LERNING
OBJECTIVE
1. Bagaimana
tanda-tanda hewan betina menjelang partus
2. Bagaimana
mekanisme hormon saat partus?
3. Bagaimana
tahapan partus dan jelaskan?
4. Bagaimana
penanganan induk dan anak pada post partus?
5. Apa
saja kelainan partus?
PEMBAHASAN
1. Tanda-Tanda
Menjelang Partus
Partus atau kelahiran dapat ditandai dengan adanya
tanda-tanda baik dari induk/maternal ataupun dari fetus, pada induk yang
menjelang partus akan mengalami perubahan eksternal maupun internal. Perubahan
eksternal yang paling penting paling terlihat pada ligamentum ambing, vulva,
dan pelvis. Mendekati akhir kebuntingan ambing membesar dan tegang. Kolostrum
muncul pada puting susu dan menjadi lebih tebal serta warnanya kuning saat
menjelang kelahiran.
Sewaktu mendekati kelahiran, vulva akan memanjang
dan muncul leleran vagina yang jernih yang merupakan pengencer sumbat serviks.
Relaksasi dari ligamentum pelvis terlihat pada akhir kebuntingan, menjadi lebih
jelas mendekati kelahiran. Relaksasi ligamentum pelvis merupakan tanda yang
paling nyata dari sapi, karena hal tersebut menandakan fetus akan segera
keluar. Sehingga sapi akan nampak
mengangkat pangkal ekor dan otot gluteal nampak cekung.
Pada pemeriksaan perrectal kaki fetus dan kepala
akan teraba pada pelvis maternal atau
langsung di depannya. Kehidupan fetus dapat dideteksi dengan gerakan spontan
atau dengan respon terhadap tekanan lembut. Dilatasi serviks akan penuh
menjelang kelahiran (Toelihere, 1979).
Sebelum
kelahiran terjadi, induk telah memberikan tanda – tanda antara lain:
1)
Induk hewan gelisah sambil menghentakkan kaki pada
lantai, sambil berkeliling.
2)
Lig. Sacrospinorum et tubersorum mengalami relaksasi
3)
Vulva odema dan keluar lendir dari vulva
4)
Air susu mudah diperah
5)
Khusus anjing dan kucing cenderung membuat sarang
melahirkan
6)
Khusus ternak sapi, kerbau dan kuda, hewan suka
mengasingkan diri dari kawanan sekelompoknya dan mencari tempat yang tenang
(Manan, 2002).
Persiapan
Partus
Pada proses persiapan induk harus mampu
mempersiapkan :
1)
menghasilkan dan mengeluarkan susu agar dapat
memberi makan pada anak yang dilahirkan
2)
Pada beberapa spesies, induk harus membuat nest
building dan indra protektif
3)
Uterus harus terlepas dari pengaruh progesteron dan
terangsang untuk mengalami kontraksi (Toelihere, 1979).
Sedangkan pada fetus juga harus mampu
mempersiapkan diri antara lain:
1)
menghisap udara
2)
Mengalirkan darah ke dan dari pulmo (paru-paru)
3)
Memetabolisir produk susu
4)
Mengatur temperatur tubuh karena fetus akan
menghadapi kondisi suhu yang drastis
5)
Melindungi diri terhadap lingkungan yang baru (Toelihere,
1979).
Persiapan yang perlu
dilakukan oleh pemilik hewan antara lain:
1)
Sediakan kandang / tempat yang nyaman
2)
Sediakan alas yang nyaman menjelang kelahiran
(jerami untuk hewan ternak, litter atau potongan – potongan koran untuk kucing dan
anjing)
3)
Jauhkan dari kelompoknya, maupun dari hewan – hewan
lain
4)
Siapkan persediaan makanan yang cukup
5)
Cek ke dokter hewan terdekat
2. Hormon
saat partus
Fetus bertanggungjawab terhadap inisiasi kelahiran pada hewan domestik.
Peningkatan produksi kortisol terjadi akibat perubahan dan kedewasaan aksis
hipotalamus-pituitary-adrenal fetus. Hal ini disebabkan oleh stress fetus yang
berkembang karena plasenta tidak mampu lagi mensuplai kebutuhan pertumbuhan dan
tuntutan fetus (Jackson, 2007).
Kejadian endokrin yang mendahului kelahiran, dapat diringkas sebagai
berikut:
a.
Peningkatan
produksi corticotropic releasing hormon (CRH) oleh otak fetus
b.
