LEARNING OBJECTIVE
1.
Bagaimana
Etiologi, Patogenesis dan Gejala Klinis dari PMK (Penyakit Mulut dan Kuku)?
2.
Bagaimana
Etiologi, Patogenesis dan Gejala Klinis dari Penyakit Jembrana?
3.
Bagaimana
Pemeriksaan PMK dengan ELISA dan PCR?
PEMBAHASAN
1.
PMK
(Penyakit Mulut dan Kuku)
a.
Etiologi
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) atau Foot and Mouth
Disease (FMD) dalam bahasa latin disebut Aphtae Epizooticae (AE) adalah
penyakit hewan menular yang akut, yang menyerang hewan berkuku belah, terutama pada hewan ternak seperti sapi, kambing, domba, dan babi
(Subronto, 2003).
Disebabkan
oleh virus dari
genus Aphthovirus dari Famili Picornaviridae. Berbentuk ikosahedral, tidak
beranvelope, berdiameter 27 µm, genomnya RNA berserat tunggal (single strand
RNA), polaritas (+), protein VPg pada ujung 5’ dipoliadenilasi pada ujung 3’.
RNA virion bertindak sebagai mRNA dan ditranslasi menjadi poliprotein yang
selanjutnya disibak untuk menghasilkan 11 protein tersendiri, replikasi tersebut
terjadi dalam sitoplasma (Fenner, et all, 1995).
Virus
PMK mempunyai 7 tipe yaitu tipe-tipe O (Oise) dan A (Allemagne), C (sebagai antisipasi bahwa O dan
A mungkin akan dinamai kembali untuk memungkinkan persamaan tipe selanjutnya A,
B, C, dan seterusnya),
SAT1, SAT2, SAT3 (South
African territories),
dan Asia1. Polipeptida kapsid yang disebut VP1 dan VP3 adalah immunogen yang mudah mengalami perubahan mutasi (Subronto, 2003).
Virus
PMK dapat ditularkan melalui produk-produk hewani seperti kulit, daging dan air
susu. Di dalam otot karena terbentuknya asam, virus hanya mampu bertahan selama
2 hari dan menjadi inaktif, sedangkan di dalam jaringan lain misalnya kelenjar -kelenjar
dan sumsum tulang, virus-virus dapat hidup berbulan-bulan dalam penyimpanan
beku. Virus bersifat stabil dalam lingkungan terbuka untuk jangka waktu yang
lama, yang kemudian disebarkan secara aerosol, terutama bila kelembaban udara
melebihi 70% dan suhu udara yang dingin. Virus bersifat peka terhadap alkali
maupun asam (Subronto, 2003).
b.
Gejala Klinis
1) Demam, nafsu makan
turun dan bulu kusam.
2) Peradangan pada
lidah dan mulut bagian dalam yang mengakibatkan hypersalivasi.
3) Adanya lepuh-lepuh
pada gusi, lidah dan pangkal lidah, lepuh-lepuh tersebut segera pecah dan menghasilkan
tukak sehingga mengakibatkan kesulitan mengunyah dan air liur menetes.
4) Serangan penyakit
yang serius menyebabkan selaput lendir lidah terkelupas.
5) Lepuh lepuh
diantara teracak dan sekitar batas atas kuku sehingga menyebabkan rasa sakit
dan pincang waktu berjalan, luka yang parah, kuku dapat terlepas.
6) Pada ternak betina
lepuh/ tukak terjadi pada ambing dan puting.
7) Pada babi lepuh
pada cungur lebih menonjol.
8) Produksi air susu
menurun.
9) Keguguran pada
ternak betina, hanya karena demam tinggi,
tidak ada perubahan patologis spesifik dalam plasenta atau janin.
10) Mortalitas
terutama pada hewan muda
(Fenner,
et all, 1995).
c.
