Wednesday 13 February 2013

Blok 10 UP 1



Lebih Lengkap Download Disini

LEARNING OBJECTIVE
1.      Apa dan Bagaimana Fowlpox itu? Bagaimana mekanisme penularannya?
2.      Bagaimana Respon tubuh terhadap infeksi?

PEMBAHASAN

1.      Fowlpox
Fowlpox adalah penyakit di seluruh dunia dari unggas yang disebabkan oleh virus dari keluarga Poxviridae dan genus Avipoxvirus . Virus menyebabkan fowlpox berbeda dari satu sama lain tapi antigen yang sama, host mungkin termasuk ayam , kalkun , burung puyuh , burung kenari , burung merpati , dan spesies lain dari burung. Ada dua bentuk penyakit. Yang pertama disebarkan oleh gigitan serangga (terutama nyamuk ) dan kontaminasi luka dan menyebabkan lesi pada sisir , pial , dan paruhnya . Burung dipengaruhi oleh bentuk ini biasanya sembuh dalam beberapa minggu. Bentuk kedua disebarkan oleh inhalasi virus dan menyebabkan membran difteri terbentuk dalam mulut, faring , laring , dan kadang-kadang trakea (Fenner, 1993).

Ø  Garis Besar Fowl Pox
Fowl pox disebut juga sorehead, avian dhypteria atau cacar ayam adalah penyakit cacar yang menyerang unggas terutama ayam. Pada bentuk kering angka kesakitan dan angka kematian rendah (1-2)%, tetapi pada bentuk basah angka kematian bisa mencapai 5%. Fowl Pox merupakan penyakit infeksi yang penularanya sangat lambat. Pada ayam petelur umumnya menginfeksi pada saat mulai bertelur. Pada ayam pedaging menyebabkan pertumbuhan terhambat. Fowl Pox disebabkan oleh virus yang masuk dalam famili Poxviridae, genus avipox yang disebut virus fowl pox (virus Borrelota aviu) dan menyerang semua jenis ayam terutama ayam usia muda. Penyakit yang disebut juga dengan pox, avian pox atau cacar ayam ini menyerang ayam pada segala golongan umur dan menyebar ayam pada segala golongan umur dan menyebar secara perlahan. Fowl Pox pada masing masing bangsa unggas disebabkan oleh strain virus yang berbeda-beda, tapi macam-macam strain virus tersebut membentuk kekebalan silang meskipun tidak sempurna. Virus Fowl Pox diketahui sangat immunogenik sehingga menimbulkan kekebalan yang lama. Virus ini dapat tumbuh dan berkembang biak dalam sel-sel kulit dan sel-sel selaput lendir. Pada keadan kering misalnya didalam keropeng yang terlepas virus dapat bertahan hidup 3-4tahun (Tabu, 2010).
Terdapat dua jenis bentuk penyakit cacar yaitu Cutaneous type (dry pox) dan Diphtheritic type (wet pox). Cutaneous type (dry pox) yaitu cacar yang berbentuk luka keropeng ditemukan di daerah jengger, pial, sekitar mata dan lubang telinga. Diphtheritic type (wet pox) yaitu cacar yang menyerang daerah permukaan bagian dalam yang basah seperti mulut, lidah, tenggorok, saluran hidung dan kadang-kadang daerah tembolok. Bagin tubuh ayam yang terserang penyakit ini berwarna kekuningan, berbentuk seperti kanker dan terjadi luka yang disertai keluarnya cairan kental (exudate) (Tabu, 2010).

