LEARNING OBJECTIVE
1.
Bagaimana
karakteristik bakteri, patogenesis dan gejala klinis leptospirosis?
2.
Hewan
apa saja yang dapat tertular penyakit leptospirosis?
3.
Bagaimana
patologi klinis hewan yang terserang leptospirosis?
PEMBAHASAN
1.
Leptospiros
Karakteristik Leptospira
Leptospira
adalah bakteri
Gram negatif yang berbentuk spiral atau helikal yang
rapat, tipis, fleksibel,
ujungnya seringkali melengkung membentuk kait. Garis tengah0,1 μm dan panjangnya 6-20 μm. Amplitudo heliks mencapai 0,1-0,15 μm dengan panjang gelombang hingga 0,5 μm. Leptospiratermasukbakteriaerobabligat,oksidasepositifdankatalasepositif.Beberapabakteriinijugamampumemproduksi
urease. Bakteri ini motil karena
memiliki endoflagela yang terletak di dalam periplasma.Struktur protein flagella sangat
komplek (Quinn, 2002).
Meskipun termasuk Gram negatif, bakteri
ini tidak akan tercat baik dengan metode pewarnaan konvensional,tetapi dapat divisualisasikan
dengan baik menggunakan mikroskopmedangelap.
Leptospira dapat bertahan di tanah
lembab, lumpur kolam, sungai, danair saat suhu hangat
khususnya pada pH alkalis.
Leptospira yang patogen
hidup di tubulus renalis atau saluran genital dari hewan carrier. Tikus, babi, kambing,
domba, anjing dan kucing merupakan pembawa Leptospira. Rodensia adalah carrier Leptospira
pertama yang mampu dikenali. Mereka dapat bertahan dengan Leptospira
di dalam tubuhnya seumur hidup tanpa gejala
klinik. Rodensia
juga merupakan carrier utama Leptospira
dalam kasus penularanke manusia (Quinn, 2002).
Patogenesis
Leptospira menginvasi
jaringan melalui kulit yang lembab atau membran mukosa, motilitasnya juga
membantuuntuk invasi ke jaringan.
Mereka akan menyebar melalui aliran darah.Kemudian10
hari setelah infeksi akan terbentuk
antibodi dalam darah. Beberapa dapat menyerang sistem imun dan persisten di tubuh, di tubulus
renalis, selain itu juga di uterus, mata serta
meninges. Karenakatalasenyapositif, Leptospira dapat melawan
fagositosis dengan cara menginduksi apoptosis pada makrofag(Quinn, 2002).
Setelah
infeksi dapat dijumpai fase leptospiremia yang biasanya terjadi pada minggu
pertama. Beberapa serovar menghasilkan endotoksin sedang serovar lain
menghasilkan hemolisin yang mampu merusak dinding kapiler pembuluh darah. Pada
proses infeksi yang berkepanjangan reaksi imunologis yang timbul dapat
memperburuk keadaan hingga kerusakan
jaringan makin besar(Subronto,
2003).
Leptospira hidup dengan
baik di dalam tubulus kontortus ginjal. Organisme
tersebut dibebaskan melalui kemih untuk
jangka waktu yang lama.Meskipun
kadar antibodi hewan penderita cukup tinggi dan banyak sel–sel penghasil imun ditemukan di
tempat-tempat yang mengalami infeksi,
tetapiLeptospiratetaphidupdenganbaikdisana(Subronto,
2003).
Kematian
penderita leptospirosis terjadi karena septisemia, anemia hemolitika, kerusakan
hati atau oleh terjadinya uremia. Beratnya penderitaan bervariasi tergantung
pada umur dan spesies penderita serta serovar leptospira penyebab infeksi(Subronto,
2003).
Gejala
Klinis
Perkembangan penyakit Leptospirosis melalui 2 fase:
1.
Fase pertama :
akut, septisemik , gejala nonspesifik, 5-9 hari setelah infeksi. Gejalanya
antara lain sakit kepala, nyeri otot, mata merah berair, menggigil, demam,
muntah, dan diare.
2.
