LEARNING OBJECTIVE
1.
Bagaimana
karakteristik dari virus influenza pada babi dan unggas?
2.
Bagaimana
gejala klinis dan patogenesis influenza pada unggas?
3.
Bagaimana
gejala klinis dan patogenesis influenza pada babi?
4.
Bagaimana
diagnosa klinis influenza pada babi dan unggas?
PEMBAHASAN
1.
Karakteristik
Virus Influenza
A.
Unggas
Flu burung disebabkan oleh RNA virus dari family Orthomyxoviridae, yaitu virus influenza
A subtype H5N1, yang selanjutnya disebut virus avian influenza. Influenza A
sendiri merupakan virus yang dapat menimbulkan penyakit parah pada manusia dan
hewan. Karakteristik virus influenza A, antara lain:
1.
enveloped
2.
helical
nucleocapsid
3.
genomnya
8 segmen
4.
dibedakan
berdasarkan antigen, berupa 16 H dan 9 N
Berdasarkan jumlah asam amino basa saat cleavage site, virus avian
influenza dibedakan menjadi:
1.
Low
pathogenic
2.
High
pathogenic, memiliki banyak asam amino basa
B.
Babi
Penyebab penyakit saluran pernafasan pada babi
adalah virus influensa tipe A yang termasuk Famili Orthomyxoviridae. Virus ini
erat kaitannya dengan penyebab swine influenza, equine
influenza dan avian influenza (fowl plaque).Ukuran virus
tersebut berdiameter 80-120 nm. Selain influensa A, terdapat influenza B dan C
yang juga sudah dapat diisolasi dari babi. Sedangkan 2 tipe virus influensa
pada manusia adalah tipe A dan B. Kedua tipe ini diketahui sangat progresif
dalam perubahan antigenik yang sangat dramatik sekali (antigenik shift).
Pergeseran antigenik tersebut sangat berhubungan dengan sifat penularan secara
pandemik dan keganasan penyakit. Hal ini dapat terjadi seperti adanya genetic
reassortment antara bangsa burung dan manusia.. Ketiga tipe virus yaitu
influensa A, B, C adalah virus yang mempunyai bentuk yang sama dibawah
mikroskop elektron dan hanya berbeda dalam hal kekebalannya saja. Ketiga tipe
virus tersebut mempunyai RNA dengan sumbu protein dan permukaan virionnya
diselubungi oleh semacam paku yang mengandung antigen haemagglutinin (H)
dan enzim neuraminidase (N). Peranan haemagglutinin adalah
sebagai alat melekat virion pada sel dan menyebabkan terjadinya aglutinasi sel
darah merah, sedangkan enzim neurominidase bertanggung jawab terhadap
elusi, terlepasnya virus dari sel darah merah dan juga mempunyai peranan dalam
melepaskan virus dari sel yang terinfeksi (Quinn, 2002).
Antibodi terhadap haemaglutinin berperan
dalam mencegah infeksi ulang oleh virus yang mengandung haemaglutinin yang
sama. Antibodi juga terbentuk terhadap antigen neurominidase, tetapi
tidak berperan dalam pencegahan infeksi (Murphy, 2008).
2.
Gejala
Klinis dan Patogenesis Influenza pada Unggas
A.
Gejala
Klinis
Periode inkubasi bervariasi, mencapai 7 hari. Secara klinis
penyakit tidak terlihat, tenang, dalam beberapa keadaan parah dengan tingkat
kematian tinggi. Faktor-faktor seperti terlalu sesak, ventilasi buruk, dan
infeksi concurrent, akan predispose perkembangan penyakit.
Virulen subtype high menyebabkan wabah penyakit eksplosif dengan tingkat
kematian tinggi. Gejala klinis lebih terlihat pada unggas yang bertahan dalam
beberapa hari. Respiratory distress, diare, oedema di daerah cranial, sianosis,
sinusitis, dan lakrimasi adalah gejala klinis yang tampak. Infeksi pada ayam
petelur akan menyebabkan menurunnya produksi telur secara dramatis.
(Quinn,
2007)
Gejala-gejala flu burung pada
masyarakat amat beragam, yang bisa dideteksi dan perlu diwaspadai pada manusia
adalah:
1.
Adanya kenaikan suhu badan sekitar 39 0C
2.
Keluarnya eksudat hidung yang bersifat mucus
(lendir) bening
3.
Batuk dan sakit tenggorokan
4.
Nafsu makan berkurang, muntah, nyeri perut dan
diare
5.
Infeksi selaput mata (conjunctivitis)
6.
Sesak nafas dan radang paru-paru (pneumonia)
7.