Ø  Infeksi virus fowl pox
Ayam dengan daya tahan tubuh yang sedang menurun mudah diserang penyakit cacar, misalnya stress atau kekurangan vitamin A. Virus penyakit cacar dapat masuk ketubuh ayam melalui luka-luka atau goresan pada kepala atau dalam mulut dan dapat juga menular melalui kontak langsung dengan cara saling mematuk (kanibalisme) atau melalui kontak antara ternak sakit dengan ternak sehat. Bisa juga menular melalui perantaraan nyamuk gologan Aedes dan Culex, lalat dan serangga pengisap darah yang membawa poxvirus, kemudian menginfeksi ayam sehat (penularan secara tak langsung). Nyamuk tertular pada saat menghisap darah ayam penderita cacar. Bila nyamuk yang tertular tersebut menghisap darah ayam yang sehat maka virus akan masuk ke dalam darah ayam ini melalui luka tusukan. Selain itu, bisa menular melalui telur yang dihasilkan dari induk yang tertular virus cacar ini (Tabu, 2010).
Selain menyerang jaringan kulit, penyakit fowl pox juga menyerang saluran pencernaan. Diphtheritic type (wet pox) termasuk jenis cacar yang menyerang saluran pencernaan. Cacar ini menyerang daerah permukaan yang bagian dalamnya basah, seperti mulut, lidah, tenggorok, saluran hidung dan kadang-kadang daerah tembolok. Cacar ini berwarna kekuningan, berbentuk seperti kanker dan berbentuk luka mengeju. Meskipun fowl pox penyebarannya relatif lambat, kawanan unggas ini dapat berpengaruh selama beberapa bulan. Perjalanan penyakit ini memerlukan waktu sekitar 3-5 minggu (Tabu, 2010).

Ø  Gejala fowl pox
Gejala fowl pox dapat diamati bentuk difterik (secara basah) dan bentuk kulit atau noduler (secara kering). Bentuk difterik sifatnya basah dengan gejala terlihat bercak difterik yang berwarna kekuning-kuningan pada selaput lendir rongga mulut dan larynx. Dari bercak tersebut akan terbentuk “selaput semu” yang seringkali menyebabkan penyumbatan saluran nafas sehingga ayam mati tercekik. Pada pemeriksaan histologik terhadap jaringan ayam yang sakit akan ditemukan Bollinger bodies (Badan Bollinger) pada kulit dan mukosa saluran pernafasan. Bentuk kulit atau noduler sifatnya kering dengan gejala mula-mula terbentuk lesi fokal berwarna merah jambu pada jengger, pial dan bagian tubuh lain yang tidak berbulu. Fokus ini kemudian bergabung dan membesar sehingga terbentuk keropeng besar berwarna hitam seperti kudis yang akan bertahan sampai dua minggu dan diikuti dengan pengelupasan dan kesembuhan. Bila keropeng dilepas maka akan terjadi perdarahan dari lapisan dibawahnya. Pada pemerikasaan bedah bangkai, cacar bentuk difterik dapat dikenali dengan adanya hiperplasia nodular pada mukosa faring dan trakhea serta adanya penyumbatan oleh eksudat padat di dalam celah suara (glottis) dan mengakibatkan sesak nafas (asphyxia) (Tabu, 2010).
Ayam yang terserang penyakit cacar biasanya akan menjadi kurus karena pertumbuhannya terhambat dan tingkat produksinya (telur atau daging) menurun. Suara nafas abnormal akan terdengar terutama apabila ayam tersebut dipelihara dengan ventilasi kurang optimal. Penyakit ini menyerang ayam selama 3-4 minggu. Namun jika terjadi komplikasi, penyakit ini akan menyerang ayam lebih lama. Tingkat kematian (mortality) pada ayam relatif rendah. Namun pada kasus tertentu mortality bisa mencapai 50% (Tabu, 2010).

