LEARNING
OBJECTIVE
1. Bagaimana
Kaitannya Profesi Dokter Hewan dengan Agama?
2. Apa
Saja Legislasi yang mengatur Kehewanan?
PEMBAHASAN
1. Kaitan
Agama dengan Profesi Veteriner
Agama kontekstual yaitu
mengaitkan sutau ajaran agama dengan ilmu yang dimiliki, yang diterapkan dengan
kehidupan sehari-hari. Hubungan dengan profesi veteriner ialah tindakan medis
tidak bertentangan dengan agama yang diyakini dan agama sebagai pedoman setiap
tindakan veteriner.
Tiap
agama mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat baik, baik itu kepada sesama
manusia atau kepada makhluk Tuhan lainnya (hewan) :
1. Tidak
berbuat aniaya.
2. Menghindarkan
dari kurang makan dan beban berlebihan.
3. Terhindar
dari kelaparan.
4. Prinsip
kebebasan hidup.
5. Menyelamatkan
dari ancaman kematian.
6. Bebas
dari penderitaan.
7. Azas
bebas dari beban berat yang tidak sesuai kapasitas.
Peran
dokter hewan dalam melakukan tugasnya, tentu juga tidak boleh melenceng dari
hukum agama terutama agama yang dianutnya.Hukum agama yang bersangkutan
tentunya sudah terkandung dalam etika profesi dan peraturan terkait lainnya.
Dalam ajaran agama terdapat ajaran mengenai perlakuan terhadap makhluk ciptaan
Tuhan lainnya (hewan), otomatis dokter hewan yang akan selalu berinteraksi
dengan hewan harus mengamalkan ajaran tersebut, seperti memperlakukan hewan
sesuai yang terkandung dalam five freedom animal welfare karena prinsip
kesejahteraan hewan tersebut tidal lain merupakan ekstraksi ajaran agama secara
umum. Hal-hal yang harus dipertanggungjawabkan
tersebut dalam beberapa hadist.
1. Alloh
menurunkan penyakit dan Dia juga menurunkan obatnya (HR Malik)
2. Barangsiapa
yang mengobati namun tidak menguasai ilmu pengobatan maka ia harus
bertanggungjawab (HR: Abu Dawud)
3. Setiap
penyakit ada obatnya, dan jika suatu obat mengena tepat pada penyakitnya, ia
akan sembuh dengan izin Alloh Ta’ala (Shohih Al-Jami’ Ash-shighir)
4. Jangan
mencampur antara hewan yang sakit dengan yang sehat (HR:Bukhori dan Muslim)
5. Jika
kamu mendengar ia sedang mewabah di suatu daerah maka janganlah kamu masuk ke
sana, dan jika ia mewabah di daerah, sementara kamu ada di dalamnya maka
janganlah kamu keluar menghindarinya (HR: Bukhori dan Muslim)
6. Lalu
Kami wahyukan kepadanya: buatlah bahtera di bawah penilikan dan petunjuk Kami,
maka apabila perintah Kami telah datang dan dapur telah memancarkan air, maka
masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari setiap jenis, dan juga
keluargamu, kecuali orang yang telah berlaku ketetapan (akan ditimpakan adzab)
di atara mereka (QS Al-Mukminun : 27)
(Widiyono , 2012)
Sudut Pandang Religiositas Profesi
Veteriner:
Kloning
Kloning
merupakan penggandaan suatu organisme kehidupan.Kloning dilakukan dengan
mengambil embrio dasar dari suatu makhluk hidup, kemudian memberikan instruksi
pada embrio tersebut agar bisa menjadi makhluk serupa. Sheikh Farid Washil
(mantan Mufti Mesir) menolak kloning reproduksi manusia karena dinilainya
bertentangan dengan empat dari lima Maqashid asy-Syar’iah: pemeliharaan jiwa,
akal, keturunan, dan agama. Dalam hal ini cloning menyalahi pemeliharaan
keturunan.Dari beberapa pendapat tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa cloning
hukumnya haram karena lebih berpotensi menghasilkan dampak buruk daripada
dampak baiknya.Adapun kloning dalam
ranah binatang dan tumbuh-tumbuhan, maka Islam secara jelas membolehkannya,
apalagi kalau tujuannya untuk meningkatkan mutu pangan dan kualitas daging yang
dimakan manusia.Selain itu, karena binatang dan tumbuh-tumbuhan tidak perlu
mengetahui tentang asal-usul garis keturunannya.
