LEARNING OBJECTIVE
1.
Bagaimana
Klasifikasi, Penyebab dan Patogenesis dari Mastitis?
2.
Bagaimana
Diagnosis Mastitis?
PEMBAHASAN
1.
Mastitis
·
Klasifikasi
Mastitis
a.
Menurut Bentuk
1. Mastitis catarralis, mastitisyang paling
ringan. Disini ditemukan radang dan degenerasi pada parenkim (epitel) saluran-saluran air susu besar.
2. Mastitis parenchymatosa, ditemukan radang yang meluas hingga asinus pembentuk air susu, jadi hingga
parenkim yang mementuk air susu.
3. Mastistis interstitialis, ditemukan radang terutama ditemukan di dalam interstisialataujaringanikat
(Ressang, 1984).
b. Menurut GejalaKlinis
1. Sub Klinis:
pada kondisi sub klinis tidak bisa di lihat dengan mata (klinis) namun tersifat
pada sekresi susunya, deteksi terhadap mastitis subakut dengan uji sekresi susunya,
yang menunjukkan produk infiltrasi seperti leukosit, fibrin dan serum serta
perubahan komposisi kimiawi (Subronto, 2004).
2. Klinis
·
Akut: radang (bengkak),
panas dalam rabaan, rasa sakit, warna yang kemerahan dan terganggunya fungsi.
Air susu jadi pecah, bercampur endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel
maupun gumpalan protein. Konsistensi air susu jadi lebih encer dan warnanya
juga jadi agak kebiruan atau putih yang pucat. Kadang proses akut berlangsung
dengan cepat dan hebat. Tanda-tanda lain yang ditemukan adalah anoreksia,
kelesuan, toksemia, dan sering disertai dengan kenaikan suhu tubuh (Subronto,2004).
·
Subakut:
ditandai dengan gejala sama seperti akut tetapi dengan derajat yang lebih
ringan. Hewan masih mau makan dan suhu tubuhnya masih dalam batas normal.
Perubahan radang dari ambing kadang samar-samar tetapi air susunya jelas
mengalami perubahan. Pada inspeksi dari samping dan belakang, ambing tampak
asimetris (Subronto,2004).
·
Kronik:
pada kondisi kronik
bisa di lihat dengan cara perabaan pada ambing dan strecping di mana susu yang
didapatkan tidak normal. Pada infeksi kronik
berakhir dengan atrofi kelenjar. Ambing yang mengalami gangren yang tampak
perubahan seperti ambing terasa dingin, air susu lebih encer kadang bercampur
darah dan warna kulit ambing biru lebam. Hewan tidak sanggup berdiri lagi,
ambruk dan dapat mati dalam beberapa hari. Macam-macam
kondisi kronik antara lain. :
a. T1
apabila terdapat gumpalan kecil-kecil pada susu.
b)
T2 apabila terdapat gumpalan
yang lebih besar pada susu.
c)
T3 apabila terdapat
gumpalan yang lebih besar dari T1 dan T2
d)
Chung apabila susu
sudah berubah menjadi nanah
e)
Watery apabila bila di
streeping susu sudah tidak keluar melainkan hanya air yang keluar dari susu.
f)
Blood apabila bila
distreeping keluar darah
g)
Semua tingkatan
Mastitis (Sub Klinis, T1, T2, T3, Chung, Watery, Blood) biasanya disertaiambing
panas atau keras (Rahayu, 2010;Subronto,2004).
·
Penyebab
Mastitis
Ø Bakteri
Ø bahankimia
Ø suhu
Ø trauma karenaperalatanmekanik
BakteriPenyebab
Mastitis
Sebagai penyebab utama radang pada sapi
adalah kuman-kuman Streptococcus
agalctiae, Streptococcus dysglactiae,
Streptococcus uberis, Staphylococcus aureus. Streptococcus zooepidemicus kadang-kadang
juga menjadi penyebab utama radang ambing. Selain itu juga dapat disebabkan
oleh bakteri dari jenis koliform contohnya Escherechia
coli dan Bacillus.
a. Staphylococcus
Staphylococcus merupakan
bakteri Gram positif, berbentuk kokus, diameter 1 µm, tidak motil, facultative
anaerob, catalase positif, dapat tumbuh pada media yang kurang menguntungkan,
dapat menyebabkan infeksi pyogenic.
