen
intususipien. Pemeriksaan laboratoris bersifat pendukung, terjadi leukositosis
akibat stres, kenaikan PCV, dan anemia. Radiografi juga dapat membantu dalam
mendiagnosa dengan menggunakan media kontras, terjadi daerah radiopaque akibat
akumulasi media kontras pada lumen intususeptum dan intususipien. Pada
pemeriksaan secara USG dapat terlihat bentukan cincin hiperekogenik dan
hipoekogenik akibat akumulasi cairan pada proksimal intususepsi (Fossum, 2007).
5. Penanganan
Operasi untuk menangani Intususepsi dilaksanakan dengan cara laparotomi,
ada dua tindakan yang dapat dilakukan.
Retraksi intususepsi,
menarik bagian usus yang mengalami intususepsi
(untuk intususepsi yang belum menyebabkan kematian dan adesi jaringan usus)
lalu lakukan enteroplikasi.
Enterektomi untuk bagian usus yang sudah mengalami adesi dan nekrosis akibat intususepsi,
ditandai dengan penarikan yang sulit, pembuluh darah mengalami thrombosis,
dinding usus diragukan mengalami kebocoran,
dan adanya masa adesi maka dilakukan reseksi dan anastomosis (Fossum, 2007).
Enterektomi
Enterektomi
merupakan operasi pemotongan bagian usus karena kerusakan dan penyakit usus.
Enterektomi dilakukan apabila terjadi gangguan pada usus akibat neoplasia,
intususepsi, dan infeksi yang disebabkan oleh bakterial, fungal, dan lain-lain
(Fossum, 2007).
a.
Persiapan
Operasi
1)
Ruang bedah
2)
Alat-alat
Sebelum
peralatan disterilkan, semua peralatan harus bebas dari noda pus, darah, feses,
dan lemak atau minyak. Peralatan yang telah steril dikemas dalam kemasan
standar atau khusus. Paket harus disimpan dalam cara yang tepat setelah
sterilisasi dan dibungkus kemasan yang baik.
3)
Persiapan Operator
4)
Persiapan hewan
Hewan yang akan dioperasi harus dicukur pada area
operasi, sebelum dicukur kulit dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan
sabun dan air untuk menghilangkan kotoran, lemak dan bakteri yang menetap,
kemudian dicukur searah rebah rambut, dibilas dengan air dan dikeringkan
menggunakan handuk (Wind, 1987).
b.
Operasi
1) Pramedikasi
dan Anestesi
Premedikasi yang
digunakan pada operasi ini adalah Atropine Sulfat
0,025% dengan dosis 0,04 mg/kg berat
badan secara subkutan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya muntah,
hipersalivasi dan sebagai sedatif. Setelah sepuluh menit dilanjutkan dengan
pemberian anastesi umum, diberikan Ketamin 2%
dosis 2 mg/kg berat badan,
Xylazin 10% dosis 10-15 mg/kg berat badan yang dikombinasikan dalam satu spuit
secara intra muskulus.
Kombinasi obat
anastesi dilakukan untuk mendapatkan anastesi yang sempurna, dimana kedua obat
ini mempunyai efek kerja yang antagonis atau berlawanan, sehingga efek buruk
yang ditimbulkan berkurang.
Ketamin mempunyai
sifat analgesik dan kataleptik dengan kerja singkat. Sifat
analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem
viceral. Tidak menyebabkan relaksasi otot skelet, bahkan kadang-kadang tonusnya meninggi. Ketamin memiliki kekurangan yaitu sangat lemah sifat analgesik
pada visceral karena itu tidak dapat diberikan secara tunggal untuk
prosedur operasi.
Sedangkan xylazin
mempunyai efek sedasi, analgesi,anastesi dan relaksasi otot pada dosis
tertentu. Xylazin mempunyai efek terhadap sistem sirkulasi, penapasan dan
penurunan suhu tubuh. Selain itu dapat menyebabkan bradiaritmia, serta diikuti
oleh hipotensi yang berlangsung lama.
Setelah
hewan benar-benar teranastesi baru dilakukan penyayatan pada linea alba daerah
abdomen dengan posisi dorso recumbency dari mulai kulit sampai menembus lapisan
peritonium. Pada saat penyayatan lapisan peritonium hendaknya dibantu
dengan jari tangan untuk menghindari tersayat atau tergunting organ visceral.
Selama berlangsung stadium anastesi, cardiolog memonitor frekuensi
denyut jantung dan pernafasan setiap 5 menit sekali sampai
pembedahan selesai (Fossum, 2007
: Tilley, 2000).
