Wednesday, 24 April 2013

Blok 11 UP 4



LEARNING OBJECTIVE
1.      Bagaimana karakteristik bakteri, patogenesis dan gejala klinis leptospirosis?
2.      Hewan apa saja yang dapat tertular penyakit leptospirosis?
3.      Bagaimana patologi klinis hewan yang terserang leptospirosis?


PEMBAHASAN
1.      Leptospiros
Karakteristik Leptospira























Leptospira adalah bakteri Gram negatif yang berbentuk spiral atau helikal yang rapat, tipis, fleksibel, ujungnya seringkali melengkung membentuk kait. Garis tengah0,1 μm dan panjangnya 6-20 μm. Amplitudo heliks mencapai 0,1-0,15 μm dengan panjang gelombang hingga 0,5 μm. Leptospiratermasukbakteriaerobabligat,oksidasepositifdankatalasepositif.Beberapabakteriinijugamampumemproduksi urease. Bakteri ini motil karena memiliki endoflagela yang terletak di dalam periplasma.Struktur protein flagella sangat komplek (Quinn, 2002).
Meskipun termasuk Gram negatif, bakteri ini tidak akan tercat baik dengan metode pewarnaan konvensional,tetapi dapat divisualisasikan dengan baik menggunakan mikroskopmedangelap. Leptospira dapat bertahan di tanah lembab, lumpur kolam, sungai, danair saat suhu hangat khususnya pada pH alkalis.
Leptospira yang patogen hidup di tubulus renalis atau saluran genital dari hewan carrier. Tikus, babi, kambing, domba, anjing dan kucing merupakan pembawa Leptospira. Rodensia adalah carrier Leptospira pertama yang mampu dikenali. Mereka dapat bertahan dengan Leptospira di dalam tubuhnya seumur hidup tanpa gejala klinik. Rodensia juga merupakan carrier utama Leptospira dalam kasus penularanke manusia (Quinn, 2002).

Patogenesis
Leptospira menginvasi jaringan melalui kulit yang lembab atau membran mukosa, motilitasnya juga membantuuntuk invasi ke jaringan. Mereka akan menyebar melalui aliran darah.Kemudian10 hari setelah infeksi akan terbentuk antibodi dalam darah. Beberapa dapat menyerang sistem imun dan persisten di tubuh, di tubulus renalis, selain itu juga di uterus, mata serta meninges. Karenakatalasenyapositif, Leptospira dapat melawan fagositosis dengan cara menginduksi apoptosis pada makrofag(Quinn, 2002).
Setelah infeksi dapat dijumpai fase leptospiremia yang biasanya terjadi pada minggu pertama. Beberapa serovar menghasilkan endotoksin sedang serovar lain menghasilkan hemolisin yang mampu merusak dinding kapiler pembuluh darah. Pada proses infeksi yang berkepanjangan reaksi imunologis yang timbul dapat memperburuk keadaan hingga kerusakan jaringan makin besar(Subronto, 2003).
Leptospira hidup dengan baik di dalam tubulus kontortus ginjal. Organisme tersebut  dibebaskan melalui kemih untuk jangka waktu yang lama.Meskipun kadar antibodi hewan penderita cukup tinggi dan banyak sel–sel penghasil imun ditemukan di tempat-tempat yang mengalami infeksi, tetapiLeptospiratetaphidupdenganbaikdisana(Subronto, 2003).
Kematian penderita leptospirosis terjadi karena septisemia, anemia hemolitika, kerusakan hati atau oleh terjadinya uremia. Beratnya penderitaan bervariasi tergantung pada umur dan spesies penderita serta serovar leptospira penyebab infeksi(Subronto, 2003).

