Sunday, 25 November 2012

Blok 8 UP 5


LEARNING OBJECTIVE
1.      Bagaimana Kaitannya Profesi Dokter Hewan dengan Agama?
2.      Apa Saja Legislasi yang mengatur Kehewanan?

PEMBAHASAN

1.      Kaitan Agama dengan Profesi Veteriner
Agama kontekstual yaitu mengaitkan sutau ajaran agama dengan ilmu yang dimiliki, yang diterapkan dengan kehidupan sehari-hari. Hubungan dengan profesi veteriner ialah tindakan medis tidak bertentangan dengan agama yang diyakini dan agama sebagai pedoman setiap tindakan veteriner.
Tiap agama mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat baik, baik itu kepada sesama manusia atau kepada makhluk Tuhan lainnya (hewan) :
1.      Tidak berbuat aniaya.
2.      Menghindarkan dari kurang makan dan beban berlebihan.
3.      Terhindar dari kelaparan.
4.      Prinsip kebebasan hidup.
5.      Menyelamatkan dari ancaman kematian.
6.      Bebas dari penderitaan.
7.      Azas bebas dari beban berat yang tidak sesuai kapasitas.
Peran dokter hewan dalam melakukan tugasnya, tentu juga tidak boleh melenceng dari hukum agama terutama agama yang dianutnya.Hukum agama yang bersangkutan tentunya sudah terkandung dalam etika profesi dan peraturan terkait lainnya. Dalam ajaran agama terdapat ajaran mengenai perlakuan terhadap makhluk ciptaan Tuhan lainnya (hewan), otomatis dokter hewan yang akan selalu berinteraksi dengan hewan harus mengamalkan ajaran tersebut, seperti memperlakukan hewan sesuai yang terkandung dalam five freedom animal welfare karena prinsip kesejahteraan hewan tersebut tidal lain merupakan ekstraksi ajaran agama secara umum. Hal-hal yang harus dipertanggungjawabkan tersebut dalam beberapa hadist.
1.      Alloh menurunkan penyakit dan Dia juga menurunkan obatnya (HR Malik)
2.      Barangsiapa yang mengobati namun tidak menguasai ilmu pengobatan maka ia harus bertanggungjawab (HR: Abu Dawud)
3.      Setiap penyakit ada obatnya, dan jika suatu obat mengena tepat pada penyakitnya, ia akan sembuh dengan izin Alloh Ta’ala (Shohih Al-Jami’ Ash-shighir)
4.      Jangan mencampur antara hewan yang sakit dengan yang sehat (HR:Bukhori dan Muslim)
5.      Jika kamu mendengar ia sedang mewabah di suatu daerah maka janganlah kamu masuk ke sana, dan jika ia mewabah di daerah, sementara kamu ada di dalamnya maka janganlah kamu keluar menghindarinya (HR: Bukhori dan Muslim)
6.      Lalu Kami wahyukan kepadanya: buatlah bahtera di bawah penilikan dan petunjuk Kami, maka apabila perintah Kami telah datang dan dapur telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari setiap jenis, dan juga keluargamu, kecuali orang yang telah berlaku ketetapan (akan ditimpakan adzab) di atara mereka (QS Al-Mukminun : 27)
(Widiyono , 2012)
Sudut Pandang Religiositas Profesi Veteriner:
Kloning
Kloning merupakan penggandaan suatu organisme kehidupan.Kloning dilakukan dengan mengambil embrio dasar dari suatu makhluk hidup, kemudian memberikan instruksi pada embrio tersebut agar bisa menjadi makhluk serupa. Sheikh Farid Washil (mantan Mufti Mesir) menolak kloning reproduksi manusia karena dinilainya bertentangan dengan empat dari lima Maqashid asy-Syar’iah: pemeliharaan jiwa, akal, keturunan, dan agama. Dalam hal ini cloning menyalahi pemeliharaan keturunan.Dari beberapa pendapat tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa cloning hukumnya haram karena lebih berpotensi menghasilkan dampak buruk daripada dampak baiknya.Adapun kloning dalam ranah binatang dan tumbuh-tumbuhan, maka Islam secara jelas membolehkannya, apalagi kalau tujuannya untuk meningkatkan mutu pangan dan kualitas daging yang dimakan manusia.Selain itu, karena binatang dan tumbuh-tumbuhan tidak perlu mengetahui tentang asal-usul garis keturunannya.
Upaya memperbaiki kualitas tanaman dan hewan serta meningkatkan produktivitasnya tersebut menurut syariat Islam tidak apa-apa untuk dilakukan dari termasuk aktivitas yang mubah hukumnya.  Demikian pula memanfaatkan tanaman dan hewan dalam proses kloning guna mencari obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit manusia –terutama yang kronisadalah kegiatan yang dibolehkan Islam, bahkan hukumnya sunnah(mandub). Sebab berobat hukumnya sunnah. Begitu pula memproduksi berbagai obat-obatan untuk kepentingan pengobatan hukumnya juga sunnah. Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis dari Anas ra.yang telah berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia menciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian.”
