Monday, 6 May 2013

Blok 11 UP 6



LEARNING OBJECTIVE
1.      Bagaimana karakteristik dari virus influenza pada babi dan unggas?
2.      Bagaimana gejala klinis dan patogenesis influenza pada unggas?
3.      Bagaimana gejala klinis dan patogenesis influenza pada babi?
4.      Bagaimana diagnosa klinis influenza pada babi dan unggas?



PEMBAHASAN
1.      Karakteristik Virus Influenza
A.    Unggas
Flu burung disebabkan oleh RNA virus dari family Orthomyxoviridae, yaitu virus influenza A subtype H5N1, yang selanjutnya disebut virus avian influenza. Influenza A sendiri merupakan virus yang dapat menimbulkan penyakit parah pada manusia dan hewan. Karakteristik virus influenza A, antara lain:
1.      enveloped
2.      helical nucleocapsid
3.      genomnya 8 segmen
4.      dibedakan berdasarkan antigen, berupa 16 H dan 9 N
Berdasarkan jumlah asam amino basa saat cleavage site, virus avian influenza dibedakan menjadi:
1.      Low pathogenic
2.      High pathogenic, memiliki banyak asam amino basa

B.     Babi
Penyebab penyakit saluran pernafasan pada babi adalah virus influensa tipe A yang termasuk Famili Orthomyxoviridae. Virus ini erat kaitannya dengan penyebab swine influenza, equine influenza dan avian influenza (fowl plaque).Ukuran virus tersebut berdiameter 80-120 nm. Selain influensa A, terdapat influenza B dan C yang juga sudah dapat diisolasi dari babi. Sedangkan 2 tipe virus influensa pada manusia adalah tipe A dan B. Kedua tipe ini diketahui sangat progresif dalam perubahan antigenik yang sangat dramatik sekali (antigenik shift). Pergeseran antigenik tersebut sangat berhubungan dengan sifat penularan secara pandemik dan keganasan penyakit. Hal ini dapat terjadi seperti adanya genetic reassortment antara bangsa burung dan manusia.. Ketiga tipe virus yaitu influensa A, B, C adalah virus yang mempunyai bentuk yang sama dibawah mikroskop elektron dan hanya berbeda dalam hal kekebalannya saja. Ketiga tipe virus tersebut mempunyai RNA dengan sumbu protein dan permukaan virionnya diselubungi oleh semacam paku yang mengandung antigen haemagglutinin (H) dan enzim neuraminidase (N). Peranan haemagglutinin adalah sebagai alat melekat virion pada sel dan menyebabkan terjadinya aglutinasi sel darah merah, sedangkan enzim neurominidase bertanggung jawab terhadap elusi, terlepasnya virus dari sel darah merah dan juga mempunyai peranan dalam melepaskan virus dari sel yang terinfeksi (Quinn, 2002).
Antibodi terhadap haemaglutinin berperan dalam mencegah infeksi ulang oleh virus yang mengandung haemaglutinin yang sama. Antibodi juga terbentuk terhadap antigen neurominidase, tetapi tidak berperan dalam pencegahan infeksi (Murphy, 2008).

