LEARNING OBJECTIVE
1. Jelaskan penyakit udang akibat bakteri dan virus meliputi etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, terapi dan pencegahan!
PEMBAHASAN
Bakteri
a. Vibrosis
Etiologi. Merupakan bakteri gram negative, motil, bentuk batang, family Vibrionaceae, kebanyakan tidak pathogen, spesiesnya V. harveyi, V. parahaemolyticus, V. alginolyticus, V. anguillarum, V. vulnificus, dan V. Splendidus. Mortalitas mencapai 85% (Haldar,2012).
Gejala Klinis. Nekrosis saluran intestinal, anemia, petechie hemoragi otot daging, asites, anoreksia, kulit menjadi lebih gelap, tiba-tiba mati, ekor memerah, swollen, ginjal dan spleen membesar serta kulit kadang terdapat lesi (Haldar,2012).
Diagnosa. PCR, Fluorescent in situ hybridization (FISH) dengan mengidentifikasi squans cloning DNA, Ribotyping (fingerprinting), Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) yaitu teknik yang mengeksploitasi variasi dalam urutan DNA homolog dan Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) untuk mendeteksi segmen DNA (Haldar,2012).
Pengobatan-Pencegahan. Antibiotik. Pencegahannya meminimalkan factor stress, manajemen pemeliharaan (kualitas air, kepadatan, temperatur, pakan) (Haldar,2012).
Virus
1. White Spot Syndrome Virus
Etiologi. Disebabkan virus DNA, famili Nimaviridae, berbentuk silindris, berukuran 275 x 83 nm, mortalitas 100% dalam beberapa hari, udang dapat menjadi carrier, mampu bertahan dan tetap infektif diluar inang selama 4 – 7 hari, inangnya diantaranya P. Monodon, P. Japonicus, P. Chinensis, P. Indicus, P. Merguiensis, dan P. Setiferus (Crockford, 2008).
Patogenesis. Penyebaran virus terutama melalui saluran makanan, aliran air tambak dan sekitarnya (horisontal) dan secara vertikal yaitu berasal dari induk udang (kasus di hatchery). Didalam sel hospes, WSSV menginfeksi Gill epithelium, antennal gland, haematopoeitic tissue, nervous tissue, connective tissue, dan intestinal epithelial tissue . Bangkai udang terinfeksi oleh WSSV apabila dimakan oleh udang sehat dapat mengakibatkan terjadinya penularan virus (Crockford, 2008).
Gejala Klinis. Infeksi akut menyebabkan penurunan konsumsi pakan, udang terlihat pasif, udang melayang di permukaan air dan udang banyak menempel di dinding tambak. Pada kondisi parah terjadi kematian massal di dasar tambak. Cangkang bagian luar terkelupas dan berwarna kemerahan. Munculnya bercak-bercak putih di bagian carapace, badan dan bagian abdominal. Bercak-bercak putih tersebut berdiameter sekitar 0.5 mm – 2.0 mm. Kematian hingga 100% dalam 3 – 10 hari (Yanto, 2006).
Perubahan Patologi.
Makroskopis
1. Hepatopanchreas menyusut, dengan warna biru/putih
2. Bercak-bercak putih di bagian karapas, badan dan bagian abdominal. Bercak-bercak putih tersebut berdiameter sekitar 0.5 mm – 2.0 mm
3. Kulit/cangkang bagian luar terkelupas dan berwarna kemerahan
Mikroskopis
1. Sel yang terinfeksi terdapat benda inklusi intranuklear
2. Nekrosis jaringan yang luas dan disintegrasi.
3. Degenarasi sel terjadi berupa pembesaran pada berbagai jaringan meso dan ectodermal seperti pada lapisan kulit, jaringan penghubung, organ lymphoid, kelenjar antenal dan haematopitik, insang dan jaringan syaraf
4. Hiperplasia epitel pada Gill epithelium, antennal gland, haematopoeitic tissue, nervous tissue, connective tissue, dan intestinal epithelial tissue.
