Wednesday, 12 September 2012

Blok 7 UP 2


Learning Objective
1.      Bagaimana Mekanisme Kerja Obat?
2.      Bagaimana Jalur Pemberian dan Sediaan Obat?
3.      Bagaimana Mekanisme Kerja Antagonis dan Agonis, Beserta contoh?
4.      Apa saja Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Obat?

Pembahasan

1.      Mekanisme Kerja Obat
Mekanisme dan nasib obat di dalam tubuh serta faktor yang mempengaruhinya Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak sekali proses. Umumnya di dasarkan suatu reaksi, yaitu:
A.    Farmaseutik
Fase farmaseutik meliputi hancurnay bentuk sediaan obat dan melarutnya bahan obat, dimana kebanyakan bentuk sediaan obat yang digunakan.
B.     Farmakokinetik
Fase farmakokinetik meliputi absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi.
1.      Absorpsi
Absorpsi merupakan pengambilan obat dari permukaan tubuh termasuk dalam mukosa, atau dari tempat-tempat tertentu dalam organ dalaman ke dalam aliran darah atau ke dalam pembuluh limfe. Mekanisme absorpsi melalui membaran dapat terjadi dengan cara:
a.       Difusi (pasif) adalah perjalanann zat langsung melalui lipid atau saluran berair.
b.      Difusi terfasilitasi (melalui pembawa) adalah pemindahan molekul polar dengan media alat pengangkut.
c.       Traspor aktif adalah penyerapan senyawa melalui membran melawan konsentrasi dan harus membutuhkan energi.
d.      Pinositosis adalah invaginasi dai sel membran yang menelan cairan ekstraselular hingga memungkinkan solute dapat diangkut ke dalam hasil vakuola berair.
e.       Persorpsi adalah filtarsi atau difusi berair yang akhirnya terjadi difusi ion.

Laju absorpsi obat :
Larut Air > Larut Lemak > Suspensi > Padat (bentuk padat terdapat faktor desolusi sbg penghambat absorpsi)
Tempat pemberian à ketersediaan peredaran darah (epitelium alveoli à cepat)
Vasodilatasi, peningkatan aliran à mempercepat Vasokontriksi à memperlambat

2.      Distribusi
Distribusi merupakan transfer obat yang revensibel antara letak jaringan dan plasma. Pola distribusi menggambarkan pemainan dalam oleh faktor yang berhubungan dengan permeabilitas, kelarutan dalam lipid, dan ikatan dalam makromolekul.

Faktor penting dalam distribusi obat : permeabilitas membran2 dalam tubuh –a. mrupakan barier selektif.
Epitel yang berhimpitan à permukaan gastrointestinal, tubuli ginjal, pembuluh empedu, SSP, Fetus, Kelenjar2, Kornea, dan kulit. Pada SSP (otak) : kaya pembuluh darah namun terdapat barier darah – otak yang disebut dengan Glial Foot (perpanjangan astrocyt), termasuk barier darah – CSF. Proses transport masuk/penembusan di sini : difusi non ionik , dipengaruhi sifat larut lemak, pH plasma (menentukan derajat ionisasi), Proses keluar à Transport aktif. Ex. Obat peka : morfin. Kerapatan barier dapat berkurang karena umur yang muda, dan kondisi klinis yang buruk (meningitis, dsb)

Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi:
a.       Perfusi darah melalui jaringan
b.      Kadar gradien, pH, dan ikatan zat dengan makromolekul
c.       Partisi ke dalam lemak
d.      Transport aktif
e.       Sawar
f.       Ikatan obat dengan protein plasma

3.      Biotrasformasi
Merupakan proses metabolisme obat sebelum dikeluarkan. Fase pertama dalam metabolisme adalah reaksi oksidase, reduksi dan hidroksi. Sedangkan fase kedua adalah konjungasi.

