Monday 13 May 2013

Blok 11 UP 7



LEARNING OBJECTIVE
1.      Bagaimana Etiologi, Patogenesis, Gejala Klinis dan Perubahan Patologis dari Virus Penyebab Rabies?
2.      Bagaimana Etiologi, Patogenesis, Gejala Klinis dan Perubahan Patologis dari Virus Penyebab Distemper?
3.      Bagaimana Diagnosa pada Virus Penyebab Rabies dan Distamper?


PEMBAHASAN
1.      Rabies
a.         Etiologi

 
Ordo         : Mononegavirales
Family      : Rhabdoviridae
Genus       : Lyssavirus
Virus ini berbentuk batang non segmented RNA dengan sense negative. Rhabdovirus pada vertebrata berbentuk bulat atau kerucut. Virus ini stabil pada pH berkisar 5-10. Dapat inaktif pada pemanasan 56ºC, dengan lipid solvents serta sinar UV. Rhabdovirus mempunyai 5 protein utama : large RNA-dependent polymerase (L), surface glycoprotein (G), nucleoprotein (N), polymerase (P) dan matrix protein (M). Protein G membentuk peplomer permukaan yang berinteraksi dengan sel hospes, memfasilitasi endositosis. Protein G juga menginduksi antibodi dan CMI. Replikasi virus ini terjadi di sitoplasma (Quinn, 2002).
Nucleoprotein (N) berperan dalam mengatur proses transkripsi RNA. Pada Lyssavirus, N akan berkombinasi dengan P, pada akumulasi yang tinggi akan membentuk matrix filamentous yang disebut Negri bodies, dimana juga ada peran dari protein yang lain. Protein L berperan dalam transkripsi genom, replikasi, polyadenylation dan aktivitas protein kinase. M berperan dalam mengatur transkripsi RNA, menghambat translasi dari protein sel hospes, serta berinteraksi dengan protein G sehingga virus dapat melakukan proses budding untuk keluar dari sel (Zuckerman, 2009).

b.      Patogenesis
Tingkat keparahan tergantung dari lokasi gigitan dan spesies hewan. Biasanya masuk melalui gigitan untuk selanjutnya ke nervus perifer. Ada beberapa teori, terjadi secara langsung, namun di beberapa kasus bereplikasi dahulu di sel otot. Virus kemudian menginvasi nervus perifer melaui nervus sensoris dan motoris. Virus ini berikatan secara spesifik dengan neurotransmitter acetylcholine pada neuromuscular junction. Virus juga berikatan dengan reseptor lain (gangliosides phospholipid). Infeksi neuronal dan centripetal passive movement dari genom virus di dalam axon menghantarkan virus sampai ke sistem saraf pusat, biasnya via corda spinalis. Kemudaian terjadi gelombang infeksi dan disfungsi neuronal. Virus mencapai sisem limbic dari otak dan bereplikasi secara ekstensif, kemudian melepaskan cortical control yang menyebabkan perubahan tingkah laku dimana dapat diamati secara klinis. Penyebaran dari sistem saraf pusat berlanjut, dan ketika replikasi terjadai di neocortex, terjadilah fase paralytic dari penyakit ini. Kemudian diikuti dengan deperesi, koma serta kematian (Murphy, 2008).
Pada hewan yang bertindak sebagai reservoir, di akhir infeksi genom virus akan bergerak dari sistem saraf pusat melalui saraf perifer ke berbagai organ : korteks adrenal, pancreas dan glandula saliva. Di sistem saraf, virus baru terbentuk melalui budding dalam membran intracytoplasmic. Tetapi di glandula saliva, virus yang baru budding di plasma membran pada daerah apical dari sel mucus yang ada di permukaan lumen sehingga akan disekresikan virus dalam konsentrasi tinggi. Jadi, ketika terjadi replikasi virus di sistem saraf pusat, hewan tersangka menjadi liar dan menggigit apa saja, saliva yang dihasilkannya sangat infeksius (Murphy, 2008).

