LEARNING
OBJECTIVE
1. Bagaimana
Respon Tubuh Terhadap Infeksi Bakteri?
PEMBAHASAN
1. Respon
Tubuh Terhadap Infeksi Bakteri
Mikroba dapat hidup ekstraseluler, melepas enzim dan
menggunakan makanan yang banyak mengandung gizi yang diperlukannya. Mikroba
lain menginfeksi sel pejamu dan berkembangbiak intraseluler dengan menggunakan
sumber energi sel pejamu. Baik mikroba ekstraseluler maupun intraseluler dapat
menginfeksi subyek lain, menimbulkan penyakit dan kematian tetapi banyak juga
yang tidak berbahaya bahkan berguna
untuk pejamu (Baratawidjaya, 2009).
Mekanisme pertahanan memanfaatkan spesifitas dan
variasi molekul antibodi. Antibodi dapat mengalahkan usaha rumit bakteri untuk
menghindari penelanan melalui netralisasi molekul antifagositik dan mengikatkan
diri pada permukaan organisme tempat fiksasi komplemen, terjadilah opsonisasi
dan bakteri dicerna oleh polimorfonuklear dan makrofag atau mempersiapkannya
sebagai kompleks penyerangan membran terminal (Roitt, 2002).
Beberapa mekanisme sistem imun dalam menghadapi serangan
bakteri ekstrasel :
Netralisasi Toksin
Antibodi
yang beredar berperan pada netralisasi molekul antifagositik yang larut dan
eksositosin lain yang dilepaskan oleh bakteri. Kombinasi yang terjadi dekat
lokasi biologik aktif dari toksin secara stereokimia menghambat reaksi dengan
substrat, terutama bila bentuknya makromolekul. Kombinasi yang terjadi jauh
dari lokasi aktif dapat menyebabkan penghambatan melalui perubahan konformasi
alosterik. Pada bentuk kompleks dengan antibodi, toksin tidak dapat secara
cepat hilang dan karenanya menjadi rentan terhadap fagositosis, terutama bila
kompleks dapat diperbesar ukurannya oleh karena aksi dari autoantibodi yang
menghasilkan akatan IgG dan C3b (Roitt, 2002).
Opsonisasi Bakteri
Opsonisasi tidak tergantung antibodi. Perbedaan struktur karbohidrat
pada bakteri dan yang ada pada manusia dapat dijelaskan dengan seri molekul
yang mempunyai persamaan ultrastruktur dengan C1q dan membawa domain lektin
pada terminal C. Termasuk di dalamnya protein pengikat mannose, protein
surfaktan dari paru SP-A dan SP-D dan konglutinin yang semuanya mengenal ligan
karbohidrat. Protein pengikat mannose mengaktifkan C1r dan C1s dan meskipun
yang lain tidak, mereka juga dapat berperan sebagai opsonin dan memperantarai fagositosis.
Opsonisasi yang
ditingkatkan oleh antibodi.
Bakteri berkapsul yang resisten terhadap fagositosis menjadi tertarik pada sel
polimorfonuklear dan makrofag bila sudah dilapisi oleh antibodi dan kecepatan
pembersihan dari peredaran darah meningkat secara drastis. Penghancuran bakteri
berkapsul pada binatang tanpa komplemen yang kurang efektif, menguatkan bahwa
terjadi sinergisme antibodi dan komplemen pada opsonisasi dengan perantaraan
reseptor afinitas tinggi yang spesifik untuk IgG dan C3b pada permukaan
fagosit.
Reseptor CR3 pada sel polimorfonuklear, makrofag dan
sel NK semua mengikat bentuk C3b inaktif. Mereka mempunyai hubungan dengan
LFA-1 dan CR4 (yang fungsinya belum jelas) sebagai anggota dari subfamili β2
integrin (Roitt, 2002).
Pengaruh Lain dari
Komplemen
Beberapa
strain bakteri gram negatif yang mengandung lipoprotein pada dinding luarnya,
menyerupai struktur membran permukaan mamalia, rentan terhadap kerja
bakterisidal serum yang mengandung antibodi. Antibodi mengawali terbentuknya
lesi yang diperantarai komplemen yang memungkinkan masuknya lisozim serum ke
dalam dinding peptidoglikan bakteri sehingga terjadi kematian sel. Aktifasi
komplemen melalui bersatunya antibodi dan bakteri menghasilkan C3a dan C5a
anafilotoksin sehingga terjadi transudasi ekstensif komponen serum termasuk
antibodi dan tarikan kemotaktik dari polimorfonukelar nukleus untuk membantu
fagositosis seperti dijelaskan sebelumnya pada bagian tentang radang akut (Roitt, 2002).
Sistem Imun Sekretori
Melindungi Permukaan Eksternal Mukosa
Melekatnya sel epitel pada membran mukosa sangat
penting pada infeksi virus dan kolonisasi bakteri. IgA memberikan perlindungan
pada cairan tubuh eksterna, air mata, air ludah, sekresi hidung dan yang
membasahi permukaan usus serta paru, dengan melapisi bakteri dan virus dan
mencegah perlekatan semacam itu ke permukaan mukosa.
