Tuesday 10 March 2015

BLOK 22 UP 4



LEARNING OBJECTIVE
1.    Bagaimana manajemen pemeliharaan dan karantina pada orang utan?
2.    Apa saja penyakit yang menyerang orang utan?

PEMBAHASAN
1.    Manajemen Pemeliharaan dan Karatina Orang Utan
Manajemen Pemeliharaan
Kesehatan
        Aktivitas utama dari orangutan dalam sehari sebagian besar adalah aktivitas makan, yaitu lebih dari 47 % sedangkan 40 % untuk istirahat, dan 12 % untuk aktivitas menjelajah, sisanya untuk aktivitas sosial dan kegiatan lainnya. Segera setelah mereka meninggalkan sarang tidur, dini hari, orangutan bergerak menuju pohon pakan terdekat. Dalam sehari orangutan menjelajah 0,5 – 2 km (Russon, 2008).

Reproduksi
Matang seksual Orangutan betina sekitar umur 7 tahun dan siap bereproduksi pada usia 14 tahun, dengan lama kehamilan rata-rata 254 hari (8 bulan, 20 hari). Setiap kelahiran hanya menghasilkan satu bayi dengan jarak kelahiran 6-9 tahun. Orangutan jantan sudah matang secara seksual pada umur 11 tahun dan tumbuh ke arah sempurna pada umur 15 tahun yang ditandai dengan mulai tumbuhnya bantalan pipi yang lebar pada bagian muka (Russon, 2008).

Perilaku makan
Makanan pokok orangutan adalah buah. Berdasarkan data yang ada, komposisi persentase waktu makan dan jenis makanan orangutan adalah buah (60 %), daun (25 %), kulit batang (15 %), serangga (10 %) dan lain-lain (2 %). Orangutan sangat menyukai madu. Untuk melindungi mukanya dari serangan lebah orangutan mengambil ranting berdaun untuk menutup mukanya. Kesimpulannya, orangutan adalah satwa tipe pengumpul atau pencari makanan yang oportunis yaitu memakan apa saja yang dapat diperolehnya (Suhartono dkk, 2007).

Sistem pengandangan
a.    Sistem setengah tertutup (semi closed) . Satwa ditempatkan dalam satu kandang yang setengah terbuka. Udara dapat keluar masuk dengan bebas. Sinar mataharipun dapat masuk ke dalam ruangan ini. Apabila cuaca buruk maka satwa dapat berlindung pada bagian yang tertutup.
b.   Sistem terbuka dengan disediakan tempat berteduh (Open corral with rainshed) . Pada sistem ini, satwa ditempatkan dalam suatu daerah yang luas (minimum 2,5 acre) tanpa adanya penghalang yang permanen. Di dalam kandang hanya dibuatkan beberapa panggung dan tonggak kayu untuk satwa berlindung dari hujan, terik matahari dan untuk bermain-main.
c.    Sistem terbuka setengah bebas (semi free ranging) . Pada prinsipnya sama dengan sistim terbuka tetapi arealnya lebih luas. Makanan sepenuhnya tergantung pada manusia.
d.   Sistem terbuka setengah alam (semi natural free ranging) . Satwa ditempatkan pada daerah yang luas dimana makanan dari satwa sebagian didapat dari alam.
e.    Sistem pemeliharaan di alam bebas ( natural free ranging ) . Satwa dilepaskan di alam bebas dimana ketergantungan satwa pada manusia sama sekali tidak ada. Seluruh makanan berasal dari alam bebas. Manusia hanya memonitor pertumbuhan populasi tersebut dan akan mengurangi jumlahnya apabila populasinya dianggap sudah terlalu padat (Ginting , 2006).

