Wednesday, 12 December 2012

Blok 9 UP 1


LEARNING OBJECTIVE
1.      Bagaimana pengaruh libido dan dewasa kelamin terhadap tingkah laku hewan?
2.      Sebutkan macam-macam hormon yang berpengaruh pada reproduksi jantan, beserta mekanismenya?
3.      Bagaimana ciri-ciri dan kualitas sperma yang baik?
4.      Bagaimana cara pemeriksaan dan kriteria penilian BSE?



PEMBAHASAN
1.      Dewasa kelamin
Pengaruh Hormon Reproduksi Jantan pada Libido
Androgen Binding Protein (ABP) melakukan binding dengan Testosteron membentuk kompleks ABP-T akan masuk ke dalam bloodstream (aliran darah) dan beredar ke seluruh tubuh.
Prenatal Period :
Pada prenatal period, hormon testosteron akan berikatan dengan ductus wolffi yang berpengaruh pada perkembangan alat kelamin jantan.
Puberty Period :
Pada puberty period, hormon testosteron akan berikatan dengan jaringan. Hal ini akan berpengaruh pada perkembangan karakter sex sekunder. Hormon testosteron juga akan berikatan dengan neuron yang akan berpengaruh pada keagresifan serta sifat dominan (dominant behavior).
Adulthood Period :
Pada adulthood period, hormon testosteron akan berikatan dengan jaringan. Hal ini akan berpengaruh pada spermatositogenesis serta sifat kedewasaan (mating behavior). Hormon testosteron juga akan berikatan dengan neuron yang akan berpengaruh pada libido (sex drive) (Guyton, 2008).







2.      Hormon Kelamin Betina

Mekanisme Kerja Hormon – Hormon pada Reproduksi Jantan
Bagian utama dari pengaturan fungsi seksual jantan atau betina diawali dengan sekresi GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone) oleh nukleus arkuata hipotalamus. Bagian ujung dari neuron ini berakhir terutama di eminentia mediana hipotalamus, tempat neuron-neuron tersebut melepaskan GnRH ke sistem pembuluh darah porta hipotalamus-hipofisis. GnRH kemudian diangkut di kelenjar hipofisis anterior dalam darah porta hipofisis. Hormon ini selanjutnya merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk menyekresikan dua hormon lain yaitu Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). Selanjutnya, LH merupakan rangsangan utama untuk sekresi testosteron oleh testis, dan FSH terutama merangsang spermatogenesis. FSH dan LH disekresikan oleh sel yang sama, yang disebut sel gonadotrop, di kelenjar hipofisis anterior. FSH dan LH merupakan glikoprotein. Keduanya mengeluarkan pengaruh pada jaringan target di dalam testis terutama melalui aktivasi sistem second messenger siklik adenosin monofosfat, yang selanjutnya akan mengaktifkan sistem enzim khusus di sel-sel target berikutnya (Frandson, 1993 ; Guyton, 2008).