2.      Gejala Klinis dan Patogenesis Influenza pada Unggas
A.    Gejala Klinis
Periode inkubasi bervariasi, mencapai 7 hari. Secara klinis penyakit tidak terlihat, tenang, dalam beberapa keadaan parah dengan tingkat kematian tinggi. Faktor-faktor seperti terlalu sesak, ventilasi buruk, dan infeksi concurrent, akan predispose perkembangan penyakit. Virulen subtype high menyebabkan wabah penyakit eksplosif dengan tingkat kematian tinggi. Gejala klinis lebih terlihat pada unggas yang bertahan dalam beberapa hari. Respiratory distress, diare, oedema di daerah cranial, sianosis, sinusitis, dan lakrimasi adalah gejala klinis yang tampak. Infeksi pada ayam petelur akan menyebabkan menurunnya produksi telur secara dramatis.
(Quinn, 2007)
Gejala-gejala flu burung pada masyarakat amat beragam, yang bisa dideteksi dan perlu diwaspadai pada manusia adalah:
1.      Adanya kenaikan suhu badan sekitar 39 0C
2.      Keluarnya eksudat hidung yang bersifat mucus (lendir) bening
3.      Batuk dan sakit tenggorokan
4.      Nafsu makan berkurang, muntah, nyeri perut dan diare
5.      Infeksi selaput mata (conjunctivitis)
6.      Sesak nafas dan radang paru-paru (pneumonia)
7.      Pusing
Pada unggas yang bisa dilihat adalah:
1.      Jengger bewarna biru
2.      Adanya borok atau luka dikaki
3.      Lendir di rongga hidung
4.      Lemas dan malas makan
5.      Kematian mendadak
(Fenner, 1995).
B.     Patogenesis
Penyebaran virus influenza di jaringan tergantung pada tipe adanya protease di jaringan dan struktur dari molekul viral haemagglutinin. Produksi virion infeksius requires pembelahan viral haemagglutinin. Pada sebagian besar subtype virus influenza A, pembelahan haemagglutinin bertempat di sel-sel epithelial dari saluran respirasi dan digesti. Karena komposisi asam amino pada sisi pembelahannya, haemagglutinin subtype virulen susceptible untuk membelah di banyak jaringan, memfasilitasi perkembangan infeksi general (Quinn, 2007).
Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel hospes setelah terjadi penempelan spikes virion dengan reseptor spesifik yang ada di permukaan sel hospesnya. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan mengintegrasikan materi genetiknya di dalam inti sel hospesnya, dan dengan menggunakan mesin genetik dari sel hospesnya, virus dapat bereplikasi membentuk virion-virion baru, dan virion-virion ini dapat menginfeksi kembali sel-sel disekitarnya. Dari beberapa hasil pemeriksaan terhadap spesimen klinik yang diambil dari penderita ternyata avian influenza H5N1 dapat bereplikasi di dalam sel nasofaring (Peiris JS,et.al. 2004), dan di dalam sel gastrointestinal (de Jong MD, 2005, Uiprasertkul M,et.al. 2005). Virus H5N1 juga dapat dideteksi di dalam darah, cairan serebrospinal, dan tinja pasien.
Fase penempelan (attachment) adalah fase yang paling menentukan apakah virus bisa masuk atau tidak ke dalam sel hospesnya untuk melanjutkan replikasinya. Virus influenza A melalui spikes hemaglutinin (HA) akan berikatan dengan reseptor yang mengandung sialic acid (SA) yang ada pada permukaan sel hospesnya (Radji, 2006).

3.      Gejala Klinis dan Patogenesis Influenza pada Babi
A.    Gejala Klinis
Pada infeksi flu babi mengalami demam, lesu, bersin, batuk, sesak napas, dan penurunan nafsu makan. Pada beberapa kasus infeksi dapat menyebabkan abortus. Meskipun kematian biasanya rendah (sekitar 1-4%), virus dapat menghasilkan penurunan berat badan dan pertumbuhan yang buruk, menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak. Babi yang terinfeksi dapat kehilangan hingga 12 pon berat badan lebih dari 3 sampai 4 minggu periode (Quinn, 2007).
Pada hewan yang terserang influensa tanpa komplikasi, jarang sekali terjadi kematian. Jika dilakukan pemeriksaan bedah bangkai lesi yang paling jelas terlihat pada bagian atas dari saluran pernafasan. Lesi terlihat meliputi kongesti pada mukosa farings, larings, trachea dan bronkhus, pada saluran udara terdapat cairan tidak berwarna, berbusa, eksudat kental yang banyak sekali pada bronkhi diikuti dengan kolapsnya bagian paru-paru (BLOOD dan RADOSTITS, 1989). Terlihat adanya lesi paru dengan tanda merah keunguan pada bagian lobus apikal dan lobus jantung, yang juga bisa terjadi pada lobus lainnya. Lesi lama biasanya terdepresi, merah muda keabu-abuan dan keras pada pemotongan. Pada sekitar atalektase paru-paru sering terjadi emphysema dan hemorhagis ptekhi. Lesi paru tersebut sama dengan lesi pada Enzootic pneumonia yang hanya bisa dibedakan dengan histopatologi (BLOOD dan RADOSTITS, 1989). Pada pemeriksaan mikroskopik influensa babi, akan terdeteksi adanya necrotizing bronchitis dan bronkhiolitis dengan eksudat yang dipenuhi netrofil seluler. Terjadi penebalan septa alveolar dan perubahan epithel bronchial. Bronchi dipenuhi dengan neutrophil yang kemudian dipenuhi sel mononukleal, pada akhirnya terjadi pneumonia intersisial lalu terjadi hiperplasia pada epithel bronchial.
Pada beberapa kasus hanya terlihat kongesti. Adanya pembesaran dan edema pada limfoglandula dibagian servik dan mediastinal. Pada limpa sering terlihat pembesaran dan hiperemi yang hebat terlihat pada mukosa perut. Usus besar mengalami kongesti, bercak dan adanya eksudat kathar yang ringan (BLOOD dan RADOSTITS, 1989).

