Wednesday 20 February 2013

Blok 10 UP 2


LEARNING OBJECTIVE
1.      Bagaimana Respon Tubuh Terhadap Infeksi Bakteri?



PEMBAHASAN
1.      Respon Tubuh Terhadap Infeksi Bakteri

Mikroba dapat hidup ekstraseluler, melepas enzim dan menggunakan makanan yang banyak mengandung gizi yang diperlukannya. Mikroba lain menginfeksi sel pejamu dan berkembangbiak intraseluler dengan menggunakan sumber energi sel pejamu. Baik mikroba ekstraseluler maupun intraseluler dapat menginfeksi subyek lain, menimbulkan penyakit dan kematian tetapi banyak juga yang tidak  berbahaya bahkan berguna untuk pejamu (Baratawidjaya, 2009).
Mekanisme pertahanan memanfaatkan spesifitas dan variasi molekul antibodi. Antibodi dapat mengalahkan usaha rumit bakteri untuk menghindari penelanan melalui netralisasi molekul antifagositik dan mengikatkan diri pada permukaan organisme tempat fiksasi komplemen, terjadilah opsonisasi dan bakteri dicerna oleh polimorfonuklear dan makrofag atau mempersiapkannya sebagai kompleks penyerangan membran terminal (Roitt,  2002).


Beberapa mekanisme sistem imun dalam menghadapi serangan bakteri ekstrasel :
Netralisasi Toksin
Antibodi yang beredar berperan pada netralisasi molekul antifagositik yang larut dan eksositosin lain yang dilepaskan oleh bakteri. Kombinasi yang terjadi dekat lokasi biologik aktif dari toksin secara stereokimia menghambat reaksi dengan substrat, terutama bila bentuknya makromolekul. Kombinasi yang terjadi jauh dari lokasi aktif dapat menyebabkan penghambatan melalui perubahan konformasi alosterik. Pada bentuk kompleks dengan antibodi, toksin tidak dapat secara cepat hilang dan karenanya menjadi rentan terhadap fagositosis, terutama bila kompleks dapat diperbesar ukurannya oleh karena aksi dari autoantibodi yang menghasilkan akatan IgG dan C3b (Roitt,  2002).
Opsonisasi Bakteri
Opsonisasi tidak tergantung antibodi. Perbedaan struktur karbohidrat pada bakteri dan yang ada pada manusia dapat dijelaskan dengan seri molekul yang mempunyai persamaan ultrastruktur dengan C1q dan membawa domain lektin pada terminal C. Termasuk di dalamnya protein pengikat mannose, protein surfaktan dari paru SP-A dan SP-D dan konglutinin yang semuanya mengenal ligan karbohidrat. Protein pengikat mannose mengaktifkan C1r dan C1s dan meskipun yang lain tidak, mereka juga dapat berperan sebagai opsonin dan memperantarai fagositosis.
Opsonisasi yang ditingkatkan oleh antibodi. Bakteri berkapsul yang resisten terhadap fagositosis menjadi tertarik pada sel polimorfonuklear dan makrofag bila sudah dilapisi oleh antibodi dan kecepatan pembersihan dari peredaran darah meningkat secara drastis. Penghancuran bakteri berkapsul pada binatang tanpa komplemen yang kurang efektif, menguatkan bahwa terjadi sinergisme antibodi dan komplemen pada opsonisasi dengan perantaraan reseptor afinitas tinggi yang spesifik untuk IgG dan C3b pada permukaan fagosit.
Reseptor CR3 pada sel polimorfonuklear, makrofag dan sel NK semua mengikat bentuk C3b inaktif. Mereka mempunyai hubungan dengan LFA-1 dan CR4 (yang fungsinya belum jelas) sebagai anggota dari subfamili β2 integrin (Roitt,  2002).
Pengaruh Lain dari Komplemen
Beberapa strain bakteri gram negatif yang mengandung lipoprotein pada dinding luarnya, menyerupai struktur membran permukaan mamalia, rentan terhadap kerja bakterisidal serum yang mengandung antibodi. Antibodi mengawali terbentuknya lesi yang diperantarai komplemen yang memungkinkan masuknya lisozim serum ke dalam dinding peptidoglikan bakteri sehingga terjadi kematian sel. Aktifasi komplemen melalui bersatunya antibodi dan bakteri menghasilkan C3a dan C5a anafilotoksin sehingga terjadi transudasi ekstensif komponen serum termasuk antibodi dan tarikan kemotaktik dari polimorfonukelar nukleus untuk membantu fagositosis seperti dijelaskan sebelumnya pada bagian tentang radang akut (Roitt,  2002).
Sistem Imun Sekretori Melindungi Permukaan Eksternal Mukosa
Melekatnya sel epitel pada membran mukosa sangat penting pada infeksi virus dan kolonisasi bakteri. IgA memberikan perlindungan pada cairan tubuh eksterna, air mata, air ludah, sekresi hidung dan yang membasahi permukaan usus serta paru, dengan melapisi bakteri dan virus dan mencegah perlekatan semacam itu ke permukaan mukosa.
Bila penyebab infeksi behasil melewati barier IgA ia akan berhadapan dengan pertahanan yang berikutnya dari sistem sekretori yang dimotori IgE. IgE terikat sangat kuat pada reseptor Fc sel mastoid dan pada kontak dengan antigen terjadi pelepasan mediator yang secara efektif merekrut zat yang berperan dalam reaksi imun dan menimbulkan reaksi radang lokal akut. Jadi dengan naiknya permeabilitas vaskuler, histamin menyebabkan transudasi IgG dan komplemen ke dalam daerah tersebut sedangkan faktor kemotaktik untuk netrofil dan eosinofil menarik sel efektor yang diperlukan dalam proses pemusnahan patogen yang dilapisi oleh IgG dan C3b. Terikatnya Fcγ dan reseptor C3b pada makrofag lokal oleh kompleks ini dapat menyebabkan sekresi peptida yang selanjutnya memperkuat permeabilitas vaskuler dan peristiwa kemotaktik. Organisme yang telah mengalami opsonisasi terlalu besar ukurannya untuk fagositosis akan dibunuh oleh mekanisme ekstraseluler setelah melekat pada reseptor Fcγ (Roitt,  2002).