Pusing
Pada unggas yang bisa dilihat
adalah:
1.
Jengger bewarna biru
2.
Adanya borok atau luka dikaki
3.
Lendir di rongga hidung
4.
Lemas dan malas makan
5.
Kematian mendadak
(Fenner, 1995).
B.
Patogenesis
Penyebaran virus influenza di jaringan tergantung pada tipe adanya
protease di jaringan dan struktur dari molekul viral haemagglutinin. Produksi
virion infeksius requires pembelahan
viral haemagglutinin. Pada sebagian besar subtype virus influenza A, pembelahan
haemagglutinin bertempat di sel-sel epithelial dari saluran respirasi dan
digesti. Karena komposisi asam amino pada sisi pembelahannya, haemagglutinin
subtype virulen susceptible untuk
membelah di banyak jaringan, memfasilitasi perkembangan infeksi general (Quinn,
2007).
Infeksi virus H5N1 dimulai ketika
virus memasuki sel hospes setelah terjadi penempelan spikes virion
dengan reseptor spesifik yang ada di permukaan sel hospesnya. Virion akan
menyusup ke sitoplasma sel dan akan mengintegrasikan materi genetiknya di dalam
inti sel hospesnya, dan dengan menggunakan mesin genetik dari sel hospesnya,
virus dapat bereplikasi membentuk virion-virion baru, dan virion-virion ini
dapat menginfeksi kembali sel-sel disekitarnya. Dari beberapa hasil pemeriksaan
terhadap spesimen klinik yang diambil dari penderita ternyata avian influenza
H5N1 dapat bereplikasi di dalam sel nasofaring (Peiris JS,et.al. 2004), dan di
dalam sel gastrointestinal (de Jong MD, 2005, Uiprasertkul M,et.al. 2005). Virus
H5N1 juga dapat dideteksi di dalam darah, cairan serebrospinal, dan tinja
pasien.
Fase penempelan (attachment)
adalah fase yang paling menentukan apakah virus bisa masuk atau tidak ke dalam
sel hospesnya untuk melanjutkan replikasinya. Virus influenza A melalui spikes
hemaglutinin (HA) akan berikatan dengan reseptor yang mengandung sialic
acid (SA) yang ada pada permukaan sel hospesnya (Radji, 2006).
3.
Gejala
Klinis dan Patogenesis Influenza pada Babi
A.
Gejala
Klinis
Pada infeksi
flu babi mengalami demam, lesu, bersin, batuk, sesak
napas, dan penurunan nafsu makan. Pada beberapa
kasus infeksi dapat
menyebabkan abortus. Meskipun kematian biasanya rendah
(sekitar 1-4%), virus
dapat menghasilkan penurunan berat badan dan pertumbuhan yang buruk, menyebabkan kerugian ekonomi
bagi peternak. Babi yang terinfeksi dapat kehilangan hingga 12 pon berat
badan lebih dari 3
sampai 4 minggu
periode (Quinn, 2007).
Pada hewan yang terserang influensa tanpa
komplikasi, jarang sekali terjadi kematian. Jika dilakukan pemeriksaan bedah
bangkai lesi yang paling jelas terlihat pada bagian atas dari saluran
pernafasan. Lesi terlihat meliputi kongesti pada mukosa farings, larings,
trachea dan bronkhus, pada saluran udara terdapat cairan tidak berwarna,
berbusa, eksudat kental yang banyak sekali pada bronkhi diikuti dengan
kolapsnya bagian paru-paru (BLOOD dan RADOSTITS, 1989). Terlihat adanya lesi
paru dengan tanda merah keunguan pada bagian lobus apikal dan lobus jantung,
yang juga bisa terjadi pada lobus lainnya. Lesi lama biasanya terdepresi, merah
muda keabu-abuan dan keras pada pemotongan. Pada sekitar atalektase paru-paru
sering terjadi emphysema dan hemorhagis ptekhi. Lesi paru tersebut sama dengan
lesi pada Enzootic pneumonia yang hanya bisa dibedakan dengan
histopatologi (BLOOD dan RADOSTITS, 1989). Pada pemeriksaan mikroskopik
influensa babi, akan terdeteksi adanya necrotizing bronchitis dan
bronkhiolitis dengan eksudat yang dipenuhi netrofil seluler. Terjadi penebalan
septa alveolar dan perubahan epithel bronchial. Bronchi dipenuhi dengan
neutrophil yang kemudian dipenuhi sel mononukleal, pada akhirnya terjadi
pneumonia intersisial lalu terjadi hiperplasia pada epithel bronchial.
