Tuesday 30 April 2013

Blok 11 UP 5



LEARNING OBJECTIVE
1.      Bagaimana Etiologi, Patogenesis dan Gejala Klinis dari PMK (Penyakit Mulut dan Kuku)?
2.      Bagaimana Etiologi, Patogenesis dan Gejala Klinis dari Penyakit Jembrana?
3.      Bagaimana Pemeriksaan PMK dengan ELISA dan PCR?



PEMBAHASAN
1.    PMK (Penyakit Mulut dan Kuku)
a.      Etiologi
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) atau Foot and Mouth Disease (FMD) dalam bahasa latin disebut Aphtae Epizooticae (AE) adalah penyakit hewan menular yang akut, yang menyerang hewan berkuku belah, terutama pada hewan ternak seperti sapi, kambing, domba, dan babi (Subronto, 2003).
Disebabkan oleh virus dari genus Aphthovirus dari Famili Picornaviridae. Berbentuk ikosahedral, tidak beranvelope, berdiameter 27 µm, genomnya RNA berserat tunggal (single strand RNA), polaritas (+), protein VPg pada ujung 5’ dipoliadenilasi pada ujung 3’. RNA virion bertindak sebagai mRNA dan ditranslasi menjadi poliprotein yang selanjutnya disibak untuk menghasilkan 11 protein tersendiri, replikasi tersebut terjadi dalam sitoplasma (Fenner, et all, 1995).
Virus PMK mempunyai 7 tipe yaitu tipe-tipe O (Oise) dan A (Allemagne), C (sebagai antisipasi bahwa O dan A mungkin akan dinamai kembali untuk memungkinkan persamaan tipe selanjutnya A, B, C, dan seterusnya), SAT1, SAT2, SAT3 (South African territories), dan Asia1. Polipeptida kapsid yang disebut VP1 dan VP3 adalah immunogen yang mudah mengalami perubahan mutasi (Subronto, 2003).
Virus PMK dapat ditularkan melalui produk-produk hewani seperti kulit, daging dan air susu. Di dalam otot karena terbentuknya asam, virus hanya mampu bertahan selama 2 hari dan menjadi inaktif, sedangkan di dalam jaringan lain misalnya kelenjar -kelenjar dan sumsum tulang, virus-virus dapat hidup berbulan-bulan dalam penyimpanan beku. Virus bersifat stabil dalam lingkungan terbuka untuk jangka waktu yang lama, yang kemudian disebarkan secara aerosol, terutama bila kelembaban udara melebihi 70% dan suhu udara yang dingin. Virus bersifat peka terhadap alkali maupun asam (Subronto, 2003).

b.      Gejala Klinis
1)      Demam, nafsu makan turun dan bulu kusam.
2)      Peradangan pada lidah dan mulut bagian dalam yang mengakibatkan hypersalivasi.
3)      Adanya lepuh-lepuh pada gusi, lidah dan pangkal lidah, lepuh-lepuh tersebut segera pecah dan menghasilkan tukak sehingga mengakibatkan kesulitan mengunyah dan air liur menetes.
4)      Serangan penyakit yang serius menyebabkan selaput lendir lidah terkelupas.
5)      Lepuh lepuh diantara teracak dan sekitar batas atas kuku sehingga menyebabkan rasa sakit dan pincang waktu berjalan, luka yang parah, kuku dapat terlepas.
6)      Pada ternak betina lepuh/ tukak terjadi pada ambing dan puting.
7)      Pada babi lepuh pada cungur lebih menonjol.
8)      Produksi air susu menurun.
9)      Keguguran pada ternak betina, hanya karena demam tinggi, tidak ada perubahan patologis spesifik dalam plasenta atau janin.
10)  Mortalitas terutama pada hewan muda (Fenner, et all, 1995).
c.       Patogenesis
Jalur utama infeksi pada ruminansia adalah melalui penghirupan (secara aerosol) tetapi konsumsi pakan yang terinfeksi, inokulasi dengan vaksin yang tercemar, inseminasi dengan semen yang tercemar dan kontak dengan peralatan ternak yang tercemar semuanya dapat menimbulkan infeksi. Pada hewan yang terinfeksi melalui saluran pernafasan, replikasi awal virus berlangsung pada faring, diikuti oleh viremia yang menyebar ke jaringan dan organ yang lain sebelum mulainya penyakit klinis. Pengeluaran virus mulai sekitar 24 jam sebelum mulainya penyakit klinis dan berlangsung selama beberapa hari. Virus PMK dapat tinggal dalam faring beberapa jenis hewan sampai beberapa lama setelah sembuh. Pada sapi virus dapat dideteksi sampai 2 tahun setelah terinfeksi, pada domba sampai sekitar 6 bulan. Kemenetapan virus tidak terjadi pada babi. Uap air yang dikeluarkan oleh hewan yang terinfeksi mengandung sejumlah besar virus, khusunya yang dihasilkan oleh babi. Sejumlah besar virus juga dikeluarkan dalam susu (Fenner, et all, 1995).
Beberapa hewan yang peka mungkin tidak memperlihatkan adanya lesi-lesi sampai hari ke-6 setelah inokulasi sedangkan hewan lainnya sama sekali tidak menampakkan adanya lesi. Pada umumnya viremia akan hilang dalam beberapa hari. Melalui darah virus tersebut menyebar ke selaput lendir mulut, kaki, dan ambing (kira-kira 2-4 hari setelah inokulasi). Pengangkutan virus ke epitel yang tidak banyak mengandung pembuluh darah berlangsung melalui papilla. Dalam pemeriksaan secara fluoresen antibody terlihat bahwa monosit yang membawa virus mengantarkannya ke sel-sel di dalam stratum spinosum. Sel initial kemudian akan membengkak dan pecah, menyebarkan virus ke sel-sel disekitarnya dan vesikel biasanya segera terjadi. Terkadang juga terjadi perembesan dari cairan vesikel melalui stratum corneum yang retak, hingga lesi yang terlihat bersifat kering (Fenner, et all, 1995).
Pada umumnya dikenal 3 macam bentuk PMK, yaitu (1) bentuk dermo-stomatitis yang tenang (benigna), (2) bentuk intermediate toxic dengan penyakit yang lebih berat, dan (3) bentuk ganas (malignant) dengan perubahan pada otot-otot jantung dan skelet. Disamping adanya lesi pada kulit dan selaput lendir mulut (Subronto, 2003).