c.         Gejala Klinis
Pada Hewan Rabies dibagi menjadi tiga tipe, yaitu
1)   Rabies tipe Ganas (Furious Rabies)
§ Tidak menurut perintah pemilik
§ Air liur/Saliva berlebihan
§ Hewan menjadi ganas, menyerang atau menggit apa saja yang ditemui dan ekor dilengkungkan ke bawah perut atau diantar dua paha
§ Takut Cahaya
§ Kejang – kejang yang kemudian disertai kelumpuhan setelah 4-7 hari sejak timbul gejala atau paling lama 12 hari setelah pengigitan (Fenner, 1995).
2)   Rabies tipe Tenang (Dumb Rabies), Rabies tipe ini mempunyai gejala seperti:
§ Bersembunyi di tempat gelap dan sejuk
§ Lumpuh, tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan
§ Kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat
§ Kematian terjadi dalam waktu singkat (Fenner, 1995).
3)   Rabies tipe tidak menunjukkan gejala (Asymptomatik) sering ditandai dengan kematian mendadak tanpa menunjukkan gejala sakit (Fenner, 1995).

Proses perjalanan penyakit Rabies pada hewan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
1)   Tahap Podormal, pada hewan tahap ini ditandai dengan hewan lebih senang menyendiri, mencari tempat dingin tetapi dapat menjadi agresif dan gelisah, pupil mata lebar, dan sikap tubuh yang kaku/tegang. Tahap ini berlangsung sekitar 1-3 hari (Fenner, 1995).
2)   Tahap Eksitasi, pada hewan tahap ini ditandai dengan perilaku hewan yang menjadi ganas dengan meyerang apa saja yang ada disekitarnya, memakan-makan benda-benda aneh, mata keruh dan selalu terbuka dan tubuh gemetar.   Pada tahap ini proses infeksi ke hewan lain dan manusia sering terjadi. Tahap ini berlangsung selama 5-7 hari (Fenner, 1995).
3)   Tahap Paralisa, pada tahap ini hewan mengalami kelumpuhan dan berakhir dengan kematian. Tahap ini berlangsung 1-3 hari (Fenner, 1995).

d.        Perubahan Patologis
1)   Makroskopik
Perubahan pada SPP berupa enchepalomyelitis. Temuan maksroskopis pada otak untuk rabies yang bersifat akut sangat susah untuk dilihat perubahannya. Otak hanya terlihat sedikit mengalami kebengkakan pada bagian meningeal, pembuluh darah parenkim tersumbat. Temuan lain adalah adanya perubahan pada organ-organ respirasi, dan gagal jantung. Proses inflamasi pada otak yang mirip juga dapat diperlihatkan oleh penyakit lain seperti Japanese enchepalitis. Pada umumnya perubahan patologi secara makroskopis pada penyakit Rabies sangat bervariasi dan tidak terdapat perubahan patognomonis yang menciri terhadap Rabies (Akoso, 2007). 
Terlihat adanya perdarahan pada selaput lendir di daerah mulut disebabkan oleh gejala pika atau anjing memakan segala sesuatu yang tidak wajar dan mengigit benda-benda keras yang meyebabkan trauma disekitar mulut. Hal ini sering diikuti oleh perubahan makroskopis yang berupa temuan barang-barang asing di perut seperti kawat, kayu dan sebagainya (Akoso, 2007). 

2)      Mikroskopik
Secara histologis tdak ada perubahan secara spesifik yang terjadi pada jaringan selain pada otak, terkecuali jika diikuti komplikasi dengan penyakit lain. Secara umum akan terlihat normal tanpa ada perubahan spesifik. Perubahan yang paling signifkan atau patognomonik adalah adanya badan negeri (negri bodies) yaitu badan inklusi yang terdapat pada sitoplasma sel neuron yang terinfeksi (Akoso, 2007). 
Hal yang unik lainnya yang dapat dilihat dari Rabies adalah adanya persitensi virus dalam organ extraneural. Pada kasus-kasus rabies yang bersifat dumb atau paralytic. Rabies dengan bentuk awal dan prominent paralysis, perubahan pada saraf spinal akan sangat terlihat bahkan pada beberapa kasus organ otak juga akan terlihat perubahan dengan memperlihatkan gejala inflamasi pada batang otak (Akoso, 2007).
Tidak adanya temuan negri bodies pada setiap kasus dengan gejala Rabies terkadang terjadi. Hal ini disebabkan karena tidak terjaringnya badan negri dalam sampel jaringan. Keberadaan badan negri sangat jarang, sehingga penjaringan sampel yang tepat untuk Rabies dan pengamatan hewan tersangka sampai dengan 14 hari sangatlah penting adanya (Akoso, 2007).
Pengambilan sampel sebaiknya diambil pada jaringan dengan neuro besar seperti hipokampus, mesenfalon, otak kecil dan berbagai macam ganglia sehingga kemungkinan untuk mendeteksi adanya negri bodies lebih besar (Akoso, 2007).