5. Multifocal necrosis dengan nuclear
(Yanto, 2006).
Diagnosa. Dapat dilakukan dengan teknik ELISA, histopatologi, dasblot, imunohistokimia, in-situ hybridizationatau PCR. PCR adalah reaksi berantai suatu primer dari urutan DNA (DNA sequence) dengan bantuan enzym polymerase sehingga terjadi amplifikasi DNA target secara exponensial. Pada pemeriksaan histopatologi sampel dapat disiapkan dalam awetan alkohol 70% dalam potongan kecil (0,5 cm), untuk PCR dan penggunaan formalin 10% (Lightner, 1983).
Pengambilan sampel. Udang sampel dimasukkan ke dalam ice box sebagai wadah penyimpanan sementara. Untuk sampel air laut dan tambak, pengambilan dilakukan dengan botol ukuran 1000 ml pada tambak udang dan air laut di pinggir pantai di Pulau Bengkalis. Sampel udang dicuci, dikeringkan, lalu ditimbang. Berat 46,4 gram dan diencerkan kedalam 417,6 ml air laut yang sudah steril (10-1) dan diencerkan sampai pengenceran ke 10-3. Pengenceran sampel air tambak dilakukan sama dengan pengenceran pada sampel udang. Demikian pula untuk sampel air laut. Selanjutnya dilakukan penanaman bakteri pada media TCBS yang diambil 1 ml dari pengenceran 10-2 dan 10-3 untuk masing-masing sampel pada cawan petri yang telah disiapkan dengan media TCBS. Koloni yang tumbuh direinokulasi pada media yang baru. Setiap koloni berbeda yang diperoleh direinokulasi sebanyak tiga ulangan menggunakan media TSA. Penyimpanan isolat bakteri Vibrio dilakukan pada suhu 4°C dalam refrigator dan siap untuk digunakan pada pengujian selanjutnya (Lightner and Redman, 1998).
Pengamatan yang dilakukan secara langsung diidentifikasi (secara morfologi) antara lain : pengamatan bentuk sel, warna koloni, ukuran koloni dan tipe koloni. Selain itu, uji coba biokimia juga dilakukan terhadap uji bakteri. Uji morfologi maupun uji biokimia yaitu : Pewarnaan Gram, Pertumbuhan pada Medium TSI Agar, Uji Katalase, uji Oksidase, Uji Metil Red, Isolasi DNA Vibrio, Reaksi Polimerisasi Berantai, Elektroforesis dan Pengamatan Hasil PCR, Purifikasi Gel Elektroforesis, Sekuensing dan Analisis BLAST, Analisis BLAST dilakukan dengan mengedit urutan DNA hasil sekuensing dengan menterjemahkan N menjadi basa sesuai elektroferogram (Lightner and Redman, 1998).
Metode deteksi yang cepat dan akurat yang bias digunakan adalahMultipleks PCR (MPCR). Multipleks PCR adalah suatu metode deteksi secara simultan beberapa agen penyakit secara molekular dalam suatu kit yang sama, sehingga deteksi secara cepat dan tepat dapat segera dilakukan. Dengan mengetahui jenis virus penyakit kerdil pada benih udang windu, dapat dilakukan tindakan pencegahan penebaran terhadap udang tersebut di tambak untuk menghindari peledakan penyakit kerdil ini. Selain itu, dengan mengetahui agen penyakit kerdil pada udang windu tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan vaksinasi atau pemberian probiotik (Lightner and Redman, 1998).