Upaya
memperbaiki kualitas tanaman dan hewan serta meningkatkan produktivitasnya
tersebut menurut syariat Islam tidak apa-apa untuk dilakukan dari termasuk
aktivitas yang mubah hukumnya. Demikian
pula memanfaatkan tanaman dan hewan dalam proses kloning guna mencari obat yang
dapat menyembuhkan berbagai penyakit manusia –terutama yang kronisadalah
kegiatan yang dibolehkan Islam, bahkan hukumnya sunnah(mandub). Sebab berobat
hukumnya sunnah. Begitu pula memproduksi berbagai obat-obatan untuk kepentingan
pengobatan hukumnya juga sunnah. Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis dari Anas
ra.yang telah berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza
wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia menciptakan pula obatnya. Maka
berobatlah kalian.”
Oleh
karena itu, dibolehkan memanfaatkan proses kloning untuk memperbaiki kualitas
tanaman dan mempertinggi produktivitasnya atau untuk memperbaiki kualitas hewan
seperti sapi, domba, onta, kuda dan sebagainya. Juga dibolehkan memanfaatkan
proses kloning untuk mempertinggi produktivitas hewan-hewan tersebut dan
mengembangbiakannya, ataupun untuk mencari obat bagi berbagai penyakit manusia,
terutama penyakit-penyakit yang kronis (Abdul Qadim Zallum)(Lusi. 2008).
Mengembangbiakkan
dan pembibitan semua jenis hewan yang halal diperbolehkan oleh Islam, baik
dengan jalan inseminasi alami (natural insemination) maupun inseminasi buatan
(artificial insemination).Dasar hukum pembolehan inseminasi buatan ialah
Pertama; Qiyas (analogi) dengan kasus penyerbukan kurma.Setelah Nabi Saw hijrah
ke Madinah, beliau melihat penduduk Madinah melakukan pembuahan buatan
(penyilangan/perkawinan) pada pohon kurma.Lalu Nabi menyarankan agar tidak usah
melakukan itu.kemudian ternyata buahnya banyak yang rusak. Setelah hal itu
dilaporkan pada Nabi, beliau berpesan : “lakukanlah pembuahan buatan, kalian
lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” Oleh karena itu, kalau inseminasi
buatan pada tumbuh-tumbuhan diperbolehkan, kiranya inseminasi buatan pada hewan
juga dibenarkan, karena keduanya sama-sama diciptakan oleh Tuhan untuk
kesejahteraan umat manusia. (QS. Qaaf:9-11 dan An-Nahl:5-8). Kedua; kaidah
hukum fiqih Islam “al-ashlu fil asya’ al-ibahah hatta yadulla dalil ‘ala
tahrimihi” (pada dasarnya segala sesuatu itu boleh, sampai ada dalil yang jelas
melarangnya).Karena tidak dijumpai ayat dan hadits yang secara eksplisit
melarang inseminasi buatan pada hewan, maka berarti hukumnya mubah.Hewan juga
makhluk hidup seperti manusia, mempunyai nafsu dan naluri untuk kawin guna
memenuhi insting seksualnya, mencari kepuasan dan melestarikan jenisnya di
dunia. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa mengembangbiakkan semua jenis
hewan yang halal (yang hidup di darat, air dan terbang bebas di udara)
diperbolehkan Islam, baik untuk dimakan maupun untuk kesejahteraan manusia (Annajah, 2009).