Patogenesis
Jalur
utama infeksi pada ruminansia adalah melalui penghirupan (secara aerosol)
tetapi konsumsi pakan yang terinfeksi, inokulasi dengan vaksin yang tercemar,
inseminasi dengan semen yang tercemar dan kontak dengan peralatan ternak yang
tercemar semuanya dapat menimbulkan infeksi. Pada hewan yang terinfeksi melalui
saluran pernafasan, replikasi awal virus berlangsung pada faring, diikuti oleh
viremia yang menyebar ke jaringan dan organ yang lain sebelum mulainya penyakit
klinis. Pengeluaran virus mulai sekitar 24 jam sebelum mulainya penyakit klinis
dan berlangsung selama beberapa hari. Virus PMK dapat tinggal dalam faring
beberapa jenis hewan sampai beberapa lama setelah sembuh. Pada sapi virus dapat
dideteksi sampai 2 tahun setelah terinfeksi, pada domba sampai sekitar 6 bulan.
Kemenetapan virus tidak terjadi pada babi. Uap air yang dikeluarkan oleh hewan
yang terinfeksi mengandung sejumlah besar virus, khusunya yang dihasilkan oleh
babi. Sejumlah besar virus juga dikeluarkan dalam susu (Fenner, et all, 1995).
Beberapa hewan yang
peka mungkin tidak memperlihatkan adanya lesi-lesi sampai hari ke-6 setelah
inokulasi sedangkan hewan lainnya sama sekali tidak menampakkan adanya lesi.
Pada umumnya viremia akan hilang dalam beberapa hari. Melalui darah virus tersebut
menyebar ke selaput lendir mulut, kaki, dan ambing (kira-kira 2-4 hari setelah
inokulasi). Pengangkutan virus ke epitel yang tidak banyak mengandung pembuluh
darah berlangsung melalui papilla. Dalam pemeriksaan secara fluoresen antibody
terlihat bahwa monosit yang membawa virus mengantarkannya ke sel-sel di dalam
stratum spinosum. Sel initial kemudian akan membengkak dan pecah, menyebarkan
virus ke sel-sel disekitarnya dan vesikel biasanya segera terjadi. Terkadang
juga terjadi perembesan dari cairan vesikel melalui stratum corneum yang retak,
hingga lesi yang terlihat bersifat kering
(Fenner,
et all, 1995).
Pada
umumnya dikenal 3 macam bentuk PMK, yaitu (1) bentuk dermo-stomatitis yang
tenang (benigna), (2) bentuk intermediate toxic dengan penyakit yang lebih
berat, dan (3) bentuk ganas (malignant) dengan perubahan pada otot-otot jantung
dan skelet. Disamping adanya lesi pada kulit dan selaput lendir mulut
(Subronto, 2003).
d.
Perubahan Patologis
1)
Makroskopis
Adanya
vesikel (lepuh-lepuh berupa tonjolan bulat yang berisi cairan
limfe) dan ulcer pada rongga mulut, lidah sebelah atas, bibir sebelah dalam,
gusi, langit-langit, lekukan antara kaki dan di ambing susu (Ressang, 1984).
2)
Mikroskopis
Adanya
edema interseluler dan intraseluler pada stratum spinosum. Namun, jika vesikula
sudah pecah, maka semua penyakit vesikuler memiliki gambaran mikroskopis yang
mirip sehingga tidak memungkinkan untuk mendiagnosa penyakit PMK hanya
bedasarkan gambaran mikroskopi. Virus PMK tidak membentuk viral inclusion
bodies (Ressang,
1984).
Pada pemeriksaan
mikroskopik jantung
terlihat adanya degenerasi lemak pada serabut-serabut. Selain itu pada serabut-serabut juga terlihat
degenerasi hialin dan vakuoler, nekrobiosa, nekrosa dan kadang – kadang
terlihat perkapuran (Ressang, 1984).