Testosteron disekresi oleh sel-sel intersisial Leydig yang dirangsang oleh LH dari kelenjar hipofisis anterior. Jumlah testosteron yang dihasilkan meningkat sebanding dengan jumlah LH yang tersedia. Testosteron yang disekresikan oleh testis sebagai respons terhadap LH mempunyai timbal balik dalam menghambat sekresi LH. Sebagian besar inhibisi ini dihasilkan oleh efek langsung testosteron terhadap hipotalamus untuk menurunkan sekresi GnRH. Keadaan ini selanjutkan akan menurunkan sekresi LH dan FSH oleh hipofisis anterior, dan penurunan LH akan mengurangi sekresi testosteron oleh testis. Jadi bilamana sekresi testosteron menjadi terlalu banyak, efek umpan balik negatif secara otomatis akan beroperasi melalui hipotalamus dan kelenjar hipofisis ini, akan menggurangi sekresi testosteron kembali ke tingkat yang diharapkan. Sebaliknya, terlalu sedikit testosteron yang disekresikan akan menyebabkan hipotalamus menyekresikan sejumlah besar GnRH disertai dengan peningkatan sekresi LH dan FSH oleh hipofisis anterior dan berakibat peningkatan sekresi testosteron oleh testis (Guyton, 2008).
FSH berikatan dengan reseptor-reseptor FSH spesifik yang melekat pada sel-sel Sertoli di dalam tubulus seminiferus. Pengikatan ini mengakibatkan sel-sel tumbuh dan menyekresikan berbagai unsur spermatogenik. Secara bersamaan testosteron yang berdifusi ke dalam tubulus seminiferus dari sel-sel Leydig di dalam ruang intersisial juga mempunyai efek tropik yang sangat kuat terhadap spermatogenesis. Jadi untuk memulai spermatogenesis dibutuhkan FSH maupun testosteron. Ketika tubulus seminiferus gagal menghasilkan sperma, sekresi FSH meningkat dengan nyata. Sebaliknya, jika spermatogenesis berjalan terlalu cepat, sekresi FSH akan berkurang. Penyebab efek umpan balik negattif ini pada hipofisis anterior diyakini berupa suatu jenis hormon lain yang disekresikan oleh sel Sertoli yaitu inhibin. Hormon ini mempunyai efek langsung yang kuat terhadap kelenjar hipofisis anterior dalam menghambat FSH dan mungkin berefek kecil terhadap hipotalamus dalam menghambat sekresi GnRH (Guyton, 2008).

Pengaruh Hormon Reproduksi Jantan pada Semen
a)      Testosteron, yang disekresikan oleh sel-sel Leydig yang terletak di interstisium testis, penting bagi pertumbuhan dan pembelahan sel-sel germinal testis yang merupakan tahap pertama pembentukan sperma
b)      LH, yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel-sel Leydig untuk menyekresikan testosteron
c)      FSH, yang juga disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior merangsang sel-sel Sertoli. Tanpa rangsangan ini pengubahan spermatid menjadi sperma tidak akan terjadi
d)     Estrogen, yang dibentuk dari testosteron oleh sel-sel Sertoli ketika sel Sertoli dirangsang oleh hormon FSH, mungkin juga penting untuk spermiogenesis
e)      Hormon pertumbuhan dan hormon yang lain. Diperlukan untuk mengatur latar belakang fungsi metabolisme testis. Hormon pertumbuhan secara spesifiik meningkatkan pembelahan awal spermatogonia itu sendiri. Bila terdapat hormon pertumbuhan, seperti pada dwarfisme hipofisis, spermatogenesis sangat berkurang atau tidak ada sama sekali sehingga menyebabkan infertilitas (Guyton, 2008).