Kastrasi
Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud yang isinya hampir semakna dengan hadits diatas, dikatakan bahwa Rasul Allah
Saw.melarang umat Islam berqurban dengan hewan yang al-mushfirrat (hewan yang
rusak telinganya
sehingga tampak bagian kulit dalamnya); al-musta’ashalat (hewan yang tanduknya
bergeser dari tempatnya); al-bahqa’ (hewan yang matanya buta sebelah);
al-musyayya’at (hewan yang tidak laku dijual karena kurus dan lemah); dan
al-kasra’ (hewan yang sudah tua). Hadits di atas memberikan gambaran tentang
hewan yang tidak layak dijadikan hewan qurban adalah hewan yang cacat yang
rincian kecacatan tersebut adalah kakinya pincang; matanya rusak; matanya buta
sebelah atau picek; sakit; kurus yang tidak bergajih lagi; kupingnya rusak
bagian depan dan belakangnya, atau belah; kupingnya belah; sudah terlalu tua;
tidak laku karena kurus dan lemah; ompong gigi depannya; tanduk dan telinganya
hilang setengahnya; dan tanduknya bergeser dari tempatnya.
Ulama Hanabilah
menjelaskan ciri-ciri hewan yang cacat yang boleh dijadikan hewan qurban tetapi
makruh adalah dikebiri, tanpa tanduk
sejak lahir (al-jammâ’), kecil telinga atau tidak bertelinga sejak lahir, tanpa
ekor sejak lahir, di matanya terdapat warna putih tapi tidak mengganggu penglihatannya,
dan sedang hamil (Ebrahim, 2004).
Pelayanan
Kesehatan dan Pemanfaatan Hewan
Dari Abi
Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Bila seekor anjing minum dari wadah
milik kalian, maka cucilah 7 kali. (HR Bukhari 172, Muslim 279, 90).
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali.” Dan menurut riwayat Ahmad dan Muslim disebutkan salahsatunya dengan tanah.” (HR Muslim 279, 91, Ahmad 2/427)
Maka seluruh ulama sepakat bahwa air liur anjing itu najis, bahkan levelnya najis yang berat (mughallazhah).Sebab untuk mensucikannya harus dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah.Dan memelihara anjing dalam Islam tidak diharamkan, terutama bila digunakan untuk hal-hal yang berguna.Seperti untuk berburu, mencari jejak dan sebagainya.Bahkan kita dibolehkan memakan hewan hasil buruan anjing telah diajar. Al-Quran mengistilahkannya dengan sebutan: mukallab.Mereka menanyakan kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya (QS. Al-Maidah: 4).
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali.” Dan menurut riwayat Ahmad dan Muslim disebutkan salahsatunya dengan tanah.” (HR Muslim 279, 91, Ahmad 2/427)
Maka seluruh ulama sepakat bahwa air liur anjing itu najis, bahkan levelnya najis yang berat (mughallazhah).Sebab untuk mensucikannya harus dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah.Dan memelihara anjing dalam Islam tidak diharamkan, terutama bila digunakan untuk hal-hal yang berguna.Seperti untuk berburu, mencari jejak dan sebagainya.Bahkan kita dibolehkan memakan hewan hasil buruan anjing telah diajar. Al-Quran mengistilahkannya dengan sebutan: mukallab.Mereka menanyakan kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya (QS. Al-Maidah: 4).
Pada Hakekatnya Islam
mengajarkan pada umatnya untuk menyayangi binatang dan melestarikan
kehidupannya. Di dalam Al-qur’an, Allah SWT menekankan bahwa telah
menganugerahi manusia wilayah kekuasaan yang mencakup segala sesuatu didunia
ini, hal ini tertuang dalam surat Al-Jatsiyah,45:13 yang artinya sebagai
berikut :
Dan Dia telah
menundukan untukmu segala apa yang ada di langit dan segala apa yang ada di
muka bumi; semuanya itu dari Dia; sesungguhnya di dalam yang demikian itu terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir (Q.S. Al-Jatsiyah,45:13).