Karantina Orang Utan
Persiapan ruangan untuk karantina orangutan yaitu semua kandang dan peralatan yang dapat dilepas dikeluarkan dari ruangan. Seluruh bagian ruangan (dinding – dinding , langit – langit, lantai) , dan rak – rak kandang dibersihkan dengan alat semprot bertekanan tinggi. Cairan yang digunakan merupakan kombinasi antara detergen dengan sanitizer Misalnya Synthetic phenolic desinfectans. Setelah itu ruangan tersebut disiram dengan air hangat. Kadang – kadang dapat dibersihkan dengan pembersih yang bertekanan tinggi atau dengan pembersih uap. Setelah itu ruangan disemprot dengan memakai detergen – phenolic desinfectans selama 10 menit atau lebih, yang tergantung pada ukuran ruangan. Setelah penyemprotan maka seluruh permukaan ruangan akan dilapisi oleh residu cairan tersebut (Ginting , 2006).
Karantina bertujuan untuk melindungi orangutan dari masuknya berbagai jenis penyakit, untuk melindungi pengelola dari masuknya berbagi jenis penyakit (agents zoonotic), meminimalisasi penyebaran penyakit diantara satwa di dalam karantina dan mengoptimalisasi kesehatan serta kondisi orangutan. Selanjutnya dilakukan general check up secara menyeluruh terhadap kondisi orangutan tersebut, yaitu dengan cara dibius, dan disaat orangutan tidak sadar dilakukan :
a.       dimandikan sampai bersih atau hanya di lap saja.
b.      penimbangan.
c.       pengidentifikasian umur.
d.      pemeriksaan apakah terdapat cacat atau luka.
e.       pengambilan sample darah dan tinja.
f.       pemeriksaan kulit untuk melihat ektoparasit, apakah ada kutu atau tidak
g.      untuk individu betina diperiksa apakah sedang bunting, baru melahirkan atau sedang laktasi.
h.      pemberian obat dan test terhadap penyakit, yaitu pemberian obat untuk membunuh cacing - diberikan obat untuk menambah zat besi - diberi antibiotik dalam takaran propilaksis dan dilakukan test tuberculosa.

       Langkah berikutnya adalah pemberian identitas dengan membuat tato dibagian paha. Kemudian orangutan dimasukkan ke dalam kandang individu untuk dilakukan pemeriksaan harian yang rutin dengan tanpa ada kontak dengan individu lain untuk memastikan bahwa individu tersebut memang sudah bersih dari segala macam penyakit. Sebelum orangutan dilepas liarkan terlebih dahulu mengalami proses pembelajaran. Di karantina orangutan ini akan belajar secara bertahap, yang dimulai dari tahap rendah sampai benar-benar mampu hidup di habitat alaminya bersama dengan orangutan liar dan fauna lain (Wahyudi dkk, 2008).

2.    Penyakit pada Orang Utan
a.   Mycobacterium tuberculosis
Etiologi . Mycobacterium tuberculosis, tergolong actinomycetalse, familia mycobacteriaceace, genus Mycobacterium, tahan asam, berukuran antara 0,2-0,6 x 1,5-4 mikron, batang, non spora, non motil, dinding selnya berlapis lilin. Lapisan lilin yang membuat bakeri tersebut lebih tahan hidup di lingkungan alam dibandingkan dengan bakteri yang tidak membentuk spora. Misalnya bakteri yang berada di dalam eksudat, tinja dan di dalam air, di dalam jaringan paru-paru yang sudah membusukpun bakteri masih bisa bertahan berbulan-bulan dan tidak mati oleh sinar matahari.
Patogenesis . Infeksi primer terjadi ketika droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat bakteri berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di pulmo, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran linfe akan membawa bakteri tersebut ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan bakteri. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai bakteri persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan bakteri, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita tuberculosis .
Gejala klinis . Dyspnoe, batuk, badan tampak kurus kering dan lemah.
Diagnosa . Penentuan penyakit tuberculosis dapat berupa diagnosa klinis dan dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium, yaitu berdasarkan ditemukannnya bakteri tuberculosis dalam sekreta dan eskreta yang diperkuat dengan membuat kultur biakan Leuwenstein, Petragnani atau gliserin-kentang dalam suasana ada udara. M. tuberculosis tumbuh dengn baik pada pH 7,4-8,0 dan memerlukan inkubasi dalam biakan khusus selama 4-8 minggu.
        Uji tuberkulin merupakan uji yang dapat dilakukan untuk menguji tuberculosis. Uji tuberkulin dalam kulit (intrademal) dapat dilakukan sebagai berikut: 0,1 tuberkulin disuntikan ke dalam kulit tangan menggunakan alat suntik Rautmann.  Penilaian tuberkulinasi ini dibaca setelah 48-72 jam pasca suntikan. Penebalan yang  terjadi pada kulit setelah dilakukan suntikan, yang dapat dikur dengan kutimeter dinyatakan positif. Uji yang dapat dilakuakan selain uji intradermal, yaitu dengan cara uji tuberkulin di bawah kulit (subkutan) atau ke dalam mata (ophtalmik).

