LEARNING OBJECTIVE
1.
Bagaimana
Etiologi, Patogenesis, Gejala Klinis dan Perubahan Patologis dari Virus
Penyebab Rabies?
2.
Bagaimana
Etiologi, Patogenesis, Gejala Klinis dan Perubahan Patologis dari Virus
Penyebab Distemper?
3.
Bagaimana
Diagnosa pada Virus Penyebab Rabies dan Distamper?
PEMBAHASAN
1.
Rabies
a.
Etiologi
Ordo
: Mononegavirales
Family
: Rhabdoviridae
Genus
: Lyssavirus
Virus
ini berbentuk batang non segmented RNA dengan sense negative. Rhabdovirus pada
vertebrata berbentuk bulat atau kerucut. Virus ini stabil pada pH berkisar
5-10. Dapat inaktif pada pemanasan 56ºC, dengan lipid solvents serta sinar UV.
Rhabdovirus mempunyai 5 protein utama : large RNA-dependent polymerase (L),
surface glycoprotein (G), nucleoprotein (N), polymerase (P) dan matrix protein
(M). Protein G membentuk peplomer
permukaan yang berinteraksi dengan sel hospes, memfasilitasi endositosis.
Protein G juga menginduksi antibodi dan CMI. Replikasi virus ini terjadi di
sitoplasma (Quinn, 2002).
Nucleoprotein
(N) berperan dalam mengatur proses transkripsi RNA. Pada Lyssavirus, N akan
berkombinasi dengan P, pada akumulasi yang tinggi akan membentuk matrix
filamentous yang disebut Negri bodies, dimana juga ada peran dari protein yang
lain. Protein L berperan dalam transkripsi genom, replikasi, polyadenylation
dan aktivitas protein kinase. M berperan dalam mengatur transkripsi RNA,
menghambat translasi dari protein sel hospes, serta berinteraksi dengan protein
G sehingga virus dapat melakukan proses budding
untuk keluar dari sel (Zuckerman, 2009).
b.
Patogenesis
Tingkat
keparahan tergantung dari lokasi gigitan dan spesies hewan. Biasanya masuk
melalui gigitan untuk selanjutnya ke nervus perifer. Ada beberapa teori,
terjadi secara langsung, namun di beberapa kasus bereplikasi dahulu di sel
otot. Virus kemudian menginvasi nervus perifer melaui nervus sensoris dan
motoris. Virus ini berikatan secara spesifik dengan neurotransmitter
acetylcholine pada neuromuscular junction. Virus juga berikatan dengan reseptor
lain (gangliosides phospholipid). Infeksi neuronal dan centripetal passive
movement dari genom virus di dalam axon menghantarkan virus sampai ke sistem
saraf pusat, biasnya via corda spinalis. Kemudaian terjadi gelombang infeksi
dan disfungsi neuronal. Virus mencapai sisem limbic dari otak dan bereplikasi
secara ekstensif, kemudian melepaskan cortical control yang menyebabkan
perubahan tingkah laku dimana dapat diamati secara klinis. Penyebaran dari
sistem saraf pusat berlanjut, dan ketika replikasi terjadai di neocortex,
terjadilah fase paralytic dari penyakit ini. Kemudian diikuti dengan deperesi,
koma serta kematian (Murphy, 2008).
Pada
hewan yang bertindak sebagai reservoir, di akhir infeksi genom virus akan
bergerak dari sistem saraf pusat melalui saraf perifer ke berbagai organ :
korteks adrenal, pancreas dan glandula saliva. Di sistem saraf, virus baru
terbentuk melalui budding dalam membran intracytoplasmic. Tetapi di glandula
saliva, virus yang baru budding di plasma membran pada daerah apical dari sel
mucus yang ada di permukaan lumen sehingga akan disekresikan virus dalam
konsentrasi tinggi. Jadi, ketika terjadi replikasi virus di sistem saraf pusat,
hewan tersangka menjadi liar dan menggigit apa saja, saliva yang dihasilkannya
sangat infeksius (Murphy, 2008).
c.
Gejala
Klinis
Pada Hewan Rabies
dibagi menjadi tiga tipe, yaitu
1) Rabies tipe Ganas (Furious
Rabies)
§
Tidak menurut perintah pemilik
§
Air liur/Saliva berlebihan
§
Hewan menjadi ganas, menyerang atau menggit apa saja yang ditemui dan
ekor dilengkungkan ke bawah perut atau diantar dua paha
§
Takut Cahaya
§
Kejang – kejang yang kemudian disertai kelumpuhan setelah 4-7 hari sejak
timbul gejala atau paling lama 12 hari setelah pengigitan (Fenner, 1995).