Menyangkut hewan atau
satwa peliharaan, Al-Qur’an dalam surat Al-Nahl menyebutkan beberapa jalan di
mana hewan-hewan tersebut memberi manfaat kepada manusia :
Dan dia telah
menciptakan binatang ternak untukmu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan
berbagai manfaat lainnya dan sebagiannya kamu makan (Q.S. Al-Nahl,16:5).
Dan mereka membawakan
muatan milikmu yang berat menuju tanah yang tidak dapat kau capai dengan
selamat kecuali dengan upaya yang sangat berat; karena sesungguhnya Tuhanmu
benar-benar maha pengasih dan penyayang (Q.S. Al-Nahl, 16:7) Dan dia telah
menciptakan kuda, bagal, dan keledai untukmu baik sebagai kendaraan maupun
sebagai hiasan; dan Dia telah menciptakan makhluk-makhluk lainnya yang belum kamu
ketahui (Q.S. Al-Nahl, 16:8).
Suatu ketika Nabi
melihat mayat seekor kambing, Beliau berkata: Milik siapakah kambing ini? Para
sahabat berkata: ini milik budak Maimunah Ummul Mukminin, Nabi berkata: mengapa
kalian tidak memanfaatkan kulitnya? Mereka menjawab: tapi kambing ini sudah
mati. Kata beliau: sebenarnya yang dilarang adalah makan dagingnya (HR Bukhori
dan Muslim).
Kehalalan hewan pada
umumnya dan hewan ternak pada khususnya adalah berdasarkan firman Allah dalam
Surat Al-Baqarah:29, yang menyatakan bahwa semua yang ada di planet bumi ini
untuk kesejahteraan manusia. Dan juga surat Al-Maidah:2, yang menyatakan bahwa
semua hewan ternak dihalalkan kecuali yang tersebut dalam Al-An’am:145,
An-Nahl:115, Al-Baqoroh:173 dan Al-Maidah:3. Ketiga surat dan ayat yang pertama
tersebut hanya mengharamkan 4 jenis makanan saja, yaitu bangkai, darah, babi
dan hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Sedangkan surat dan ayat
yang disebut terakhir mengharamkan 10 jenis makanan, yaitu 4 macam makanan yang
tersebut di atas ditambah 6, yakni: 1. Hewan yang mati tercekik, 2. Yang mati
dipukul, 3. Yang mati terjatuh, 4. Yang mati ditanduk, 5. Yang mati diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat disembelih dan 6. Yang disembelih untuk
disajikan pada berhala. Mengenai hewan yang halal dan yang haram, terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama, yaitu: Ulama yang hanya mengharamkan 10 macam
makanan/hewan yang tersebut dalam Al-Maidah:3, sebab ayat ini termasuk wahyu
terakhir yang turun. Mahmud Syaltut, mantan Rektor Univ. Al-Azhar mendukung
pendapat ini. Ulama hadits menambah beberapa larangan berdasarkan hadits Nabi,
yaitu antara lain: semua binatang buas yang bertaring, semua burung yang
berkuku tajam, keledai peliharaan/jinak dan peranakan kuda dengan keledai.
Rasyid Ridha, pengarang
Tafsir Al-Manar berpendapat bahwa yang tidak jelas halal/haramnya berdasarkan
nash Al-Qur’an itu ada dua macam: 1. semua jenis hewan yang baik, bersih dan
enak/lezat (thayyib) adalah halal. 2. Semua hewan yang jelek, kotor dan
menjijikan adalah haram. Namun kriteria baik, bersih, enak, menarik atau kotor,
jelek dan menjijikan tidak ada kesepakatan ulama di dalamnya.Apakah tergantung
selera dan watak masing-masing orang atau menurut ukuran yang umum (Ebrahim,
2004).