Habitat staphylococcus,hidup normal pada kulit hewan dan manusia.
Mereka sering ditemukan pada membrane mukosa traktus respiratorius dan sedikit
di saluran urogenital serta saluran pencernaan.
Staphylococcus
aureusmerupakan salah satu penyebab utama mastitis pada sapi perah yang
menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat turunnya produksi susu.
Penelitian ini bertujuan untuk isolasi dan karakterisasi S. aureus yang
diisolasi dari susu sapi perah. Karakterisasi S. aureus meliputi uji clumping
factor, uji koagulase, produksi hemolisin, produksi pigmen dan uji kepekaan
S. aureus terhadap beberapa antibiotika. Dalam penelitian ini berhasil
diisolasi dan diidentifikasi sebanyak 32 isolat S. aureus. Semua isolat
positif pada uji clumping factor dan koagulase. Alfa-hemolisis dapat
diamati pada 1 isolat, 7 isolat mempunyai sifat α dan β-hemolitik, 11 isolat
β-hemolitik dan 13 isolat bersifat non-hemolitik. Berdasar produksi pigmen, 8
isolat menghasilkan pigmen berwarna oranye, 10 isolat pigmen kuning dan 8
isolat menghasilkan pigmen putih.
Patogenisitas dan
virulensi Staphylococcus sp. ditentukan oleh substansi-substansi yang
diproduksi oleh organisme ini antara lain adalah enzim ekstraseluler yang
dikenal dengan eksoprotein. Staphylococcusaureus memproduksi eksoprotein
yang dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu, kelompok enzim antara lain
koagulase, lipase, hialuronidase, stafilokinase (fibrinolisin) dan nuklease
serta kelompok eksotoksin misalnya leukosidin, eksfoliatif toksin, enterotoksin
dan toxic schock syndrome toxin-1 (TSST-1).
Hemolisin merupakan eksoprotein yang
mempunyai aktivitas baik enzimatis maupun toksin sehingga tidak termasuk dalam
klasifikasi ini. Sitolitik toksin yang dihasilkan oleh S. aureus adalah
α, β, δ, dan γ-hemolisin. Eksoprotein enzimatis ini kemungkinan mempunyai
fungsi utama dalam menyokong nutrisi untuk pertumbuhan bakteri, sedangkan eksotoksin
berperan dalam menimbulkan berbagai penyakit (Quinn, 2002 ; Carter, 2004).
b.
Streptococcus
Streptococcus
agalactiaetermasuk dalam genus Streptococcus golongan B. Bakteri
ini merupakan bakteri Gram positif. Streptococcus agalactiae merupakan
sebagian dari flora normal pada vagina dan mulut wanita pada 5-25 %. Bakteri
ini secara khas merupakan βhemolitik dan membentuk daerah hemolisis yang hanya
sedikit lebih besar dari koloni (bergaris tengah 1-2 mm). Streptococcus
golongan B menghidrolisis natrium hipurat dan memberi respons positif pada tes
CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson), peka terhadap basitrasin.