Fase kedua:
terjadi setelah beberapa hari , berat. Gejalanya demam, nyeri dan
kekakuan leher.Inflamasi pada syaraf mata, otak (meningitis), hati, paru,
ginjal, jantung. Terjadi Weil's syndrome, yaitumelibatkan hati dan ginjal, ditandai dengan mata
kuning (jaundice).
Secara teknis pada hewan tidak tampak
symptom karena efek sakit seperti sakit kepala pada manusia. pada hewan sulit
dideteksi. Gejala leptospirosis pada hewan hampir mirip pada manusia.
Gejala tergantung dari species dan jenis
hewan.
1) Leptospirosis
pada sapi dan domba
Jika menyerang pada
sapi muda yang baru pertama kali melahirkan, gejala akutnya meliputi pyrexia
dan agalactia di semua kwartir. Menyebabkan
aborsi dan stillbirth. Infeksi dengan serovar hardjo pada domba, kebanyakan terjadi pada kandang di tanah yang
rendah dapat menyebabkan agalactia. Infeksi serovar pomona, grippotyphosa dan icterohaemorraghiae
menyebabkan penyakit serius pada anak sapi dan domba. Infeksi biasanya
menyebabkan pyrexia, haemoglobinuria, jaundice dan anorexia. Kerusakan ginjal
menyebabkan uremia yang akhirnya dapat menyebabkan kematian(Quinn, 2002).
2) Leptospirosis
pada kuda
Infeksi
serovar bratislava menyebabkan
abortus dan stillbirths. Gejala klinisnya lebih sering ditemukan pada kasus
serovar pomona. Tandanya meliputi
aborsi pada kuda betina dan penyakit ginjal pada kuda(Quinn, 2002).
3) Leptospirosis
pada babi
Leptospirosis akut pada
babi disebabkan oleh serovar icterohaemorraghiae
dan copenhagenii. Serovar
tersebut menimbulkan gejala klinis dan berakibat fatal pada babi muda. Di
berbagai belahan dunia, serovar yang paling adaptif adalah pomona. Babi yang terinfeksi subklinis, urinnya mengandung
leptospira. Infeksi menyebabkan kegagalan reproduksi yang meliputi aborsi dan
stillbirth. Babi juga menjadi hospes dari serovar tarassovi dan bratislava
yang juga menyebabkan kegagalan reproduksi(Quinn, 2002).
4) Leptospirosis
pada anjing dan kucing
Serovar yang menyerang
anjing adalah canicola dan icterohaemorraghiae. Serovar canicola
menyebabkan gangguan ginjal pada anak anjingsehinggamenyebabkanChronic Uraemic
Syndrome.
Serovar icterohaemmorraghiaemenyebabkan hemoraghi akut atau
subakut pada hepar dan gagal ginjal. Serovar
bratislava dapatmenyebabkan aborsi dan
infertilitas. Gejala klinis jarang ditemukan pada kucing(Quinn, 2002).
2.
Hewan
yang tertular
Penggolongan
leptospira menggunakan unit yang sistematik yaitu serovar, berdasarkan kesamaan
dan perbedaan antigen. Tiap serovar memiliki karakteristik antigen. Saat ini
terdapat 250 serovar yang patogen. Serovar-serovar tersebut memiliki beberapa
kesamaan antigen sehingga dikelompokkan lagi menjdi serogroup, total ada 25
serogroup.
3.
Patologi
Klinis (Diagnosis)
Leptospirosis bentuk akut ditandai dengan ikterus, anemia, hemoglobinuria,
dan perdarahan submukosal maupun subserosa. Pada selaput lendir abomasum
mungkin ditemukan adanya tukak-tukak (ulcerae)
dan perdarahan. Bila bilirubinemia yang terjadi cukup berat, akan dapat diikuti
dengan oedema maupun emfisema paru-paru.
Secara histologis lesi utama berupa sebagai radang ginjal interstisial,
baik yang bersifat fokal maupun difus. Perubahan nekrotik yang bersifat
sentrolobuler dan vaskuler terdapat pada histologi hati. Lesi pada hati terdapat
meluas pada kasus yang bersifat fatal. Pada otak dan selaput-selaputnya mungkin
dijumpai lesi pada pembuluh darah(Subronto, 2003).
