Wednesday, 10 April 2013

BLOK 11 UP 2


LEARNING OBJECTIVE
1.      Bagaimana Klasifikasi, Penyebab dan Patogenesis dari Mastitis?
2.      Bagaimana Diagnosis Mastitis?


PEMBAHASAN
1.      Mastitis
·         Klasifikasi Mastitis
a.       Menurut Bentuk
1.      Mastitis catarralis, mastitisyang paling ringan. Disini ditemukan radang dan degenerasi pada parenkim (epitel) saluran-saluran air susu besar.
2.      Mastitis parenchymatosa, ditemukan radang yang meluas hingga asinus pembentuk air susu, jadi hingga parenkim yang mementuk air susu.
3.      Mastistis interstitialis, ditemukan radang terutama ditemukan di dalam interstisialataujaringanikat  (Ressang, 1984).
b.      Menurut GejalaKlinis
1.      Sub Klinis: pada kondisi sub klinis tidak bisa di lihat dengan mata (klinis) namun tersifat pada sekresi susunya, deteksi terhadap mastitis subakut dengan uji sekresi susunya, yang menunjukkan produk infiltrasi seperti leukosit, fibrin dan serum serta perubahan komposisi kimiawi (Subronto, 2004).
2.      Klinis
·         Akut: radang (bengkak), panas dalam rabaan, rasa sakit, warna yang kemerahan dan terganggunya fungsi. Air susu jadi pecah, bercampur endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan protein. Konsistensi air susu jadi lebih encer dan warnanya juga jadi agak kebiruan atau putih yang pucat. Kadang proses akut berlangsung dengan cepat dan hebat. Tanda-tanda lain yang ditemukan adalah anoreksia, kelesuan, toksemia, dan sering disertai dengan kenaikan suhu tubuh (Subronto,2004).
·         Subakut: ditandai dengan gejala sama seperti akut tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hewan masih mau makan dan suhu tubuhnya masih dalam batas normal. Perubahan radang dari ambing kadang samar-samar tetapi air susunya jelas mengalami perubahan. Pada inspeksi dari samping dan belakang, ambing tampak asimetris (Subronto,2004).
·         Kronik: pada kondisi kronik bisa di lihat dengan cara perabaan pada ambing dan strecping di mana susu yang didapatkan tidak normal. Pada infeksi kronik berakhir dengan atrofi kelenjar. Ambing yang mengalami gangren yang tampak perubahan seperti ambing terasa dingin, air susu lebih encer kadang bercampur darah dan warna kulit ambing biru lebam. Hewan tidak sanggup berdiri lagi, ambruk dan dapat mati dalam beberapa hari. Macam-macam kondisi kronik antara lain.  :
a.       T1 apabila terdapat gumpalan kecil-kecil pada susu.
b)      T2 apabila terdapat gumpalan yang lebih besar pada susu.
c)      T3 apabila terdapat gumpalan yang lebih besar dari T1 dan T2
d)     Chung apabila susu sudah berubah menjadi nanah
e)      Watery apabila bila di streeping susu sudah tidak keluar melainkan hanya air yang keluar dari susu.
f)       Blood apabila bila distreeping keluar darah
g)      Semua tingkatan Mastitis (Sub Klinis, T1, T2, T3, Chung, Watery, Blood) biasanya disertaiambing panas atau keras (Rahayu, 2010;Subronto,2004).

·         Penyebab Mastitis
Ø  Bakteri
Ø  bahankimia
Ø  suhu
Ø  trauma karenaperalatanmekanik