Aphthovirus
ganas yang menyerang hewan muda (anak sapi, kambing dan babi) dapat
mengakibatkan kematian mendadak dengan perubahan yang khas dapat dijumpai pada
jantung yakni pada dinding ventrikel kiri dan septum, yakni berupa degenerasi
hialin sampai nekrosis sehingga terlihat perubahan warna dari suram sampai
kelabu putih yang tidak merata. Jantung menjadi belang menyerupai seperti kulit
harimau sehingga sering juga disebut dengan tiger heart (Ressang, 1984).
2.
Jembarana
(Lentivirus)
a.
Etiologi
Merupakan
salah satu genus dari family Retroviridae dan penyebab Penyebab penyakit Jembrana yang biasanya bersifat
kronis dan persiten. Bersifat immunosupresif. Virion virus Jembrana beramplop dengan diameter antara 80 – 100 nm.
Virion terdiri dari 3 lapis :
-
Genom dan didalamnya tersusun double strand RNA
-
Capsid yang menyelubungi genom berbentuk
icosahedral
-
Amplop yang berasal dari dinding sel hospes, dan
terdapat spike (glikoprotein) atau
disebut juga peplomer, kurang
lebih ada 72 peplomer.
Memiliki 3 gen utama yaitu Gen gag, pol, env
-
Gen gag
mengkode protein capsid dan matrik
-
Gen pol mengkode enzim reverse transkritase
(polimerase)
-
Gen env mengkode peplomer amplop
Hewan yang terkena penyakit ini menunjukkan kenaikan
suhu yang tinggi, berkisar antara 40-42oC disertai kelesuan dan kehilangan
nafsu makan. Tanda – tanda ini disusul dengan pengeluaran
ingus berlebihan, lakrimasi dan hipersalivasi, gejala selanjutnya adalah
pembengkakan dan pembesaran kelenjar limfe superfisial. Kira-kira 23% dari hewan yang
menderita menunjukkan perdarahan dan erosi di bagian selaput lendir di sekitar
lubang hidung, bagian dorsal lidah dan rongga mulut. Di dalam rongga mulut lesi
biasanya ditemukan di selaput lendir di bawah pipi, bibir atas dan bawah dan
gusi rahang atas atau bawah (Subronto, 2003).
b.
Pathogenesis
Penularan penyakit
ini bisa berasal dari produk yang
terkontaminasi darah penderita,penggunaan jarum suntik dan serangga penghisap
darah,kontak langsung dalam satu kandang. Kontak langsung tersebut terkait
dengan sekreta, saliva, urin, air susu induk, dan dapat juga melalui
semen ketika kawin alam, atau pada waktu AI.
Penyakit jembrana (JD)
hanya menyerang sapi Bali, sebegitu jauh penyakit jembrana tidak ditemui pada
rumpun sapi yang lain. Sapi yang terserang berumur lebih dari 1 tahun dan yang
terbanyak 4-6 tahun dan jenis kelamin tidak mempengaruhi kejadian penyakit ini
Sumber Infeksi: sampai
saat ini belum diketahui dengan pasti sumber infeksi dari penyakit jembrana
ini. Peranan vector : lewat penyakit insect born, contoh : Culicoides sp (Subronto, 2003).
c.
Gejala
Klinis
Ternak
yang terserang penyakit jembrana menunjukkan kenaikan suhu badan yang
tinggi, berkisar antara 40-42 derajat C, disertai dengan kelesuan dan
kehilangan nafsu makan. Tanda tersebut disusul dengan pengeluaran ingus yang
berlebihan, lakrimasi dan hipersalivasi. Pada awalnya ingus bersifat encer dan
bening, akan tetapi lambat laun ingus tersebut berubah menjadi kental seperti
cairan mukosa. Gejala selanjutnya adalah pembengkakan dan pembesaran kelenjar
limfe superfisial.
Salah
satu gejala yang mencolok pada hewan yang menderita penyakit ini adalah
berkeringat darah. Keadaan ini biasanya terlihat sewaktu dan setelah demam, dan
berlangsung 2-3 hari lamanya. kira kira 7% hewan yang bersuhu badan 41 derajat
Celcius menunjukkan gejala tersebut. Gejala ini terutama ditemukan di daerah
panggul, punngung, perut dan skrotum. Keringat yang encer, seperti air dan
berwarna merah seperti darah bilamana masih segar, dan menetes dari permukaan
kulit melalui sepanjang bulu rambut.bila keringat menempel pada batang rambut
sebagai kerak berbintil bintil dan tidak lepas bila diusap dengan tangan (Subronto, 2003).
d.