Pengobatan-Pencegahan . Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :
·      Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.
Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.
·      Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.
·      Pemberian vaksin  BCG (Bacillus Calmette Guerin). Vaksin ini cukup aman dan dapat mencegah 80% - 100% penyakit  tuberculosis. Revaksinasi dianjurkan dilakukan dalam interval 5, 10 dan 15 tahun (Jawetz. 2005).

b.   Hepatitis B
Etiologi . Hepatitis B Virus (HBV) adalah anggota dari famili hepadnaviridae DNA virus highly species-specific beramplop yang bereplikasi dari reverse transkripsi RNA virus pregenome.

Patogenesis . Setelah menginfeksi inangnya dan memasuki peredaran darah, virus akan menginfeksi hepatosit kemudian antigen viral akan berada pada permukaan sel inang. Sel T sitotoksik akan memediasi sistem pertahanan tubuh untuk melawan masuknya antigen viral berupa adanya inflamasi dan nekrosis. Virus ini tidak menghasilkan efek sitopatik, sehingga diduga patogenesisvirus ini merupakan hasil dari pertahanan tubuh bermediasi sel. Penderita dapat menjadi chronic carrier, bila antigen permukaan virus hepatitis (HBsAg) terdeteksi lebih dari 6 bulan. Pada penderita chronic carrier, terjadi kasus hepatocellular carcinoma dengan prevalensi tingg. Perubahan patologi pada infeksi HBV terlihat adanya kematian sel dengan infiltrasi sel radang. Lisis sel ini disebabkan oleh respon kekebalan terhadap hepatosit yang terinfeksi.
Gejala klinis . Masa inkubasi pendek yaitu 4-10 hari. Kadang tampak sehat dan tidak menunjukkan gejala klinis. Bila ada gejala klinis, tipe lesi ringan sehinga sulit dideteksi, lesi biasanya terdapat pada membrana mucosa dan bucal cavity dan kemungkinan terdapat vesikel dan ulserasi disekitar bibir dan lubang hidung, serta paling sering pada lidah. Kadang juga terlihat pada genitalia.
Diagnosa . Berdasarkan gejala klinis, dan untuk diagnosa pasti didasarkan uji serologis, pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis dan evaluasi infeksi Hepatitis B kronis adalah : HBsAg, HBeAg, anti HBe dan HBV DNA. Pemeriksaan virologi, dilakukan untuk mengukur jumlah HBV DNA serum sangat penting karena dapat menggambarkan tingkat replikasi virus.
Pengobatan-Pencegahan . Pengobatan yang dapat diberikan hanya bisa melalui pengobatan suportif yaitu dengan pemberian multivitamin untuk menjaga daya tahan tubuh, dan selain itu juga dapat diberikan (Summers dan Mason, 1982).