BakteriPenyebab Mastitis
Sebagai penyebab utama radang pada sapi adalah kuman-kuman Streptococcus agalctiae, Streptococcus dysglactiae, Streptococcus uberis, Staphylococcus aureus. Streptococcus zooepidemicus kadang-kadang juga menjadi penyebab utama radang ambing. Selain itu juga dapat disebabkan oleh bakteri dari jenis koliform contohnya Escherechia coli dan  Bacillus.
a.       Staphylococcus
Staphylococcus  merupakan bakteri Gram positif, berbentuk kokus, diameter 1 µm, tidak motil, facultative anaerob, catalase positif, dapat tumbuh pada media yang kurang menguntungkan, dapat menyebabkan infeksi pyogenic.
Habitat staphylococcus,hidup normal pada kulit hewan dan manusia. Mereka sering ditemukan pada membrane mukosa traktus respiratorius dan sedikit di saluran urogenital serta saluran pencernaan.
Staphylococcus aureusmerupakan salah satu penyebab utama mastitis pada sapi perah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat turunnya produksi susu. Penelitian ini bertujuan untuk isolasi dan karakterisasi S. aureus yang diisolasi dari susu sapi perah. Karakterisasi S. aureus meliputi uji clumping factor, uji koagulase, produksi hemolisin, produksi pigmen dan uji kepekaan S. aureus terhadap beberapa antibiotika. Dalam penelitian ini berhasil diisolasi dan diidentifikasi sebanyak 32 isolat S. aureus. Semua isolat positif pada uji clumping factor dan koagulase. Alfa-hemolisis dapat diamati pada 1 isolat, 7 isolat mempunyai sifat α dan β-hemolitik, 11 isolat β-hemolitik dan 13 isolat bersifat non-hemolitik. Berdasar produksi pigmen, 8 isolat menghasilkan pigmen berwarna oranye, 10 isolat pigmen kuning dan 8 isolat menghasilkan pigmen putih.
Patogenisitas dan virulensi Staphylococcus sp. ditentukan oleh substansi-substansi yang diproduksi oleh organisme ini antara lain adalah enzim ekstraseluler yang dikenal dengan eksoprotein. Staphylococcusaureus memproduksi eksoprotein yang dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu, kelompok enzim antara lain koagulase, lipase, hialuronidase, stafilokinase (fibrinolisin) dan nuklease serta kelompok eksotoksin misalnya leukosidin, eksfoliatif toksin, enterotoksin dan toxic schock syndrome toxin-1 (TSST-1).
Hemolisin merupakan eksoprotein yang mempunyai aktivitas baik enzimatis maupun toksin sehingga tidak termasuk dalam klasifikasi ini. Sitolitik toksin yang dihasilkan oleh S. aureus adalah α, β, δ, dan γ-hemolisin. Eksoprotein enzimatis ini kemungkinan mempunyai fungsi utama dalam menyokong nutrisi untuk pertumbuhan bakteri, sedangkan eksotoksin berperan dalam menimbulkan berbagai penyakit (Quinn, 2002 ; Carter, 2004).
b.      Streptococcus
Streptococcus agalactiaetermasuk dalam genus Streptococcus golongan B. Bakteri ini merupakan bakteri Gram positif. Streptococcus agalactiae merupakan sebagian dari flora normal pada vagina dan mulut wanita pada 5-25 %. Bakteri ini secara khas merupakan βhemolitik dan membentuk daerah hemolisis yang hanya sedikit lebih besar dari koloni (bergaris tengah 1-2 mm). Streptococcus golongan B menghidrolisis natrium hipurat dan memberi respons positif pada tes CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson), peka terhadap basitrasin.
Streptococcus agalactiae mempunyai dasar-dasar patogenitas antara lain :
·      Mempunyai simpai sebagai komponen virulensi utama
·      Antibodi antisimpai bersifat protektif jika dibantu oleh sel-sel fagosit yangkompeten dan komplemen
Streptococcus agalactiae mampu bertahan pada inang dalam temperature tinggi, tergantung dari kemampuannya untuk melawan fagositosis. Isolat dari Streptococcus agalactiae memproduksi kapsul polisakarida. Kapsul polisakarida tersebut tersusun atas galaktosa dan glukosa, berkombinasi dengan 2-acetamido-2-deoxyglucose, N-acetylglucosamine dan pada ujungnya terdapat asam sialik, yang memberikan muatan negatif. Kapsul polisakarida tersebut merupakan faktor virulensi yang penting. Kapsul-kapsul tersebut menghalangi fagositosis dan sebagai komplemen saat tidak ada antibodi. Hasil selanjutnya dihilangkan bersama dengan pengeluaran residu asam sialik, dan kekurangan serum antibodi untuk melengkapi antigen tidaklah opsonik. Meskipun infeksi/penyerangan bisa saja dihubungkan dengan semua serotype, namun golongan dengan kapsul serotype III mendominasi isolat dari infeksi neonatal(Quinn, 2002 ; Carter, 2004).
c.       Mycobacterium
Bakteri Mycobacterium merupakan jenis bakteri Gram positif dan memiliki lipid yang tebal pada dinding sel nya. Jenis bakteri ini biasanya menyebabkan penyakit tuberkulosis, misalnya Mycobacterium bovis, Mycobacterium tuberculosis. Akan tetapi terdapat spesies bakteri ini yang juga menyebabkan mastitis. Mycobacterium  fortuitum merupakan bakteri yang dapat menyebabkan mastitis, akan tetapi jarang sekali ditemukan.
Bakteri ini bersifat zoonosis, sehingga sangat dikhawatirkan penularannya kepada manusia. Penularannya dapat melalui susu. Oleh karena itu, sangat dikhawatirkan apabila terdapat bakteri ini di dalam susu sapi yang mastitis(Subronto, 2004).
d.      Coliform
ContohnyaEscherichia coli, Enterobacter aerogenes, Klebsiella pneumoniae (bakteri yang sering diisolasi dari mastitis koliform), Pseudomonas aeruginosa, Citrobacter spp., Proteus spp. Dan beberapa bakteri Gram negatif lainnya tidak begitu banyak dijumpai. Frekuensi kejadian radang yang disebabkan oleh bakteri Koliform tidak melebihi 1% dari kejadian radang di kandang yang bersangkutan (Subronto, 2004).
e.       Korinebacterium
ContohnyaCorynebacterium pyogenes, C. bovis, C. ulcerans. Hanya C. pyogenes yang secara potensial dapat menyebabkan mastitis dan biasanya berlangsung secara sporadic(Subronto, 2004).