2) Rabies tipe Tenang (Dumb
Rabies), Rabies tipe ini mempunyai gejala seperti:
§
Bersembunyi di tempat gelap dan sejuk
§
Lumpuh, tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar
berlebihan
§
Kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat
§
Kematian terjadi dalam waktu singkat (Fenner, 1995).
3) Rabies tipe tidak
menunjukkan gejala (Asymptomatik) sering ditandai dengan kematian mendadak
tanpa menunjukkan gejala sakit (Fenner, 1995).
Proses perjalanan
penyakit Rabies pada hewan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
1)
Tahap Podormal, pada hewan
tahap ini ditandai dengan hewan lebih senang menyendiri, mencari tempat dingin
tetapi dapat menjadi agresif dan gelisah, pupil mata lebar, dan sikap tubuh
yang kaku/tegang. Tahap ini berlangsung sekitar 1-3 hari (Fenner, 1995).
2)
Tahap Eksitasi,
pada hewan tahap ini ditandai dengan perilaku hewan yang menjadi ganas dengan
meyerang apa saja yang ada disekitarnya, memakan-makan benda-benda aneh, mata
keruh dan selalu terbuka dan tubuh gemetar. Pada tahap ini proses infeksi ke hewan lain dan manusia sering
terjadi. Tahap ini berlangsung selama 5-7 hari (Fenner, 1995).
3)
Tahap Paralisa, pada tahap ini
hewan mengalami kelumpuhan dan berakhir dengan kematian. Tahap ini berlangsung
1-3 hari (Fenner, 1995).
d.
Perubahan
Patologis
1) Makroskopik
Perubahan pada SPP
berupa enchepalomyelitis. Temuan maksroskopis pada otak untuk rabies yang
bersifat akut sangat susah untuk dilihat perubahannya. Otak hanya terlihat
sedikit mengalami kebengkakan pada bagian meningeal, pembuluh darah parenkim
tersumbat. Temuan lain adalah adanya perubahan pada organ-organ respirasi,
dan gagal jantung. Proses inflamasi pada otak yang mirip juga dapat
diperlihatkan oleh penyakit lain seperti Japanese enchepalitis. Pada umumnya
perubahan patologi secara makroskopis pada penyakit Rabies sangat bervariasi
dan tidak terdapat perubahan patognomonis yang menciri terhadap Rabies (Akoso,
2007).
Terlihat adanya
perdarahan pada selaput lendir di daerah mulut disebabkan oleh gejala pika atau
anjing memakan segala sesuatu yang tidak wajar dan mengigit benda-benda keras
yang meyebabkan trauma disekitar mulut. Hal ini sering diikuti oleh
perubahan makroskopis yang berupa temuan barang-barang asing di perut seperti
kawat, kayu dan sebagainya (Akoso, 2007).
2) Mikroskopik
Secara histologis tdak
ada perubahan secara spesifik yang terjadi pada jaringan selain pada otak,
terkecuali jika diikuti komplikasi dengan penyakit lain. Secara umum akan
terlihat normal tanpa ada perubahan spesifik. Perubahan yang paling
signifkan atau patognomonik adalah adanya badan negeri (negri bodies)
yaitu badan inklusi yang terdapat pada sitoplasma sel neuron yang terinfeksi
(Akoso, 2007).
Hal yang unik lainnya
yang dapat dilihat dari Rabies adalah adanya persitensi virus dalam organ
extraneural. Pada kasus-kasus rabies yang bersifat dumb atau paralytic.
Rabies dengan bentuk awal dan prominent paralysis, perubahan pada saraf spinal
akan sangat terlihat bahkan pada beberapa kasus organ otak juga akan terlihat
perubahan dengan memperlihatkan gejala inflamasi pada batang otak (Akoso,
2007).
Tidak adanya temuan
negri bodies pada setiap kasus dengan gejala Rabies terkadang
terjadi. Hal ini disebabkan karena tidak terjaringnya badan negri dalam
sampel jaringan. Keberadaan badan negri sangat jarang, sehingga
penjaringan sampel yang tepat untuk Rabies dan pengamatan hewan tersangka
sampai dengan 14 hari sangatlah penting adanya (Akoso, 2007).