Perubahan
Patologis
1)
Perubahan Makroskopik
Perubahan patologi
secara makroskopik dari penyakit jembrana yaitu adanya perdarahan secara umum
seperti pada jaringan otot skelet, epikardium, endocardium, membran serosa dan
mukosa, serta adanya kebengkaan pada sistem limfoid.
2)
Perubahan Mikroskopik
Untuk perubahan
patologi secara mikroskopik adalah adanya proliferasi sel-sel limforetikuler
dan sistem limfohematopoietik serta
adanya infiltrasi limfositik pada pulmo,
adrenal, ginjal, plexus choroideus. Imunosupresi dapat dilihat adanya atropi
folikuler dengan menurunnya sel-sel yang mengandung IgG pada organ-organ
limfoid dan menurunnya ratio sel-sel sitotoksik di dalam folikel nodus
limfatikus.Adanya leukostasis intravascular oleh makrofag pada pulmo dan
jaringan lain serta tidak mengenai sistem syaraf pusat (Ressang,
1984).
3.
Pemeriksaan
PMK
Uji
yang biasanya dilakukan adalah identifikasi virus dalam bahan yang diterima,
isolasi virus dalam biakan sel, inokulasi hewan percobaan atau hewan besar.
Bahan yang perlu diperiksa antara lain cairan lepuh, keropeng epitel dari
lepuh, jaringan epitel yang masih melekat pada
tepi lepuh, darah yang diawetkan dengan
antikoagulensia, cairan yang diambil
dengan probing dari pangkal tekak kerongkongan, darah
diambil serumnya untuk mengetahui antibodi, bahan
jaringan hewan yang mati.
Untuk diagnosa retrospektif digunakan uji
serologik. Selain itu ada mikronetralisasi,
Enzyme Linked Immune Sorbent Assay (ELISA), dan Virus Infecting Antigent
(VIA), suatu uji agar gel difusi. Inokulasi pada mencit yang sedang menyusu
digunakan untuk mengetahui adanya virus, yang berupa gejala paralisa (Subronto, 2003).
-
ELISA (Enzim Linked Immuno Sorbent Assay)
Elisa adalah pengujian yang digunakan untuk mendeteksi antibodi dan
antigen. Terdapat 2 cara yang digunakan untuk mendeteksi. Kedua cara digunakan
tergantung dari sampel yang didapat. Jika mendapat antigen asing maka
digunakan indirect immunosorbent assay, sedangkan jika mendapat sampel berupa
antibody maka digunakan double sandwich (Prescott, 1999).
-
PCR (Polymerase Chain Reaction)
PCR adalah metode in
vitro yang pada dasarnya memperbanyak DNA dengan menggunakan thermostable DNA
polymerase dan membentuk oligonukleatida primer. Prinsipnya perbanyakan DNA
yang diambil sequen spesifik. Melalui sequen spesifik tersebut akan diperbanyak
dan melalui sequen tersebut dapat dibentuk peta atau pencocokan DNA dengan DNA
dari bakteri atau virus tertentu yang telah diketahui (Prescott, 1999).
DAFTAR PUSTAKA
Fenner, F. J., et a. 1995. Veterinary
Virology. California: Academic Press Inc
Prescott, L. 1999. Microbiology fourth Edition. Philadelphia : WCB McGraw-Hill
Quinn, P.J, et al. 2002. Veterinary
Microbiology and Microbial Disease. Iowa : Blackwell Science
Ressang. A.A. 1984. Patologi
Khusus Veteriner. Bogor :
Institut Pertanian Bogor Press
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mammalia) I. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
No comments:
Post a Comment