Ø  Pencegahan fowl pox
Pencegahan dapat dilakukan melalui vaksinasi, sanitasi yang baik dan hindari kemungkinan yang menyebabkan ayam luka. Terramycin dapat digunakan untuk mengobati luka yang memungkinkan bakteri masuk dengan cara mengoleskannya. Langkah pencegahan yang utama adalah memberikan vaksinasi ada ayam. Pemberian Vaksinai dapat dilakukan dengan penyuntikan Sub cutan/bawah kulit dengan ukuran jarum khusus. Ada dua tipe vaksin virus hidup yang dapat digunakan untuk mencegah penyakit cacar (pox) yaitu vaksin fowl pox dan pigeon pox. Vaksinasi biasanya dilakukan ketika ayam mulai terserang. Namun bisa juga dilakukan pada sembarang umur jika memang diperlukan. Vaksinasi biasanya dilakukan dengan cara wing web menggunakan jarum bermata dua yang sebelumnya dicelupkan ke vaksin fowl pox. Botol vaksin harus dibuka secepatnya sebelum membuka botol vaksin baru. Semua botol bekas vaksin dan jarumnya harus segera dimusnahkan. Cara lain yang dapat dilakukan yaitu dengan membersihkan benjolan-benjolan yang berisi nanah dengan air hangat, selanjutnya diolesi Metylen blue 1% atau Gentian Violet. Pada daerah yang populasinya padat maka risiko penularan penyakit cacar menjadi tinggi. Oleh karenanya vaksinasi dilakukan lebih ketat yaitu 4 minggu dan diulang pada umur 4 bulan. Sedangkan pada daerah dengan populasi relatif sedikit vaksinasi cukup dilakukan sekali yaitu pada umur antara 8 – 12 minggu. Belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakit Fowl Pox terutama bentuk basah. Usaha yang dapat dilakukan adalah menjaga supaya kondisi badan cepat membaik dan meningkatkan nafsu makan dengan memberikan vitamin. sedangkan untuk mencegah infeksi sekunder bisa dilakukan dengan memberikan antibiotic (Tabu, 2010).


2.      Respon Ragawi
Jenis – Jenis Sistem Imun
a.      Non – Spesifik
 Mekanisme fisiologik imunitas nonspesifik berupa komponen normal tubuh yang selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkan mikroba tersebut. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi. Disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Sistem tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung.
1)      Pertahanan Fisik/Mekanik
Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik, kulit, selaput lendir, silia saluran pernafasan, batuk, dan bersin, merupakan garis pertahanan terdwepan terhadap infeksi. Keratinosit dan lapisan epidermis kulit sehat dan epitel mukosa yang utuh tidak dapat ditembus kebanyakan mikroba. Tekanan oksigen yang tinggi di paru bagian atas membantu hidup kuman obligat aerob seperti tuberkulosis (Baratawidjaja, 2004).
2)      Pertahanan Biokimia
Kebanyakan mikroba tidak dapat menembus kulit yang sehat, namun beberapa dapat masuk tubuh melalui kelenjar sebaseus dan folikel rambut. pH asam keringat dan sekresi sebaseus berbagai asam lemak yang dilepas kulit mempunyai efek denaturasi protein membran sel sehingga dapat mencegah infeksi yang terjadi melalui kulit. Udara yang dihirup, kulit, dan saluran cerna mengandung banyak mikroba biasanya bakteri dan virus, kadang jamur dan parasit. Sekresi kulit yang bakterisidal, asam lambung, mukus dan silia di saluran nafas membantu menurunkan jumlah mikroba yang masuk. Dalam darah, enzim lisozim membunuh banyak bakteri dengan mengubah dinding selnya. IgA juga merupakan pertahanan permukaan tubuh.
Lisozim dalam keringat, ludah, air mata dan air susu melindungi tubuh terhadap berbagai kuman dengan menghancurkan lapisan peptidoglikan dinding bakteri. Air susu juga mengandung laktooksidase dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antibakterial terhadap E.coli dan staphylococcus.
Saliva mengandung enzim seperti laktooksidase yang merusak dinding sel mikroba. Asam hidroklorida dalam lambung, enzim proteolitik, antibodi dan empedu dalam usus halus membantu menciptakan lingkungan yang dapat mencegah infeksi banyak mikroba. pH rendah dalam vagina, spermin dalam semen dapat mencegah tumbuhnya bakteri gram positif. Pembilasan urin dapat mengeliminasi kuman patogen. Laktoferin dan transferin dalam serum mengikat besi yang merupakan metabolit esensial untuk hidup beberapa jenis mikroba seperti pseudomonas.
Bahan yang disekresi mukosa saluran nafas (enzim dan antibodi) dan telinga berperan pula dalam pertahanan tubuh secara biokimiawi. Mukus yang kental melindungi sel epitel mukosa, dapat menangkap bakteri dan bahan lainnya yang selanjutnya dikeluarkan oleh gerakan silia (Baratawidjaja, 2004).