Oleh karena itu, dibolehkan memanfaatkan proses kloning untuk memperbaiki kualitas tanaman dan mempertinggi produktivitasnya atau untuk memperbaiki kualitas hewan seperti sapi, domba, onta, kuda dan sebagainya. Juga dibolehkan memanfaatkan proses kloning untuk mempertinggi produktivitas hewan-hewan tersebut dan mengembangbiakannya, ataupun untuk mencari obat bagi berbagai penyakit manusia, terutama penyakit-penyakit yang kronis (Abdul Qadim Zallum)(Lusi. 2008).
Inseminasi Buatan
Mengembangbiakkan dan pembibitan semua jenis hewan yang halal diperbolehkan oleh Islam, baik dengan jalan inseminasi alami (natural insemination) maupun inseminasi buatan (artificial insemination).Dasar hukum pembolehan inseminasi buatan ialah Pertama; Qiyas (analogi) dengan kasus penyerbukan kurma.Setelah Nabi Saw hijrah ke Madinah, beliau melihat penduduk Madinah melakukan pembuahan buatan (penyilangan/perkawinan) pada pohon kurma.Lalu Nabi menyarankan agar tidak usah melakukan itu.kemudian ternyata buahnya banyak yang rusak. Setelah hal itu dilaporkan pada Nabi, beliau berpesan : “lakukanlah pembuahan buatan, kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” Oleh karena itu, kalau inseminasi buatan pada tumbuh-tumbuhan diperbolehkan, kiranya inseminasi buatan pada hewan juga dibenarkan, karena keduanya sama-sama diciptakan oleh Tuhan untuk kesejahteraan umat manusia. (QS. Qaaf:9-11 dan An-Nahl:5-8). Kedua; kaidah hukum fiqih Islam “al-ashlu fil asya’ al-ibahah hatta yadulla dalil ‘ala tahrimihi” (pada dasarnya segala sesuatu itu boleh, sampai ada dalil yang jelas melarangnya).Karena tidak dijumpai ayat dan hadits yang secara eksplisit melarang inseminasi buatan pada hewan, maka berarti hukumnya mubah.Hewan juga makhluk hidup seperti manusia, mempunyai nafsu dan naluri untuk kawin guna memenuhi insting seksualnya, mencari kepuasan dan melestarikan jenisnya di dunia. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa mengembangbiakkan semua jenis hewan yang halal (yang hidup di darat, air dan terbang bebas di udara) diperbolehkan Islam, baik untuk dimakan maupun untuk kesejahteraan manusia (Annajah, 2009).
Kastrasi
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud yang isinya hampir semakna dengan hadits diatas, dikatakan bahwa Rasul Allah Saw.melarang umat Islam berqurban dengan hewan yang al-mushfirrat (hewan yang rusak telinganya sehingga tampak bagian kulit dalamnya); al-musta’ashalat (hewan yang tanduknya bergeser dari tempatnya); al-bahqa’ (hewan yang matanya buta sebelah); al-musyayya’at (hewan yang tidak laku dijual karena kurus dan lemah); dan al-kasra’ (hewan yang sudah tua). Hadits di atas memberikan gambaran tentang hewan yang tidak layak dijadikan hewan qurban adalah hewan yang cacat yang rincian kecacatan tersebut adalah kakinya pincang; matanya rusak; matanya buta sebelah atau picek; sakit; kurus yang tidak bergajih lagi; kupingnya rusak bagian depan dan belakangnya, atau belah; kupingnya belah; sudah terlalu tua; tidak laku karena kurus dan lemah; ompong gigi depannya; tanduk dan telinganya hilang setengahnya; dan tanduknya bergeser dari tempatnya.
Ulama Hanabilah menjelaskan ciri-ciri hewan yang cacat yang boleh dijadikan hewan qurban tetapi makruh adalah dikebiri, tanpa tanduk sejak lahir (al-jammâ’), kecil telinga atau tidak bertelinga sejak lahir, tanpa ekor sejak lahir, di matanya terdapat warna putih tapi tidak mengganggu penglihatannya, dan sedang hamil (Ebrahim, 2004).
Pelayanan Kesehatan dan Pemanfaatan Hewan
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian, maka cucilah 7 kali. (HR Bukhari 172, Muslim 279, 90).
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali.” Dan menurut riwayat Ahmad dan Muslim disebutkan salahsatunya dengan tanah.” (HR Muslim 279, 91, Ahmad 2/427)