2.      Distemper
a.       Etiologi


Ordo     : Mononegavirales
Family   : Paramyxoviridae
Genus   : Morbilivirus
Virus     : Canine distemper virus
Termasuk virus berukuran besar dengan diameter antara 150-300 µm, berbentuk pleomorfik dan memiliki envelope (lipoprotein envelope), ss RNA negatif. Nukleokapsid berbentuk simetris helical dan bereplikasi di sitoplasma. CDV merupakan pantropic morbilivirus, yang menimbulkan infeksi pada berbagai jenis organ. Terdapat 2 tipe glikoprotein “spike” atau peplomer, yaitu attachment protein dan fusion protein (F). Attachment protein dapat berupa protein haemagglutinin-neuraminidase (HN) atau protein tanpa aktivitas neuraminidase. Attachment protein akan membuat virus berikatan pada reseptor permukaan sel dan fusion protein menyebabkan envelope virus berfusi dengan membran sel hospes. Kedua tipe peplomer dapat menginduksi produksi virus menetralisasi antibody. Terdapat pula envelope yang berhubungan dengan membran protein non glycosilated (Quinn, 2002).
Virus distemper terdiri atas 6 struktur protein yaitu Nukleoprotein (N) dan 2 enzim (P dan L) pada nukleocapsidnya, juga membran protein (M) di sebelah dalam dan 2 protein lagi (H dan F) pada bungkus lipoprotein di sebelah luar (Dharmojono, 2001).
CDV bersifat labil terhadap lingkungan, seperti suhu yang ekstrim, pH dan desinfektan. Dapat inaktif pada ultraviolet dan pemanasan 60ºC selama 30 menit. Virus ini bertahan 48 jam di jaringan pada suhu 25ºC dan 14 hari pada 5ºC. pH optimal adalah 7. Infektifitas akan hilang pada pH di atas 10,4 atau 4,4 (Hirsh dan Zee, 1999).

b.      Patogenesis

Virus yang masuk secara inhalasi akan segera dibawa oleh leukosit ke limfoglandula terdekat. Dalam waktu 1 minggu virus menjalani replikasi dan menyebabkan viremia, yang selanjutnya virus tersebar ke berbagai organ limfoid, sumsum tulang, dan lamina propria dari epitel. Apabila respon jaringan retikulo endotel bagus, segera terbentuk antibody yang cukup, dan virus akan dinetralisasi hingga tubuh bebas dari virus. Sebaliknya kalau antibody tidak terbentuk, virus menyebar dengan cepat ke semua sel epitel dan system saraf pusat. Suhu tubuh saat itu akan naik, anoreksia, depresi dan sel-sel kelenjar di saluran pernafasan dan mata menghasilkan sekretnya secara berlebihan. Batuk, dispnoea, disertai suara cairan dari paru-paru segera terjadi. Rusaknya sel epitel saluran pencernaan menyebabkan diare, muntah, dan nafsu makan makin tertekan (Subronto, 2006).
CDV yang masuk melalui aerosol (per inhalasi) akan terperangkap dalam mukosa nasal turbinates, kemudian menginfeksi makrofag lokal, dan akan menyebar melalui makrofag ke nodus lymphaticus regional. Virus yang bereplikasi akan diikuti oleh viremia primer, yang menimbulkan infeksi pada nodus lymphaticus sistemik, lien dan thymus. Infeksi pada sistem lymphoid akan menimbulkan efek imunosupresif yang dapat berakibat dengan adanya infeksi sekunder oleh bakteri, yang menimbulkan conjunctivitis, rhinitis dan bronchopneumonia (Fenner, 1995).
Viremia primer akan diikuti oleh viremia sekunder yang terjadi melalui peredaran leukosit. CDV akan menyebar dari sel sistem limfoid untuk menginfeksi system saraf pusat (SSP), sel epitel saluran pernapasan, vesica urinaria, dan saluran pencernaan. Pada SSP, leukosit yang beredar akan membentuk perivascular cuffing, dan dari sel-sel tersebut CDV akan menyebar keseluruh SSP. Virus yang menginfeksi neuron dan sel-sel glial pada SSP dapat bertahan dalam waktu yang panjang (Fenner, 1995).