Mekanisme Biotransformasi Obat
Sederhana – obat – metabolisme intermedier & oleh enzim-enzim metabolisme intermedier à obat ditransformasikan. Metabolisme obat oleh enzim-enzim khusus dalam hati. Sistem metabolisme khusus pada mikrosoma sel-sel hati è Sistem metabolisme obat à terletak di retikulum endoplasmic. Enzim-enzim mengkatalisa metabolisme dengan jalan : oksidasi, reduksi, hidrolisa, & konjugasi à butuh NADPH, Mg++ , Nikotinamide, & molekul oksigen

4.      Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3 preoses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik.

ELIMINASI OBAT
Pasca distribusi obatà disimpan à disingkirkan dari tubuh.
Obat polarisasi > tinggi     à diekskresi tanpa perubahan.
Obat larut lemak (< polar)à dimetabolisir menjadi polar àdiekskresi menjadi metabolit.
Ekskresi lewat ginjal
àdua cara : filtrasi glomeruli dan sekresi tubuli
Metabolit dalam konsentrasi tinggi & sifat kurang larut à presipitasi di lumen à pada acetylsulfanilamida à merusak ginjal. Efek resultante dari filtrasi, sekresi, & reabsorbsi à penyingkiran bagaian tetap obat dalam darah. “ Clearance”à volume plasma yg dibersihkan dari obat oleh ginjal persatuan waktu (Gagak, 2012).

C.     Farmakodinamika
Farmakodinamika mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.
Cara kerja obat sehingga menimbulkan efek. Efek ini terjadi karena ada ikatan dengan obat. Macam-macam efek:
·         Respon molekuler
Melingkupi bebeapa efek seperti memodulasi aktivitas enzyme atau pergerakan ion melewati membrane.
·         Respon selluler
Melingkupi respon sel untuk menyekresikan neurotransmitter atau hormone juga pargerakan sel.
·         Respon organ
Meliputi beberapa respon seperti kontraksi otot polos atau otot lurik selama pemberian obat (Richard, 1995).

2.      Jalur Pemberian Obat
A.    Oral
Sediaan untuk pemberian peroral merupakan mayoritas dari produk-produk yang paling sering digunakan. Dalam kelompok ini, availabilitas absorbsi biasanya ,menurun larutan > suspensi > kapsul > tablet > tablet bersalut.