Secara umum yang dilakukan untuk mencegah infeksi virus tersebut adalah deteksi dini dengan PCR. Metode yang digunakanuntukmendeteksi virus adalah PCR yang merupakan suatu teknik perbanyakan molekul DNA dengan ukuran tertentu secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu. Secara ringkas, prinsip PCR dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada suhu 94-95oC, DNA mengalami denaturasi (pembelahan untai ganda menjadi untai tunggal). Waktu yang diperlukan untuk proses ini sekitar 30 detik pada suhu 95oC atau 15 detik pada suhu 97oC. Apabila DNA target mengandung banyak nukleotida G/C, suhu denaturasi dapat ditingkatkan. Denaturasi yang tidak lengkap akan menyebabkan renaturasi secara cepat, sedangkan waktu denaturasi yang terlalu lama dapat memepengaruhi kerja ensim taq polymerase. Hal ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses PCR. Umumnya sebelum proses siklus PCR dimulai sering sekali dilakukan pre denaturasi selama 3-5 menit, untuk menyakinkan bahwa molekul DNA target yang ingin dilipat gandakan jumlahnya benar-benar terdenaturasi (Lightner and Redman, 1998).
Reaksi berantai polimerase atau lebih umum dikenal sebagai PCR (kependekan dari istilah polymerase chain reaction) merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme. Teknik ini dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1983 dan ia memperoleh hadiah Nobel pada tahun 1994 berkat temuannya tersebut. Penerapan PCR banyak dilakukan di bidang biokimia dan biologi molekular karena relatif murah dan hanya memerlukan jumlah sampel yang sangat kecil. Zat yang akan dielektroforesis dimuat pada sumur (disebut well) pada sisi elektroda negatif. Apabila aliran listrik diberikan, terjadi aliran elektron dan zat objek akan bergerak ke arah sisi elektroda positif. Kecepatan pergerakan ini berbeda-beda, tergantung dari muatan dan ukuran objek. Kisi-kisi gel berfungsi sebagai pemisah. Objek berukuran lebih besar akan lebih lambat berpindah (Lightner and Redman, 1998).
Pengobatan – Pencegahan. Pengobatan tidak ada dan pencegahan meliputi penyediaan benih bebas virus, pembersihan karier di lingkungan tambak merupakan alternatif yang paling berhasil untuk program pengendalian penyakit viral, aplikasi ilmunostimulan dapat merangsang sistem kekebalan non spesifik, penjagaan kualitas lingkungan dan vaksinasi kurang bermanfaat sebab sistem respon imun pada udang yang masih sangat sederhana (Lightner, 1983).
2. Infectious Myonecrosis Virus
Etiologi. Disebabkan virus totiviridae, genom tunggal dsRNA yang tidak bersegmen dengan molekul 7560 bp. Partikel IMNV berbentuk icosahedral dengan diameter 40 nm, bercapsid isometrik dengan protein penyusun 901-asam amino. Bentuk virion dengan cryomicrograph dan rekonstruksi 3 dimensinya (Bell and ligtner, 2009).
Jaringan target utama IMNV adalah otot lurik (skeletal dan otot jantung), jaringan ikat, hemosit, dan sel-sel parenkim organ limfoid (Tang et al, 2008).
Patogenesis. Analisis filogeni IMNV telah dilakukan berdasarkan RDA-dependent dari gen RNA polimerase (RdRp), hasilnya IMNV memiliki kemiripan dengan Giardia lamblia virus (GLV) yang merupakan bagian dari famili Totiviridae. Sebagian besar anggota famili Totiviridae memiliki kekurangan dalam mentransmisikan (menyebarkan) virion melalui media ekstraseluler dalam siklus hidupnya. Kebanyakan, penyebaran melalui cara vertikal di dalam sel atau horizontal dengan hyphal anastomiasis kecuali GLV dan IMNV. Sebagai tambahan, IMNV juga merupakan satu-satunya virus dari famili Totiviridae yang diketahui menyebabkan penyakit pada inangnya (Tang et al, 2008).