c.       Gejala Klinis
Gejala klinis pada kasus akut ditandai timbulnya demam dan kematian secara mendadak, anoreksia, pengeluaran lendir, konjungtivitis dan depresi (Fenner, 1995).
Setelah masa inkubasi 3-7 hari, anjing yang terinfeksi menderita 2 fase :
§ Fase mukosa : ditandai dengan gejala muntah dan diare, kulit yang tebal dan keras pada hidung serta bantalan kaki / Hard Pad Disease (Fenner, 1995).
§ Fase Neurology/saraf (gejala klasik dimulai dari gemeretak dan gemetar dari rahang, gangguan hebat ke seluruh tubuh / Chewing Gum Fit): tremor, hilang keseimbangan dan tungkai menjadi lemah, jika keadaan melanjut bisa menyebabkan kematian atau dapat juga menjadi non progresif dan permanen (Fenner, 1995).
Beberapa anjing terutama dapat menderita gangguan pernafasan dan juga terjadi gangguan pencernaan. Gejala pertama dari bentuk pulmonaris adalah peradangan cair dari laring dan bronchi, tonsillitis dan batuk. Selanjutnya terjadi bronchitis atau bronchopneumonia cair dan kadang-kadang pleuritis. Sehingga hewan menunjukkan dyspnoe dan takypnoe. Kemudian terlihat adanya akumulasi mukopurulen didaerah canthus medial mata, anjing terlihat depresi dan anoreksia kemudian berkembang menjadi diare. Gejala saluran pencernaan meliputi muntah yang hebat dan mencret berair. Setelah mulainya penyakit, gangguan syaraf pusat dapat diamati pada sejumlah anjing, dicirikan oleh perubahan tingkah laku, pergerakan yang dipaksakan, spamus, serangan menyerupai ayan, ataxia, dan paresis (Dharmojono, 2001).
Pada beberapa penderita akan memperlihatkan gejala CNS dan diikuti gejala penyakit sistemik. Gejala CNS antara lain : hiperestesia, depresi, ataxia, paresis atau paralisa, dan tremor otot, encephalitis. Pada anjing tua adanya gejala encephalitis sangat berkurang sejak diperkenalkannya vaksin aktif distemper. Encephalitis dapat menyebabkan kerusakan mental yang fatal (Dharmojono, 2001).

d.        Perbuhan Patologis
Oleh infeksi pada epitel saluran respirasi, digesti, dan urinasi, akan ditemukan benda inklusi intrasitoplasmik dan intranuklear, serta pada paru-paru yang menderita pneumonia interstisial ditemukan giant cells. Pada pemeriksaan mikroskopik otak terdapat lesi pada sel-sel, berupa sebagai degenerasi neuron, gliosis, demielinasi dan perivascular cuffing. Pada selaput otak dapat dijumpai radang leptomeninx non supuratif. Dari sel-sel glia terlihat adanya benda inklusi (Subronto, 2006).
Radang infeksi sering ditemukan pada saluran digesti dan respirasi. Pada kulit abdomen terutama pada hewan muda ditemukan radang kulit bernanah (dermatitis pustulosa). Hiperkeratosis terlihat di telapak kaki dan mukosa hidung (Subronto, 2006).