1.      Larutan
Bentuk takaran ini menyajikan komponen obat dalam suatu bentuk paling sesuai dengan absorbsi. Karena itu, jika tidak ada kompleksasi atau miselisasi dengan komponen-komponen formula, dan jika tidak ada degradasi dalam lambung, bentuk takaran ini akan memberikan bioavalabilitas maksimum dan suatu permulaan ( onset )kerja yang cepat. Bentuk larutan merupakan bentuk campuran yang homogen, sehingga bahan obat terbagi merata pada seluruh sediaan.
2.      Emulsi
Merupakan satu sistem heterogen, yang secara termodinamik tidak stabil. Paling sedikit terdiri dari satu cairan yang tidak tercampurkan yang terdispeersi secara baik dalam cairan lainnya dalam bentuk butiran. Emulsi oral biasanya dibuat untuk membuat fase minyak aktif lebih mudah ditangani, lebih enak, rasanya dan kadang-kadang lebih bioavailabel. Misalnya, griseofulvin, suatu obat yang sukar larut dalam air, menunjukkan suatu peningkatan dalam kecepatan dan besarnya absorbsi jika terdispersi dalam minyak jagung dan kemudian di emulsikan.
Senyawa-senyawa yang sukar larut lainnya dapat dilarutkan dalam minyak-minyak ini, karena absorbsinya mungkin di tingkatkan lagi melalui efek –efeknya pada gerakan G.I dan garam-garam empedu.
3.      Suspensi
Merupakan satu sistem dua fase yang tersusun bahan padat terdispersi dalam satu cairan.
Suatu suspensi dapat di anggap sebagai bentuk takaran yang paling di inginkan untuk suatu obat tertentu karena sejumlah alasan. Misalnya, obat-obat tertentu secara kimia tidak stabil jika dalam larutan, tetapi stabil jika suatu garam atau derivatnya yang sesuai, di suspensikan. Suspensi mungkin lebih disukai karena satu bentuk takaran padat takara tunggal karena memberikan banyak keuntungan dari bentuk takaran larutan : mudah ditelan, memberikan banyak kemudahan lebih besar dalam pemberian takaran yang luar biasa besarnya dan memberikan perubahantajaran yang tidak terbatas.
4.      Serbuk dan Granul
Secara umum serbuk granul memberikan suatu lingkungan yang lebih baik untuk mmpertahankan stabilitas bahan aktif dari pada larutan, emulsi dan suspensi. Keuntungan penggunaan serbuk dan granul sbb :
Ø  Formulasi atau granul halus dapat digunakan sebagai suatu pemberi minum.
Ø  Serbuk granul dapat diberikan dengan mencampurnya dengan makanan hewan.
Ø  Serbuk dapat diformulasikan sebagai suatu serbuk larut, yang dapat dicampurkan ke air minum, atau digunakan untuk pengganti susu.
Ø  Serbuk dapat diformulasikan sebagai suatu serbuk yang dapat terbasahi untuk digunakan dalam pemberi minum cairan.
5.      Pasta
Pemakaian formulasi pasta oral hendaknya dipertimbangkan untuk mengatasi masalh-masalah takaran yang berkaitan dengan takaran konvensional lainnnya. Jika pasta di formulasikan akan mejadi lengket dan enak, tidak terlalu terbuang jika dibandingkan dengan pemberian minum cairan ( resiko kehilangan cairan dalam mulut ) atau boli, ( muntah dan hilang seluruhnya ).
6.      Kapsul
Merupakan bentuk takaran tunggal, tak brasa dan mudah diberikan dan diccernakan untuk baham-bahan berlainan seperti serbuk, granul, pelet, suspensi, emulsi, atau minyak. Kampsul bisa dibedakan menjadi 2, yaitu kapsul gelatin keras biasanya digunakan untuk formulasi isi dan kapsul gelatin lunak untuk isi cairan atau semisolid. Kapsul setelah berada di saluran G.I dapat membebaskan komponen-komponen aktif dalam bentik yang lebih aktif yang lebih siap di absobrsi.
7.      Tablet dan Boli ( bolus )
Tablet memberikan pemberian yang mudah dari satu takaran akurat dan mudah di sesuaikan dengan berbagai ukuran takaran dari bahan-bahan obat, secara umum tablet lebih ekonomis dibandingkan dengan sistem-sistem pemberian takaran lainnya. Namun, tablet juga memberikan masalah karena hewan dengan mudah mengeluarkan tablet bila pemilik tidak mengetahuinya. Sekalipun tablet atau bolus telah diberikan dengan tepat, hewan-hewan pemamah biak cukup sering memuntahkan dan hilang lagi bolusnya, karena itu pula efek terapiknya.

B.     Perenteral
Bentuk-bentuk takaran mencangkup larutan air, air organik, dan larutan minyak, emulsi, suspensi dan bentuk padat untuk implantasi. Sediaan perenteral harus steril dan bebas pirogen, jika mungkin mendekati pH fisiologik normal dan isotonik dengan cairan tubuh lainnya.
Laju tergantung efektor (disintegrasi dan disolusi)
Obat larut lemak à desintegrasi lambat
Hidrofilik à desintegrasi cepat
Sifat fisikokimiawi à menentukan tempat absorpsi
(Lambung (asam) ; usus (netral))
Mukosa lambung à permeable non ion ; impermeable ion (Blodinger, 1994).