Gejala Klinis. Kehilangan transparansi pada otot karena terlihat berwarna putih. Warna putih tersebut adalah nekrosis pada otot skeletal. Organ target penyakit adalah otot dan organ limfoid. Jaringan yang terinfeksi yaitu otot skeletal (abdomen), ekor, haemosit, parenchymal cells organ limfoid, sedikit menyerang otot kardiak. IMNV merupakan tipe virus sistemik dan tidak bereplikasi pada jaringan enteric seperti hepatopankreas, saluran usus dan caeca. Proses kematian udang memerlukan waktu lebih lama karena penyakit IMN bersifat kronis. Udang yang terserang penyakit IMV bisa bertahan hidup meskipun terjadi kerusakan parah (nekrosis) pada otot abdominalnya (Tang et al, 2008).
Perubahan Patologi. Pada histologi jaringan otot dapat dilihat bodi inklusi basophilic tunggal maupun berganda yang terdapat pada sitoplasma dan di dekat nukleus.Pada jaringan otot juga ditemukan gumpalan nekrosis yang multifocal.Pada organ limfoid dapat ditemukan akumulasi lymphoid organ speroids (LOS) yang merupakan hipertropi sel limfoid (Tang et al, 2008).
Makroskpis
IMN akut ditandai dengan nekrosis focal pada otot, terutama di bagian abdomen sampai ekor, nekrosis ini ditandai dengan warna kemerahan pada abdomen sampai ekor.
Mikroskopis
Udang dengan fase akut IMN myonecrosis terjadi nekrosis coagulative karakteristik otot lurik (skeletal) serat otot, sering dengan edema di antara serat otot. Pada lesi yang akut, hemosit dan serat otot meradang diganti dengan matriks fibrocytes dan serat jaringan ikat yang diselingi dengan hemosit.
Diagnosa. Dapat dilakukan dengan ELISA, histopatologi, dasblot, imunohistokimia, in-situ hybridization atau PCR. PCR adalah reaksi berantai suatu primer dari urutan DNA (DNA sequence) dengan bantuan enzym polymerase sehingga terjadi amplifikasi DNA target secara exponensial. Pada pemeriksaan histopatologi sampel dapat disiapkan dalam awetan alkohol 70% dalam potongan kecil (0,5 cm), untuk PCR dan penggunaan formalin 10% (Tang et al, 2008).
Pengobatan – Pencegahan. Antibiotik dan kemoterapi tidak dapat digunakan untuk pengobatan penyakit viral. Pencegahan meliputi penyediaan benih bebas virus, pembersihan karien di lingkungan tambak merupakan alternatif yang paling berhasil untuk program pengendalian penyakit viral, aplikasi ilmunostimulan dapat merangsang sistem kekebalan non spesifik dan penjagaan kualitas lingkungan (Tang et al, 2008).
3. Taura Syndrome
Etiologi. Disebabkan oleh Aparavirus, famili Dicistroviridae non-enveloped, icosahedral, linier ss RNA (+), kapsid protein VP1, VP2,VP3 dan replikasi di sitoplasma. Umumnya terjadi antara 14-40 hari pasca tebar di tambak, dengan kematian mencapai 95%. Apabila penyakit terjadi pada umur 30 hari pertama, infeksi berasal dari induk, apabila terjadi di atas 60 hari paska tebar, kemungkinan infeksi berasal dari media air (Lightner, 1983).
Patogenesis. Target organ utama adalah hypodermis eksoskeleton, saluran pencernaan, extremitas, jaringan ikat dan jaringan hematopoietic. Vektor pada burung camar, dan ayam. Serangga air dan produk beku udang yang terinfeksi. Penularan secara hirzontal melalui kanibalise dan air, secara vertikal melalui telur (Lightner, 1983).
Gejala Klinis. Udang terlihat hipoksia menuju permukaan. Akut yaitu tubuh merah,ekor memerah, cangkang lunak, masa transisi yaitu lesi ireguler kegelapan, mati saat moulting dan kronis yaitu tidak ada gejala yang tampak. Udang yang bertahan hidup akan ada bercak hitam (Lightner, 1983).