3)      Pertahanan Humoral
·         Komplemen
Komplemen ditemukan pada serum normal. Antibodi dan komplemen dapat menghancurkan membran lapisan lipopolisakarida (LPS) dinding sel. Bila LPS menjadi lemah, lisozim, mukopeptida dalam serum dapat masuk menembus membran bakteri dan menghancurkan lapisan mukopeptida. Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang bila diaktifkan akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan  dalam respon inflamasi. Komplemen dapat dikatifkan secara langsung oleh mikroba atau produknya (jalur alternatif) atau oleh antibodi (jalur klasik). Komplemen berperan meningkatkan fagositosis sebagai faktor kemotaktik dan menimbulkan lisis bakteri dan parasit (Baratawidjaja, 2004).
·         Interferon
Adalah sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi makrofag yang diaktifkan. NK sel dilepas sebagai respon terhadap infeksi virus. Interferon mempunyai sifat antivirus dan dapat menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus menjadi resisten terhadap virus. Interferon juga dapat mengaktifkan sel NK. Sel yang diinfeksi virus atau menjadi ganas akan menunjukkan perubahan pada permukaannya yang akan dikenal dan dihancurkan sel NK (Baratawidjaja, 2004).
·         CRP (C-Reactive Protein)
Merupakan protein fase akut. Berperan dalam imunitas dengan bantuan Ca dapat mengikat berbagai molekul antara lain fosforilkolin yang ditemukan pada permukaan bakteri/jamur, yang dapat mengaktifkan komplemen. Peningkatan sintesis CRP akan meningkatkan viskositas plasma sehingga laju endap darah juga meningkat.
Mannan Binding Lectin (MBL) juga merupakan protein fase akut. Selain itu ada juga protein lain yaitu amiloid serum A, haptoglobin dan fibrinogen (Baratawidjaja, 2004).
·         Kolektin
Protein yang berfungsi sebagai opsonin yang dapat mengikat hidrat arang pada permukaan kuman. Kompleks yang terbentuk diikat reseptor fagosit untuk dimakan selanjutnya komplemen juga diaktifkan (Baratawidjaja, 2004).

4)      Pertahanan Seluler
Pollymorfnuclear cell
Merupakan sistem yang tanggap, bekerja cepat dalam suatu inflamasi dan biasanya tidak bertahan lama.