Peningkatan
produksi hormon adenocorticotropic hormon (ACRH) oleh gladula pituitary
anterior fetus
c.
Peningkatan
produksi kortisol oleh gladula adrnal fetus
d.
Perubahan
plasenta progesterone ke estrogen
e.
Estrogen
menstimulasi myometrium untuk memproduksi prostaglandin F2α (PGF2α)
dan menyebabkan relaksasi serviks
f.
Prostaglandin
F2α menyebabkan kontraksi myometrim yang akan meningkatkan tekana
intra uterine dan medorong fetus ke arah
servik, menyebabkan dilatasi servik.
g.
Oksitosin
dikeluarkan oleh glandula pituitary posterior induk dan fetus memacu dilatasi
servik (reflek ferguson)
h.
Oksitosin
menyebabkan kontraksi myometrium (Jackson, 2007).
Hormon polipeptida
relaksin diproduksi oleh plasenta atau maternal korpus luteum pada kebuntingan
awal. Relaksin juga berperan pada relaksasi maternal servik menjelang kelahiran
dan juga mempengaruhi efisiensi kontraksi myometrium (Jackson, 2007).
3. Tahapan
Partus
Proses partus terbagi kedalam tiga bagian/stadium,
tidak ada batasan yang pasti antara satu tahap dengan tahap yang lain. Lama
setiap tahap bervariasi sebelum kelahiran terjadi.
Kejadian fisiologis utama dari ketiga tahap
kelahiran adalah sebagai berikut:
a.
Tahap pertama
Tanda-tanda
eksternal pada tahap pertama termasuk adanya kegelisahan, berhenti makan,
mencakar-cakar tanah, mengayuh, memmutar, dan berbaring kemudian berdiri
kembali. Pangkal ekor dinaikkan karena terjadi tremor otot dan kadang disertai
dengan pengejanan. Servik mulai lembek dan dilatasi, mulainya dilatasi servik
dan kontraksi uterus menyebabnkan chotioallantois terdorong ke dalam vagina.
Sejauh mana gerakan gerakan tersebut menggantung pada elastisitas dan keketatan
perlekatannya, apabila terhambat akan pecah di dalam. Pecahnya chotioallantois
menyebabkan keluarnya cairan allantoik dan kelembaban disekitar maternal (Toelihere, 1979).
b.
Tahap kedua
kelahiran
Periode ini ditandai dengan masuknya fetus ke
saluran peranakan (maternal passage), amnion memasuki vagina dan disertai
dengan adanya kontraksi uterus berlanjut dan kontraksi abdominal terjadi.
Sapi yang melahirkan akan bergulung dengan rebah
sterna ke lateral, selama pengeluaran posisi pedet dapat beputar sekitar 45o
ke kanan atau ke kiri sehingga memungkinkan melalui diameter pinggul
terbesar dari induknya.
Pada gambar menunjukkan awal tahap kedua/
pengeluaran fetus ditandai dengan keluarnya moncong dan tracak, amnion sudah
pecah dan lidah menjulur keluar, posisi pedet berotasi sekitar 45o dari
posisi dorsal (Toelihere, 1979).
c.
Tahap ketiga
kelahiran
Merupakan periode keluarnya membrane fetus
dikeluarkan dalam waktu 12 jam setelah kelahiran. Retensi lebih dari 12 jam
sering diikuti oleh periode retensi yang berlangsung dari 3 sampai 10 hari
kecuali membrane diambil secara manual.
Periode ini ditandai dengan hilangnya sirkulasi plasenta sehingga pemisahan
plasenta terjadi, hal ini dipengaruhi oleh kontraksi uterus dan abdominal yang
berlanjut sehingga plasenta dapat dikeluarkan (Toelihere, 1979).
4. Penanganan
Post Partus
a. Perawatan
Anak dan Induk
Penanganan
pada neonatus meliputi beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:
1)
Pedet yang
telah lahir, segera semua lendir yang menyelubungi tubuh, terutama yang
menutupi lubang hidung dan mulut, harus dibersihkan
2)
Sewaktu
membersihkan lendir, hendaknya dada ditekan-tekan untuk membantu pernafasan
3)
Kemudian tali
pusar dipotong, disisakan sepanjang 10 cm dan didesinfektan dengan larutan
yodium tinctur 10%
4)
30 menit sesudah
lahir, biasanya pedet bisa berjalan dan menyusui induknya yang sebelumnya sudah
dibersihkan lebih dulu
5)
Tempat pedet
berbaring harus diberi alas jerami atau rumput kering yang bersih dan hangat untuk
menghindarkan hipoksia pada pedet (Toelihere, 1979).