Maka seluruh ulama sepakat bahwa air liur anjing itu najis, bahkan levelnya najis yang berat (mughallazhah).Sebab untuk mensucikannya harus dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah.Dan memelihara anjing dalam Islam tidak diharamkan, terutama bila digunakan untuk hal-hal yang berguna.Seperti untuk berburu, mencari jejak dan sebagainya.Bahkan kita dibolehkan memakan hewan hasil buruan anjing telah diajar. Al-Quran mengistilahkannya dengan sebutan: mukallab.Mereka menanyakan kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya (QS. Al-Maidah: 4).
Pada Hakekatnya Islam mengajarkan pada umatnya untuk menyayangi binatang dan melestarikan kehidupannya. Di dalam Al-qur’an, Allah SWT menekankan bahwa telah menganugerahi manusia wilayah kekuasaan yang mencakup segala sesuatu didunia ini, hal ini tertuang dalam surat Al-Jatsiyah,45:13 yang artinya sebagai berikut :
Dan Dia telah menundukan untukmu segala apa yang ada di langit dan segala apa yang ada di muka bumi; semuanya itu dari Dia; sesungguhnya di dalam yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir (Q.S. Al-Jatsiyah,45:13).
Menyangkut hewan atau satwa peliharaan, Al-Qur’an dalam surat Al-Nahl menyebutkan beberapa jalan di mana hewan-hewan tersebut memberi manfaat kepada manusia :
Dan dia telah menciptakan binatang ternak untukmu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat lainnya dan sebagiannya kamu makan (Q.S. Al-Nahl,16:5).
Dan mereka membawakan muatan milikmu yang berat menuju tanah yang tidak dapat kau capai dengan selamat kecuali dengan upaya yang sangat berat; karena sesungguhnya Tuhanmu benar-benar maha pengasih dan penyayang (Q.S. Al-Nahl, 16:7) Dan dia telah menciptakan kuda, bagal, dan keledai untukmu baik sebagai kendaraan maupun sebagai hiasan; dan Dia telah menciptakan makhluk-makhluk lainnya yang belum kamu ketahui (Q.S. Al-Nahl, 16:8).
Suatu ketika Nabi melihat mayat seekor kambing, Beliau berkata: Milik siapakah kambing ini? Para sahabat berkata: ini milik budak Maimunah Ummul Mukminin, Nabi berkata: mengapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya? Mereka menjawab: tapi kambing ini sudah mati. Kata beliau: sebenarnya yang dilarang adalah makan dagingnya (HR Bukhori dan Muslim).
Kehalalan hewan pada umumnya dan hewan ternak pada khususnya adalah berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah:29, yang menyatakan bahwa semua yang ada di planet bumi ini untuk kesejahteraan manusia. Dan juga surat Al-Maidah:2, yang menyatakan bahwa semua hewan ternak dihalalkan kecuali yang tersebut dalam Al-An’am:145, An-Nahl:115, Al-Baqoroh:173 dan Al-Maidah:3. Ketiga surat dan ayat yang pertama tersebut hanya mengharamkan 4 jenis makanan saja, yaitu bangkai, darah, babi dan hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Sedangkan surat dan ayat yang disebut terakhir mengharamkan 10 jenis makanan, yaitu 4 macam makanan yang tersebut di atas ditambah 6, yakni: 1. Hewan yang mati tercekik, 2. Yang mati dipukul, 3. Yang mati terjatuh, 4. Yang mati ditanduk, 5. Yang mati diterkam binatang buas, kecuali yang sempat disembelih dan 6. Yang disembelih untuk disajikan pada berhala. Mengenai hewan yang halal dan yang haram, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu: Ulama yang hanya mengharamkan 10 macam makanan/hewan yang tersebut dalam Al-Maidah:3, sebab ayat ini termasuk wahyu terakhir yang turun. Mahmud Syaltut, mantan Rektor Univ. Al-Azhar mendukung pendapat ini. Ulama hadits menambah beberapa larangan berdasarkan hadits Nabi, yaitu antara lain: semua binatang buas yang bertaring, semua burung yang berkuku tajam, keledai peliharaan/jinak dan peranakan kuda dengan keledai. Rasyid Ridha, pengarang Tafsir Al-Manar berpendapat bahwa yang tidak jelas halal/haramnya berdasarkan nash Al-Qur’an itu ada dua macam: 1. semua jenis hewan yang baik, bersih dan enak/lezat (thayyib) adalah halal. 2. Semua hewan yang jelek, kotor dan menjijikan adalah haram. Namun kriteria baik, bersih, enak, menarik atau kotor, jelek dan menjijikan tidak ada kesepakatan ulama di dalamnya.Apakah tergantung selera dan watak masing-masing orang atau menurut ukuran yang umum (Ebrahim, 2004).
Percobaan Binatang
Syariat tidak membahas secara langsung isu tentang eksperimen pada binatang.Fikih merupakan ilmu pengetahuan yang menuntun umat Islam dalam menentukan mana keputusan manusia yang berhubungan dengan isu-isu kontemporer yang dapat dibenarkan dan mana yang tidak. Dengan kata lain, tindakan-tindakan tertentu yang dimotivasi oleh keterpaksaan (al-dharurah) dalam rangka melindungi salah satu dari kepentingan-kepentingan ini secara kondisional dapat dibenarkan. Atau, dapat pula dikatakan bahwa jika eksperimen pada hewan dapat dilaksanakan dengan tujuan memperoleh pengetahuan yang benar-benar bermanfaat bagi kelestarian hidup manusia dan hewan, maka eksperimen tersebut dapat di setujui. Namun, apa yang diistilahkan sebagai kepentingan (manusia) yang mendesak (al-mashlahah al-dharuriyyah) ini lebih jauh dibatasi oleh prinsip-prinsip umum fikih sebagaimana berikut :
1.      Sesuatu yang dapat membawa kepada hal-hal yang diharamkan, maka hukumnya haram (Ibid, hal. 228)
2.      Seseorang yang terpaksa harus memilih antara dua hal yang buruk, maka ia harus memilih yang lebih kecil keburukannya untuk mencegah keburukan yang lebih besar. (Ibid, hal. 301)
3.      Sesuatu yang dihalalkan karena alasan tertentu akan menjadi tidak halal jika alasan kehalalannya itu tidak ada lagi (Ibid, hal.299)
4.      Menggunakan berbagai pilihan untuk hal-hal yang tidak ada ketentuannya (Fikih) tentangnya (Mashr, Animal in Islam, Hal. 19).
Karena itu, dalam upaya menerapkan prinsip-prinsip fikih di atas pada kasus eksperimen terhadap binatang, maka dapat dikemukakan penarikan kesimpulan sebagaimana berikut : Peraturan ( i ) menyatakan bahwa tindakan menjadikan hewan sebagai objek eksperimen yang bersifat menyakiti dan tindakan-tindakan lain yang mengakibatkan kebutaan atau cacat pada hewan statusnya adalah Haram.
Peraturan ( ii) membolehkan pengujian obat-obatan yang terkait dengan penyelamatan nyawa pada hewan sebelum dinyatakan aman untuk digunakan pada manusia. Peraturan ( iii) menyatakan bahwa tindakan menjadikan hewan sebagai objek eksperimen yang sembarangan (tidak jelas keperluannya) status hukumnya adalah tidak boleh. Peraturan ( iv) memiliki relevansi dengan penyelidikan terkini tentang alternatif-alternatif bagi eksperimen pada hewan dalam rangka meminimalisir pemanfaatan binatang dalam eksperimen (Ebrahim, 2004).

