Wednesday 8 January 2014

BLOK 15 UP 1



LEARNING OBJECTIVE
1.      Bagaimana manajemen pakan yang baik pada sapi laktasi/bunting?
2.      Jelaskan gejala klinis dan pathogenesis dari milk fever!
3.      Apa perbedaan milk fever dan grass tetany?


PEMBAHASAN
1.      Pakan untuk Sapi Bunting
Phase Feeding adalah suatu program pemberian pakan yang dibagi ke dalam periode-periode berdasarkan pada produksi susu, persentase lemak susu, konsumsi pakan, dan bobot badan. Lihat ilustrasi bentuk dan hubungan kurva produksi susu, % lemak susu, konsumsi BK, dan bobot badan. Didasarkan pada kurva-kurva tersebut, didapatkan 4 fase pemberian pakan sapi laktasi:
Fase 1, laktasi awal (early lactation), 0 – 70 hari setelah beranak.
Selama periode ini, produksi susu meningkat dengan cepat, puncak produksi susu dicapai pada 4-6 minggu setelah beranak. Pada saat ini konsumsi pakan tidak dapat memenuhi kebutuhan zat-zat makanan (khususnya kebutuhan energi) untuk produksi susu, sehingga jaringan-jaringan tubuh dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan. Selama fase ini, penyesuaian sapi terhadap ransum laktasi merupakan cara manajemen yang penting. Setelah beranak, konsentrat perlu ditingkatkan 1-1,5 lb per hari untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang meningkat dan meminimisasi problem tidak mau makan dan asidosis. Namun perlu diingat, proporsi konsentrat yang berlebihan (lebih dari 60% BK ransum) dapat menyebabkan asidosis dan kadar lemak yang rendah. Tingkat serat kasar ransum tidak kurang dari 18% ADF, 28% NDF, dan hijauan harus menyediakan minimal 21% NDF dari total ransum. Bentuk fisik serat kasar juga penting, secara normal ruminasi dan pencernaan akan dipertahankan bila lebih dari 50% hijauan panjangnya 1” atau lebih (Sujono, 2010).
Kandungan protein merupakan hal yang kritis selama laktasi awal. Upaya untuk memenuhi atau melebihi kebutuhan PK selama periode ini membantu konsumsi pakan, dan penggunaan yang efisien dari jaringan tubuh yang dimobilisasi untuk produksi susu. Ransum dengan protein 19% atau lebih diharapkan dapat memenuhi kebutuhan selama fase ini. Tipe protein (protein yang dapat didegradasi atau tidak didegradasi) dan jumlah protein yang diberikan dipengaruhi oleh kandungan zat makanan ransum, metode pemberian pakan, dan produksi susu. Sebagai patokan, yang diikuti oleh banyak peternak (di luar negeri) memberikan 1 lb bungkil kedele atau protein suplemen yang ekivalen per 10 lb susu, di atas 50 lb susu (Sujono, 2010).
Bila zat makanan yang dibutuhkan saat laktasi awal ini tidak terpenuhi, produksi puncak akan rendah dan dapat menyebabkan ketosis.  Produksi puncak rendah, dapat diduga produksi selama laktasi akan rendah. Bila konsumsi konsentrat terlalu cepat atau terlalu tinggi dapat menyebabkan tidak mau makan, acidosis, dan displaced abomasum. Untuk meningkatkan konsumsi zat-zat makanan:
§  beri hijauan kualitas tinggi,
§  protein ransum cukup,
§  tingkatkan konsumsi konsentrat pada kecepatan yang konstan setelah beranak,
§  tambahkan 1,0-1,5 lb lemak/ekor/hari dalam ransum,
§  pemberian pakan yang konstan, dan
§  minimalkan stress.
(Sujono, 2010)
Fase 2, konsumsi BK puncak, 10 minggu kedua setelah beranak
Selama fase ini, sapi diberi makan untuk mempertahankan produksi susu puncak selama mungkin. Konsumsi pakan mendekati maksimal sehingga dapat me-nyediakan zat-zat makanan yang dibutuhkan. Sapi dapat mempertahankan bobot badan atau sedikit meningkat. Konsumsi konsentrat dapat banyak, tetapi jangan melebihi 2,3% bobot badan (dasar BK). Kualitas hijauan tinggi perlu disediakan, minimal konsumsi 1,5% dari bobot badan (berbasis BK) untuk mempertahankan fungsi rumen dan kadar lemak susu yang normal. Untuk meningkatkan konsumsi pakan:
§  beri hijauan dan konsentrat tiga kali atau lebih sehari,
§  beri bahan pakan kualitas tinggi,
§  batasi urea 0,2 lb/sapi/hari,
§  minimalkan stress,
§  gunakan TMR (total mix ration).
(Sujono, 2010)
Fase 3, pertengahan – laktasi akhir, 140 – 305 hari setelah beranak
Fase ini merupakan fase yang termudah untuk me-manage. Selama periode ini produksi susu menurun, sapi dalam keadaan bunting, dan konsumsi zat makanan dengan mudah dapat dipenuhi atau melebihi kebutuhan. Level pemberian konsentrat harus mencukupi untuk memenuhi kebutuhan produksi, dan mulai mengganti berat badan yang hilang selama laktasi awal. Sapi laktasi membutuhkan pakan yang lebih sedikit untuk mengganti 1 pound jaringan  tubuh daripada sapi kering. Oleh karena itu, lebih efisien mempunyai sapi yang meningkat bobot badannya dekat laktasi akhir daripada selama kering (Sujono, 2010).