Gejala Klinis
Perkembangan penyakit Leptospirosis melalui 2 fase:
1.      Fase pertama   : akut, septisemik , gejala nonspesifik, 5-9 hari setelah infeksi. Gejalanya antara lain sakit kepala, nyeri otot, mata merah berair, menggigil, demam, muntah, dan diare.
2.      Fase kedua:  terjadi setelah beberapa hari , berat. Gejalanya demam, nyeri dan kekakuan leher.Inflamasi pada syaraf mata, otak (meningitis), hati, paru, ginjal, jantung. Terjadi Weil's syndrome, yaitumelibatkan hati dan ginjal, ditandai dengan mata kuning (jaundice).
Secara teknis pada hewan tidak tampak symptom karena efek sakit seperti sakit kepala pada manusia. pada hewan sulit dideteksi. Gejala leptospirosis pada hewan hampir mirip pada manusia. Gejala  tergantung dari species dan jenis hewan.

1)      Leptospirosis pada sapi dan domba
Jika menyerang pada sapi muda yang baru pertama kali melahirkan, gejala akutnya meliputi pyrexia dan agalactia di semua kwartir. Menyebabkan aborsi dan stillbirth. Infeksi dengan serovar hardjo pada domba, kebanyakan terjadi pada kandang di tanah yang rendah dapat menyebabkan agalactia. Infeksi serovar pomona, grippotyphosa dan icterohaemorraghiae menyebabkan penyakit serius pada anak sapi dan domba. Infeksi biasanya menyebabkan pyrexia, haemoglobinuria, jaundice dan anorexia. Kerusakan ginjal menyebabkan uremia yang akhirnya dapat menyebabkan kematian(Quinn, 2002).
2)      Leptospirosis pada kuda
Infeksi serovar bratislava menyebabkan abortus dan stillbirths. Gejala klinisnya lebih sering ditemukan pada kasus serovar pomona. Tandanya meliputi aborsi pada kuda betina dan penyakit ginjal pada kuda(Quinn, 2002).
3)      Leptospirosis pada babi
Leptospirosis akut pada babi disebabkan oleh serovar icterohaemorraghiae dan copenhagenii. Serovar tersebut menimbulkan gejala klinis dan berakibat fatal pada babi muda. Di berbagai belahan dunia, serovar yang paling adaptif adalah pomona. Babi yang terinfeksi subklinis, urinnya mengandung leptospira. Infeksi menyebabkan kegagalan reproduksi yang meliputi aborsi dan stillbirth. Babi juga menjadi hospes dari serovar tarassovi dan bratislava yang juga menyebabkan kegagalan reproduksi(Quinn, 2002).
4)      Leptospirosis pada anjing dan kucing
Serovar yang menyerang anjing adalah canicola dan icterohaemorraghiae. Serovar canicola menyebabkan gangguan ginjal pada anak anjingsehinggamenyebabkanChronic Uraemic Syndrome. Serovar icterohaemmorraghiaemenyebabkan hemoraghi akut atau subakut pada hepar dan gagal ginjal. Serovar  bratislava dapatmenyebabkan aborsi dan infertilitas. Gejala klinis jarang ditemukan pada kucing(Quinn, 2002).


2.      Hewan yang tertular
Penggolongan leptospira menggunakan unit yang sistematik yaitu serovar, berdasarkan kesamaan dan perbedaan antigen. Tiap serovar memiliki karakteristik antigen. Saat ini terdapat 250 serovar yang patogen. Serovar-serovar tersebut memiliki beberapa kesamaan antigen sehingga dikelompokkan lagi menjdi serogroup, total ada 25 serogroup.
(Quiin, 2002)

3.      Patologi Klinis (Diagnosis)
Leptospirosis bentuk akut ditandai dengan ikterus, anemia, hemoglobinuria, dan perdarahan submukosal maupun subserosa. Pada selaput lendir abomasum mungkin ditemukan adanya tukak-tukak (ulcerae) dan perdarahan. Bila bilirubinemia yang terjadi cukup berat, akan dapat diikuti dengan oedema maupun emfisema paru-paru.