Percobaan
Binatang
Syariat tidak membahas
secara langsung isu tentang eksperimen pada binatang.Fikih merupakan ilmu
pengetahuan yang menuntun umat Islam dalam menentukan mana keputusan manusia
yang berhubungan dengan isu-isu kontemporer yang dapat dibenarkan dan mana yang
tidak. Dengan kata lain, tindakan-tindakan tertentu yang dimotivasi oleh
keterpaksaan (al-dharurah) dalam rangka melindungi salah satu dari
kepentingan-kepentingan ini secara kondisional dapat dibenarkan. Atau, dapat
pula dikatakan bahwa jika eksperimen pada hewan dapat dilaksanakan dengan
tujuan memperoleh pengetahuan yang benar-benar bermanfaat bagi kelestarian
hidup manusia dan hewan, maka eksperimen tersebut dapat di setujui. Namun, apa
yang diistilahkan sebagai kepentingan (manusia) yang mendesak (al-mashlahah
al-dharuriyyah) ini lebih jauh dibatasi oleh prinsip-prinsip umum fikih
sebagaimana berikut :
1.
Sesuatu yang dapat membawa kepada
hal-hal yang diharamkan, maka hukumnya haram (Ibid, hal. 228)
2.
Seseorang yang terpaksa harus
memilih antara dua hal yang buruk, maka ia harus memilih yang lebih kecil
keburukannya untuk mencegah keburukan yang lebih besar. (Ibid, hal. 301)
3.
Sesuatu yang dihalalkan karena
alasan tertentu akan menjadi tidak halal jika alasan kehalalannya itu tidak ada
lagi (Ibid, hal.299)
4.
Menggunakan berbagai pilihan untuk
hal-hal yang tidak ada ketentuannya (Fikih) tentangnya (Mashr, Animal in Islam,
Hal. 19).
Karena itu, dalam upaya
menerapkan prinsip-prinsip fikih di atas pada kasus eksperimen terhadap
binatang, maka dapat dikemukakan penarikan kesimpulan sebagaimana berikut :
Peraturan ( i ) menyatakan bahwa tindakan menjadikan hewan sebagai objek
eksperimen yang bersifat menyakiti dan tindakan-tindakan lain yang
mengakibatkan kebutaan atau cacat pada hewan statusnya adalah Haram.
Peraturan ( ii)
membolehkan pengujian obat-obatan yang terkait dengan penyelamatan nyawa pada
hewan sebelum dinyatakan aman untuk digunakan pada manusia. Peraturan ( iii)
menyatakan bahwa tindakan menjadikan hewan sebagai objek eksperimen yang
sembarangan (tidak jelas keperluannya) status hukumnya adalah tidak boleh.
Peraturan ( iv) memiliki relevansi dengan penyelidikan terkini tentang
alternatif-alternatif bagi eksperimen pada hewan dalam rangka meminimalisir
pemanfaatan binatang dalam eksperimen (Ebrahim, 2004).
2. Legislasi
Kehewanan
Undang
- Undang yang Berkaitan dengan Profesi Veteriner
a. Undang-undang No.6 Tahun 1967
Tentang Ketentuan
- Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan
b.
Undang-undang No.16 Tahun 1992
Tentang Karantina Hewan, Ikan Dan Tumbuhan, terdiri dari XI Bab dan 34 Pasal yang disahkan oleh
Presiden Soeharto di Jakarta pada tanggal 8 Juni 1992
c. Undang
- Undang No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, terdiri dari XIV Bab dan 43 Pasal
yang disahkan Oleh Presiden Soeharto pada tanggal 10 Agustus 1990
d. Undang-undang
Obat Keras
(Staatsblad
No.419 Tanggal 22 Desember 1949)
e. Undang-Undang
RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
f. Undang
– Undang No. 18 Tahun 2009
Tentang Kesejahteraan
Hewan, terdiri dari XV Bab dan
99 Pasal yang disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4
Juni 2009 (Farida, 2010)
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1. Arti beberapa istilah
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
s/d Pasal 3
BAB III
SUMBER DAYA
Bagian Kesatu
: Lahan Pasal 4 s/d
Pasal 6
Bagian Kedua
: Air Pasal 7
Bagian Ketiga
: Sumber daya genetik Pasal 8 s/d
Pasal 12
BAB IV
PETERNAKAN
Bagian Kesatu
: Benih, Bibit, dan Bakalan Pasal 13
s/d Pasal 18
Bagian Kedua
:
Pakan Pasal 19 s/d Pasal
23
Bagian Ketiga
: Alat
dan Mesin Peternakan Pasal 24 s/d Pasal
26
Bagian Keempat : Budi
Daya Pasal 27 s/d Pasal
33
Bagian Kelima : Panen, Pasca Panen, Pemasaran,
dan Industri Pengolahan Hasil
Peternakan Pasal 34 s/d Pasal 38.