Fase 4, periode kering, 45 – 60 hari sebelum beranak
Fase kering penting. Program pemberian pakan sapi kering yang baik dapat meminimalkan problem metabolik pada atau segera setelah beranak dan meningkatkan produksi susu selama laktasi berikutnya. Sapi kering harus diberi makan terpisah dari sapi laktasi. Ransum harus diformulasikan untuk memenuhi kebutuhannya yang spesifik:maintenance, pertumbuhan foetus, pertambahan bobot badan yang tidak terganti pada fase 3. Konsumsi BK ransum harian sebaiknya mendekati 2% BB; konsumsi hijauan minimal 1% BB; konsumsi konsentrat bergantung kebutuhan, tetapi tidak lebih 1% BB. Setengah dari 1% BB (konsentrat) per hari biasanya cukup untuk program pemberian pakan sapi kering (Sujono, 2010).
Sapi kering jangan terlalu gemuk. Memberikan hijauan kualitas rendah, seperti grass hay, lebih disukai untuk membatasi konsumsi.  Level protein 12% cukup untuk periode kering (Sujono, 2010).
Sedikit konsentrat perlu diberikan dalam ransum sapi kering dimulai 2 minggu sebelum beranak, bertujuan:
§  mengubah bakteri rumen dari populasi pencerna hijauan seluruhnya menjadi populasi campuran pencerna hijauan dan konsentrat;
§  meminimalkan stress terhadap perubahan ransum setelah beranak.
Kebutuhan Ca dan P sapi kering harus dipenuhi, tetapi perlu dihindari pemberian yang berlebihan; kadang-kadang ransum yang mengandung lebih dari 0,6% Ca dan 0,4% P meningkatkan kejadian milk feverTrace mineral, termasuk Se, harus disediakan dalam ransum sapi kering. Juga, jumlah vitamin A, D. dan E yang cukup dalam ransum untuk mengurangi kejadian milk fever, mengurangi retained plasenta, dan meningkatkan daya tahan pedet (Sujono, 2010).

Zat gizi yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: (a) kebutuhan untuk mikroba di dalam rumen dan (b) kebutuhan untuk ternak itu sendiri. Kebutuhan zat gizi untuk mikroba rumen dapat berupa asam amino essensial, asam amino rantai cabang, ammonia, mineral sulfur dan asam α  keto. Zat gizi tersebut diperlukan mikroba rumen untuk proses sintesis protein tubuhnya disamping memerlukan ATP sebagai sumber enersi tinggi untuk terjadinya reaksi kimiawi (Kerley, 2000).
Kebutuhan nitrogen untuk mikroba rumen seringkali dinyatakan dalam istilah rumen degradable nitrogen (RDN) requirement atau bisa juga disebut Rumen Degradable Protein (RDP) Requirement, yaitu kebutuhan nitrogen yang dapat difermentasikan di dalam rumen sehingga kebutuhan bakalan utama sintesis protein mikroba, yaitu berupa ammonia dapat dipenuhi. Saat ini di literatur dinyatakan bahwa rataan kebutuhan RDN untuk ternak ruminansia dewasa adalah sebesar 30 g N/kg bahan organik terfermentasi. Selain itu konsentrasi ammonia di dalam  rumen  juga dapat digunakan sebagai indikator akan kecukupan sumber nitrogen untuk mikroba rumen khususnya bakteria (Kerley, 2000).
Mineral sulfur juga merupakan kebutuhan esensial bagi bakteria rumen karena sel bakteri kaya akan kandungan asam amino yang megandung sulfur. Kisaran kebutuhan mineral sulfur dikaitkan dengan kandungan nitrogen ransum. Sehingga kebutuhannya dinyatakan sebagai nisbah antara kebutuhan N : S. Berdasarkan pengalaman, kisaran nisbah N : S adalah 10 : 1 hingga 12 : 1 (Kerley, 2000).