B.     Patogenesis
Infeksi bersifat terbatas pada saluran respirasi. Paru-paru merupakan organ target utama. Mengikuti adanya infeksi, virus bermultiplikasi di nasal, tracheal, dan epithelium bronchial. Penyebaran infeksi pada saluran respirasi menghasilkan nekrosis, perubahan pneumonic ekstensif, dan konsolidasi. Seringnya lesi ada di bagian apical dan lobus kardiak. Fase akut dari penyakit berlaku selama > 72 jam setelah replikasi virus menurun (Quinn, 2007).
Pada penyakit influensa babi klasik, virus masuk melalui saluran pernafasan atas kemungkinan lewat udara. Virus menempel pada trachea dan bronchi dan berkembang secara cepat yaitu dari 2 jam dalam sel epithel bronchial hingga 24 jam pos infeksi. Hampir seluruh sel terinfeksi virus dan menimbulkan eksudat pada bronchiol. Infeksi dengan cepat menghilang pada hari ke 9 (ANON., 1991). Lesi akibat infeksi sekunder dapat terjadi pada paruparu karena aliran eksudat yang berlebihan dari bronkhi. Lesi ini akan hilang secara cepat tanpa meninggalkan adanya kerusakan. Kontradiksi ini berbeda dengan lesi pneumonia enzootica babi yang dapat bertahan lama. Pneumonia sekunder biasanya karena serbuan Pasteurella multocida, terjadi pada beberapa kasus dan merupakan penyebab kematian (BLOOD and RADOSTITS, 1989).


4.      Diagnosa Klinis Influenza pada Babi dan Unggas
A.    Babi
1.      Diagnosis dapat dilihat dari sampel isolasi virus, berupa mukus nasal dan jaringan paru-paru pada penyakit akut. Isolasi dapat ditempatkan pada telur ayam berembrio dan setelah diinkubasi selama 72 jam, aktivitas hemaglutinin akan terlihat pada cairan allantois.
2.      Melihat peningkatan level antibody pada sampel serum dengan uji hemaglutinasi inhibisi (HI) atau ELISA
3.      Mendeteksi antigen viral dengan immunofluorescence atau ELISA
4.      Mendeteksi asam nukleat viral dengan PCR
(Quinn, 2007)
B.     Unggas
Penyakit ini terkadang sulit dibedakan dari newcastle disease atau fowl cholera.  Beberapa diagnosis antara lain:
1.      Isolasi virus dari swab trachea, cloaca, feses
2.      Suspense jaringan yang diinokulasikan 9-11 hari pada telur berembrio untuk melihat aktivitas hemaglutinasi
3.      Adanya virus influenza A dapat dilihat dari immunodiffusion test, haemagglutination  inhibition test.
4.      Tes serologi dengan agar gel immunodiffusion test, ELISA kompetitif
(Quinn, 2007)









DAFTAR PUSTAKA
Blood, D.,C., and O.M. Radostits. 1989. A Textbook of the Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses 7th edition. Philadelphia : Bailliere Tindall
Fenner, Frank, J. Gibbs, E. Paul,J. Murphy, Frederick A. Rott, Rudolf Studdert, Michael J. White, David O. 1995. Veterinary Virology. California: Academic Press Inc.
Murphy, Frederick A, E. Paul J. Gibbs, Marian C. Horzinek, Michael J. Studdert. 2008. Veterinary Virology 3rd edition. Philadelphia : Elsevier Saunders Company
Quinn, P.J, B.K. Makley, M.E. Carter, W.J.C Donnely, F.C. Leonard, D. Maghire. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Iowa : Blackwell Science
Quinn, P.J, et all. 2007. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Singapore. Blacwell Science.
Radji, Maksum. 2006. Avian Influenza A (H5N1) : Patogenesis, Pencegahan, dan Penyebaran pada Manusia. http://jurnalfarmasi.ui.ac.id . Diakses pada 6 Mei 2013.
Retno, D. 2006. Flu Burung. Jakarta : Penebar Swadaya

No comments:

Post a Comment