Perubahan patologi klinis yang terjadi antara
lain:
1.
Thrombocytopenia
2.
Leukocytosis dan
neutrophilia dengan left shift pada
kondisi akut
3.
BUN
(Blood Ureum Nitrogen) dan creatinin
kinase meningkat akibat gagal ginjal
4.
Electrolyte,
bervariasi tergantung gangguan ginjal
5.
Peningkatan
ALT (Alkalin Transferase), AST (Aspartat Transferase), ALP (Alkalin
Phospatase), dan bilirubin akibat gangguan hati
6.
Urine
analysis, terjadi peningkatan protein and bilirubin.
Diagnosis
1) Pengujian
mikroskop
Pengujian dengan
menggunakan mikroskop lapangan gelap dengan apusantebal yang diwarnai dengan
metode Giemsa terkadang memperlihatkan Leptospira
di dalam darah segar pada infeksi awal. Pengujian mikroskopik dari urin yang
disentrifugasi hasilnya mungkin positif. Antibodi yang disiapkan secara
fluorosen terkonjugasi atau teknik immunohistokimia lainnya dapat juga
digunakan(Brooks, 2001).
2) Kultur
Seluruh darah segar
atau urin dapat dikulturkan pada media Fletcher semisolid atau media lain.
Pertumbuhan lambat, dan kultur biasanya disimpan dalam waktu 8 minggu(Brooks,
2001).
3) Inokulasi
hewan
Teknik yang sensitif
untuk pengisolasian Leptospira dibuat
dengan melakukan inokulasi secara intraperitoneal pada hamster muda dan pada
guinea pig dengan plasma segar atau
urin. Dalam beberapa hari bakteri tampak pada rongga peritoneal pada hewan yang
mati pada hari ke 8-14, lesi hemorrhagi dengan bakteri ini ditemukan di
berbagai organ(Brooks, 2001).
4) Serologi
Antibodi yang
beraglutinasi mencapai titer yang sangat tinggi (1:10.000 atau lebih)
berkembang dengan lambat pada infeksi leptospira mencapai puncaknya pada 5-8
minggu setelah infeksi. Antibodi leptospira dapat dideteksi dengan tes slide
aglutinasi mikroskopis menggunakan Leptospira
yang sudah mati atau dengan aglutinasi mikroskopis dari organisme hidup.
Hemaglutinasi pasif dari sel darah merah dengan penyerapan Leptospira kadang-kadang digunakan. Penyerapan silang memudahkan
identifikasi respon antibodi serovar yang spesifik(Brooks, 2001).
Prosedur
Diagnosis
1. Organisme dapat ditemukan pada urin segar
dengan mikroskop medan gelap, namun teknik ini bersifat insensitive.
2. Leptospira dapat diisolasi dari darah
pada 7-10 hari awal terjadinya infeksi dan dari urin kira-kira dua minggu
setelah awal infeksi baik di media kultur atau dengan inokulasi hewan.
Pertumbuhan lambat serovar seperti L.
hardjo memerlukan waktu inkubasi selama 6 bulan di media cair pada suhu 30
°C. Umumnya media EMJH (Ellinghausen, McCullough, Johnson and Haris) pada 1%
bovine serum albumin dan Tween 80 digunakan untuk isolasi.
3. Prosedur antibody fluorescent sering
digunakan untuk mendemonstrasikan Leptospira dalam jaringan. Jaringan yang
cocok antara lain ginjal, hati, dan paru-paru. Teknik silver impregnasi juga
digunakan untuk mendemonstrasika Leptospira.
4. Hibridisasi DNA, PCR, magnetic
immunocapture PCR, immunomagnetic antigen capture system.
5. Tes serologi standar, microscopic
agglutination test.
(Quinn, 2007)
DAFTAR PUSTAKA
- Brooks, Geo F, Janet S. Butel, Stephen A. Morse. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Salemba Medika
- Quinn, P.J, B.K. Makley, M.E. Carter, W.J.C Donnely, F.C. Leonard, D. Maghire.2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease.Iowa :Blackwell Science
- Quinn, P.J, et all. 2007. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Singapore. Blacwell Science.
- Subronto.2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mammalia) I. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
No comments:
Post a Comment