a)      Neutrofil
Neutrofil merupakan leukosit yang bergranula, dengan granula berwarna ungu dan merah muda. Sel berbentuk bulat dengan diameter  12 mikron, memiliki sitoplasma ditengahnya, terdapat badan golgi, beberapa mitokondria, dan didalam sitoplasma terdapat 2 macam granular: granula pertama berisi mieloperoksidase dan hidrolase, granula kedua berisi enzim fosfatase alkali, lisozim dan aminopeptidase (Tizard, 1989).
Fungsi utama dari netrofil adalah penghancuran bahan asing melalui proses fagosit. Cara kerja sel ini ada 3 tahapan yaitu:
·         Kemotaksis
Neutrofil menuju daerah kimiawi eksternal dari antigen karena rangsangan sel yang dirusak, adanya unsur kimiawi eksternal dan berbagai produk reaksi kebal.
·         Perlekatan
Sebelum netrofil memfagosit suatu antigen yang akan ditelannya, sebelumnya ia harus mengikatnya kuat-kuat. Biasanya dibantu oleh komplemen 3 dalam  proses pengikatan.
·         Penelanan dan pencernaan
Benda asing yang sudah diikat kemudian di ditelan dengan proses fagositosis permukaan. Benda asing dibuatkan suatu rongga untuk fagositasi (fagosom), setelahnya fagosom dipenuhi oleh berbagai enzim yang ada di sitoplasmanya seperti enzim hidrolitik, lisosom dll (Tizard, 1989).
b)     Eusinofil
Eusinofil merupakan  leukosit yang sedikit nergranula, dan berwarna merah. Sel ini jumlahnya lebih sedikit dari pada neutrofil. Eusinofil berasal dari sumsum tulang dan bermigrasi ke sel tujuan selama 30 menit dan bertahan hingga 12 hari.
Fungsi eosinofil tidak bekerja seefisien netrofil dalam proses fagosit, tetapi memiliki lisozom. Eosinofil memiliki 2 fungsi yaitu sebagai penyerang kutikula larva cacing dan menetralkan factor radang di daerah infeksi.
Cara kerja eosinofil adalah dengan menggunakan enzin lisosom dan jika terstimulasi dengan baik dapat mengadakan letupan respirasi (menggunakan glukosa untuk menghasilkan energy, oksigen singlet, radikalhidroksi, kloramin dan aldehid) saat ada agen infeksi yang berusaha masuk tubuh (Tizard, 1989).
c)      Basofil
Basofil dalah leukosit bergranula yang jumlahnya paling sedikit dalam serum organisme. Granula dengan warna kuat, dan tercat basofil.
Fungsi basofil adalah turut serta mencegah terjadinya infeksi oleh antigen yang masuk kedalam tubuh. Cara kerjanya dengan meningkatkan perdarahan pada tempat deposisi antigen dengan tujuan untuk mencegah antigen masuk dan menginfeksi suatu sel atau jaringan (Tizard, 1989).
Mononuclear cell
a)      Monosit dan Makrofag
Monosit merupakan leukosit agranula, dengan bentuk sel yang besar. Monosit dibuat di sumsum tulang dan masuk ke dalam aliran darah.  Dalam beberapa jam, monosit akan berpindah ke dalam jaringan dimana mereka mengalami pematangan menjadi makrofag, yang merupakan sel pemangsa (fagosit) dari sistem kekebalan.
Makrofag memiliki struktur yang berbeda karena berada di tempat yang berbeda (hati, peritoneum, mesenterica limfoid, paru-paru, dan limpa) maka bentuknya pun bervariasi, tetapi umumnya adalah sel bundar dengan diameter 14-20 mikron. Memiliki sitoplasma banyak dengan satu nucleus ditengah bulat. Bentuk seperti kacang lekuk, sitoplasma mengandung mitokondria, badan golgi, lisosom, RE kasar, dan beberapa organela lain.
Makrofag memiliki 3 fungsi utama yaitu fagosit dan menghancurkan partikel asing, jaringan  mati, dan mengolah semua bahan asing yang berbahaya sedemikian rupa sehingga dapat menstimulasi tanggap kebal (imunitas). Selain 3 fungsi diatas makrofage juga dapat mengatur system imunitas, membuat protein dari system komplemen, dan mempengaruhi isitem perbarahan antigen.
Cara kerja makrofag hampir sama dengan neutrofil, hanya saja makrofage memiliki enzim katalase tanpa mieloperoksidase dan dapat menstimulasi sel T dan sel B untuk turut membantu imunitas tubuh (Tizard, 1989).
b)     Sel  NK
Disebut sebagai sel nol atau sel nonB nonT, karena dihasilkan oleh limfosit tetapi tidak mengandung karakteristik seperti sel B dan sel T. struktur berupa large granular lymphocyte, mengandung banyak sitoplasma dengan granular azurofilik, sel dikenal oleh karena memiliki petanda permukaan. Sel NK berasal dari progenitor yang sama dari sel B dan sel T namun bukan sel T dan sel B. Sel NK mengandung perforin atau sitosilin yang dapat melubangi membrane sel sasaran.
Fungsi sel NK turut mengeliminasi antigen dalam mekanisme imun nonspesifik. NK  bekerja dengan perforin, protease serin, nuclease, TNF, dan fas ligand (Baratawidjaja,2004).
c)      Sel Mast
Berperan dalam reaksi alergi dan juga dalam pertahanan pejamu. Sel mast juga berperan pada imunitas terhadap parasit dalam usus dan terhadap invasi bakteri (Baratawidjaja,2004).

