LEARNING
OBJECTIVE
1. Bagaimana
pengaruh libido dan dewasa kelamin terhadap tingkah laku hewan?
2. Sebutkan
macam-macam hormon yang berpengaruh pada reproduksi jantan, beserta
mekanismenya?
3. Bagaimana
ciri-ciri dan kualitas sperma yang baik?
4. Bagaimana
cara pemeriksaan dan kriteria penilian BSE?
PEMBAHASAN
1. Dewasa
kelamin
Pengaruh
Hormon Reproduksi Jantan pada Libido
Androgen Binding
Protein (ABP) melakukan binding dengan Testosteron membentuk kompleks ABP-T
akan masuk ke dalam bloodstream (aliran darah) dan beredar ke seluruh tubuh.
Prenatal Period :
Pada prenatal period, hormon
testosteron akan berikatan dengan ductus wolffi yang berpengaruh pada
perkembangan alat kelamin jantan.
Puberty Period :
Pada puberty period, hormon
testosteron akan berikatan dengan jaringan. Hal ini akan berpengaruh pada
perkembangan karakter sex sekunder. Hormon testosteron juga akan berikatan
dengan neuron yang akan berpengaruh pada keagresifan serta sifat dominan
(dominant behavior).
Adulthood Period :
Pada adulthood period, hormon
testosteron akan berikatan dengan jaringan. Hal ini akan berpengaruh pada
spermatositogenesis serta sifat kedewasaan (mating behavior). Hormon
testosteron juga akan berikatan dengan neuron yang akan berpengaruh pada libido
(sex drive) (Guyton, 2008).
2. Hormon
Kelamin Betina
Mekanisme
Kerja Hormon – Hormon pada Reproduksi Jantan
Bagian utama dari
pengaturan fungsi seksual jantan atau betina diawali dengan sekresi GnRH
(Gonadotropin Releasing Hormone) oleh nukleus
arkuata hipotalamus. Bagian ujung dari neuron ini berakhir terutama di eminentia mediana hipotalamus, tempat
neuron-neuron tersebut melepaskan GnRH ke sistem pembuluh darah porta
hipotalamus-hipofisis. GnRH kemudian diangkut di kelenjar hipofisis anterior
dalam darah porta hipofisis. Hormon ini selanjutnya merangsang kelenjar
hipofisis anterior untuk menyekresikan dua hormon lain yaitu Luteinizing
Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). Selanjutnya, LH merupakan
rangsangan utama untuk sekresi testosteron oleh testis, dan FSH terutama
merangsang spermatogenesis. FSH dan LH disekresikan oleh sel yang sama, yang
disebut sel gonadotrop, di kelenjar hipofisis anterior. FSH dan LH merupakan
glikoprotein. Keduanya mengeluarkan pengaruh pada jaringan target di dalam
testis terutama melalui aktivasi sistem
second messenger siklik adenosin monofosfat, yang selanjutnya akan
mengaktifkan sistem enzim khusus di sel-sel target berikutnya (Frandson, 1993 ;
Guyton, 2008).
Testosteron disekresi oleh sel-sel intersisial
Leydig yang dirangsang oleh LH dari kelenjar hipofisis anterior. Jumlah
testosteron yang dihasilkan meningkat sebanding dengan jumlah LH yang tersedia.
Testosteron yang disekresikan oleh testis sebagai respons terhadap LH mempunyai
timbal balik dalam menghambat sekresi LH. Sebagian besar inhibisi ini
dihasilkan oleh efek langsung testosteron terhadap hipotalamus untuk menurunkan
sekresi GnRH. Keadaan ini selanjutkan akan menurunkan sekresi LH dan FSH oleh
hipofisis anterior, dan penurunan LH akan mengurangi sekresi testosteron oleh
testis. Jadi bilamana sekresi testosteron menjadi terlalu banyak, efek umpan
balik negatif secara otomatis akan beroperasi melalui hipotalamus dan kelenjar
hipofisis ini, akan menggurangi sekresi testosteron kembali ke tingkat yang
diharapkan. Sebaliknya, terlalu sedikit testosteron yang disekresikan akan
menyebabkan hipotalamus menyekresikan sejumlah besar GnRH disertai dengan
peningkatan sekresi LH dan FSH oleh hipofisis anterior dan berakibat
peningkatan sekresi testosteron oleh testis (Guyton, 2008).
