LEARNING
OBJECTIVE
1. Bagaimana
manajemen pemeliharaan dan karantina pada orang utan?
2. Apa
saja penyakit yang menyerang orang utan?
PEMBAHASAN
1.
Manajemen
Pemeliharaan dan Karatina Orang Utan
Manajemen Pemeliharaan
Kesehatan
Aktivitas utama dari orangutan dalam sehari sebagian
besar adalah aktivitas makan, yaitu lebih dari 47 % sedangkan 40 % untuk istirahat,
dan 12 % untuk aktivitas menjelajah, sisanya untuk aktivitas sosial dan kegiatan
lainnya. Segera setelah mereka meninggalkan sarang tidur, dini hari, orangutan
bergerak menuju pohon pakan terdekat. Dalam sehari orangutan menjelajah 0,5 – 2
km (Russon, 2008).
Reproduksi
Matang seksual Orangutan betina sekitar umur 7 tahun
dan siap bereproduksi pada usia 14 tahun, dengan lama kehamilan rata-rata 254
hari (8 bulan, 20 hari). Setiap kelahiran hanya menghasilkan satu bayi dengan
jarak kelahiran 6-9 tahun. Orangutan jantan sudah matang secara seksual pada
umur 11 tahun dan tumbuh ke arah sempurna pada umur 15 tahun yang ditandai
dengan mulai tumbuhnya bantalan pipi yang lebar pada bagian muka (Russon,
2008).
Perilaku makan
Makanan
pokok orangutan adalah buah. Berdasarkan data yang ada, komposisi persentase
waktu makan dan jenis makanan orangutan adalah buah (60 %), daun (25 %), kulit
batang (15 %), serangga (10 %) dan lain-lain (2 %). Orangutan sangat menyukai
madu. Untuk melindungi mukanya dari serangan lebah orangutan mengambil ranting
berdaun untuk menutup mukanya. Kesimpulannya, orangutan adalah satwa tipe
pengumpul atau pencari makanan yang oportunis yaitu memakan apa saja yang dapat
diperolehnya (Suhartono dkk, 2007).
Sistem pengandangan
a.
Sistem setengah tertutup (semi closed) . Satwa ditempatkan dalam satu kandang yang setengah
terbuka. Udara dapat keluar masuk dengan bebas. Sinar mataharipun dapat masuk
ke dalam ruangan ini. Apabila cuaca buruk maka satwa dapat berlindung pada
bagian yang tertutup.
b.
Sistem terbuka dengan disediakan tempat berteduh (Open
corral with rainshed) . Pada sistem ini,
satwa ditempatkan dalam suatu daerah yang luas (minimum 2,5 acre) tanpa adanya
penghalang yang permanen. Di dalam kandang hanya dibuatkan beberapa panggung
dan tonggak kayu untuk satwa berlindung dari hujan, terik matahari dan untuk
bermain-main.
c.
Sistem terbuka setengah bebas (semi free ranging) . Pada prinsipnya sama dengan sistim terbuka tetapi
arealnya lebih luas. Makanan sepenuhnya tergantung pada manusia.
d.
Sistem terbuka setengah alam (semi natural free
ranging) . Satwa ditempatkan pada daerah yang luas
dimana makanan dari satwa sebagian didapat dari alam.
e.
Sistem pemeliharaan di alam bebas ( natural free
ranging ) . Satwa dilepaskan di alam bebas dimana
ketergantungan satwa pada manusia sama sekali tidak ada. Seluruh makanan
berasal dari alam bebas. Manusia hanya memonitor pertumbuhan populasi tersebut
dan akan mengurangi jumlahnya apabila populasinya dianggap sudah terlalu padat
(Ginting , 2006).
Karantina Orang Utan
Persiapan ruangan untuk karantina orangutan yaitu semua kandang dan peralatan yang dapat dilepas
dikeluarkan dari ruangan. Seluruh bagian ruangan (dinding – dinding , langit –
langit, lantai) , dan rak – rak kandang dibersihkan dengan alat semprot
bertekanan tinggi. Cairan yang digunakan merupakan kombinasi antara detergen
dengan sanitizer Misalnya Synthetic phenolic desinfectans. Setelah itu
ruangan tersebut disiram dengan air hangat. Kadang – kadang dapat dibersihkan
dengan pembersih yang bertekanan tinggi atau dengan pembersih uap. Setelah itu
ruangan disemprot dengan memakai detergen – phenolic desinfectans selama
10 menit atau lebih, yang tergantung pada ukuran ruangan. Setelah penyemprotan
maka seluruh permukaan ruangan akan dilapisi oleh residu cairan tersebut
(Ginting , 2006).