c.    Strongyloides fuelleborni
Etiologi . Strongyloides fuelleborni terdiri dari  cacing jantan dan betina. Cacing jantan dewasa memiilki bentuk tubuh gemuk dan panjang sekitar 0,7 mm dengan diameter 40-50 mikrometer, ujung ekor melengkung ke ventral, spikula dua buah dan gubernaculums sebuah serta memiliki esophagus tipe rabditiform. Cacing betina meletakan telur-telurnya pada mukosa usus, kemudian telur menjadi larva rhabditiform dan masuk kelumen usus serta dikeluarkan bersama feses. Larva dalam feses panjangnya rata-rata 225 x 16 mikrometer. Larva rhabditiform yang keluar bersama feses dapat juga berkembang di dalam tanah dan menjadi dewasa dalam bentuk bebas.
Patogenesis . Larva menetas di epitel mukosa dari usus kecil, melewati lumen, dan kemudian dikeluarkan bersama feses dan mengalami pengembangan lebih lanjut dalam tanah. Larva filariform dapat berkembang langsung di dalam tanah atau generasi lain larva memproduksi telur berembrio dan menjadi larva filariform. Infeksi diperoleh melalui penetrasi kulit dengan larva filariform. Auto-infeksi dapat terjadi ketika larva berkembang menjadi larva filariform dalam saluran usus dari individu imunosupresi.
        Cacing betina parasitik menghasilkan telur berlarva yang keluar bersama tinja → L1 → L2 → L3 mempunyai esophagus filariform → masuk melalui kulit → masuk kealiran darah → pulmo →merusak dindin kapiler  dan berimigrasi ke trakea dan turun ke esophagus → usus menjadi L4 dan menjadi dewasa atau cacing tertelan melalui pakan kemudian masuk langsung kedalam usus halus tanpa bermigrasi.
Gejala klinis . Mual dan muntah, serta diare. Bila larva filaform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan kulit yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan rasa gatal yang hebat. Pada infeksi yang berat Srongyloides sp. Dapat menyebabkan kematian.
Diagnosa . Dari gejala klinis, dan untuk diagnosa pasti dilakukan pemerikasaan feses. Cara pemeriksaan feses, sampel feses diencerkan dengan larutan formalin 10% → ditempatkan diobjek glass → diteteskan larutan eosin kira-kira 3 tetes → ditutup cover glass → diamati dengan bantuan mikroskop untuk mengidentifikasi jenis telur cacing yang berbentuk oval, berdinding tipis, transparan dan berlarva.
Pengobatan-Pencegahan . Pemberian ivermectin, albendazole, dan thiabendazole dengan dosis 100 mg/kg BB. Pencegahan di karantina yang dapat dilakukan yaitu melakukan pemeriksaan berkala, yaitu general check up setiap enam bulan sekali, meliputi pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah. Selain itu juga diberikan multivitamin, dan pencucian bahan pakan yang bersih (Ash dan Orihel, 1980).
d.   Balantidiasis
Etiologi . Protozoa  Balantiudium coli  hidup dalam caecum dan colon Parasit ini tidak langsung dapat menular dari hospes satu kelainnya, perlu beberapa waktu untuk menyesuaikan diri supaya dapat bersimbiosis dengan dengan flora yang ada dalam hospes tersebut. Jika sudah beradaptasi pada suatu hospes, protozoa akan berubah menjadi patogen terutama pada manusia. Pada mamalia lain kecuali jenis primata, organisme tersebut tidak menimbulkan lesi apapun, tetapi akan menjadi patogen jia mukosa terjadi kerusakan oleh penyebab lain (infeksi sekunder).
Patogenesis . Penularan dengan menelan kista yang berasal dari kotoran inang yang terinfeksi; pada saat wabah, penularan terutama melalui air yang terkontaminasi. Penularan sporadis terjadi karena masuknya kotoran ke mulut melalui tangan atau melalui air, dan makanan yang terkontaminasi. Trophozoit akan memperbanyak diri dengan pembelahan. Konjugasi hanya terjadi pada pemupukan buatan, secara alamiah jarang terjadi konjugasi. Fase cyste terjadi pada waktu inaktif dari parasit dan tidak terjadi reproduksi secara sexual ataupun asexual. Precyste terjadi setelah keluar melalui feses yang merupakan faktor yang penting dari epidemiologi penyakit. Infeksi terjadi bila cyste termakan oleh hospes yang biasanya terjadi karena kontaminasi makanan dan minuman. Balantiudium coli biasanya mati pada pH 5,0; infeksi terjadi bila orang mengalami kondisi yang buruk seperti malnutrisi dengan perut dalam kondisi mengandung asam lemah.
Pengobatan-Pencegahan . Beberapa jenis obat dapat membunuh B. coli ini yaitu: Carbasone, diiodohydroxyquin dan  Tetrasiklin dapat menghilangkan infeksi; pengobatan dengan metronidazole (Flagyl) juga efektif. Pencegahan dilakukan dengan ditemukannya penyelidikan epidemiologis segera, terutama penyelidikan yang menyangkut sanitasi lingkungan. (Chin, 2000).



DAFTAR PUSTAKA
Ash, L. R. and Orihel, T. (1980). Atlas of Human Parasitology. Second ed. Chicago: American Society of Clinical Pathologists Press.
Chin, James, 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. American Public Health Association (APHA)
Ginting, Yosia WSB. 2006. Studi Reintroduksi Orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelii Lesson, 1827)    yang Dikembangkan Di Stasiun Karantina Medan Dan Di Stasiun Reintroduksi Jambi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Jawetz. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit Salemba Medika: Malang.
Russon, Anne E, 2008. Orangutan Rehabilitation and Reintroduction. http://www.wmenews.com/supporting/1294673198AZA_Quarantine_Recomendations.pdf.
Suhartono dkk, 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017. Direktorat    Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Republik Indonesia
Summers, J. and W.S. Mason. 1982. Replication of the genome of a hepatitis B-like virus by reverse         transcription of an RNA intermediate. Cell 29:403-415.
Wahyudi R, Singleton I dan Saraswati Y. 2008. Medical Record In Sumatran Orangutan Quarantine Batumbelin-Sibolangit Medan North Sumatra. Proceedings of AZWMC 2008

No comments:

Post a Comment