Pengambilan sampel
sebaiknya diambil pada jaringan dengan neuro besar seperti hipokampus,
mesenfalon, otak kecil dan berbagai macam ganglia sehingga kemungkinan untuk
mendeteksi adanya negri bodies lebih besar (Akoso, 2007).
2.
Distemper
a.
Etiologi
Ordo : Mononegavirales
Family : Paramyxoviridae
Genus : Morbilivirus
Virus : Canine distemper virus
Termasuk
virus berukuran besar dengan diameter
antara 150-300 µm, berbentuk pleomorfik dan memiliki envelope (lipoprotein envelope), ss RNA negatif. Nukleokapsid berbentuk simetris helical dan
bereplikasi di sitoplasma. CDV merupakan pantropic morbilivirus, yang
menimbulkan infeksi pada berbagai jenis organ. Terdapat 2 tipe glikoprotein “spike” atau peplomer, yaitu attachment protein dan fusion protein (F). Attachment protein dapat berupa protein
haemagglutinin-neuraminidase (HN) atau protein tanpa aktivitas neuraminidase. Attachment protein akan membuat virus
berikatan pada reseptor permukaan sel dan fusion
protein menyebabkan envelope virus berfusi dengan membran sel hospes. Kedua
tipe peplomer dapat menginduksi produksi virus menetralisasi antibody. Terdapat
pula envelope yang berhubungan dengan membran protein non glycosilated (Quinn, 2002).
Virus distemper terdiri atas 6 struktur protein yaitu Nukleoprotein
(N) dan 2 enzim (P dan L) pada nukleocapsidnya, juga membran protein (M) di
sebelah dalam dan 2 protein lagi (H dan F) pada bungkus lipoprotein di sebelah luar (Dharmojono,
2001).
CDV bersifat labil terhadap lingkungan, seperti suhu yang ekstrim,
pH dan desinfektan. Dapat inaktif pada ultraviolet dan pemanasan 60ºC selama 30
menit. Virus ini bertahan 48 jam di jaringan pada suhu 25ºC dan 14 hari
pada 5ºC. pH optimal adalah 7. Infektifitas akan hilang pada pH di
atas 10,4 atau 4,4 (Hirsh dan Zee, 1999).
b.
Patogenesis
Virus yang masuk secara inhalasi
akan segera dibawa oleh leukosit ke limfoglandula terdekat. Dalam waktu 1
minggu virus menjalani replikasi dan menyebabkan viremia, yang selanjutnya
virus tersebar ke berbagai organ limfoid, sumsum tulang, dan lamina propria
dari epitel. Apabila respon jaringan retikulo endotel bagus, segera terbentuk
antibody yang cukup, dan virus akan dinetralisasi hingga tubuh bebas dari
virus. Sebaliknya kalau antibody tidak terbentuk, virus menyebar dengan cepat
ke semua sel epitel dan system saraf pusat. Suhu tubuh saat itu akan naik,
anoreksia, depresi dan sel-sel kelenjar di saluran pernafasan dan mata
menghasilkan sekretnya secara berlebihan. Batuk, dispnoea, disertai suara
cairan dari paru-paru segera terjadi. Rusaknya sel epitel saluran pencernaan
menyebabkan diare, muntah, dan nafsu makan makin tertekan (Subronto,
2006).
CDV yang
masuk melalui aerosol (per inhalasi) akan terperangkap dalam mukosa nasal turbinates, kemudian
menginfeksi makrofag lokal, dan akan menyebar melalui makrofag ke nodus
lymphaticus regional. Virus yang bereplikasi akan diikuti oleh viremia primer,
yang menimbulkan infeksi pada nodus lymphaticus sistemik, lien dan thymus. Infeksi pada sistem
lymphoid akan menimbulkan efek imunosupresif yang dapat berakibat dengan adanya
infeksi sekunder oleh bakteri, yang menimbulkan conjunctivitis, rhinitis dan
bronchopneumonia (Fenner, 1995).
Viremia primer akan diikuti oleh viremia sekunder
yang terjadi melalui peredaran leukosit. CDV akan menyebar dari sel sistem limfoid
untuk menginfeksi system saraf pusat (SSP), sel epitel saluran pernapasan,
vesica urinaria, dan saluran pencernaan. Pada SSP, leukosit yang beredar akan membentuk perivascular cuffing,
dan dari sel-sel tersebut CDV akan menyebar keseluruh SSP. Virus yang
menginfeksi neuron dan sel-sel glial pada SSP dapat bertahan dalam waktu yang
panjang (Fenner, 1995).
c.