FSH berikatan dengan
reseptor-reseptor FSH spesifik yang melekat pada sel-sel Sertoli di dalam
tubulus seminiferus. Pengikatan ini mengakibatkan sel-sel tumbuh dan
menyekresikan berbagai unsur spermatogenik. Secara bersamaan testosteron yang
berdifusi ke dalam tubulus seminiferus dari sel-sel Leydig di dalam ruang intersisial
juga mempunyai efek tropik yang sangat kuat terhadap spermatogenesis. Jadi
untuk memulai spermatogenesis dibutuhkan FSH maupun testosteron. Ketika tubulus
seminiferus gagal menghasilkan sperma, sekresi FSH meningkat dengan nyata.
Sebaliknya, jika spermatogenesis berjalan terlalu cepat, sekresi FSH akan
berkurang. Penyebab efek umpan balik negattif ini pada hipofisis anterior
diyakini berupa suatu jenis hormon lain yang disekresikan oleh sel Sertoli
yaitu inhibin. Hormon ini mempunyai
efek langsung yang kuat terhadap kelenjar hipofisis anterior dalam menghambat
FSH dan mungkin berefek kecil terhadap hipotalamus dalam menghambat sekresi
GnRH (Guyton, 2008).
Pengaruh
Hormon Reproduksi Jantan pada Semen
a)
Testosteron, yang disekresikan oleh sel-sel
Leydig yang terletak di interstisium testis, penting bagi pertumbuhan dan
pembelahan sel-sel germinal testis yang merupakan tahap pertama pembentukan
sperma
b)
LH, yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis
anterior, merangsang sel-sel Leydig untuk menyekresikan testosteron
c)
FSH, yang juga disekresikan oleh kelenjar
hipofisis anterior merangsang sel-sel Sertoli. Tanpa rangsangan ini pengubahan
spermatid menjadi sperma tidak akan terjadi
d)
Estrogen, yang dibentuk dari testosteron oleh
sel-sel Sertoli ketika sel Sertoli dirangsang oleh hormon FSH, mungkin juga penting
untuk spermiogenesis
e)
Hormon pertumbuhan dan hormon yang lain.
Diperlukan untuk mengatur latar belakang fungsi metabolisme testis. Hormon
pertumbuhan secara spesifiik meningkatkan pembelahan awal spermatogonia itu
sendiri. Bila terdapat hormon pertumbuhan, seperti pada dwarfisme hipofisis,
spermatogenesis sangat berkurang atau tidak ada sama sekali sehingga
menyebabkan infertilitas (Guyton, 2008).
3. Kualitas
Sperma yang baik
1) Evaluasi
Makroskopik
a)
Volume
Setiap
kali ejakulasi sapi jantan umumnya menghasilkan
5 – 8 ml, domba 0,8 – 1,2 ml,
kambing 0,5 – 1,5 ml, babi 150 – 200 ml,
kuda 60 – 100 ml, dan ayam 0,2 – 0,5 ml (Toelihere,1993).
b) Warna
Warna semen dapat diamati
langsung karena tabung penampung semen terbuat dari gelas atau plastik tembus
pandang. Semen sapi umumnya berwarna
putih sedikit krem, semen domba putih krem, krem (lebih tua dari warna semen
sapi), semen babi dan kuda menyerupai larutan kanji (abu-abu encer), sedangkan
semen ayam berwarna putih seperti air
susu. Warna kemerahan merupakan tanda
bahwa semen terkontaminasi oleh darah segar, sedang apabila warnanya mendekati
coklat dapat merupakan tanda bahwa darah yang mengkontaminasi semen sudah
mengalami dekomposisi. Warna kehijauan merupakan tanda adanya bakteri pembusuk (Toelihere,1993).
c)
Bau
Pegang
tabung semen pada posisi tegak lurus.