3.      Diagnosa Rabies dan Distemper
Pemeriksaan antemortem diantaranya : tes hematology, imunofluresensi, dan tes ELISA untuk antibody spesifik distemper. Pada tes hematology dalam keadaan akut limfopenia dan thrombositopenia dapat ditemukan dan monosit bertambah. Disamping itu jumlah IgG dan IgA berkurang sedangkan level IgM masih normal. Jika keadaan subakut atau kronis jumlah immunoglobulin tersebut masih normal. Pada tes imunofluoresensi atau imunositokhemistri jika keadaan akut antigen virus dan atau badan inklusi dapat terlihat di dalam sel darah putih dan preparat sentuh dari konjunktiva dapat terlihat di sel darah putih dan preparat sentuh dari konjungtiva atau vagina, aspirasi bronchial, sediment urin dan cairan cerebrospinal. Partikel-partikel virus dalam feses dapat terlihat melalui mikroskop electron. Pada keadaan subakut dan kronis tes tersebut dapat berhasil negative, tetapi kenegatifan ini tidak dapat menjadi pegangan. Test ELISA untuk IgM spesifik distemper sangat perlu. IgM akan berada di dalam tubuh anjing penderita untuk waktu 5 minggu hingga 3 bulan tergantung pada strain distemper dan respon penderita. IgM pada anjing yang divaksinasi akan ada selama ± 3 minggu (Dharmojono, 2001).
Pada pemeriksaan postmortem diantaranya : tes imunofluoresensi, histopatologi, serta isolasi virus dan PCR. Pada tes imunofloresensi atau imunositokhemistri, antigen terhadap distemper yang dapat didemonstrasikan dari preparat apus bisa berasal dari limfosit, epitel lambung, paru atau kandung kemih, otak kecil, dan batang otak. Diagnosis berdasarkan histopatologi dengan menggunakan lesi yang terdapat pada jaringan limfe dan CNS bersama adanya badan inklusi dalam CNS, paru, lambung, epitel kandung kemih. Isolasi virus biasanya tidak dilakukan bila digunakan untuk diagnosa secara rutin karena memerlukan waktu yang lama dan biayanya mahal. Isolasi virus dengan melakukan kultur langsung dari jaringan otak, paru, ginjal atau sel kandung kemih dari anjing penderita merupakan pendekatan terbaik. Inokulasi pada kultur makrofag atau limfosit dengan suspensi paru, otak, dan jaringan limfatik dapat pula dicoba. (Dharmojono, 2001)

Ø  Fluorescent Antibody Technique (FAT)
Fluorescent Antibody Technique (FAT) untuk penggunaan didalam mikrobiologi telah diperlihatkan pertama kali oleh Coons, at all pada tahun 1942. Sebelumnya telah diperkenalkan penandaan protein antibodi dengan zat warna yang dapat berfluoresensi. Fluoresensi merupakan pemancaran sinar oleh atom atau molekul setelah terlebih dahulu disinari. Zat warna yang dapat befluoesensi disebut fluorokrom. Pada dasarnya teknik fluoresen antibodi ini merupakan kombinasi cara-cara imunologis dan pewarnaan. Adanya antigen akan diperlihatkan dengan perantaraan antibodi yang telah disenyawakan dengan fluorkrom.
Prinsip :
Antibodi yang telah ditandai dengan fluorokrom disebut “conjugate”. Conjugate ini akan bereaksi dengan antigen spesifik dan dapat dilihat dibawah mikroskop fluoresen. Prinsip dari uji ini adalah terbentuknya ikatan antara antigen (virus rabies) dengan spesifik antibodi virus rabies yang telah dikonjugasi dengan zat fluorescen sehingga tampak agregat yang berpendar hijau (fluorescensi) pada sampel yang diamati dengan menggunakan mikroskop flurorescen (Subronto, 2006).
Ø  Pada penderita yang mati, temuan secara mikroskopik benda inklusi ‘‘Negri bodies‘‘, bersifat diagnostik
Ø  Pemeriksaan akurat juga dapat dilakukan dengan PCR (Polimerase Chain Reaction)
(Subronto, 2006)


DAFTAR PUSTAKA
Akoso, B.T., 2007. Pencegahan dan Pengendalian Rabies. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Dharmojono, H., 2001, Kapita Selecta Kedokteran Veteriner Edisi I. Jakarta : Pustaka Popular Obor
Fenner, Frank, J. Gibbs, E. Paul,J. Murphy, Frederick A. Rott, Rudolf Studdert, Michael J. White, David O. 1995. Veterinary Virology. California: Academic Press Inc.
Hirsh, Dwigh C and Yuan Chung Zee. 1999. Veterinary Microbiology. Iowa : Blackwell Publishing
Murphy, Frederick A, E. Paul J. Gibbs, Marian C. Horzinek, Michael J. Studdert. 2008. Veterinary Virology 3rd edition. Philadelphia : Elsevier Saunders Company
Quinn, P.J, B.K. Makley, M.E. Carter, W.J.C Donnely, F.C. Leonard, D. Maghire. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Iowa : Blackwell Science
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Zuckerman, A.J, J. E. Banatvala, B. D. Schoub, P. D. Griffiths and P. Mortimer. 2009.  Principles and Practice of Clinical Virology 6th Edition. John Wiley & Sons Ltd

No comments:

Post a Comment