Bila penyebab infeksi behasil melewati barier IgA ia akan berhadapan
dengan pertahanan yang berikutnya dari sistem sekretori yang dimotori IgE. IgE
terikat sangat kuat pada reseptor Fc sel mastoid dan pada kontak dengan antigen
terjadi pelepasan mediator yang secara efektif merekrut zat yang berperan dalam
reaksi imun dan menimbulkan reaksi radang lokal akut. Jadi dengan naiknya
permeabilitas vaskuler, histamin menyebabkan transudasi IgG dan komplemen ke
dalam daerah tersebut sedangkan faktor kemotaktik untuk netrofil dan eosinofil
menarik sel efektor yang diperlukan dalam proses pemusnahan patogen yang
dilapisi oleh IgG dan C3b. Terikatnya Fcγ dan reseptor C3b pada makrofag lokal
oleh kompleks ini dapat menyebabkan sekresi peptida yang selanjutnya memperkuat
permeabilitas vaskuler dan peristiwa kemotaktik. Organisme yang telah mengalami
opsonisasi terlalu besar ukurannya untuk fagositosis akan dibunuh oleh
mekanisme ekstraseluler setelah melekat pada reseptor Fcγ (Roitt, 2002).
Beberapa mekanisme sistem imun dalam menghadapi serangan
bakteri intrasel :
Makrofag yang Teraktifasi
Membunuh Parasit Intrasel
Saat monosit pertama kali menetap dalam jaringan
untuk menjadi makrofag penghuni jaringan sel-sel ditekan dalam hal ekspresi
reseptor permukaan dan fungsinya. Monosit ini dapat diaktifkan secara bertahap.
Makrofag yang diambil dari tempat peradangan dirangsang dengan komplemen atau
rangsangan non imunologik seperti tioglikoat, meningkat dalam ukuran, jumlah
asam hidrolase, sekresi proteinase netral dan fungsi fagositik.
Walaupun demikian kemampuan membunuh mikroba yang
hidup intraseluler hanya terjadi bila sel dirangsang pada aktivasi tahap
berikutnya oleh faktor yang mengaktifkan makrofag seperti IFNγ yang dihasilkan
oleh sel T penghasil limfokin (Roitt, 2002).
Prinsip
Imunitas:
a.
Innate immunity, atau sering disebut imunitas alamiah,
merupakan mekanisme pertama yang akan terjadi saat infeksi berlangsung, terjadi
secara cepat terhadap tersebut
melibatkan
1)
penghalang fisik dan kimiawi, seperti epitel dan
senyawa antimikrobia yang dihasilkan oleh sel epitel,
2)
sel fagosit (neutrofil dan maktofag) dan sel natural
killer,
3)
protein darah, termasuk sistem komplemen dan
mediator inflamasi lainnya,
protein sitokin yang
mengatur sel-sel pada mekanisme ini. Innate immunity terjadi
karena tubuh dapat mengenali struktur mikroba yang masuk, bisa karena
sebelumnya mikroba tersebut sudah pernah menginfeksi tubuh, atau karena
struktur mikroba tersebut mirip seperti struktur mikroba lain yang pernah
menginfeksi tubuh. Kelemahan dari mekanisme ini adalah tidak dapat mengenali
struktur yang sama sekali baru menginfeksi tubuh (Rantam, 2003).
b.
Adaptive
immunity, atau imunitas spesifik, terjadi ketika innate immunity
gagal menghalau infeksi karena benda asing yang masuk memiliki struktur yang
sama sekali baru bagi tubuh. Mekanisme ini terjadi sekitar 1 hingga 5
hari setelah infeksi. Secara singkat, makanisme ini akan mencoba membuat
"ingatan" baru tentang struktur benda asing yang masuk ke tubuh,
kemudia bereaksi untuk menghalau benda asing tersebut. Sel yang terlibat pada
mekanisme ini adalah limfosit, baik sel T limfosit maupun sel B limfosit (Rantam, 2003).
Adaptive
immunity sendiri terbagi menjadi 2, yaitu :
1)
Imunitas humoral, yaitu imunitas yang dimediasi
oleh molekul di dalam darah, yang disebut antibodi. Antibodi dihasilkan
oleh sel B limfosit. Mekanisme imunitas ini ditujukan untuk benda asing yang
berada di di luar sel (berada di cairan atau jaringan tubuh). B limfosit akan
mengenali benda asing tersebut, kemudian akan memproduksi antibodi. Antibodi
merupakan molekul yang akan menempel di suatu molekul spesifik (antigen) di
permukaan benda asing tersebut. Kemudian antibodi akan menggumpalkan benda
asing tersebut sehingga menjadi tidak aktif, atau berperan sebagai sinyal bagi
sel-sel fagosit
2)
Imunitas selular, yaitu imunitas yang dimediasi
oleh sel T limfosit. Mekanisme ini ditujukan untuk benda asing yang dapat
menginfeksi sel (beberapa bakteri dan virus) sehingga tidak dapat dilekati oleh
antibodi. T limfosit kemudian akan menginduksi 2 hal:
a)
fagositosis benda asing tersebut oleh sel yang
terinfeksi
b)
lisis sel yang terinfeksi sehingga benda asing
tersebut terbebas ke luar sel dan dapat di dilekati oleh antibody (Rantam, 2003)
DAFTAR
PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen Garna. 2009. Imunologi Dasar Edisi ke 6. Balai Penerbit FK UI : Jakarta.
Rantam, F.A . 2003. Metode Imunologi. Surabaya: Airlangga
University Press
Roitt, I. 2002. Imunologi (Essential Immunologi).
Jakarta : Widya Medika
No comments:
Post a Comment