2) Teknik
Operasi
Setelah pasien
teranastesi, pasien diletakkan di atas meja operasi pada posisi dorsal
recumbency, kemudian daerah yang akan diinsisi didesinfeksi dengan alkohol
70% dan Iodium tincture 3%, pada daerah operasi dipasang dukuntuk mencegah terjadinya kontaminasi.
Kulit diinsisi pada linea median dari
umbilicus ke caudal sepanjang kurang lebih 5-6 cm dengan menggunakan scalpel.
Preparasi tumpul dilakukan untuk mendapatkan linea alba, kemudian bagian kanan
dan kiri linea alba dijepit dengan allis forcep, kemudian dengan ujung gunting
atau scalpel dibuat irisan kecil pada linea alba. Irisan diperpanjang dengan
menggunakan gunting lurus (sebagai pemandu, jari telunjuk dan jari tengah
tangan kiri diletakkan di bawah linea alba agar organ dalam tidak tergunting).
Kemudian
ususdikeluarkan, bagian kiri dan kanan dari ususyang akan disayat diikat dengan
kain kasa kemudian kain kasa tersebut diklem. Dibuat sayatan pada permukaan
usus dan benda asing dikeluarkan usahakan agar usus tetap dalam keadaan basah
dengan cara membilas dengan NaCl Fisiologis.
Prosedurenterektomi/anastomosis
adalahsebagaiberikut. Klembagiankirikananusus yang akandipotong,
untukmenghindaribergeraknyaususpadadaerah yang akandipotong, lalupotongdengan Doyen Forceps
ataujariasisten operator.Ligasiarteri yang mensuplaidaerah yang
akandipotongdenganligasidobel, pastikanarteri yang diligasibukanarteri yang
mencabangidaerah lain yang tidakikutdipotong.
Tipe jahitan
tergantung pada lokasi intususepsi. Pada kasus ileo-colic dilakukan end-to-side
anastomosis, pada ileo-ileal dapat dilakukan end-to-end, dan pada colo-colic
dilakukan end-to-end dengan colostomy proximal menggunakan benang catgut
chromic pola jahitan sederhana tunggal.
Kemudian dilakukan pengujian kebocoran dan kebuntuan
usus, dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya menyuntikan larutan NaCl Fisiologis kedalam lumen
sambungan usus, bila larutan tidak keluar maka sambungan sudah baik.
Menekan ditempat persambungan/jahitan, maka akan terasa usus buntu atau tidak.Jika
sambungan usus tersebut buntu maka dapat dibuat irisan sepanjang 1 cm,
kira-kira 3 cm dari persambungan, lewat irisan tadi dimasukan hemostatik
forseps untuk membuka persambungan yang buntu tersebut.
Setelah dipastikan
tidak bocor, ususdimasukkan kembali ke rongga abdomen, kemudian peritoneum dijahit
dengan menggunakan benang cutgat kromik dengan pola simple
interrupted, musculus dan fascia dijahit dengan benang catgut
plainpola simple
continous dan kulit dijahit dengan benang silk pola simple interrupted(Tilley,
2000).
c.
Pasca
Operasi
Setelah operasi selesai, daerah incisi dibersihkan dan
diolesi dengan iodium tincture 3%, ke dalam daerah bekas operasi disemprotkan
penisilin oil, kemudian pasien diberi penisilin G dengan dosis 4000 – 10.000
IU/kg berat badan secara IM dan Vitamin B kompleks secara intra muscular.
Antibiotik dan supportif diberikan selama tiga hari berturut-turut. Pasien
dimasukkan ke dalam kandang yang bersih, kering dan terang. Selama masa
perawatan diberikan makanan yang mudah dicerna, luka operasi dijaga
kebersihannya, jahitan dibuka setelah luka operasi kering dan pada bekas
operasi dioles Iodium tincture 3% (Wind, 1987).
Sumber Informasi (Daftar Pustaka)
Fossum, T. W., Hedlund
C. S., Hulse D. A., Jhonson A. L., Seim H. B., Willard M. D., and Carroll G. L.
2007.Small
Animal Surgery 3rd edition. Philadelphia : Elsevier Science company
Nelson, R. W. and Couto
C. G. 2002.Small
Animal Internal Medicine. New York : Mosby
Tilley,
L.P. and Smith F.W.K. 2000. The 5 Minute
Veterinary Consult Canine and Feline. Iowa : Lippincott Willians and
Wilkins
Tobias, K. M. 2010. Manual of Animal Soft Tissue Surgery.London :Willey Blackwell
No comments:
Post a Comment