Perubahan Patologi. Makroskopik : Nekrosis pada epitel kutikula extremitas, Lesi multifokal melanisasi pada epitel kulitkula. Mikroskopik : Akut yaitu nekrosis multifokal pada epitel permukaan tubuh, extremitas dan saluran pencernaan. Rusaknya antenal gland, nukelus pyknotic pada sel yang terinfeksi. Transisi yaitu akumulasi hemosit menyebabkan adanya melanisasi (Lightner, 1983).
Diagnosa. Pemeriksaan histopatologi. RT-PCR dilanjutkan dengan sequencing (Lightner, 1983).
Pengobatan-Pencegahan. Pengobatan tidak ada dan pencegahan meliputi penyediaan benih bebas virus, pembersihan karier di lingkungan tambak merupakan alternatif yang paling berhasil untuk program pengendalian penyakit viral, aplikasi ilmunostimulan dapat merangsang sistem kekebalan non spesifik, penjagaan kualitas lingkungan dan vaksinasi kurang bermanfaat sebab sistem respon imun pada udang yang masih sangat sederhana (Lightner, 1983).
4. Yellow head syndrome (YHS)
Etiologi. Disebabkan oleh yellow head virus (YHV) yang termasuk golongan Roniviridae genus Okavirus dalam ordo nidovirales; YHV memiliki bentuk batang beramplop, memiliki proyeksi menyerupai duri pada permukaannya, bekapsid helik, memiliki RNA single strand. YHV menginfeksi Penaeus monodon, Litopenaeus vannamei, dan berbagai udang penaeid lainnya; Macrobrachium rosenbergii dan Macrobrachiun lancesteri menunjukkan resistensi terhadap YHV (Seibert dan Pinto, 2012).
Patogenesis. Kematian biasanya terjadi pada hari ke 3-5 pasca terlihatnya gejala klinis dengan mortalitas kumulatif hingga 100% (Seibert dan Pinto, 2012).
Gejala klinis. Sefalotorak berwarna kuning pucat, pudarnya warna pankrean dan insang; pada temuan histopatologi ditemuan nekrosis sel dengan sel bervakuola dan hipertrofi nukleus dengan badan inklusi basofilik intrasitoplasmik. Nekrosis seluler terjadi di jaringan konektif, organ limfoid dan hematopoietik, sel darah, saraf, otot abdominal, usus tengah, hepatopankreas, cor, tetapi terutama pada otot kepala, organ limfa, dan insang (Seibert dan Pinto, 2012).
Pengobatan - Pencegahan. Hingga kini belum ditemukan pengobatan yang efektif untuk penyakit ini Pencegahan dengan menjaga kualitas manajemen, air, dan kesehatan ikan agar tetap optimal (Kordi, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Bell T.A. & lightner D.V. 2009. Manual of Diagnostic Tests for Aquatic Animals. Chapter 2.2.3. — Infectious myonecrosis.
Crockford, M. 2008. White Spot Disease. Department of Fisheries c/o Department of Agriculture and Food. Perth.
Haldar, Soumya.2012. Vibrio Related Diseases in Aquaculture and Development of Rapid and Accurate Identification Methods. J.Marine .Sci Res 2012.
Kordi, M. G. H. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Lightner, D.V., Redman, R.M., 1998. Shrimp diseases and current diagnostic methods. Aquaculture 164: 201–220.
Seibert, C. H., Pinto, A. R. 2012. Challenges in Shrimp Aquaculture Due to Viral Disease: Distribution and Biology of the Five Major Penaeid Viruses and Interventions to Avoid Viral Incidence and Dispersion. Brazilian Journal of Microbiology (2012): 857-864.
Tang.K.F J, Pantoja.C.R, Lightner D.V.2008. Nuclectide sequence of a madagascar hepatopancreatic parvolikevirus (HPV) and comparison of genetic variation among geographic isolates.Dis Aquat.Organ 80:105-112.
Yanto, Hendry. 2006. Diagnosa Dan Identifikasi Penyakit Udang Asal Tambak Intensif Dan Panti Benih Di Kalimantan Barat . Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 7, No. 1, 2006: 17 - 32
No comments:
Post a Comment