Dekatkan tabung ke bagian muka pemeriksa dan lewatkan mulut tabung
tersebut di bawah lubang hidung. Pada
saat tabung melewati lubang hidung, tarik nafas perlahan sampai bau semen
tercium. Semen yang normal, pada umumnya, memiliki bau amis khas disertai
dengan bau dari hewan itu sendiri. Bau
busuk bisa terjadi apabila semen mengandung nanah yang disebabkan oleh adanya
infeksi organ atau saluran reproduksi hewan jantan (Toelihere,1993).
d) Kekentalan
Kekentalan
atau konsistensi atau viskositas merupakan salah satu sifat semen yang memiliki
kaitan dengan kepadatan/konsentrasi sperma di dalamnya. Semakin kental semen dapat diartikan bahwa
semakin tinggi konsentrasi spermanya. Semen
ayam, domba dan sapi umumnya merupakan semen yang sangat kental sampai kental
(secara berurutan), sedangkan kuda dan babi memiliki semen yang encer (Toelihere,1993).
e)
pH (Keasaman)
Keasaman atau pH semen perlu
diukur untuk memastikan bahwa cairan semen hasil penampungan memiliki
karakteristik yang normal. Pemeriksaan keasaman semen dapat di lakukan
menggunakan kertas indikator pH (buatan Merck atau Sigma) dengan skala
ketelitian yang cukup sempit, misalnya antara 6
– 8 dengan rentang ketelitian 0,1. Semen pada umumnya memiliki kisaran
pH netral. Penggunaan pH-meter dapat
dilakukan dan memberikan hasil pengukuran yang lebih teliti. Akan tetapi mengingat ukuran batang detektor
(probe) pH-meter yang cukup besar dan volume semen yang relatif kecil, terutama
pada se-men ayam dan domba, maka akan menyebabkan banyak semen yang terbuang
karena menempel pada batang detektor pH-meter. Penggunaan pH meter akan efektif
untuk mengukur pH semen kuda atau babi (Toelihere,1993).
2) Evaluasi
Mikroskopik
a) Gerakan
massa
Gerakan
massa sperma merupakan petunjuk derajat keaktifan bergerak sperma (sebagai
indikator tingkat atau persentase sperma hidup dan aktif) dalam semen. Hasil
pengamatan ini akan memberikan gambaran kualitas semen dalam 6 (enam) kategori.
Score
|
Kelas
|
Keterangan
|
5
|
Sangat bagus
|
Padat, gelombang yang
terbentuk besar-besar dan bergerak sangat cepat. Tidak tampak sperma secara individual.
Contoh semen tersebut mengandung 90% atau lebih sperma aktif.
|
4
|
Bagus
|
Gelombang yang
terbentuk hampir sama dengan semen yang memiliki skor 5 tetapi gerakannya sedikit
lebih lambat. Contoh semen tersebut mengandung 70-85 % sperma yang aktif.
|
3
|
Cukup
|
Gelombang yang
terbentuk berukuran kecil-kecil yang bergerak/ berpindah tempat dengan
lambat. Sperma aktif dalam contoh
semen tersebut berkisar antara 45-65 %
|
2
|
Buruk
|
Tidak ditemukan
adanya gelombang tetapi terlihat gerakan sperma secara individual. Semen
tersebut diperkirakan mengandung 20-40 % sperma hidup.
|
1
|
Sangat buruk
|
Hanya sedikit
(kira-kira 10 %) sel sperma yang memperlihatkan tanda-tanda hidup yang bergerak
sangat lamban.
|
0
|
Mati
|
Seluruh sperma mati,
tidak terlihat adanya sel sperma yang bergerak
|
(Toelihere,1993).
b)
Konsentrasi sperma
total
Konsentrasi sperma atau
kandungan sperma dalam setiap mililiter semen merupakan salah satu parameter
kualitas semen yang sangat berguna untuk menentukan jumlah betina yang dapat
diinseminasi menggunakan semen tersebut.
Penentuan konsentrasi sperma dapat dilakukan melalui 4 (empat) cara,
yaitu pendugaan melalui warna dan kekentalan semen, jarak antar kepala sperma,
serta penghitugan menggunakan haemacytometer dan kamar hitung Neubauer.
1)
Pendugaan berdasarkan
warna dan kekentalan semen
Pendugaan berdasarkan warna dan kekentalan semen lebih ditekankan
penerapannya pada semen domba dan kambing. Metode ini menghasilkan 5 (lima)
kriteria tingkat konsentrasi sperma dalam satu contoh semen.