d.      Perubahan Patologis
1)      Makroskopis
Adanya vesikel (lepuh-lepuh berupa tonjolan bulat yang berisi cairan limfe) dan ulcer pada rongga mulut, lidah sebelah atas, bibir sebelah dalam, gusi, langit-langit, lekukan antara kaki dan di ambing susu (Ressang, 1984).
2)      Mikroskopis
Adanya edema interseluler dan intraseluler pada stratum spinosum. Namun, jika vesikula sudah pecah, maka semua penyakit vesikuler memiliki gambaran mikroskopis yang mirip sehingga tidak memungkinkan untuk mendiagnosa penyakit PMK hanya bedasarkan gambaran mikroskopi. Virus PMK tidak membentuk viral inclusion bodies (Ressang, 1984).
Pada pemeriksaan mikroskopik jantung terlihat adanya degenerasi lemak pada serabut-serabut. Selain itu pada serabut-serabut juga terlihat degenerasi hialin dan vakuoler, nekrobiosa, nekrosa dan kadang – kadang terlihat perkapuran (Ressang, 1984).
Aphthovirus ganas yang menyerang hewan muda (anak sapi, kambing dan babi) dapat mengakibatkan kematian mendadak dengan perubahan yang khas dapat dijumpai pada jantung yakni pada dinding ventrikel kiri dan septum, yakni berupa degenerasi hialin sampai nekrosis sehingga terlihat perubahan warna dari suram sampai kelabu putih yang tidak merata. Jantung menjadi belang menyerupai seperti kulit harimau sehingga sering juga disebut dengan tiger heart (Ressang, 1984).

2.    Jembarana (Lentivirus)
a.    Etiologi
Merupakan salah satu genus dari family Retroviridae dan penyebab Penyebab penyakit Jembrana yang biasanya bersifat kronis dan persiten. Bersifat immunosupresif. Virion virus Jembrana beramplop dengan diameter antara 80 – 100 nm.
Virion terdiri dari 3 lapis :
-          Genom dan didalamnya tersusun double strand RNA
-          Capsid yang menyelubungi genom berbentuk icosahedral
-          Amplop yang berasal dari dinding sel hospes, dan terdapat spike (glikoprotein) atau  disebut juga peplomer,  kurang lebih ada 72 peplomer.
Memiliki 3 gen utama yaitu Gen gag, pol, env
-          Gen gag mengkode protein capsid dan matrik
-          Gen pol mengkode enzim reverse transkritase (polimerase)
-          Gen env mengkode  peplomer amplop
Hewan yang terkena penyakit ini menunjukkan kenaikan suhu yang tinggi, berkisar antara 40-42oC disertai kelesuan dan kehilangan nafsu makan. Tanda tanda ini disusul dengan pengeluaran ingus berlebihan, lakrimasi dan hipersalivasi, gejala selanjutnya adalah pembengkakan dan pembesaran kelenjar limfe superfisial. Kira-kira 23% dari hewan yang menderita menunjukkan perdarahan dan erosi di bagian selaput lendir di sekitar lubang hidung, bagian dorsal lidah dan rongga mulut. Di dalam rongga mulut lesi biasanya ditemukan di selaput lendir di bawah pipi, bibir atas dan bawah dan gusi rahang atas atau bawah (Subronto, 2003).
b.   Pathogenesis
Penularan penyakit ini  bisa berasal dari produk yang terkontaminasi darah penderita,penggunaan jarum suntik dan serangga penghisap darah,kontak langsung dalam satu kandang. Kontak langsung tersebut terkait dengan sekreta, saliva, urin, air susu induk,  dan dapat juga melalui semen ketika kawin alam, atau pada waktu AI.
Penyakit jembrana (JD) hanya menyerang sapi Bali, sebegitu jauh penyakit jembrana tidak ditemui pada rumpun sapi yang lain. Sapi yang terserang berumur lebih dari 1 tahun dan yang terbanyak 4-6 tahun dan jenis kelamin tidak mempengaruhi kejadian penyakit ini
Sumber Infeksi: sampai saat ini belum diketahui dengan pasti sumber infeksi dari penyakit jembrana ini. Peranan vector : lewat penyakit insect born, contoh : Culicoides sp (Subronto, 2003).