C.     Rongga tubuh
1.      Rektal (Supositoria)
Jalur ini bertujuan untuk mendapatkan efek sistemik atau lokal sebelah caudal dari organ G.I.
2.      Vaginal (Pesaria)
Pemberian melalui vagina berbentuk tablet-tablet bulat dan dibuat dengan granulasi atau komprehensi. Tablet efervesens dan hancur melepaskan secara cepat serta menjamin distribusi obat aktif untuk efek seluruh rongga. Bentuk ini sering mengandung suatu dapar untuk mengubah atau mempertahankan pH vagina yang diperlukan untuk flora vagina fisiologik normal.
3.      Telinga
Bentuk takaran telinga demaksudkan untuk pemakaian baik telinga luar atau telinga dalam saluran pendengaran. Mencangkup sejumlah bentuk takaran : larytan, suspensi, salep kerucut telinga dan serbuk.
Pemakaian utama adalah untuk membersihkan lilin atau menyediakan pngobatan obat lokal.
4.      Hidung
Inhalasi obat-obat sering menghasilkan permulaan kerja yang sebanding dengan pemberian oleh injeksi i.v. tanpa banyak masalah yang berkaitan dengn metode ini. Jika saluran pernafasan terjadi iritasi, j lan tersebut akan berkerut dan menyebabka masalah dalam absorbsi. Vaksin dan obat diberikan melalui intranasal secara berurutan atau stimulan. Eektivitas kerja tergantung pada formula atau metode pemberiannya. Misal alat-alat spray digunakan untuk penyuntikan nasal. Kedalaman penetrasi tergantung pada besarnya partikel yang di suntikkan.
5.      Mata
Sediaan berupa minyak suspensi, larutan suspensi, emulsi atau sale steril uantuk pemakaian topikal dengan penetesan.

D.    Intra mamari
Digunakan untuk iritasi minimal pada ambing, suatu KPM yang rendah, suatu derajat rendah dari protein-protein susu dan jaringan ambing.


E.     Topikal
Sediaan topikal dapat digunakan untuk perlindungan setempat atau alasan-alasan terapetik ( serbuk/ bedak tabur ., larutan, suspensi, lotion, krim, salep, aerosol ) atau untuk aktivitas sistemik ( Blodinger, 1994 ).

3.      Antagonisme
a.       Agonis
Agonis adalah sebuah obat yang memiliki afinitas terhadap reseptor tertentu dan menyebabkan perubahan dalam reseptor yang menghasilkan efek diamati. Agonis lebih lanjut dicirikan sebagai agonis penuh, menghasilkan respon maksimal dengan menempati seluruh atau sebagian kecil dari reseptor, atau agonis parsial, menghasilkan kurang dari respon maksimal bahkan ketika obat tersebut menempati seluruh reseptor. Afinitas menjelaskan kecenderungan untuk menggabungkan obat dengan jenis tertentu dari reseptor, sedangkan aktivitas efficary atau intrinsik suatu obat mengacu pada efek maksimal obat dapat menghasilkan. Sebuah agonis parsial memiliki aktivitas kurang intrinsik dari agonis penuh. Potensi adalah istilah yang sering disalahpahami ketika membandingkan dua atau lebih obat yang menimbulkan efek beberapa diamati. Potensi obat mengacu pada dosis yang harus diberikan untuk menghasilkan efek tertentu intensitas yang diberikan. Potensi dipengaruhi oleh afinitas obat untuk obat itu adalah reseptor situs dan oleh proses-proses farmakokinetik yang menentukan konsentrasi obat di sekitar langsung dari situs kerjanya (biophase). Potensi obat berbanding terbalik dengan dosis; makin rendah dosis yang diperlukan untuk menghasilkan respon lain, semakin kuat obat. Potensi adalah relatif, dan bukan merupakan ekspresi, mutlak aktivitas obat. Untuk penentuan potensi standar harus didefinisikan, dan perbandingan potensi hanya berlaku untuk obat yang menghasilkan respon dinyatakan dengan mekanisme yang sama tindakan. Potensi suatu obat tidak necessarity berkorelasi dengan keberhasilan atau keselamatan, dan obat yang paling ampuh dalam seri klinis tidak selalu superior. rendah adalah potensi kerugian hanya jika dosis efektif adalah begitu besar sehingga terlalu mahal untuk memproduksi atau terlalu rumit untuk dijalankan.