Score
|
Warna dan Kekentalan Semen
|
Konsentrasi sperma (x 109 sel) per ml
|
|
Rata-rata
|
Kisaran
|
||
5
|
Krem kental
|
5,00
|
4,50 – 6,00
|
4
|
Krem
|
4,00
|
3,50 – 4,50
|
3
|
Krem encer
|
3,00
|
2,50 – 3,50
|
2
|
Putih susu
|
2
|
1,00 – 2,50
|
1
|
Keruh
|
0,7
|
0,30 – 1,00
|
0
|
Bening encer
|
Tidak ada
|
2) Pendugaan
berdasarkan jarak antar kepala sperma
Kriteria
|
Keterangan
|
Konsentrasi sperma
(x 106 sel) per ml
|
Densum
|
Jarak
rata-rata antara satu kepala sperma dengan kepala sperma yang lain kurang
dari panjang satu kepala sperma
|
1000-2000
|
Semi
densum
|
Jarak
rata-rata antara satu kepala sperma dengan kepala sperma yang lain sama
dengan panjang satu kepala sperma
|
500-1000
|
Rarum
|
Jarak
rata-rata antara satu kepala sperma dengan kepala sperma yang lain mencapai
satu setengah pan-jang kepala sampai satu panjang sperma keseluruhan
|
200-500
|
Oligospermia
|
Jarak
rata-rata antara satu kepala sperma dengan kepala sperma yang lain lebih dari
panjang satu sel sperma keseluruhan
|
>200
|
Necrospermia
|
Tidak
ditemukan adanya sperma
|
0
|
(Eilts, 2004 ; Toelihere,1993).
c) Konsentrasi Sperma Hidup (Motilitas Sperma)
Semen yang berkualitas baik
adalah semen yang memiliki kandungan sperma hidup dan bergerak maju ke depan
dalam jumlah yang banyak. Perbandingan
sperma hidup dan bergerak ke depan (motil progresif) dengan konsentrasi sperma
total dalam satu contoh semen dikenal dengan istilah motilitas sperma.
Penentuan motilitas sperma dalam satu contoh semen dapat dilakukan melalui dua
me tode, yaitu melalui penghitungan menggunakan pipet haemacytometer dan kamar
hitung Neubauer, atau menggunakan metode pewarnaan diferensial yaitu suatu
metode pewarnaan yang memberi kemungkinan pada kita untuk membedakan sperma
yang hidup dan sperma yang mati (Toelihere,1993).
4. BSE
Breeding
Soundness Examination (BSE) adalah evaluasi terhadap kemampuan pejantan untuk
menghasilkan semen yang fertil hingga bisa membuntingi betina. BSE penting
untuk meningkatkan sifat genetik dan meningkatkan performan. BSE dilakukan
untuk mengidentifikasi pejantan yang fertilitasnya kurang, tidak hanya untuk
mencari yang steril. Sangat sedikit pejantan yang steril, tetapi lebih banyak
yang fertilitasnya kurang memadai. Breeding Soundness
Examination dilakukan saat : bull baru, rutin 1 kali pertahun, dan 30-60 hari
sebelum breeding season (Eilts,2004 ; Toelihere, 1993)
Tahapan
BSE
a.
Pemeriksaan Skrotum
Ukuran diameter testis merupakan pelengkap
dari pemeriksaan BSE. Diameter dari testis berhubungan langsung dengan
kapasitas produksi semen. Setiap gram testis dapat memproduksi 15 juta sperma
perhari. Total produksi sperma paling sedikit 6 milyar perhari. Penelitian yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa besarnya ukuran testis sapi jantan merupakan
factor keturunan (Toelihere, 1993)
Umur
|
Lingkar skrotum (cm)
|
≤ 15 bulan
|
30
|
15 – 18 bulan
|
31
|
18 – 21 bulan
|
32
|
21 – 24 bulan
|
33
|
> 24 bulan
|
34
|
b.
Evaluasi Fisik
Evaluasi
fisik meliputi penampilan keseluruhan dari pejantan tersebut. Pemeriksaan
dilakukan secara internal dan eksternal.
1) Internal
Pemeriksaan transrektal
digunakan untuk mengevaluasi kesehatan organ atau saluran reproduksi skunder
sapi pejantan yang meliputi Uretra, prostate, vesikula seminalis, ampula dan
vas deferent. Abnormalitas biasanya terjadi inflamasi pada vesikula
semilunalis, condisi tersebut dapat menyebabkan hewan pejantan menjadi infertil
(Eilts,2004
; Toelihere, 1993).