Kebutuhan Air
Acapkali kita membicarakan kebutuhan zat gizi, kebutuhan air sering terabaikan. Padahal air merupakan komponen terbesar tubuh ternak yang senantiasa menjaga keseimbangan suhu tubuh. Air juga ikut berperan dalam proses pencernakan (hidrolisis protein, karbohidrat maupun lemak), proses penyerapan zat gizi, proses transport metabolit di dalam tubuh serta proses eksresi sisa metabolit ke luar tubuh.
Kebutuhan air sangat tergantung pada bentuk pakan, kandungan bahan kering pakan, cara makan serta suhu lingkungan. Pada ternak sapi setiap kg bahan kering yang dikonsumsi memerlukan air minum 3 – 5 L. Pada ternak yang masih menyusu kebutuhan air lebih besar lagi, yaitu dapat berkisar antara 6 – 7 L air/kg konsumsi bahan kering. Sapi perah membutuhkan lebih banyak air untuk menjamin produksi susunya. Pemberian air minum secara berlebih (ad libitum) pada sapi perah laktasi dapat meningkatkan produksi susu antara 1 – 2 L/hari tanpa penambahan pakan suplemen (Kerley, 2000).
Adanya garam dapur (NaCl) atau protein dalam konsentrasi tinggi  di dalam pakan akan memicu ekskresi urine, sehingga akan menyebabkan peningkatan konsumsi air (Kerley, 2000).

Kebutuhan Protein

Penentuan kebutuhan protein ternak juga mengalami perkembangan, yaitu jika semula hanya ditentukan berdasarkan protein kasar, kemudian berkembang ke protein tercerna, sekarang ini telah berkembang ke arah kebutuhan UDN (undegradable dietary nitrogen) atau UDP (undegradable dietary protein). UDP merupakan bagian dari protein pakan yang tidakterdegradasi di dalam rumen dan sampai di usus halus untuk diserap. Besarnya nilai UDP sangat tergantung jenis sumber protein, komponen pakan lainnya dalam ransum, level pemberian serta stadia fisiologis ternak (Kerley, 2000)


Kebutuhan Energi
Kebutuhan enersi ternak seringkali dinyatakan dalam satuan kalori atau joule, dimana per definisi 1 cal = 4.182 joule. Pada ternak ruminansia dikenal istilah Total Digestible Nutrient (TDN), yaitu suatu asumsi bahwa selisih antara zat gizi yang dikonsumsi dengan zat gizi yang terdapat di dalam faeces merupakan nilai zat gizi yang tercerna dan dapat diubah menjadi enersi (Kerley, 2000).

Kebutuhan Lemak
Pakan ternak ruminansia umumnya mengandung lemak relatif rendah, yaitu kurang dari 5 % meskipun telah diberi pakan konsentrat. Jika diberi hanya hijauan kadar lemaknya dapat lebih rendah lagi. Namun demikian karena konsumsinya relatif banyak maka sesungguhnya konsumsi lemak pakan juga relatif besar. Selain itu dengan adanya pasok mikroba rumen yang mengandung fosfolipid, maka serapan lemak dari usus halus sangat besar jika dibandingkan dengan ternak monogastrik (Kerley, 2000).
Peranan lemak dalam pakan cukup besar terutama bagi sapi perah karena lemak pakan memberikan kontribusi bagi kadar lemak susu. Salah satu karakteristik ternak ruminansia ialah terjadinya proses dehidrogenasi lemak pakan di dalam rumen sehingga lemak tak jenuh diubah menjadi lemak jenuh karena pergantian ikatan rangkap dengan dua atom hidrogen. Sebagai contoh asam oleat (C18:1) akan diubah menjadi asam stearat (C18:0). Oleh karena itu sebagian besar lemak yang terserap dari usus halus juga berupa lemak jenuh (Kerley, 2000).
Sebagai pedoman sapi perah tidak boleh diberi suplemen lemak hingga 1.5 kg/hari disamping konsumsi lemak yang terkandung di dalam pakan. Kadar lemak total ransum yang masih dapat dianjurkan ialah sekitar 6 hingga 8 % sebelum muncul dampak negatipnya. Produksi susu umumnya akan dimaksimalkan jika kadar lemak mencapai 5 % dari total kadar bahan kering pakan. Penambahan lemak umumnya akan menurunkan kandungan protein susu hingga 0.1 %. Selain itu pemberian lemak secara berlebihan akan menurunkan konsumsi pakan, produksi susu serta komposisi lemak susu (Kerley, 2000).