Karantina bertujuan untuk melindungi orangutan dari masuknya berbagai
jenis penyakit, untuk melindungi pengelola dari masuknya berbagi jenis penyakit
(agents zoonotic), meminimalisasi penyebaran penyakit diantara satwa di
dalam karantina dan mengoptimalisasi kesehatan serta kondisi orangutan. Selanjutnya dilakukan general
check up secara menyeluruh terhadap kondisi orangutan tersebut, yaitu
dengan cara dibius, dan disaat orangutan tidak sadar dilakukan :
a.
dimandikan
sampai bersih atau hanya di lap saja.
b.
penimbangan.
c.
pengidentifikasian
umur.
d.
pemeriksaan
apakah terdapat cacat atau luka.
e.
pengambilan
sample darah dan tinja.
f.
pemeriksaan
kulit untuk melihat ektoparasit, apakah ada kutu atau tidak
g.
untuk individu
betina diperiksa apakah sedang bunting, baru melahirkan atau sedang laktasi.
h.
pemberian obat dan
test terhadap penyakit, yaitu pemberian obat untuk membunuh cacing - diberikan obat untuk menambah zat besi - diberi antibiotik dalam takaran propilaksis dan dilakukan test tuberculosa.
Langkah berikutnya adalah pemberian identitas dengan
membuat tato dibagian paha. Kemudian orangutan dimasukkan ke dalam kandang
individu untuk dilakukan pemeriksaan harian yang rutin dengan tanpa ada kontak
dengan individu lain untuk memastikan bahwa individu tersebut memang sudah
bersih dari segala macam penyakit. Sebelum orangutan
dilepas liarkan terlebih dahulu mengalami
proses pembelajaran. Di karantina orangutan ini akan belajar secara bertahap,
yang dimulai dari tahap rendah sampai benar-benar mampu hidup di habitat
alaminya bersama dengan orangutan liar dan fauna lain (Wahyudi
dkk, 2008).
2.
Penyakit
pada Orang Utan
a. Mycobacterium
tuberculosis
Etiologi
. Mycobacterium tuberculosis,
tergolong actinomycetalse, familia
mycobacteriaceace, genus Mycobacterium, tahan asam, berukuran antara 0,2-0,6 x 1,5-4 mikron, batang, non spora, non motil, dinding selnya
berlapis lilin. Lapisan lilin yang membuat bakeri tersebut lebih tahan hidup di
lingkungan alam dibandingkan dengan bakteri yang tidak membentuk spora.
Misalnya bakteri yang berada di dalam eksudat, tinja dan di dalam air, di dalam
jaringan paru-paru yang sudah membusukpun bakteri masih bisa bertahan
berbulan-bulan dan tidak mati oleh sinar matahari.
Patogenesis
. Infeksi
primer terjadi ketika droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga
dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, berjalan sehinga sampai
di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat bakteri berhasil
berkembang biak dengan cara pembelahan diri di pulmo, yang mengakibatkan peradangan
di dalam paru, saluran linfe akan membawa bakteri tersebut ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini
disebut sebagai kompleks primer. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung
kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada
umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan
bakteri. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai bakteri
persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
mengehentikan perkembangan bakteri, akibatnya dalam beberapa bulan, yang
bersangkutan akan menjadi penderita tuberculosis .
Gejala klinis
. Dyspnoe,
batuk, badan tampak kurus kering dan lemah.
Diagnosa
. Penentuan
penyakit tuberculosis dapat berupa diagnosa klinis dan dilanjutkan
dengan pemeriksaan laboratorium, yaitu berdasarkan ditemukannnya bakteri tuberculosis
dalam sekreta dan eskreta yang diperkuat dengan membuat kultur biakan
Leuwenstein, Petragnani atau gliserin-kentang dalam suasana ada udara. M. tuberculosis tumbuh dengn baik pada
pH 7,4-8,0 dan memerlukan inkubasi dalam biakan khusus selama 4-8 minggu.
Uji tuberkulin
merupakan uji yang dapat dilakukan untuk menguji tuberculosis. Uji
tuberkulin dalam kulit (intrademal) dapat dilakukan sebagai berikut: 0,1
tuberkulin disuntikan ke dalam kulit tangan menggunakan alat suntik
Rautmann. Penilaian tuberkulinasi ini
dibaca setelah 48-72 jam pasca suntikan. Penebalan yang terjadi pada kulit setelah dilakukan
suntikan, yang dapat dikur dengan kutimeter dinyatakan positif. Uji yang dapat
dilakuakan selain uji intradermal, yaitu dengan cara uji tuberkulin di
bawah kulit (subkutan) atau ke dalam mata (ophtalmik).
Pengobatan-Pencegahan
. Obat yang digunakan
untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :
· Obat primer : INH (isoniazid),
Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.
Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.
Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.
· Obat sekunder : Exionamid,
Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.
· Pemberian
vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin).
Vaksin ini cukup aman dan dapat mencegah 80% - 100% penyakit tuberculosis. Revaksinasi dianjurkan
dilakukan dalam interval 5, 10 dan 15 tahun (Jawetz. 2005).
b.
Hepatitis B
Etiologi .
Hepatitis B Virus (HBV) adalah
anggota dari famili hepadnaviridae DNA virus highly species-specific beramplop
yang bereplikasi dari reverse transkripsi RNA virus pregenome.
Patogenesis
. Setelah
menginfeksi inangnya dan memasuki peredaran darah, virus akan menginfeksi
hepatosit kemudian antigen viral akan berada pada permukaan sel inang. Sel T
sitotoksik akan memediasi sistem pertahanan tubuh untuk melawan masuknya
antigen viral berupa adanya inflamasi dan nekrosis. Virus ini tidak
menghasilkan efek sitopatik, sehingga diduga patogenesisvirus ini merupakan
hasil dari pertahanan tubuh bermediasi sel. Penderita dapat menjadi chronic
carrier, bila antigen permukaan virus hepatitis (HBsAg) terdeteksi lebih
dari 6 bulan. Pada penderita chronic carrier, terjadi kasus hepatocellular
carcinoma dengan prevalensi tingg. Perubahan patologi pada infeksi HBV
terlihat adanya kematian sel dengan infiltrasi sel radang. Lisis sel ini
disebabkan oleh respon kekebalan terhadap hepatosit yang terinfeksi.
Gejala klinis . Masa inkubasi pendek yaitu 4-10
hari. Kadang
tampak sehat dan tidak menunjukkan gejala klinis. Bila ada gejala klinis, tipe
lesi ringan sehinga sulit dideteksi, lesi biasanya terdapat pada membrana
mucosa dan bucal cavity dan kemungkinan terdapat vesikel dan ulserasi disekitar
bibir dan lubang hidung, serta paling sering pada lidah. Kadang juga terlihat
pada genitalia.
Diagnosa . Berdasarkan gejala klinis, dan untuk
diagnosa pasti didasarkan uji serologis, pemeriksaan
yang dianjurkan untuk diagnosis dan evaluasi infeksi Hepatitis B kronis adalah :
HBsAg, HBeAg, anti HBe dan HBV DNA. Pemeriksaan
virologi, dilakukan untuk mengukur jumlah HBV DNA serum sangat penting karena
dapat menggambarkan tingkat replikasi virus.
Pengobatan-Pencegahan . Pengobatan
yang dapat diberikan hanya bisa melalui pengobatan suportif yaitu dengan
pemberian multivitamin untuk menjaga daya tahan tubuh, dan selain itu juga
dapat diberikan
(Summers
dan Mason, 1982).
c.
Strongyloides fuelleborni
Etiologi
. Strongyloides
fuelleborni terdiri dari cacing jantan dan betina. Cacing jantan
dewasa memiilki bentuk tubuh gemuk dan panjang sekitar 0,7 mm dengan diameter
40-50 mikrometer, ujung ekor melengkung ke ventral, spikula dua buah dan
gubernaculums sebuah serta memiliki esophagus tipe rabditiform. Cacing betina meletakan
telur-telurnya pada mukosa usus, kemudian telur menjadi larva rhabditiform dan
masuk kelumen usus serta dikeluarkan bersama feses. Larva dalam feses
panjangnya rata-rata 225 x 16 mikrometer. Larva rhabditiform yang keluar
bersama feses dapat juga berkembang di dalam tanah dan menjadi dewasa dalam
bentuk bebas.
Patogenesis
. Larva
menetas di epitel mukosa dari usus kecil, melewati lumen, dan kemudian
dikeluarkan bersama feses dan mengalami pengembangan lebih lanjut dalam tanah.
Larva filariform dapat berkembang langsung di dalam tanah atau generasi lain
larva memproduksi telur berembrio dan
menjadi larva filariform. Infeksi diperoleh melalui penetrasi kulit dengan
larva filariform. Auto-infeksi dapat terjadi ketika larva berkembang menjadi
larva filariform dalam saluran usus dari individu imunosupresi.
Cacing
betina parasitik menghasilkan telur berlarva yang keluar bersama tinja → L1
→ L2 → L3 mempunyai esophagus filariform → masuk melalui
kulit → masuk kealiran darah → pulmo →merusak dindin kapiler dan berimigrasi ke trakea dan turun ke
esophagus → usus menjadi L4 dan menjadi dewasa atau cacing tertelan
melalui pakan kemudian masuk langsung kedalam usus halus tanpa bermigrasi.