Streptococcus
agalactiae mempunyai dasar-dasar patogenitas antara lain :
·
Mempunyai simpai sebagai
komponen virulensi utama
·
Antibodi antisimpai bersifat
protektif jika dibantu oleh sel-sel fagosit yangkompeten dan komplemen
Streptococcus
agalactiae mampu bertahan pada inang dalam temperature tinggi,
tergantung dari kemampuannya untuk melawan fagositosis. Isolat dari Streptococcus
agalactiae memproduksi kapsul polisakarida. Kapsul polisakarida tersebut
tersusun atas galaktosa dan glukosa, berkombinasi dengan
2-acetamido-2-deoxyglucose, N-acetylglucosamine dan pada ujungnya terdapat asam
sialik, yang memberikan muatan negatif. Kapsul polisakarida tersebut merupakan
faktor virulensi yang penting. Kapsul-kapsul tersebut menghalangi fagositosis
dan sebagai komplemen saat tidak ada antibodi. Hasil selanjutnya dihilangkan
bersama dengan pengeluaran residu asam sialik, dan kekurangan serum antibodi
untuk melengkapi antigen tidaklah opsonik. Meskipun infeksi/penyerangan bisa
saja dihubungkan dengan semua serotype, namun golongan dengan kapsul serotype
III mendominasi isolat dari infeksi neonatal(Quinn, 2002 ; Carter, 2004).
c.
Mycobacterium
Bakteri Mycobacterium merupakan jenis bakteri
Gram positif dan memiliki lipid yang tebal pada dinding sel nya. Jenis bakteri
ini biasanya menyebabkan penyakit tuberkulosis, misalnya Mycobacterium bovis, Mycobacterium tuberculosis. Akan tetapi
terdapat spesies bakteri ini yang juga menyebabkan mastitis. Mycobacterium fortuitum merupakan bakteri yang dapat
menyebabkan mastitis, akan tetapi jarang sekali ditemukan.
Bakteri
ini bersifat zoonosis, sehingga sangat dikhawatirkan penularannya kepada
manusia. Penularannya dapat melalui susu. Oleh karena itu, sangat dikhawatirkan
apabila terdapat bakteri ini di dalam susu sapi yang mastitis(Subronto, 2004).
d.
Coliform
ContohnyaEscherichia
coli, Enterobacter aerogenes, Klebsiella pneumoniae
(bakteri yang sering diisolasi dari mastitis koliform), Pseudomonas aeruginosa, Citrobacter spp., Proteus spp. Dan beberapa
bakteri Gram negatif lainnya tidak begitu banyak dijumpai. Frekuensi kejadian
radang yang disebabkan oleh bakteri Koliform tidak melebihi 1% dari kejadian
radang di kandang yang bersangkutan (Subronto,
2004).
e.
Korinebacterium
ContohnyaCorynebacterium
pyogenes, C. bovis, C. ulcerans. Hanya C. pyogenes yang secara potensial dapat
menyebabkan mastitis dan biasanya berlangsung secara sporadic(Subronto, 2004).
·
Patogenesis
Mastitis
1.
Fase Infasi : masuknya
organisme ke dalam puting. Kebanyakan terjadi karena terbukanya lubang saluran
puting, terutama setelah diperah. Infasi ini dipermudah dengan adanya
lingkungan yang jelek, populasi terlalu tinggi, adanya lesi pada putting susu
atau karena daya tahan sapi menurun.
2.
Fase Infeksi : setelah
mikroorganisme berhasil masuk ke dalam kelenjar, mikroorganisme akan membentuk
koloni yang dalam waktu singkat akan menyebar ke lobuli dan alveoli. Pada saat mikroorganisme
sampai di mukosa kelenjar, tubuh akan bereaksi dengan memobilisasikan leukosit.
Mobilisasi sel darah dipermudah kalau diingat bahwa kelenjar susu dialiri darah
yang relatif sangat besar untuk tiap satuan waktu.
3.
Fase Infiltrasi :
ditandai saat mikroorganisme sampai ke mukosa kelenjar, tubuh akan bereaksi
dengan memobilisasi leukosit dan terjadi radang. Adnya radang menyebabkan sel
darah dicurahkan ke dalam susu, sehingga sifat fisik seta susunan susu
mengalami perubahan(Subronto, 2004).
Dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke
dalam kelenjar melalui lubang puting. Kadang-kadang terjadi secara limfogen dan
hematogen. Secara akademik, proses radang dapat dibedakan menjadi beberapa
fase, yaitu fase invasi, infeksi dan infiltrasi. Fase invasi adalah masuknya
mikroorganisme ke dalam puting. Tidak jarang mikroorganisme patogen sudah lama
berada di bagian bawah puting. Kebanyakan proses invasi terjadi karena
terbukanya lubang saluran puting, terutama sesudah pemerahan. Invasi yang terjadi pada masa kering tidak
menyebabkan radang akut, proses kebanyakan berlangsung secara sub klinis yang
pada suatu saat biasanya sesudah waktu kelahiran berubah menjadi radang
subakut, akut atau perakut. Invasi dipermudah oleh keadaan lingkungan yang
jelek, populasi kuman patogen yang tinggi, adanya lesi pada puting atau bila
daya tahan sapi baru menurun misalnya sehabis sakit, tranportasi atau stress
yang lain. Setelah mikroorganisme berhasil masuk ke dalam kelenjar,
mikroorganisme akan membentuk koloni yang dalam waktu singkat akan menyebar ke
lobuli dan alveoli. Pada saat mikroorganisme sampai di mukosa kelenjar, tubuh
akan bereaksi dengan memobilisasikan leukosit. Mobilisasi sel darah dipermudah
kalau diingat bahwa kelenjar susu dialiri darah yang relatif sangat besar untuk
tiap satuan waktu. Untuk sapi seberat 100 pound, darah sebanyak 200 pound
dialirkan ke dalam kelenjar tiap jamnya (Schalm, 1971).
Kuman Streptococcus
agalactiae merupakan kuman yang untuk hidupnya memerlukan kelenjar susu. Oleh
kerjaan kuman akan terjadi perubahan air susu yang ada di dalam sinus hingga
air susu di dalam nya jadi rusak. Selanjutnya, rusaknya air susu akan meransang
timbulnya reaksi jaringan dalam bentuk peningkatan sel di dalam air susu. Oleh
jonjot fibrin yang terbentuk akhirnya saluran jadi tersumbat dan kelenjar
akhirnya mengalami kerusakan jaringan (Subronto, 2004).
4. Diagnosis Mastitis
Diagnosis mastitis dilakukan dengan
pemeriksaan fisik ambing terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan susu melalui beberapa tes.
a. Inspeksi
dan palpasi
Pemeriksaan fisis kelenjar susu
dilakukan dengan inspeksi dan palpasi. Perubahan-perubahan yang terdapat pada
kulit dan puting sulit diamati. Ambing yang menderita mastitis mengalami
kebengkakan, menjadi asimetris, ditemui lesi-lesi dan bila dipalpasi ditemui
adanya jaringan yang mengeras.Palpasi kelenjar air susu dilakukan setelah
pemerahan. Dalam palpasi diperhatikan konsistensi kelenjar bentukan-bentukan
abnormalitas pada putting(Akoso, 1996
;Subronto,
2004).
b. Pemeriksaan
fisis air susu
Pemeriksaan
fisis air susu dipakai dengan cara strip cup. Lantai kandang yang bersih juga
dapat digunakan untuk mengetahui perubahan fisis dari air susu. Untuk tujuan
pemeriksaan air susu secara biokimiawi dan mikrobiologis, pengambilannya harus
dilakukan dengan teknik aseptis. Antiseptik yang digunakan biasanya alkohol
70%. Uji berdasarkan penghitungan sel, bahan dapat diberi formalin 40% sebanyak
0,1 ml untuk tiap 5-10 ml air susu (Subronto, 2004).
c.