·         Patogenesis Mastitis
1.      Fase Infasi : masuknya organisme ke dalam puting. Kebanyakan terjadi karena terbukanya lubang saluran puting, terutama setelah diperah. Infasi ini dipermudah dengan adanya lingkungan yang jelek, populasi terlalu tinggi, adanya lesi pada putting susu atau karena daya tahan sapi menurun.
2.      Fase Infeksi : setelah mikroorganisme berhasil masuk ke dalam kelenjar, mikroorganisme akan membentuk koloni yang dalam waktu singkat akan menyebar ke lobuli dan alveoli. Pada saat mikroorganisme sampai di mukosa kelenjar, tubuh akan bereaksi dengan memobilisasikan leukosit. Mobilisasi sel darah dipermudah kalau diingat bahwa kelenjar susu dialiri darah yang relatif sangat besar untuk tiap satuan waktu.
3.      Fase Infiltrasi : ditandai saat mikroorganisme sampai ke mukosa kelenjar, tubuh akan bereaksi dengan memobilisasi leukosit dan terjadi radang. Adnya radang menyebabkan sel darah dicurahkan ke dalam susu, sehingga sifat fisik seta susunan susu mengalami perubahan(Subronto, 2004).

Dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar melalui lubang puting. Kadang-kadang terjadi secara limfogen dan hematogen. Secara akademik, proses radang dapat dibedakan menjadi beberapa fase, yaitu fase invasi, infeksi dan infiltrasi. Fase invasi adalah masuknya mikroorganisme ke dalam puting. Tidak jarang mikroorganisme patogen sudah lama berada di bagian bawah puting. Kebanyakan proses invasi terjadi karena terbukanya lubang saluran puting, terutama sesudah pemerahan. Invasi  yang terjadi pada masa kering tidak menyebabkan radang akut, proses kebanyakan berlangsung secara sub klinis yang pada suatu saat biasanya sesudah waktu kelahiran berubah menjadi radang subakut, akut atau perakut. Invasi dipermudah oleh keadaan lingkungan yang jelek, populasi kuman patogen yang tinggi, adanya lesi pada puting atau bila daya tahan sapi baru menurun misalnya sehabis sakit, tranportasi atau stress yang lain. Setelah mikroorganisme berhasil masuk ke dalam kelenjar, mikroorganisme akan membentuk koloni yang dalam waktu singkat akan menyebar ke lobuli dan alveoli. Pada saat mikroorganisme sampai di mukosa kelenjar, tubuh akan bereaksi dengan memobilisasikan leukosit. Mobilisasi sel darah dipermudah kalau diingat bahwa kelenjar susu dialiri darah yang relatif sangat besar untuk tiap satuan waktu. Untuk sapi seberat 100 pound, darah sebanyak 200 pound dialirkan ke dalam kelenjar tiap jamnya (Schalm, 1971).
Kuman Streptococcus agalactiae merupakan kuman yang untuk hidupnya memerlukan kelenjar susu. Oleh kerjaan kuman akan terjadi perubahan air susu yang ada di dalam sinus hingga air susu di dalam nya jadi rusak. Selanjutnya, rusaknya air susu akan meransang timbulnya reaksi jaringan dalam bentuk peningkatan sel di dalam air susu. Oleh jonjot fibrin yang terbentuk akhirnya saluran jadi tersumbat dan kelenjar akhirnya mengalami kerusakan jaringan (Subronto, 2004).