Gejala klinis
. Mual
dan muntah, serta diare. Bila larva filaform dalam jumlah besar menembus kulit,
timbul kelainan kulit yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai
dengan rasa gatal yang hebat. Pada infeksi yang berat Srongyloides sp. Dapat
menyebabkan kematian.
Diagnosa
. Dari
gejala klinis, dan untuk diagnosa pasti dilakukan pemerikasaan feses. Cara
pemeriksaan feses, sampel feses diencerkan dengan larutan formalin 10% →
ditempatkan diobjek glass → diteteskan larutan eosin kira-kira 3 tetes →
ditutup cover glass → diamati dengan bantuan mikroskop untuk mengidentifikasi
jenis telur cacing yang berbentuk oval, berdinding tipis, transparan dan
berlarva.
Pengobatan-Pencegahan
. Pemberian
ivermectin, albendazole, dan thiabendazole dengan dosis 100 mg/kg BB.
Pencegahan di karantina yang dapat dilakukan yaitu melakukan pemeriksaan
berkala, yaitu general check up setiap enam bulan sekali, meliputi pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan darah. Selain itu juga diberikan multivitamin, dan pencucian
bahan pakan yang bersih (Ash
dan Orihel, 1980).
d. Balantidiasis
Etiologi . Protozoa Balantiudium
coli hidup dalam caecum dan colon
Parasit ini tidak langsung dapat menular dari hospes satu kelainnya, perlu
beberapa waktu untuk menyesuaikan diri supaya dapat bersimbiosis dengan dengan
flora yang ada dalam hospes tersebut. Jika sudah beradaptasi pada suatu hospes, protozoa akan
berubah menjadi patogen terutama pada manusia. Pada mamalia lain kecuali jenis
primata, organisme tersebut tidak menimbulkan lesi apapun, tetapi akan menjadi
patogen jia mukosa
terjadi kerusakan oleh penyebab lain (infeksi sekunder).
Patogenesis . Penularan
dengan menelan kista yang berasal dari kotoran inang yang terinfeksi; pada saat
wabah, penularan terutama melalui air yang terkontaminasi. Penularan sporadis
terjadi karena masuknya kotoran ke mulut melalui tangan atau melalui air, dan
makanan yang terkontaminasi. Trophozoit akan memperbanyak diri dengan pembelahan.
Konjugasi hanya terjadi pada pemupukan buatan, secara alamiah jarang terjadi
konjugasi. Fase cyste terjadi pada waktu inaktif dari parasit dan tidak terjadi
reproduksi secara sexual ataupun asexual. Precyste terjadi setelah keluar
melalui feses yang merupakan faktor yang penting dari epidemiologi penyakit.
Infeksi terjadi bila cyste termakan oleh hospes yang biasanya terjadi karena
kontaminasi makanan dan minuman. Balantiudium
coli biasanya mati pada pH 5,0; infeksi terjadi bila orang mengalami
kondisi yang buruk seperti malnutrisi dengan perut dalam kondisi mengandung
asam lemah.
Pengobatan-Pencegahan . Beberapa jenis obat dapat membunuh B. coli ini yaitu: Carbasone,
diiodohydroxyquin dan Tetrasiklin dapat
menghilangkan infeksi; pengobatan dengan metronidazole (Flagyl) juga efektif.
Pencegahan dilakukan dengan ditemukannya penyelidikan epidemiologis segera,
terutama penyelidikan yang menyangkut sanitasi lingkungan. (Chin, 2000).
DAFTAR
PUSTAKA
Ash, L. R. and Orihel, T. (1980). Atlas of Human Parasitology. Second ed. Chicago: American Society
of Clinical Pathologists Press.
Chin, James, 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. American Public
Health Association (APHA)
Ginting, Yosia WSB. 2006. Studi Reintroduksi Orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelii Lesson,
1827) yang Dikembangkan Di Stasiun Karantina Medan Dan Di
Stasiun Reintroduksi Jambi.
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
Jawetz. 2005. Mikrobiologi
Kedokteran. Penerbit Salemba Medika: Malang.
Russon, Anne E,
2008. Orangutan Rehabilitation and
Reintroduction. http://www.wmenews.com/supporting/1294673198AZA_Quarantine_Recomendations.pdf.
Suhartono dkk, 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017.
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan
Republik Indonesia
Summers,
J. and W.S. Mason. 1982. Replication of the genome of a hepatitis B-like virus
by reverse transcription
of an RNA intermediate. Cell 29:403-415.
Wahyudi R, Singleton I dan Saraswati Y. 2008. Medical Record In Sumatran Orangutan
Quarantine Batumbelin-Sibolangit Medan North Sumatra. Proceedings of AZWMC
2008
No comments:
Post a Comment