3.      Kualitas Sperma yang baik
1)      Evaluasi Makroskopik
a)   Volume
Setiap kali ejakulasi sapi jantan umumnya menghasilkan  5  – 8 ml, domba 0,8 – 1,2 ml, kambing 0,5  – 1,5 ml, babi 150 – 200 ml, kuda 60 – 100 ml, dan ayam 0,2 – 0,5 ml (Toelihere,1993).
b)  Warna
Warna semen dapat diamati langsung karena tabung penampung semen terbuat dari gelas atau plastik tembus pandang.  Semen sapi umumnya berwarna putih sedikit krem, semen domba putih krem, krem (lebih tua dari warna semen sapi), semen babi dan kuda menyerupai larutan kanji (abu-abu encer), sedangkan semen  ayam berwarna putih seperti air susu.  Warna kemerahan merupakan tanda bahwa semen terkontaminasi oleh darah segar, sedang apabila warnanya mendekati coklat dapat merupakan tanda bahwa darah yang mengkontaminasi semen sudah mengalami dekomposisi. Warna kehijauan merupakan tanda adanya bakteri pembusuk (Toelihere,1993).
c)   Bau
Pegang tabung semen pada posisi tegak lurus.  Dekatkan tabung ke bagian muka pemeriksa dan lewatkan mulut tabung tersebut di bawah lubang hidung.  Pada saat tabung melewati lubang hidung, tarik nafas perlahan sampai bau semen tercium. Semen yang normal, pada umumnya, memiliki bau amis khas disertai dengan bau dari hewan itu sendiri.  Bau busuk bisa terjadi apabila semen mengandung nanah yang disebabkan oleh adanya infeksi organ atau saluran reproduksi hewan jantan (Toelihere,1993).
d)  Kekentalan
Kekentalan atau konsistensi atau viskositas merupakan salah satu sifat semen yang memiliki kaitan dengan kepadatan/konsentrasi sperma di dalamnya.  Semakin kental semen dapat diartikan bahwa semakin tinggi konsentrasi spermanya. Semen ayam, domba dan sapi umumnya merupakan semen yang sangat kental sampai kental (secara berurutan), sedangkan kuda dan babi memiliki semen yang encer (Toelihere,1993).
e)   pH (Keasaman)
Keasaman atau pH semen perlu diukur untuk memastikan bahwa cairan semen hasil penampungan memiliki karakteristik yang normal. Pemeriksaan keasaman semen dapat di lakukan menggunakan kertas indikator pH (buatan Merck atau Sigma) dengan skala ketelitian yang cukup sempit, misalnya antara 6  – 8 dengan rentang ketelitian 0,1. Semen pada umumnya memiliki kisaran pH netral.  Penggunaan pH-meter dapat dilakukan dan memberikan hasil pengukuran yang lebih teliti.  Akan tetapi mengingat ukuran batang detektor (probe) pH-meter yang cukup besar dan volume semen yang relatif kecil, terutama pada se-men ayam dan domba, maka akan menyebabkan banyak semen yang terbuang karena menempel pada batang detektor pH-meter. Penggunaan pH meter akan efektif untuk mengukur pH semen kuda atau babi (Toelihere,1993). 
2)      Evaluasi Mikroskopik
a)    Gerakan massa
Gerakan massa sperma merupakan petunjuk derajat keaktifan bergerak sperma (sebagai indikator tingkat atau persentase sperma hidup dan aktif) dalam semen. Hasil pengamatan ini akan memberikan gambaran kualitas semen dalam 6 (enam) kategori.
Score
Kelas
Keterangan
5
Sangat bagus
Padat, gelombang yang terbentuk besar-besar dan bergerak sangat cepat.  Tidak tampak sperma secara individual. Contoh semen tersebut mengandung 90% atau lebih sperma aktif.
4
Bagus
Gelombang yang terbentuk hampir sama dengan semen yang memiliki skor 5 tetapi gerakannya sedikit lebih lambat. Contoh semen tersebut mengandung 70-85 % sperma yang aktif.
3
Cukup
Gelombang yang terbentuk berukuran kecil-kecil yang bergerak/ berpindah tempat dengan lambat.  Sperma aktif dalam contoh semen tersebut berkisar antara 45-65 %
2
Buruk
Tidak ditemukan adanya gelombang tetapi terlihat gerakan sperma secara individual. Semen tersebut diperkirakan mengandung 20-40 % sperma hidup.
1
Sangat buruk
Hanya sedikit (kira-kira 10 %) sel sperma yang memperlihatkan tanda-tanda hidup yang bergerak sangat lamban.
0
Mati
Seluruh sperma mati, tidak terlihat adanya sel sperma yang bergerak
(Toelihere,1993).
b)  Konsentrasi sperma total
Konsentrasi sperma atau kandungan sperma dalam setiap mililiter semen merupakan salah satu parameter kualitas semen yang sangat berguna untuk menentukan jumlah betina yang dapat diinseminasi menggunakan semen tersebut.  Penentuan konsentrasi sperma dapat dilakukan melalui 4 (empat) cara, yaitu pendugaan melalui warna dan kekentalan semen, jarak antar kepala sperma, serta penghitugan menggunakan haemacytometer dan kamar hitung Neubauer.
1)      Pendugaan berdasarkan warna dan kekentalan semen
Pendugaan berdasarkan warna dan kekentalan semen lebih ditekankan penerapannya pada semen domba dan kambing. Metode ini menghasilkan 5 (lima) kriteria tingkat konsentrasi sperma dalam satu contoh semen.
Score
Warna dan Kekentalan Semen
Konsentrasi sperma  (x 109 sel) per ml
Rata-rata
Kisaran
5
Krem kental
5,00
4,50 – 6,00
4
Krem
4,00
3,50 – 4,50
3
Krem encer
3,00
2,50 – 3,50
2
Putih susu
2
1,00 – 2,50
1
Keruh
0,7
0,30 – 1,00
0
Bening encer
Tidak ada
2)      Pendugaan berdasarkan jarak antar kepala sperma
Kriteria
Keterangan
Konsentrasi sperma
(x 106 sel) per ml
Densum
Jarak rata-rata antara satu kepala sperma dengan kepala sperma yang lain kurang dari panjang satu kepala sperma 
1000-2000
Semi densum
Jarak rata-rata antara satu kepala sperma dengan kepala sperma yang lain sama dengan panjang satu kepala sperma 
500-1000
Rarum
Jarak rata-rata antara satu kepala sperma dengan kepala sperma yang lain mencapai satu setengah pan-jang kepala sampai satu panjang sperma keseluruhan
200-500
Oligospermia
Jarak rata-rata antara satu kepala sperma dengan kepala sperma yang lain lebih dari panjang satu sel sperma keseluruhan
>200
Necrospermia
Tidak ditemukan adanya sperma
0
(Eilts, 2004 ; Toelihere,1993).
c)   Konsentrasi Sperma Hidup (Motilitas Sperma)
Semen yang berkualitas baik adalah semen yang memiliki kandungan sperma hidup dan bergerak maju ke depan dalam jumlah yang banyak.  Perbandingan sperma hidup dan bergerak ke depan (motil progresif) dengan konsentrasi sperma total dalam satu contoh semen dikenal dengan istilah motilitas sperma. Penentuan motilitas sperma dalam satu contoh semen dapat dilakukan melalui dua me tode, yaitu melalui penghitungan menggunakan pipet haemacytometer dan kamar hitung Neubauer, atau menggunakan metode pewarnaan diferensial yaitu suatu metode pewarnaan yang memberi kemungkinan pada kita untuk membedakan sperma yang hidup dan sperma yang mati (Toelihere,1993).