Beberapa mekanisme sistem imun dalam menghadapi serangan bakteri intrasel :
Makrofag yang Teraktifasi Membunuh Parasit Intrasel
Saat monosit pertama kali menetap dalam jaringan untuk menjadi makrofag penghuni jaringan sel-sel ditekan dalam hal ekspresi reseptor permukaan dan fungsinya. Monosit ini dapat diaktifkan secara bertahap. Makrofag yang diambil dari tempat peradangan dirangsang dengan komplemen atau rangsangan non imunologik seperti tioglikoat, meningkat dalam ukuran, jumlah asam hidrolase, sekresi proteinase netral dan fungsi fagositik.
Walaupun demikian kemampuan membunuh mikroba yang hidup intraseluler hanya terjadi bila sel dirangsang pada aktivasi tahap berikutnya oleh faktor yang mengaktifkan makrofag seperti IFNγ yang dihasilkan oleh sel T penghasil limfokin (Roitt,  2002).

Prinsip Imunitas:
a.       Innate immunity, atau sering disebut imunitas alamiah, merupakan mekanisme pertama yang akan terjadi saat infeksi berlangsung, terjadi secara cepat terhadap  tersebut melibatkan
1)      penghalang fisik dan kimiawi, seperti epitel dan senyawa antimikrobia yang dihasilkan oleh sel epitel,
2)      sel fagosit (neutrofil dan maktofag) dan sel natural killer,
3)      protein darah, termasuk sistem komplemen dan mediator inflamasi lainnya,
protein sitokin yang mengatur sel-sel pada mekanisme ini.  Innate immunity terjadi karena tubuh dapat mengenali struktur mikroba yang masuk, bisa karena sebelumnya mikroba tersebut sudah pernah menginfeksi tubuh, atau karena struktur mikroba tersebut mirip seperti struktur mikroba lain yang pernah menginfeksi tubuh. Kelemahan dari mekanisme ini adalah tidak dapat mengenali struktur yang sama sekali baru menginfeksi tubuh (Rantam, 2003).
b.       Adaptive immunity, atau imunitas spesifik, terjadi ketika innate immunity gagal menghalau infeksi karena benda asing yang masuk memiliki struktur yang sama sekali baru bagi tubuh.  Mekanisme ini terjadi sekitar 1 hingga 5 hari setelah infeksi. Secara singkat, makanisme ini akan mencoba membuat "ingatan" baru tentang struktur benda asing yang masuk ke tubuh, kemudia bereaksi untuk menghalau benda asing tersebut. Sel yang terlibat pada mekanisme ini adalah limfosit, baik sel T limfosit maupun sel B limfosit (Rantam, 2003).
Adaptive immunity sendiri terbagi menjadi 2, yaitu :
1)      Imunitas humoral, yaitu imunitas yang dimediasi oleh molekul di dalam darah, yang disebut antibodi.  Antibodi dihasilkan oleh sel B limfosit. Mekanisme imunitas ini ditujukan untuk benda asing yang berada di di luar sel (berada di cairan atau jaringan tubuh). B limfosit akan mengenali benda asing tersebut, kemudian akan memproduksi antibodi. Antibodi merupakan molekul yang akan menempel di suatu molekul spesifik (antigen) di permukaan benda asing tersebut. Kemudian antibodi akan menggumpalkan benda asing tersebut sehingga menjadi tidak aktif, atau berperan sebagai sinyal bagi sel-sel fagosit
2)      Imunitas selular, yaitu imunitas yang dimediasi oleh sel T limfosit. Mekanisme ini ditujukan untuk benda asing yang dapat menginfeksi sel (beberapa bakteri dan virus) sehingga tidak dapat dilekati oleh antibodi. T limfosit kemudian akan menginduksi 2 hal:
a)      fagositosis benda asing tersebut oleh sel yang terinfeksi
b)      lisis sel yang terinfeksi sehingga benda asing tersebut terbebas ke luar sel dan dapat di dilekati oleh antibody (Rantam, 2003)

DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen Garna. 2009. Imunologi Dasar Edisi ke 6. Balai Penerbit FK UI : Jakarta.
Rantam, F.A . 2003. Metode Imunologi. Surabaya: Airlangga University Press
Roitt, I. 2002. Imunologi (Essential Immunologi). Jakarta : Widya Medika

No comments:

Post a Comment