Secara histologis lesi utama berupa sebagai radang ginjal interstisial, baik yang bersifat fokal maupun difus. Perubahan nekrotik yang bersifat sentrolobuler dan vaskuler terdapat pada histologi hati. Lesi pada hati terdapat meluas pada kasus yang bersifat fatal. Pada otak dan selaput-selaputnya mungkin dijumpai lesi pada pembuluh darah(Subronto, 2003).
Perubahan patologi klinis yang terjadi antara lain: 
1.      Thrombocytopenia
2.      Leukocytosis  dan  neutrophilia  dengan left shift pada kondisi akut
3.      BUN (Blood Ureum Nitrogen) dan creatinin kinase meningkat akibat gagal ginjal
4.      Electrolyte, bervariasi tergantung gangguan ginjal
5.      Peningkatan ALT (Alkalin Transferase), AST (Aspartat Transferase), ALP (Alkalin Phospatase), dan bilirubin akibat gangguan hati
6.      Urine analysis, terjadi peningkatan protein and bilirubin.

Diagnosis
1)      Pengujian mikroskop
Pengujian dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap dengan apusantebal yang diwarnai dengan metode Giemsa terkadang memperlihatkan Leptospira di dalam darah segar pada infeksi awal. Pengujian mikroskopik dari urin yang disentrifugasi hasilnya mungkin positif. Antibodi yang disiapkan secara fluorosen terkonjugasi atau teknik immunohistokimia lainnya dapat juga digunakan(Brooks, 2001).
2)      Kultur
Seluruh darah segar atau urin dapat dikulturkan pada media Fletcher semisolid atau media lain. Pertumbuhan lambat, dan kultur biasanya disimpan dalam waktu 8 minggu(Brooks, 2001).
3)      Inokulasi hewan
Teknik yang sensitif untuk pengisolasian Leptospira dibuat dengan melakukan inokulasi secara intraperitoneal pada hamster muda dan pada guinea pig dengan plasma segar atau urin. Dalam beberapa hari bakteri tampak pada rongga peritoneal pada hewan yang mati pada hari ke 8-14, lesi hemorrhagi dengan bakteri ini ditemukan di berbagai organ(Brooks, 2001).
4)      Serologi
Antibodi yang beraglutinasi mencapai titer yang sangat tinggi (1:10.000 atau lebih) berkembang dengan lambat pada infeksi leptospira mencapai puncaknya pada 5-8 minggu setelah infeksi. Antibodi leptospira dapat dideteksi dengan tes slide aglutinasi mikroskopis menggunakan Leptospira yang sudah mati atau dengan aglutinasi mikroskopis dari organisme hidup. Hemaglutinasi pasif dari sel darah merah dengan penyerapan Leptospira kadang-kadang digunakan. Penyerapan silang memudahkan identifikasi respon antibodi serovar yang spesifik(Brooks, 2001).
Prosedur Diagnosis
1.      Organisme dapat ditemukan pada urin segar dengan mikroskop medan gelap, namun teknik ini bersifat insensitive.
2.      Leptospira dapat diisolasi dari darah pada 7-10 hari awal terjadinya infeksi dan dari urin kira-kira dua minggu setelah awal infeksi baik di media kultur atau dengan inokulasi hewan. Pertumbuhan lambat serovar seperti L. hardjo memerlukan waktu inkubasi selama 6 bulan di media cair pada suhu 30 °C. Umumnya media EMJH (Ellinghausen, McCullough, Johnson and Haris) pada 1% bovine serum albumin dan Tween 80 digunakan untuk isolasi.
3.      Prosedur antibody fluorescent sering digunakan untuk mendemonstrasikan Leptospira dalam jaringan. Jaringan yang cocok antara lain ginjal, hati, dan paru-paru. Teknik silver impregnasi juga digunakan untuk mendemonstrasika Leptospira.
4.      Hibridisasi DNA, PCR, magnetic immunocapture PCR, immunomagnetic antigen capture system.
5.      Tes serologi standar, microscopic agglutination test.
(Quinn, 2007)



DAFTAR PUSTAKA
  1. Brooks, Geo F, Janet S. Butel, Stephen A. Morse. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Salemba Medika
  2. Quinn, P.J, B.K. Makley, M.E. Carter, W.J.C Donnely, F.C. Leonard, D. Maghire.2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease.Iowa :Blackwell Science
  3. Quinn, P.J, et all. 2007. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Singapore. Blacwell Science.
  4. Subronto.2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mammalia) I. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

No comments:

Post a Comment