b.      Antagonis
Antagonis adalah obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi tidak mampu secara intrinsik menimbulkan efek farmakoligik sehingga menghambat karja suatu agonis. Antagonis dibedakan menjadi 2 yaitu :
·         Antagonisme fisiologi, yaitu antagonisme pada sistem fisiologi yang sama tetapi pada sistem reseptor yang berlainan. Misalnya, efek histamin dan autakoid lainnya yang dilepaskan tubuh sewaktu terjadi syok anafilaktik dapat diantagonisasi dengan pemberian adrenalin.
·         Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme malalui sistem reseptor yang sama (antagonisme antara agonis dengan antagonismenya). Misalnya, efek histamin yang dilepaskan dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin yang menduduki reseptor yang sama.
Antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif dan nonkompetitif :
·         Antagonisme kompetitif : antagonis mengikat reseptor di tempat ikatan agonis (receptor site atau active site) secara reversibel sehingga dapat digeser aloh agonis kadar tinggi. Hambatan kadar agonis dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis sampai akhir dicapai efek maksimal yang sama.
·         Antagonisme nonkompetitif : hambatan efek agonis oleh antagonis nonkompetitif tidak dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek maksimal yang dicapai akan berkurang, tetapiafinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah. Antagonisme nonkompetitif terjadi jika :
1.      Antagonis mengikat reseptor secara ireversibel, di receptor site maupun di tempat lain sehingga menghalangi ikatan agonis dengan reseptornya. Efek maksimal akan berkurang tetapi afinitas agonis terhadap reseptor yang bebas tidak berubah. Contoh: fenoksibenzamin mengikat reseptor adrenergik α di receptor site secara ireversibel.
2.      Antagonis mengikat bukan pada molekulnya sendiri tapi pada komponen lain dalam sistem reseptor, yakni pada molekul lain yang meneruskan fungsi reseptor dalam sel terget, misalnya molekul enzim adenilat siklase atau molekul protein yang membentuk kanal ion. Ikatan antagonis pada molekul-molekul tersebut, secara reversibel maupun ireversibel akan mengurangi efek yang dapat ditimbulkan oleh kompleks agonis-reseptor tanpa mengganggu ikatan agonis dengan molekul reseptornya (afinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah).

4.      Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Obat
Faktor- faktor yang mempengaruhi absorpsi adalah:
a. Sifat fisikokimia bahan obat, terutama sifat stereokimia dan kelarutannya
b. Besar partikel
c. Sediaan obat
d. Dosis
e. Rute pemberiaan obat
f. Waktu kontak dengan permukaan absorpsi
g. Besar permukaan yang mengabsorpsi
h. Nilai pH dalam darah yang mengabsorpsi
i. Integritas membran
j. Aliran darah organ yang mengabsorpsi

 
DAFTAR PUSTAKA

Adams, H, Richard. 1995. Veterinery Pharmacology and Therapeutics. Iowa University Press, Ames, Iowa.
Anief, Moh. 2007. Apa Yang Peru Diketahui Tentang Obat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Blodinger, Jack. 1994. Formulasi Bentuk Sediaan Veteriner. Airlangga University Press: Surabaya
Gagak, Donny, S. 2012. Farmakologi Dasar. Presentasi Kuliah Pengantar. Tanggal 11 September 2012. Fakultas Kedokteran Hewan  UGM. Yogyakarta.
Wanamaker, P. Massey, Locked. 1996. Applied Pharmacology for the Veterinary Technician. WB Saunders: Columbia.


No comments:

Post a Comment