Kebutuhan Serat Kasar
Fungsi utama serat kasar ada tiga yaitu, sebagai pengisi lambung, menjaga fungsi peristaltik usus dan merangsang salivasi. Hasil fermentasi komponen serat kasar adalah berupa VFA rantai pendek yaitu asam asetat yang berfungsi sebagai bakalan lemak susu. Oleh arena itu imbangan antara hijauan dan konsentrat dalam pakan akan berpengaruh juga terhadap kadar lemak susu. Pemberian sumber serat kasar dalam bentuk panjang akan merangsang sekresi saliva sehingga berfungsi sebagai penyanggah (buffering action) keasaman rumen. Hal ini akan menjegah terjadinya acidosis serta merangsang aktivitas bakteri selulolitik yang sangat sensitif terhadap keasaman (pH) di bawah 5 (Kerley, 2000).
             
Kebutuhan Vitamin
Vitamin ialah senyawa organik yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah sedikit. Berbeda dengan mineral, vitamin terdapat dalam tubuh bukan sebagai struktur dari senyawa lain serta sebagian besar vitamin mempunyai fungsi sebagai Ko-enzim (Kerley, 2000).

Kebutuhan Mineral
Kebutuhan mineral untuk ternak ruminansia dapat dibagi kedalam dua kelompok yaitu mineral makro (Ca, Na, Cl, K, P, S, Mg) dan mineral mikro (Cu, I, Fe, Zn, Co,  Se, Mn). Fungsi utama mineral makro Na, Cl, dan K adalah sebagai agent elektro-kimia yang berperan dalam proses menjaga keseimbangan asam-basa dan mengontrol tekanan osmotik air sehingga didistribusikan ke seluruh tubuh. Sedangkan mineral lain mungkin memiliki fungsi struktural, misalnya Ca dan P adalah komponen esensial pada tulang dan gigi. Selain itu peran mineral S dalam proses sintesis protein mikroba di dalam rumen sangatlah penting (Kerley, 2000).
Beberapa mineral mikro mempunyai fungsi khas, misalnya mineral Fe merupakan komponen penting dari haem yang merupakan komponen penting dari haemochromogens, yaitu senyawa penting dalam proses respirasi. Sedangkan mineral Co diperlukan sebagai bagian metal senyawa vitamin B12. Mineral yodium ( I ) merupakan komponen penting hormon tyroxine (Kerley, 2000).
Apabila kita ingin membuat sendiri campuran “Premix”, maka ada 14 mineral makro dan mikro penting yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia. Kebutuhan garam setiap ekor/hari adalah sekitar 200 g /hari tergantung dengan ukuran tubuh ternak. Pengalaman penulis untuk seekor sapi potong dengan bobot hidup sekitar 250 kg hanya memerlukan 125 g premix/ekor/hari tanpa ada gangguan akibat defisiensi mineral (Kerley, 2000).
Sodium bentonite dan sodium bicarbonate dapat digunakan untuk mencegah terjadinya acidosis terutama jika pakan yang dikonsumsi mengandung konsentrat dengan ukuran partikel halus serta tinggi enersinya (Kerley, 2000).