Pada indukan juga
diperlukan penanganan yang baik. Betina
yang baru melahirkan akan mengalami kelelahan, sehingga perlu pemberian nutrisi (pakan, minum, air garam, air gula merah, dll) sehingga
dapat mengembalikan tenaga indukan, selain itu diperlukan suatu
pengamatan untuk memeriksa saluran uterus untuk memastikan ada atau tidaknya
fetus lain. Involusi uterus mulai segera setelah kelahiran anak sapi apabila
tonus uterus lemah 20 IU oxytocin harus diberikan dengan injeksi intramuscular,
selain itu ambing juga diperiksa apakah terjadi mastitis atau tidak (Toelihere, 1979).
b.
Laktasi
dan Kolostrum
Pemberian susu atau laktasi
kepada neonates merupakan hal yang harus dipenuhi karena susu mempunyai fungsi
antara lain:
1)
menyediakan bahan makanan untuk anak yang masih muda
pada kebanyakan spesies
a)
Apabila anak itu tidak lagi menyusui induk, laktasi
akan berhenti
b)
Pada sapi, domba, kambing dan beberapa spesies lain,
seleksi dan perkawinan untuk produksi air susu yang lebih tinggi telah
memberikan produksi air susu yang berlebihan dari pada yang diperlukan untuk anak-anaknya.
2)
memberikan antibodi untuk anak yang baru dilahirkan
lewat kolostrum yang dapat diabsorbsi selama beberapa jam pertama sesudah
kelahiran (Toelihere, 1979).
Susu mempunyai
komposisi yang baik dan mempunyai sumber nutrisi yang lengkap bagi neonatus.
Seperti pada diagram menunjukkan bahwa komposisi susu tiap ras dari jenis sapi
mempunyai komposisi yang berbeda.
Berikut merupakan koposisi
dari berbagai jenis hewan menyusui lainnya, yang mempuyai komposisi susu yang
berbeda.
Kekebalan (imunitas) anak sapi didapat dengan mengkonsumsi kolostrum
dinamakan kekebalan pasif. Kekebalan atau imunitas pasif ini diperoleh secara
pasif dari sumber yang berasal dari luar (induk), sedangkan kekebalan aktif
diperoleh dari tubuh anak sapi itu sendiri. Anak sapi (pedet) yang baru
dilahirkan menerima imunitas pasif dengan mengkonsumsi kolostrum sesaat sesudah
dilahirkan. Kolostrum merupakan protein esensial yang terkonsentrasi, yang disebut imunoglobulin (Toelihere, 1979).
Banyak pedet gagal untuk
memperoleh manfaat yang penting dari makanan pertama yang kritis ini. Bila hal
ini terjadi, pedet-pedet dianggap memiliki Kegagalan
Transfer Pasif (KTP). Ada suatu hubungan yang erat di antara kejadian KTP
dan sakitnya serta kematian pedet (Toelihere, 1979).
Untuk mencegah kegagalan
transfer pasif ini diperlukan suatu pengganti kolostrum, dengan membuat atau
meracik susu sehingga kadar nutrisinya hampir sama. Berikut adalah komposisi
dari kolostrum buatan.
a.
Susu kolostrum
pengganti racikan pertama:
1)
500 ml susu murni
2)
1 sendok teh
minyak kastrol atau minyak ikan
3)
1 butir kuning
telur
4)
250 ml air
b.
Susu kolostrum
pengganti racikan kedua:
1)
600 ml susu
murni
2)
0,5 sendok the
minyak kastrol atau minyak ikan
3)
1 butir kuning
telur
4)
300 ml air
Bila perlu,
ditambah dengan antibiotik
5. Kelainan
Partus
a.
Ruptur Uterus
Terjadi pada semua spesies tetapi paling umum terlihat pada sapi dan
domba betina. Disebabkan oleh kerusakan tidak sengaja yang terjadi selama
sewaktu penanganan distokia. Lebih mungkin terjadi pada kasus disporposi
fetopelvis atau jika uterus oleh perubahan – perubahan keradangan atau gangguan
suplay darah uterus. Hal ini jarang disebabkan oleh upaya – upaya dalam
mengambil membrane fetus.