b.      Spesifik
Memiliki kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam badan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing yang sama bila terpajang ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya. Oleh karena itu sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem itu disebut spesifik.
1)      Humoral
Peran utama sistem ini adalah limfosit B. Sel B berasal dari sel asal multipoten di sumsum tulang. Bila sel B dirangsang oleh benda asing, sel tersebut akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Fungsi antibodi ini ialah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus dan bakteri serta menetralisasi toksinnya (Baratawidjaja, 2004).
Berikut adalah macam-macam imunoglobulin :
·         Imunoglobulin D
Berikatan dengan imonoglobulin M dan berperan sebagai reseptor antigen untuk mengontrol aktivasi dan penekanan limfosit. Molekul IgD yang telah berikatan dengan antigen menjadi lebih sensitif terhadap proteolitik.
·         Imunoglobulin M
Memiliki berat molekul tinggi tetapi afinitas yang rendah. 
·         Imunoglobulin G
Jumlahnya relatif banyak dan mempunyai afinitas yang tinggi untuk berikatan dengan antigen. Pada respon sekunder, IgG merupakan imunoglobulin utama yang disintesis.
·         Imunoglobulin E
Konsentrasi dalam serum sangat rendah. Berperan melindungi daerah-daerah yang secara anatomis rentan terhadap trauma dan patogen. Merupakan imunitas terhadap parasit.
·         Imunoglobulin A
Secara selektif terdapat pada sekresi seromukus seperti liur, air mata, cairan rongga hidung, keringat, kolostrum, dan cairan sekresi paru-paru, urogenital, dan saluran cerna (Roitt, 2002).

2)      Selular
Peran utama sistem ini adalah limfosit T. Sel tersebut berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. Pada individu dewasa, sel ini dibentuk di sumsum tulang tapi proliferasi dan diferensiasi terjadi dalam kelenjar timus. Sel T terdiri atas sel Th1, sel Th2, Tdth, CTL / Tc dan Ts / Tr / Th3. Fungsi utama sistem imun spesifik adalah mempertahankan terhadap antigen intraseluler. Yang berperan pada imunitas ini adalah sel CD4+ yang mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba dan sel CD8+ yang membunuh sel terinfeksi (Baratawidjaja, 2004).