c.    Gejala Klinis
Ternak yang terserang penyakit jembrana menunjukkan kenaikan suhu badan yang tinggi, berkisar antara 40-42 derajat C, disertai dengan kelesuan dan kehilangan nafsu makan. Tanda tersebut disusul dengan pengeluaran ingus yang berlebihan, lakrimasi dan hipersalivasi. Pada awalnya ingus bersifat encer dan bening, akan tetapi lambat laun ingus tersebut berubah menjadi kental seperti cairan mukosa. Gejala selanjutnya adalah pembengkakan dan pembesaran kelenjar limfe superfisial.
Salah satu gejala yang mencolok pada hewan yang menderita penyakit ini adalah berkeringat darah. Keadaan ini biasanya terlihat sewaktu dan setelah demam, dan berlangsung 2-3 hari lamanya. kira kira 7% hewan yang bersuhu badan 41 derajat Celcius menunjukkan gejala tersebut. Gejala ini terutama ditemukan di daerah panggul, punngung, perut dan skrotum. Keringat yang encer, seperti air dan berwarna merah seperti darah bilamana masih segar, dan menetes dari permukaan kulit melalui sepanjang bulu rambut.bila keringat menempel pada batang rambut sebagai kerak berbintil bintil dan tidak lepas bila diusap dengan tangan (Subronto, 2003).
d.   Perubahan Patologis
1)      Perubahan Makroskopik
Perubahan patologi secara makroskopik dari penyakit jembrana yaitu adanya perdarahan secara umum seperti pada jaringan otot skelet, epikardium, endocardium, membran serosa dan mukosa, serta adanya kebengkaan pada sistem limfoid.
2)      Perubahan Mikroskopik
Untuk perubahan patologi secara mikroskopik adalah adanya proliferasi sel-sel limforetikuler dan sistem limfohematopoietik  serta adanya infiltrasi limfositik  pada pulmo, adrenal, ginjal, plexus choroideus. Imunosupresi dapat dilihat adanya atropi folikuler dengan menurunnya sel-sel yang mengandung IgG pada organ-organ limfoid dan menurunnya ratio sel-sel sitotoksik di dalam folikel nodus limfatikus.Adanya leukostasis intravascular oleh makrofag pada pulmo dan jaringan lain serta tidak mengenai sistem syaraf pusat (Ressang, 1984). 

3.      Pemeriksaan PMK
Uji yang biasanya dilakukan adalah identifikasi virus dalam bahan yang diterima, isolasi virus dalam biakan sel, inokulasi hewan percobaan atau hewan besar.
Bahan yang perlu diperiksa antara lain cairan lepuh, keropeng epitel dari lepuh, jaringan epitel yang masih melekat pada tepi lepuh, darah yang diawetkan dengan antikoagulensia, cairan yang diambil dengan probing dari pangkal tekak kerongkongan, darah diambil serumnya untuk mengetahui antibodi, bahan jaringan hewan yang mati.
Untuk diagnosa retrospektif digunakan uji serologik. Selain itu ada mikronetralisasi, Enzyme Linked Immune Sorbent Assay (ELISA), dan Virus Infecting Antigent (VIA), suatu uji agar gel difusi. Inokulasi pada mencit yang sedang menyusu digunakan untuk mengetahui adanya virus, yang berupa gejala paralisa (Subronto, 2003).
-        ELISA (Enzim Linked Immuno Sorbent Assay)
Elisa adalah pengujian yang digunakan untuk mendeteksi antibodi dan antigen. Terdapat 2 cara yang digunakan untuk mendeteksi. Kedua cara digunakan tergantung dari sampel yang didapat. Jika mendapat antigen asing maka digunakan indirect immunosorbent assay, sedangkan jika mendapat sampel berupa antibody maka digunakan double sandwich (Prescott, 1999).
-        PCR (Polymerase Chain Reaction)
PCR adalah metode in vitro yang pada dasarnya memperbanyak DNA dengan menggunakan thermostable DNA polymerase dan membentuk oligonukleatida primer. Prinsipnya perbanyakan DNA yang diambil sequen spesifik. Melalui sequen spesifik tersebut akan diperbanyak dan melalui sequen tersebut dapat dibentuk peta atau pencocokan DNA dengan DNA dari bakteri atau virus tertentu yang telah diketahui (Prescott, 1999).

DAFTAR PUSTAKA
Fenner, F. J., et a. 1995. Veterinary Virology. California: Academic Press Inc
Prescott, L. 1999. Microbiology fourth Edition. Philadelphia : WCB McGraw-Hill
Quinn, P.J, et al. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Iowa : Blackwell Science
Ressang.  A.A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Bogor : Institut Pertanian Bogor Press
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mammalia) I. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

No comments:

Post a Comment