2.      Legislasi Kehewanan
Undang - Undang yang Berkaitan dengan Profesi Veteriner
a.       Undang-undang  No.6 Tahun 1967
Tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan
b.      Undang-undang  No.16 Tahun 1992
Tentang  Karantina Hewan, Ikan Dan Tumbuhan, terdiri dari XI Bab dan 34 Pasal yang disahkan oleh Presiden Soeharto di Jakarta pada tanggal 8 Juni 1992
c.       Undang - Undang No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, terdiri dari XIV Bab dan 43 Pasal yang disahkan Oleh Presiden Soeharto pada tanggal 10 Agustus 1990
d.      Undang-undang Obat Keras  
(Staatsblad No.419  Tanggal 22 Desember 1949)
e.       Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
f.       Undang – Undang No. 18 Tahun 2009
Tentang Kesejahteraan Hewan, terdiri dari XV Bab dan 99 Pasal yang disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Juni 2009 (Farida, 2010)
BAB I   KETENTUAN UMUM
Pasal 1. Arti beberapa istilah
BAB II   ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2  s/d  Pasal 3
BAB III  SUMBER DAYA
Bagian Kesatu  :  Lahan  Pasal 4 s/d  Pasal 6
Bagian Kedua   :  Air   Pasal 7
Bagian Ketiga   :  Sumber daya genetik  Pasal 8 s/d  Pasal 12
BAB IV   PETERNAKAN
Bagian Kesatu  :  Benih, Bibit, dan Bakalan  Pasal 13  s/d  Pasal 18
Bagian Kedua    :  Pakan   Pasal 19 s/d  Pasal  23
Bagian Ketiga    :  Alat dan Mesin Peternakan   Pasal 24  s/d  Pasal 26
Bagian Keempat :  Budi Daya  Pasal 27  s/d  Pasal 33
Bagian Kelima : Panen, Pasca Panen, Pemasaran, dan Industri Pengolahan Hasil  
                           Peternakan  Pasal 34 s/d  Pasal 38.
BAB V  KESEHATAN HEWAN
Bagian Kesatu : Pengendalian & Penanggulangan Penyalahgunaan Hewan
                        Pasal 39 s/d Pasal 48
Bagian Kedua : Obat Hewan      Pasal 49  s.d Pasal 54
Bagian Ketiga : Alat dan Mesin Kesehatan Hewan     Pasal 55
BAB VI  KESMAVET DAN KESRAWAN
Bagian Kesatu : Kesmavet      Pasal 56 s/d  Pasal 65
Bagian Kedua  : Kesrawan      Pasal 66 s/d  Pasal 67
BAB VII  OTORITAS VETERINER     Pasal 68  s/d  Pasal 75
BAB VIII  PEMBERDAYAAN PETERNAK & USAHA DI BID PTRNKN DAN KESEHATAN HEWAN       Pasal 76  s/d  Pasal  77
BAB IX  PENGEMBANGAN SMBR DAYA MANUSIA     Pasal 78 
BAB  X  PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN     Pasal  79  s/d  Pasal  83
BAB  XI  PENYIDIKAN    Pasal  84
BAB  XII  SANKSI ADMINISTRATIF     Pasal 85 
BAB  XIII  KETENTUAN PIDANA    Pasal  86  s/d  Pasal  93
BAB  XIV  KETENTUAN PERALIHAN     Pasal  94
BAB  XV  KETENTUAN PENUTUP     Pasal  95  s/d  Pasal  99 (Anonim, 2009)