Californian
Mastitis Test
California mastitis test ditentukan dengan cara
mereaksikan 2 ml susu dengan 2 ml reagen CMT yang mengandung arylsulfonate di
dalam paddel. Kemudian campuran tersebut digoyang-goyang membentuk lingkaran
horizontal selama 10 detik. Reaksi ini ditandai dengan ada tidaknya perubahan
pada kekentalan susu, kemudian ditentukan berdasarkan skoring CMT yaitu (-)
tidak ada pengendapan pada susu, (+) terdapat sedikit pengendapan pada susu,
(++) terdapat pengendapan yang jelas namun gel belum terbentuk, (+++) campuran
menebal dan mulai terbentuk gel, serta (++++) gel yang terbentuk menyebabkan
permukaan menjadi cembung. Untuk memudahkan perhitungan statistik maka
lambang-lambang tersebut diberi nilai masing-masing, untuk lambang (-) nilainya
1, (+) nilainya 2, (++) nilainya 3, (+++) nilainya 4 dan (++++) nilainya 5
untuk tiap puting susu (Ruegg, 2002).
·
Prinsip
keakuratan dari Californian Mastitis Test, dilihat dari:
1)
Terjadi
peningkatan sel darah putih ketika terjadi infeksi pada jaringan mamae.
2)
Pada
leukosit polimorfonuklear, memiliki nukleus yang lebih besar dibandingkan
dengan sel yang lain atau sel dari bakteri.
3)
Dinding
sel leukosit tersusun dari banyak lipid (Ruegg, 2002).
·
Prosedur
dari Californian Mastitis Test:
1)
Ambil
susu sebanyak 2 cc dari tiap kuarter ambing,
teteskan pada paddle.
2)
Tetesi
reagen CMT ke dalam paddle yang berisi susu tadi.
3)
Campur
reagen CMT dan susu di dalam paddle dengan menggoyang-goyangkannya
secara sirkuler tidak lebih dari 10 detik.
4)
Lihat
hasil yang terjadi,jikasemakin
banyak bentukan gumpalan maka
skor masttis semakin tinggi(Ruegg,
2002).
·
Pembacaan
hasil mastitis:
1)
N
(negative) : tidak terjadi mastitis.
2)
T
(trace) : sedikit mengalami penipisan di dalam campuran, reaksi ini akan cepat
menghilang apabila paddle digoyangkan terlalu lama.
3)
1
(weak postive) : tampak penebalan yang jelas pada campuran susu dan
reagen CMT, tetapi tidak ada perubahan ke bentukan
gel.
4)
2
(distinct positive) : segera
mengalami penebalan pada campuran susu dan reagen CMT, dengan bentukan gel tipis.
5)
3
(straight positive) : terbentuk gel, permukan dari campuran susu dan
reagen CMT menjadi bentukan elevasi (Ruegg, 2002).
·
Interprestasi
Californian Mastitis Test
Score
|
Somatic Cell Range
|
Interpretation
|
N
|
0 - 200.000
|
Healthy Quarter
|
T
|
200.000 - 400.000
|
Subclinical Mastitis
|
1
|
400.000 – 1.200.000
|
Subclinical Mastitis
|
2
|
1.200.000 – 5.000.000
|
Serious Mastitis Infection
|
3
|
˃ 5.000.000
|
Serious Mastitis Infection
|
DAFTAR PUSTAKA
Akoso,
T. B.
1996. Kesehatan Sapi.Yogyakarta :
Kanisius
Carter, G.R. and
Darla, J. W. 2004. Essentsials of
Veterinary Bacteriology and Mycology Sixth Edition. Iowa : Iowa
State Press
Quinn, P.J. et al.
2002. Veterinary Microbiology and
Microbial Disease.Iowa:Blackwell
Science
Rahayu, I. D. 2010. Mastitis Pada Sapi
Perah. Malang : UMM Press
Ruegg, P. L. 2002. Milk Quality and Mastitis Tests. Iowa : Iowa State Press
Schalm.
1971. Veterinary Hematology. Iowa :Iowa State
Press
Subronto. 2004. Ilmu
Penyakit Ternak II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
No comments:
Post a Comment