Pada beberapa kasus hanya terlihat kongesti.
Adanya pembesaran dan edema pada limfoglandula dibagian servik dan mediastinal.
Pada limpa sering terlihat pembesaran dan hiperemi yang hebat terlihat pada
mukosa perut. Usus besar mengalami kongesti, bercak dan adanya eksudat kathar
yang ringan (BLOOD dan RADOSTITS, 1989).
B.
Patogenesis
Infeksi
bersifat terbatas pada saluran respirasi. Paru-paru merupakan organ target
utama. Mengikuti adanya infeksi, virus bermultiplikasi di nasal, tracheal, dan
epithelium bronchial. Penyebaran infeksi pada saluran respirasi menghasilkan
nekrosis, perubahan pneumonic ekstensif, dan konsolidasi. Seringnya lesi ada di
bagian apical dan lobus kardiak. Fase akut dari penyakit berlaku selama > 72
jam setelah replikasi virus menurun (Quinn, 2007).
Pada penyakit influensa babi klasik, virus
masuk melalui saluran pernafasan atas kemungkinan lewat udara. Virus menempel
pada trachea dan bronchi dan berkembang secara cepat yaitu dari 2 jam dalam sel
epithel bronchial hingga 24 jam pos infeksi. Hampir seluruh sel terinfeksi
virus dan menimbulkan eksudat pada bronchiol. Infeksi dengan cepat menghilang
pada hari ke 9 (ANON., 1991). Lesi akibat infeksi sekunder dapat terjadi pada
paruparu karena aliran eksudat yang berlebihan dari bronkhi. Lesi ini akan
hilang secara cepat tanpa meninggalkan adanya kerusakan. Kontradiksi ini
berbeda dengan lesi pneumonia enzootica babi yang dapat bertahan
lama. Pneumonia sekunder biasanya karena serbuan Pasteurella multocida,
terjadi pada beberapa kasus dan merupakan penyebab kematian (BLOOD and
RADOSTITS, 1989).
4.
Diagnosa
Klinis Influenza pada Babi dan Unggas
A.
Babi
1.
Diagnosis
dapat dilihat dari sampel isolasi virus, berupa mukus nasal dan jaringan
paru-paru pada penyakit akut. Isolasi dapat ditempatkan pada telur ayam
berembrio dan setelah diinkubasi selama 72 jam, aktivitas hemaglutinin akan
terlihat pada cairan allantois.
2.
Melihat
peningkatan level antibody pada sampel serum dengan uji hemaglutinasi inhibisi
(HI) atau ELISA
3.
Mendeteksi
antigen viral dengan immunofluorescence atau ELISA
4.
Mendeteksi
asam nukleat viral dengan PCR
(Quinn, 2007)
B.
Unggas
Penyakit ini
terkadang sulit dibedakan dari newcastle disease atau fowl cholera. Beberapa diagnosis antara lain:
1.
Isolasi
virus dari swab trachea, cloaca, feses
2.
Suspense
jaringan yang diinokulasikan 9-11 hari pada telur berembrio untuk melihat
aktivitas hemaglutinasi
3.
Adanya
virus influenza A dapat dilihat dari immunodiffusion test,
haemagglutination inhibition test.
4.
Tes
serologi dengan agar gel immunodiffusion test, ELISA kompetitif
(Quinn, 2007)
DAFTAR PUSTAKA
Blood, D.,C., and O.M. Radostits. 1989. A Textbook of the Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses 7th edition. Philadelphia : Bailliere
Tindall
Fenner, Frank, J. Gibbs, E. Paul,J. Murphy, Frederick A. Rott, Rudolf
Studdert, Michael J. White, David O. 1995. Veterinary Virology. California: Academic Press Inc.
Murphy, Frederick A, E. Paul J. Gibbs, Marian C.
Horzinek, Michael J. Studdert. 2008. Veterinary Virology 3rd edition. Philadelphia
: Elsevier Saunders Company
Quinn, P.J, B.K. Makley, M.E. Carter, W.J.C
Donnely, F.C. Leonard, D. Maghire.
2002. Veterinary
Microbiology and Microbial Disease. Iowa : Blackwell Science
Quinn, P.J, et all. 2007. Veterinary
Microbiology and Microbial Disease. Singapore. Blacwell Science.
Radji, Maksum. 2006. Avian Influenza A (H5N1) :
Patogenesis, Pencegahan, dan Penyebaran pada Manusia. http://jurnalfarmasi.ui.ac.id . Diakses pada 6 Mei 2013.
Retno, D. 2006. Flu Burung. Jakarta : Penebar Swadaya
No comments:
Post a Comment