Gejala
Klinis
Gejala klinis pada kasus akut
ditandai timbulnya demam dan kematian secara mendadak, anoreksia,
pengeluaran lendir, konjungtivitis dan depresi (Fenner, 1995).
Setelah masa inkubasi 3-7 hari, anjing yang terinfeksi menderita 2
fase :
§
Fase
mukosa : ditandai dengan gejala muntah dan diare, kulit yang tebal dan keras pada
hidung serta bantalan kaki / Hard Pad Disease (Fenner, 1995).
§ Fase Neurology/saraf (gejala klasik dimulai dari gemeretak dan
gemetar dari rahang, gangguan hebat ke seluruh tubuh / Chewing Gum Fit): tremor, hilang keseimbangan dan tungkai menjadi
lemah, jika keadaan melanjut bisa menyebabkan kematian atau dapat juga menjadi
non progresif dan permanen (Fenner, 1995).
Beberapa anjing terutama dapat
menderita gangguan pernafasan dan juga terjadi gangguan pencernaan. Gejala
pertama dari bentuk pulmonaris adalah peradangan cair dari laring dan bronchi,
tonsillitis dan batuk. Selanjutnya terjadi bronchitis atau bronchopneumonia
cair dan kadang-kadang pleuritis. Sehingga hewan menunjukkan dyspnoe dan
takypnoe. Kemudian terlihat adanya akumulasi mukopurulen didaerah canthus
medial mata, anjing terlihat depresi dan anoreksia kemudian berkembang menjadi
diare. Gejala saluran pencernaan meliputi muntah yang hebat dan mencret berair.
Setelah mulainya penyakit, gangguan syaraf pusat dapat diamati pada sejumlah
anjing, dicirikan oleh perubahan tingkah laku, pergerakan yang dipaksakan,
spamus, serangan menyerupai ayan, ataxia, dan paresis (Dharmojono, 2001).
Pada beberapa penderita akan
memperlihatkan gejala CNS dan diikuti gejala penyakit sistemik. Gejala CNS
antara lain : hiperestesia, depresi, ataxia, paresis atau paralisa, dan tremor
otot, encephalitis. Pada anjing tua adanya gejala encephalitis sangat berkurang
sejak diperkenalkannya vaksin aktif distemper. Encephalitis dapat menyebabkan
kerusakan mental yang fatal (Dharmojono, 2001).
d.
Perbuhan
Patologis
Oleh infeksi
pada epitel saluran respirasi, digesti, dan urinasi, akan ditemukan benda
inklusi intrasitoplasmik dan intranuklear, serta pada paru-paru yang menderita
pneumonia interstisial ditemukan giant
cells. Pada pemeriksaan mikroskopik otak terdapat lesi pada sel-sel, berupa
sebagai degenerasi neuron, gliosis, demielinasi dan perivascular cuffing. Pada selaput otak dapat dijumpai radang
leptomeninx non supuratif. Dari sel-sel glia terlihat adanya benda inklusi (Subronto,
2006).
Radang infeksi
sering ditemukan pada saluran digesti dan respirasi. Pada kulit abdomen
terutama pada hewan muda ditemukan radang kulit bernanah (dermatitis
pustulosa). Hiperkeratosis terlihat di telapak kaki
dan mukosa hidung (Subronto,
2006).
3.
Diagnosa
Rabies dan Distemper
Pemeriksaan antemortem diantaranya : tes hematology,
imunofluresensi, dan tes ELISA untuk antibody spesifik distemper. Pada tes
hematology dalam keadaan akut limfopenia dan thrombositopenia dapat ditemukan
dan monosit bertambah. Disamping itu jumlah IgG dan IgA berkurang sedangkan
level IgM masih normal. Jika keadaan subakut atau kronis jumlah immunoglobulin
tersebut masih normal. Pada tes imunofluoresensi atau imunositokhemistri jika
keadaan akut antigen virus dan atau badan inklusi dapat terlihat di dalam sel
darah putih dan preparat sentuh dari konjunktiva dapat terlihat di sel darah
putih dan preparat sentuh dari konjungtiva atau vagina, aspirasi bronchial, sediment
urin dan cairan cerebrospinal. Partikel-partikel virus dalam feses dapat
terlihat melalui mikroskop electron. Pada keadaan subakut dan kronis tes
tersebut dapat berhasil negative, tetapi kenegatifan ini tidak dapat menjadi
pegangan. Test ELISA untuk IgM spesifik distemper sangat perlu. IgM akan berada
di dalam tubuh anjing penderita untuk waktu 5 minggu hingga 3 bulan tergantung
pada strain distemper dan respon penderita. IgM pada anjing yang divaksinasi
akan ada selama ± 3 minggu (Dharmojono, 2001).