2) Eksternal
Evaluasi bentuk scrotum
adalah bagian terpenting dalam pemeriksaan eksternal. Produksi sperma hanya
terjadi ketika suhu agak lebih rendah dari tubuh. Bentuk scrotum dapat
mempengaruhi produksi sperma. Sebagai contoh sapi jantan yang mempunyai bentuk
scrotum dan testis menempel atau melekat pada tubuh memiliki masalah dengan
pengaturan suhu sehingga dapat menyebabkan subfertil. Sebagai alternative, sapi
jantan dengan scotum yang terlalu menggantung dapat menyebabkan subfertil yang
lebih besar karena kecenderungan mengayun dan rusak.
Palpasi testis dan epididimis
dan pemeriksaan penis dapat mendeteksi abnormalitas yang dapat mempengaruhi
performan dari perkawinan. Pemeriksaan kesehatan secara lengkap dari fisik atau
kondisi hewan. Sapi jantan harus mempunyai bentuk yang baik dan penglihatan
yang baik. Sapi sapi tersebut harus mampu berjalan dengan jarak yang panjang,
kepincangan, radang sendi (Arthritis), tapak kaki abses dan penyakit pada
telapak kaki tidak hanya mempengaruhi kemampuan kawin tetapi juga mempengaruhi
produksi sperma apabila sapi jantan menghabiskan waktu dengan berbaring.
Abnormalitas pada sapi tersebut dapat mempengaruhi kualitas dan produksi semen.
Pemeriksaan tingkah laku kawin (libido) juga harus diperhatikan. (Eilts,2004
; Toelihere, 1993).
c.
Evaluasi Semen
Evaluasi
Makroskopik
a. Volume
b. Warna
c. Bau
d. Kekentalan
e. pH (Keasaman)
Evaluasi Mikroskopik
a.
Gerakan massa
b.
Konsentrasi sperma
total
c.
Konsentrasi Sperma
Hidup (Motilitas Sperma)
Abnormalitas Sperma
Ketidaknormalan bentuk sperma
dalam satu contoh semen perlu diketahui
karena tingkat ketidaknormalan tersebut akan berkaitan dengan kesuburan
(fertilitas) dari pejantan yang ditampung semennya. Tingkat abnormalitas sperma
dapat diketahui melalui preparat pewarnaan diferensial yang sudah diuraikan pada bagian motilitas
sperma. Abnormalitas sperma terdiri dari dua kelompok, yaitu abnormalitas
primer dan abnormalitas sekunder. Abnormalitas
primer terjadi selama proses pembentuk-an sperma di dalam testes, sedangkan
abnormalitas sekunder terjadi setelah proses pembentukan sperma, setelah keluar dari tubuh ternak jantan,
serta akibat pengolahan semen.
Bentuk-bentuk abnormalitas
primer adalah : ukuran kepala lebih besar (macrocephalic) atau lebih kecil
(microcephalic) dari ukuran normal, kepala ganda atau ekor ganda, bentuk kepala
tidak normal (penyok, benjol, pipih atau tidak beraturan). Bentuk-bentuk
abnormalitas sekunder adalah : kepala
pecah, ekor putus (pada bagiaan leher atau tengah-tengah), ekor melipat,
terpilin, atau tertekuk (Toelihere,1993).
Klasifikasi
bull :
a. Satisfactory : memenuhi standar minimal dari lingkar
skrotum, motilitas dan morfologi sperma, dan tidak ada cacat fisik
b.
Unsatisfactory
: tidak memenuhi salah satu persyaratan yang tidak bisa diperbaiki termasuk
cacat genetis
c.
Deferred
: tidak termasuk a dan b, bull yang masih muda sakit saat evaluasi akan tetapi
masih bisa sembuh
Daftar
Pustaka
Eilts,
B.E. 2004. Semen Evaluation on Breeding
Soundness Examination of The Bull. Louisiana : School of Veterinari
Medicine, Louiciana State University
Frandson,
R.D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak
edisi 4. Yogyakarta : UGM Press
Guyton,
A.C., Hall, J.E. 2008. Fisiologi
Kedokteran edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Shively, M.J. 1987. Veterinary Anatomy Basic,
Comparative, and Clinical. Texas : Texas A&M University Press
Toelihere,
M.R. 1989. Inseminasi Buatan pada Ternak.
Bandung : Penerbit Angkasa
Toelihere,
M.R. 1993. Fisiologi Reproduksi pada
Ternak. Bandung : Penerbit Angkasa
No comments:
Post a Comment