BAB V
KESEHATAN HEWAN
Bagian Kesatu : Pengendalian &
Penanggulangan Penyalahgunaan Hewan
Pasal 39 s/d Pasal 48
Bagian Kedua : Obat Hewan Pasal 49
s.d Pasal 54
Bagian Ketiga : Alat dan Mesin Kesehatan
Hewan Pasal 55
BAB VI
KESMAVET DAN KESRAWAN
Bagian Kesatu : Kesmavet Pasal 56 s/d Pasal 65
Bagian Kedua
: Kesrawan Pasal 66 s/d Pasal 67
BAB VII
OTORITAS VETERINER Pasal 68
s/d Pasal 75
BAB VIII
PEMBERDAYAAN PETERNAK & USAHA DI BID PTRNKN DAN KESEHATAN
HEWAN
Pasal 76 s/d Pasal
77
BAB IX
PENGEMBANGAN SMBR DAYA MANUSIA Pasal 78
BAB
X PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Pasal
79 s/d Pasal
83
BAB
XI PENYIDIKAN Pasal
84
BAB
XII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 85
BAB
XIII KETENTUAN PIDANA Pasal
86 s/d Pasal
93
BAB
XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal
94
BAB
XV KETENTUAN PENUTUP Pasal
95 s/d Pasal
99 (Anonim, 2009)
Peraturan
Pemerintahan yang Berkaitan dengan Profesi Veteriner
a. PP
No.15 Tahun 1977 Tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan
Pengobatan Penyakit Hewan
b. PP
No. 22 Tahun 1983 Tentang Kesejahteraan
Masyarakat Veteriner
c. PP
No.78 Tahun 1992 Tentang Obat
Hewan
d. PP
No.82 Th.2000 Tentang Karantina Hewan (Farida,
2010)
Keputusan Menteri yang
Berkaitan dengan Profesi Veteriner
a.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor :
206/Kpts/OT.21/4/2001 Tentang Pedoman
Penetapan Standart Pelayanan Minimal Bidang Pertanian
b.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor :
64/Permentan/T.140/9/2007 Tentang Pedoman
Pelayanan Pusat Kesehatan Hewan
c.
Keputusan Direktur Jenderal Peternakan Nomor : 820/Kpts/DJP/Deptan/1984
Tentang Ketentuan Praktek dan atau
Kegiatan Pelayanan Kesehatan Hewan bagi
Dokter Hewan Praktek (Farida, 2010).
Daftar
Pustaka
An-Najah, Ahmad Zein. 2009. Inseminasi Buatan. www.annajah.wordpress.com.
Anonim. 2009. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta : Kepala Biro
Perundang – Undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat
Ebrahim,
abul F.M., 2004. Kloning, Eutanasia, Transfudi Darah, Transplantasi Organ, dan Eksperiment
pada Hewan. Jakarta: Penerbit Serambi.
Farida,
M. 2010. Ilmu Perundang – Undangan.
Yogyakarta : Kanisisus
Lusi. 2008. Bayi tabung Menurut Ajaran Agama Islam. www.lusicaem.blogspot.com.
Widiyono,
I., 2012. Agama Kontekstual;:Islam dan
Animal Welfare. Yogyakarta : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah
Mada
No comments:
Post a Comment