Peraturan Pemerintahan yang Berkaitan dengan Profesi Veteriner
a.       PP No.15 Tahun 1977  Tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan
b.      PP No. 22 Tahun 1983 Tentang Kesejahteraan Masyarakat Veteriner
c.       PP No.78  Tahun 1992  Tentang Obat Hewan
d.      PP No.82 Th.2000 Tentang Karantina Hewan (Farida, 2010)

Keputusan Menteri yang Berkaitan dengan Profesi Veteriner
a.       Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 206/Kpts/OT.21/4/2001 Tentang Pedoman Penetapan Standart Pelayanan Minimal Bidang Pertanian
b.      Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 64/Permentan/T.140/9/2007 Tentang Pedoman Pelayanan Pusat Kesehatan Hewan
c.       Keputusan Direktur Jenderal  Peternakan Nomor : 820/Kpts/DJP/Deptan/1984 Tentang Ketentuan Praktek dan atau Kegiatan Pelayanan  Kesehatan Hewan bagi Dokter  Hewan Praktek (Farida, 2010).


Daftar Pustaka
An-Najah, Ahmad Zein. 2009. Inseminasi Buatan. www.annajah.wordpress.com.
Anonim. 2009. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta : Kepala Biro Perundang – Undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat
Ebrahim, abul F.M.,  2004. Kloning, Eutanasia, Transfudi Darah, Transplantasi Organ, dan Eksperiment pada Hewan. Jakarta:  Penerbit Serambi.
Farida, M. 2010. Ilmu Perundang – Undangan. Yogyakarta : Kanisisus
Lusi. 2008. Bayi tabung Menurut Ajaran Agama Islam. www.lusicaem.blogspot.com.
Widiyono, I., 2012. Agama Kontekstual;:Islam dan Animal Welfare. Yogyakarta : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada

No comments:

Post a Comment