Jika hanya tedapat lubang yang amat kecil dan tidak ada isi abdominal
yang masuk ke dalam uterus, injeksi oksitosin diberikan. Jika ditemukan lubang
besar maka perlu ada usaha untuk memperbaikinya. Jika lubang berada pada posisi
yang dalam, dapat dilakukan dengan memakai forcep yang panjang untuk meraih dan
membetulkan kerusakan melalui vagina (Jackson, 2007).
b.
Laserasi Serviks
Disebabkan oleh kerusakan pada proses kelahiran, khususnya jika cerviks
tidak terdilatasi sempurna saat kelahiran. Pembentukan jaringan parut mungkin
menyertai perbaikan alami, yang mungkin dapat mengganggu dilatasi serviks pada
proses kelahiran berikutnya.
Diperlukan instrumen – instrumen khusus, termasuk pemegang jarum yang
panjang. Pembedahan dilakukan pada hewan yang berdiri di bawah anestesi
epidural. Luka serviks dibersihkan dan pinggiran luka dibersihkan dengan
scalpel. Perbaikan dilakukan dengan menempatkan benang jahitan yang bisa
terserap melalui mukosa yang rusak dank e dalam melalui submukosa. Perlindungan
antibiotic diperlukan. Perkawinan selanjutnya ditunda sampai perbaikan selesai
(Jackson, 2007).
c.
Laserasi Vagina
Laserasi bisa terjadi secara spontan pada kasus malpostur seperti posisi
kaki-duduk dengan kaki fetus salah letak dan menekan ke dalam dan ke mukosa
bagina akibat pengejanan yang kuat dari induk. Pemakaian tenaga yang
berlebiohan selama pembetulan mungkin juga mengakibtakan kerusakan parah
khusunya dalam kasus disproporsi fetopelvis. Parahnya laserasi tergantung
apakah kerusakan bersifat retroperineal (ketika tanda –tanda secara normal
kurang parah) ataukah ada perforasi ke dalam ruang peritoneal.
Tingkat kerusakan ditetapkan dengan seksama dan jika diduga ada
keterlibatan peritoneum ketuakn peritoneal harus dilakukan. Tranda –tanda peritonitis segera ditangani dengan terapi
antibiotic (“agresif”) dan terapi NSAID. Laserasi minor yang melibatkan mukosa
vagina pada umumnya akan sembuh dengan cepat tanpa penanganan (Jackson, 2007).
d.
Prolaps Uterus
Pada dasarnya adalah eversi dari organ, yang bagian dalamnya keluar
sewaktu melewati melalui vagina, sebagai sebuah prolaps. Banyak faktor yang
terlibat termasuk tonus uteri yang jelek, peningkatan pengejanan, meningkatnya
tekanan intraabdominal, tarikan yang berlebihan saat membantu proses kelahiran
dan berat dari retensi membran fetus.
Saat penanganan uterus dilindungi dari kerusakan lebih lanjut, dibungkus
dengan lembaran lembab yang bersih dan bila memungkinkan, dipertahankan di atas
level vulva. Berikan anestesi epidural, posisikan sapi dengan benar, bersihkan
kotoran yang prolaps dengan antiseptic ringan, ambil plasenta atau sisa – sisa
dari kotiledon, perbaiki kerusakan yang terlihat dengan benang jahit yang bisa
terserap (Jackson, 2007).
e.
Vaginitis Nekrotik
Biasanya terjadi pada sapi dara yang melahirkan anak pertama yang
mengalami distokia akibt disproporsi fetopelvik. Bisa juga terjadi pada spesies
yang lainnya. Meskipun hal tersebut normalnya terjadi sebagai hal yang terpisah
mungkin disertai oleh infeksi uterus atau retensi plasenta. Tekanan pada
dinding vagina oleh fetus yang menyebabkan kerusakan mukosa yang menjadi
infeksi.
Penanganan
dapat dilakukan dengan pemberian krim dua kali sehari pada bagian vagina yang
dapat dicapai. Jika ada infeksi uterus pemberian antibiotic parenteral
sebaiknya dianjurkan. Penolak lalat sebaiknya diterapkan di sekitar perineal
untuk menghindari kemungkinan serbuan lalat (Jackson, 2007).
DAFTAR
PUSTAKA
Jackson,
Peter GG. 2007. Handbook Obstetri
Veteriner. Penerjemah: Aris Junaidi. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press
Manan,
Djema at. 2002. Ilmu Kebidanan pada
Ternak. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional
Partodihadjo,Soebandi. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya
Toelihere, M.R. 1979. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung : Penerbit Angkasa
No comments:
Post a Comment