Mekanisme Sistem Imun dalam Tubuh
Pertahanan tubuh terhadap infeksi dengan mikroorganisme patogen terjadi dengan berbagai cara. Pertama, pertahanan non-spesifik (innate) dengan mengeluarkan agen infeksi atau membunuhnya pada kontak pertama. Bilamana patogen menimbulkan infeksi, berbagai respons non-adaptif dini penting untuk mengendalikan infeksi dan mempertahankan pengawasan terhadapnya, sampai terbentuk respons imun adaptif. Respons imun adaptif memerlukan waktu beberapa hari, mengingat limfosit T dan B harus menemukan antigen spesifik untuk mengadakan proliferasi, dan berdiferensiasi menjadi sel efektor. Respons sel B yang tergantung pada sel T (T-cell dependent B-cell responses) tidak akan dapat dimulai sebelum sel mempunyai kesempatan untuk mengadakan proliferasi dan diferensiasi. Ada 2 respon imun, yaitu innate immunity dan adaptive immunity (Basuki,  2006).
a.      Imunitas Non-Spesifik (Innate Immune Response)
Respons ini terjadi segera tanpa memerlukan kontak dengan mikroba sebelumnya; dengan kata lain merupakan pertahanan pertama bagi tubuh. Respons innate tidak spesifik, dan berlaku bagi setiap patogen.
Respons terhadap bakteri yang mengadakan invasi disertai proses inflamasi pada tempat infeksi dimana cairan, sel, bahan-bahan yang terlarut merembes keluar dari darah menuju jaringan. Kejadian ini disertai kemerahan setempat, pembengkakan, serta demam. Inflamasi bertujuan memusatkan agen pertahanan tubuh ke lokasi yang membutuhkan. Selama inflamasi sel-sel fagosit seperti neutrofil dan makrofag, meninggalkan aliran darah dan bermigrasi menuju tempat infeksi sebagai respons tehadap kemikal (chemoattractants) yang dilepaskan di tempat tersebut Sesampainya pada tempat tersebut, sel-sel fagosit mengenali, menelan (engulf), serta menghancurkan patogen. Darah juga mengandung rangkaian protein terlarut yang dinamakan komplemen, yang dapat melubangi membran plasma sel bakteri, dengan akibat lisis dan kematian sel. Respons imun innate terutama efektif terhadap bakteri tertentu, yang pada dinding selnya terdapat polisakharida unik sehingga segera dikenali sel pejamu sebagai asing.
Pada respons innate terhadap patogen intraseluler, seperti virus, sasaran utama adalah sel-sel yang sudah terinfeksi. Sel terinfeksi virus tertentu dikenali oleh limfosit non-spesifik, disebut sel natural killer (NK). Sesuai dengan namanya, sel NK mengakibatkan kematian sel yang terinfeksi dengan menginduksi sel terinfeksi menuju apoptosis. Sel NK juga membunuh sel kanker tertentu (in vitro) dan melengkapi dengan mekanisme menghancurkan sel sebelum sel berkembang menjadi tumor. Sel normal (tidak terinfeksi dan tidak ganas) mengandung molekul permukaan yang melindungi terhadap serangan sel NK.
Respons antivirus lain dimulai dalam sel yang terinfeksi sendiri. Sel terinfeksi virus ini memproduksi interferon-α (IFN-α) yang disekresi ke dalam ruang ekstraseluler, dimana akan terikat pada permukaan sel yang tidak terinfeksi sehingga kebal terhadap infeksi berikutnya. Cara kerja interferon ini adalah dengan cara mengaktivasi suatu sinyal transduction pathway dengan akibat phosphorilasi yang diikuti translasi faktor elF2. Sel yang mengalami respons ini tidak dapat mensintesa protein virus yang diperlukan untuk replikasi virus (Basuki, 2006).
b.      Respons Imun Spesifik (Adaptive Immune Response)
1)      Humoral immunity, yaitu imunitas yang dimediasi oleh molekul di dalam darah yang disebut antibody. Antibody dihasilkan oleh limfosit B. Mekanisme imunitas ini ditujukan untuk benda asing yang berada di luar sel (berada di cairan atau jaringan tubuh). Limfosit B mengenali benda asing tersebut kemudian memproduksi antibody, antibodi akan menggumpalkan benda asing menjadi tidak aktif/ berperan sebagai sel sinyal bagi sel-sel fagosit.
2)      Sellular immunity, yaitu imunitas yang dimediasi oleh sel T limfosit. Mekanisme ini ditujukan untuk benda asing yang dapat menginfeksi sel (beberapa bakteri dan virus) sehingga tidak dapat dilekati oleh antibodi. Limfosit T menginduksi dua hal yaitu fagositosis benda tersebut oleh sel yang terinfeksi dan lisis sel yang terinfeksi sehingga benda asing tersebut terbebas ke luar sel dan dapat dilekati antibody (Basuki, 2006).


DAFTAR PUSTAKA
Basuki, Parwati Setiono. 2006. Infeksi Bakteri Intraseluler. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga : Surabaya
Baratawidjaja, Karnen Garna. 2004. Imunologi Dasar Edisi ke 6. Balai Penerbit FK UI : Jakarta.
Fenner, F. J.; Gibbs, E. P. J.; Murphy, F. A.; Rott, R.; Studdert, M. J.; White, D. O. 1993. Veterinary Virology (2nd ed.). Academic Press, Inc.
Roitt, I. 2002. Imunologi (Essential Immunologi). Jakarta : Widya Medika
Tabbu, C. R. 2010. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Kanisius, Jakarta.
Tizard. 1989. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press : Surabaya

No comments:

Post a Comment