4.      BSE

Breeding Soundness Examination (BSE) adalah evaluasi terhadap kemampuan pejantan untuk menghasilkan semen yang fertil hingga bisa membuntingi betina. BSE penting untuk meningkatkan sifat genetik dan meningkatkan performan. BSE dilakukan untuk mengidentifikasi pejantan yang fertilitasnya kurang, tidak hanya untuk mencari yang steril. Sangat sedikit pejantan yang steril, tetapi lebih banyak yang fertilitasnya kurang memadai. Breeding Soundness Examination dilakukan saat : bull baru, rutin 1 kali pertahun, dan 30-60 hari sebelum breeding season (Eilts,2004 ; Toelihere, 1993)
Tahapan BSE
a.       Pemeriksaan Skrotum
  Ukuran diameter testis merupakan pelengkap dari pemeriksaan BSE. Diameter dari testis berhubungan langsung dengan kapasitas produksi semen. Setiap gram testis dapat memproduksi 15 juta sperma perhari. Total produksi sperma paling sedikit 6 milyar perhari. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa besarnya ukuran testis sapi jantan merupakan factor keturunan (Toelihere, 1993)
Umur
Lingkar skrotum (cm)
≤ 15 bulan
30
15 – 18 bulan
31
18 – 21 bulan
32
21 – 24 bulan
33
> 24 bulan
34