4.      Diagnosis Mastitis
Diagnosis mastitis dilakukan dengan pemeriksaan fisik ambing terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan susu melalui beberapa tes.
a.     Inspeksi dan palpasi
Pemeriksaan fisis kelenjar susu dilakukan dengan inspeksi dan palpasi. Perubahan-perubahan yang terdapat pada kulit dan puting sulit diamati. Ambing yang menderita mastitis mengalami kebengkakan, menjadi asimetris, ditemui lesi-lesi dan bila dipalpasi ditemui adanya jaringan yang mengeras.Palpasi kelenjar air susu dilakukan setelah pemerahan. Dalam palpasi diperhatikan konsistensi kelenjar bentukan-bentukan abnormalitas pada putting(Akoso, 1996 ;Subronto, 2004).
b.    Pemeriksaan fisis air susu
Pemeriksaan fisis air susu dipakai dengan cara strip cup. Lantai kandang yang bersih juga dapat digunakan untuk mengetahui perubahan fisis dari air susu. Untuk tujuan pemeriksaan air susu secara biokimiawi dan mikrobiologis, pengambilannya harus dilakukan dengan teknik aseptis. Antiseptik yang digunakan biasanya alkohol 70%. Uji berdasarkan penghitungan sel, bahan dapat diberi formalin 40% sebanyak 0,1 ml untuk tiap 5-10 ml air susu (Subronto, 2004).
c.     Californian Mastitis Test
California mastitis test ditentukan dengan cara mereaksikan 2 ml susu dengan 2 ml reagen CMT yang mengandung arylsulfonate di dalam paddel. Kemudian campuran tersebut digoyang-goyang membentuk lingkaran horizontal selama 10 detik. Reaksi ini ditandai dengan ada tidaknya perubahan pada kekentalan susu, kemudian ditentukan berdasarkan skoring CMT yaitu (-) tidak ada pengendapan pada susu, (+) terdapat sedikit pengendapan pada susu, (++) terdapat pengendapan yang jelas namun gel belum terbentuk, (+++) campuran menebal dan mulai terbentuk gel, serta (++++) gel yang terbentuk menyebabkan permukaan menjadi cembung. Untuk memudahkan perhitungan statistik maka lambang-lambang tersebut diberi nilai masing-masing, untuk lambang (-) nilainya 1, (+) nilainya 2, (++) nilainya 3, (+++) nilainya 4 dan (++++) nilainya 5 untuk tiap puting susu (Ruegg, 2002).
·   Prinsip keakuratan dari Californian Mastitis Test, dilihat dari:
1)      Terjadi peningkatan sel darah putih ketika terjadi infeksi pada jaringan mamae.
2)      Pada leukosit polimorfonuklear, memiliki nukleus yang lebih besar dibandingkan dengan sel yang lain atau sel dari bakteri.
3)      Dinding sel leukosit tersusun dari banyak lipid (Ruegg, 2002).
·   Prosedur dari Californian Mastitis Test:
1)      Ambil susu sebanyak 2 cc dari tiap kuarter ambing, teteskan pada paddle.
2)      Tetesi reagen CMT ke dalam paddle yang berisi susu tadi.
3)      Campur reagen CMT dan susu di dalam paddle dengan menggoyang-goyangkannya secara sirkuler tidak lebih dari 10 detik.
4)      Lihat hasil yang terjadi,jikasemakin banyak bentukan gumpalan maka skor masttis semakin tinggi(Ruegg, 2002).
·   Pembacaan hasil mastitis:
1)      N (negative) : tidak terjadi mastitis.
2)      T (trace) : sedikit mengalami penipisan di dalam campuran, reaksi ini akan cepat menghilang apabila paddle digoyangkan terlalu lama.
3)      1 (weak postive) : tampak penebalan yang jelas pada campuran susu dan reagen CMT, tetapi tidak ada perubahan ke bentukan gel.
4)      2 (distinct positive) :  segera mengalami penebalan pada campuran susu dan reagen CMT,  dengan bentukan gel tipis.
5)      3 (straight positive) : terbentuk gel, permukan dari campuran susu dan reagen CMT menjadi bentukan elevasi (Ruegg, 2002).
·   Interprestasi Californian Mastitis Test
Score
Somatic Cell Range
Interpretation
N
0 - 200.000
Healthy Quarter
T
200.000 - 400.000
Subclinical Mastitis
1
400.000 – 1.200.000
Subclinical Mastitis
2
1.200.000 – 5.000.000
Serious Mastitis Infection
3
˃ 5.000.000
Serious Mastitis Infection

DAFTAR PUSTAKA
Akoso, T. B. 1996. Kesehatan Sapi.Yogyakarta : Kanisius
Carter, G.R. and Darla, J. W. 2004. Essentsials of Veterinary Bacteriology and Mycology Sixth Edition. Iowa : Iowa State Press
Quinn, P.J.  et al.  2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease.Iowa:Blackwell Science
Rahayu, I. D. 2010. Mastitis Pada Sapi Perah. Malang : UMM Press
Ressang, A. A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Bogor : IPB Press
Ruegg, P. L. 2002. Milk Quality and Mastitis Tests. Iowa : Iowa State Press
Schalm. 1971. Veterinary Hematology. Iowa :Iowa State Press
Subronto. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

No comments:

Post a Comment