Pada pemeriksaan postmortem
diantaranya : tes imunofluoresensi, histopatologi, serta isolasi virus dan PCR.
Pada tes imunofloresensi atau imunositokhemistri, antigen terhadap distemper
yang dapat didemonstrasikan dari preparat apus bisa berasal dari limfosit,
epitel lambung, paru atau kandung kemih, otak kecil, dan batang otak. Diagnosis
berdasarkan histopatologi dengan menggunakan lesi yang terdapat pada jaringan
limfe dan CNS bersama adanya badan inklusi dalam CNS, paru, lambung, epitel
kandung kemih. Isolasi virus biasanya tidak dilakukan bila digunakan untuk
diagnosa secara rutin karena memerlukan waktu yang lama dan biayanya mahal.
Isolasi virus dengan melakukan kultur langsung dari jaringan otak, paru, ginjal
atau sel kandung kemih dari anjing penderita merupakan pendekatan terbaik.
Inokulasi pada kultur makrofag atau limfosit dengan suspensi paru, otak, dan
jaringan limfatik dapat pula dicoba. (Dharmojono, 2001)
Ø Fluorescent Antibody Technique (FAT)
Fluorescent Antibody Technique (FAT) untuk penggunaan didalam
mikrobiologi telah diperlihatkan pertama kali oleh Coons, at all pada tahun
1942. Sebelumnya telah diperkenalkan penandaan protein antibodi dengan zat
warna yang dapat berfluoresensi. Fluoresensi
merupakan pemancaran sinar oleh atom atau molekul setelah terlebih dahulu
disinari. Zat warna yang dapat befluoesensi disebut fluorokrom. Pada dasarnya
teknik fluoresen antibodi ini merupakan kombinasi cara-cara imunologis dan
pewarnaan. Adanya antigen akan diperlihatkan dengan perantaraan antibodi yang telah
disenyawakan dengan fluorkrom.
Prinsip :
Antibodi yang telah ditandai dengan fluorokrom disebut “conjugate”.
Conjugate
ini akan bereaksi dengan antigen spesifik dan dapat dilihat dibawah mikroskop
fluoresen. Prinsip dari uji ini adalah terbentuknya ikatan antara antigen
(virus rabies) dengan spesifik antibodi virus rabies yang telah dikonjugasi
dengan zat fluorescen sehingga tampak agregat yang berpendar hijau
(fluorescensi) pada sampel yang diamati dengan menggunakan mikroskop
flurorescen (Subronto, 2006).
Ø
Pada penderita yang mati,
temuan secara mikroskopik benda inklusi ‘‘Negri bodies‘‘, bersifat diagnostik
Ø
Pemeriksaan akurat juga dapat
dilakukan dengan PCR (Polimerase Chain Reaction)
(Subronto, 2006)
DAFTAR PUSTAKA
Akoso, B.T., 2007. Pencegahan
dan Pengendalian Rabies. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Dharmojono, H., 2001, Kapita
Selecta Kedokteran Veteriner Edisi I.
Jakarta : Pustaka Popular Obor
Fenner, Frank, J. Gibbs, E. Paul,J. Murphy, Frederick A. Rott, Rudolf
Studdert, Michael J. White, David O. 1995. Veterinary Virology. California: Academic Press Inc.
Hirsh, Dwigh C and Yuan Chung
Zee. 1999. Veterinary Microbiology. Iowa : Blackwell
Publishing
Murphy, Frederick A, E. Paul J. Gibbs, Marian C.
Horzinek, Michael J. Studdert. 2008. Veterinary Virology 3rd edition. Philadelphia
: Elsevier Saunders Company
Quinn, P.J, B.K. Makley, M.E. Carter, W.J.C
Donnely, F.C. Leonard, D. Maghire.
2002. Veterinary
Microbiology and Microbial Disease. Iowa : Blackwell Science
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press
Zuckerman,
A.J, J. E. Banatvala, B. D. Schoub, P. D. Griffiths and P. Mortimer. 2009. Principles and Practice of Clinical
Virology 6th Edition. John
Wiley & Sons Ltd
No comments:
Post a Comment