b.      Evaluasi Fisik
Evaluasi fisik meliputi penampilan keseluruhan dari pejantan tersebut. Pemeriksaan dilakukan secara internal dan eksternal.
1)      Internal
Pemeriksaan transrektal digunakan untuk mengevaluasi kesehatan organ atau saluran reproduksi skunder sapi pejantan yang meliputi Uretra, prostate, vesikula seminalis, ampula dan vas deferent. Abnormalitas biasanya terjadi inflamasi pada vesikula semilunalis, condisi tersebut dapat menyebabkan hewan pejantan menjadi infertil (Eilts,2004 ; Toelihere, 1993).
2)      Eksternal
 Evaluasi bentuk scrotum adalah bagian terpenting dalam pemeriksaan eksternal. Produksi sperma hanya terjadi ketika suhu agak lebih rendah dari tubuh. Bentuk scrotum dapat mempengaruhi produksi sperma. Sebagai contoh sapi jantan yang mempunyai bentuk scrotum dan testis menempel atau melekat pada tubuh memiliki masalah dengan pengaturan suhu sehingga dapat menyebabkan subfertil. Sebagai alternative, sapi jantan dengan scotum yang terlalu menggantung dapat menyebabkan subfertil yang lebih besar karena kecenderungan mengayun dan rusak.
Palpasi testis dan epididimis dan pemeriksaan penis dapat mendeteksi abnormalitas yang dapat mempengaruhi performan dari perkawinan. Pemeriksaan kesehatan secara lengkap dari fisik atau kondisi hewan. Sapi jantan harus mempunyai bentuk yang baik dan penglihatan yang baik. Sapi sapi tersebut harus mampu berjalan dengan jarak yang panjang, kepincangan, radang sendi (Arthritis), tapak kaki abses dan penyakit pada telapak kaki tidak hanya mempengaruhi kemampuan kawin tetapi juga mempengaruhi produksi sperma apabila sapi jantan menghabiskan waktu dengan berbaring. Abnormalitas pada sapi tersebut dapat mempengaruhi kualitas dan produksi semen. Pemeriksaan tingkah laku kawin (libido) juga harus diperhatikan. (Eilts,2004 ; Toelihere, 1993).

c.       Evaluasi Semen
Evaluasi Makroskopik
a.       Volume
b.      Warna 
c.       Bau
d.      Kekentalan
e.       pH (Keasaman)
Evaluasi Mikroskopik
a.       Gerakan massa
b.      Konsentrasi sperma total
c.       Konsentrasi Sperma Hidup (Motilitas Sperma)

Abnormalitas Sperma
Ketidaknormalan bentuk sperma dalam satu contoh semen perlu diketahui  karena tingkat ketidaknormalan tersebut akan berkaitan dengan kesuburan (fertilitas) dari pejantan yang ditampung semennya. Tingkat abnormalitas sperma dapat diketahui melalui preparat pewarnaan diferensial  yang sudah diuraikan pada bagian motilitas sperma. Abnormalitas sperma terdiri dari dua kelompok, yaitu abnormalitas primer dan abnormalitas  sekunder. Abnormalitas primer terjadi selama proses pembentuk-an sperma di dalam testes, sedangkan abnormalitas sekunder terjadi setelah proses pembentukan sperma,  setelah keluar dari tubuh ternak jantan, serta akibat pengolahan semen.
Bentuk-bentuk abnormalitas primer adalah : ukuran kepala lebih besar (macrocephalic) atau lebih kecil (microcephalic) dari ukuran normal, kepala ganda atau ekor ganda, bentuk kepala tidak normal (penyok, benjol, pipih atau tidak beraturan). Bentuk-bentuk abnormalitas sekunder  adalah : kepala pecah, ekor putus (pada bagiaan leher atau tengah-tengah), ekor melipat, terpilin,  atau tertekuk (Toelihere,1993).
Klasifikasi bull :
a.       Satisfactory : memenuhi standar minimal dari lingkar skrotum, motilitas dan morfologi sperma, dan tidak ada cacat fisik
b.      Unsatisfactory : tidak memenuhi salah satu persyaratan yang tidak bisa diperbaiki termasuk cacat genetis
c.       Deferred : tidak termasuk a dan b, bull yang masih muda sakit saat evaluasi akan tetapi masih bisa sembuh





Daftar Pustaka
Eilts, B.E. 2004. Semen Evaluation on Breeding Soundness Examination of The Bull. Louisiana : School of Veterinari Medicine, Louiciana State University
Frandson, R.D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak edisi 4. Yogyakarta : UGM Press
Guyton, A.C., Hall, J.E. 2008. Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Shively, M.J. 1987. Veterinary Anatomy Basic, Comparative, and Clinical. Texas : Texas A&M University Press
Toelihere, M.R. 1989. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung : Penerbit Angkasa
Toelihere, M.R. 1993. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung : Penerbit Angkasa

No comments:

Post a Comment