2.      Milk Fever
Etiologi
Paresis Puerpuralis atau Milk Fever merupakan penyakit gangguan metabolisme yang menimpa sapi betina menjelang atau pada saat melahirkan atau sesudah melahirkan yang ditandai dengan kurangnya kadar Kalsium (Ca) dalam darah, selain itu penderita mengalami depresi umum, tak dapat berdiri karena kelemahan bagian tubuh sebelah belakang dan tidak sadarkan diri (Hardjopranjoto 1995).
Biasanya kejadian ini menyerang sapi pada masa akhir kebuntingan atau pada masa laktasi.  Kasus ini sering dialami sapi yang sudah melahirkan yang ketiga kalinya sampai yang ketujuh. Tetapi di beberapa daerah ternyata penyakit ini ditemui juga pada sapi-sapi dara yang produksi tinggi dan terjadi ditengah-tengah masa laktasi. Biasanya kasus ini terjadi pada sapi perah setelah beranak empat kali atau lebih tua, jarang terjadi pada induk yang lebih muda atau sebelum beranak yang ketiga (Girindra, 1988)
Ditinjau dari bangsa sapi, bangsa Jersey paling sering menderita penyakit ini disusul kemudian sapi Frisian Holstein dan bangsa sapi yang lain. Di negara yang maju peternakan sapi perahnya kejadian penyakit mencapai 3-10% dan kadang-kadang di dalam satu peternakan dapat berupa sebagai suatu wabah dengan angka kejadian mencapai 90% dari populasi sapi perah dikelompoknya. Kasus ini dapat bersifat habitualis artinya penyakit paresis puerpuralis ini pada induk sapi dapat terulang pada partus berikutnya (Subronto, 2004).
Paresis puerpuralis biasanya terjadi 18-24 jam post partus.  Akan tetapi dari laporan bahwa penyakit ini dapt juga terjadi beberapa jam sebelum partus atau beberapa hari setelah partus.  Penyakit ini juga dapat terjadi pada induk sapi yang mengalami kelahiran yang sukar (dystokia) karena kurangnya kekuatan untuk mengeluarkan fetus.  Kasus yang terjadi di lapangan mulai terjadi sejak dua minggu post partus dan sapi benar-benar ambruk baru lima hari (Subronto, 2004).
Ada beberapa teori, mengapa sapi perah yang baru melahirkan dan produksi susu tinggi sering terjadi hipocalcaemia sehingga mendorong terjadinya kasus paresis puerpuralis (Hardjopranjoto, 1995) :
1)      Hormon parathyroid yang kadarnya mengalami penurunan dalam darah  (defisiensi), karena stres kelahiran dapat mengganggu keseimbangan mineral dalam darah khususnya kalsium disusul adanya hipokalcaemia dan selanjutnya timbul kasus paresis puerpuralis.  Berkurangnya aktivitas parathormon pada saat kelahiran disebabkan oleh defisiensi vitamin D. Kekurangan vitamin D biasanya disebabkan oleh asupan yg kurang, kurang terpapar sinar matahari (pengaktivan vitamin D terjadi jika kulit terpapar sinar matahari), penyakit hati, penyakit saluran pencernaan yg menghalangi penyerapan vitamin D, pemakaian barbiturat dan fenitoin, yang mengurangi efektivitas vitamin D.
2)      Stres melahirkan menyebabkan hormon tirokalsitonin yang mengatur glukosa usus dalam menyerap mineral kalsium dari pakan menurun dan mempengaruhi kadar kalsium dalam darah.  Bila hormon tirokalsitonin menurun dapat diikuti menurunnya kadar kalsium dalam darah.  Hormon tirokalsitonin atau kalsitonin dihasilkan oleh sel ultimobranchial C dari kelenjar tiroid.  
3)      Waktu proses kelahiran, kalsium dibutuhkan terlalu banyak oleh air susu, khususnya dalam kolostrum.  Kebutuhan ini dapat dicukupi dari ransum pakan ternak, dari tulang dalam tubuh induk atau dari darah.  Rendahnya penyerapan kalsium dalam ransum pakan atau absorbsi kalsium dalam saluran pencernaan, dapat disebabkan adanya gangguan pada dinding usus. Penurunan nafsu makan pada induk yang sedang  bunting mengakibatkan masuknya bahan pakan menurun, menyebabkan penyediaan kalsium dalam alat pencernaan yang rendah diikuti oleh penyerapan kalsium juga rendah.  Daya menyerap dinding usus terhadap kalsium dapat menurun pada induk sapi yang sudah tua.  Pada sapi yang masih muda 80% kalsium dalam usus dapat diserap, makin tua umurnya makin menurun daya serap usus terhadap kalsium, karena pH usus yang tinggi dan kadar lemak yang tinggi dalam makanan dapat menghambat penyerapan kalsium.  Pada sapi yang sudah tua, penyerapan kalsium hanya mencapai 15% dari kalsium dalam pakan.
4)      Persediaan kalsium dalam tulang yang dapat dimobilisasi, bervariasi menurut umur.  Pada anak sapi, 6-20% kebutuhan normal akan kalsium dapat disediakan oleh tulang, sedang pada sapi yang telah tua kemampuan tulang dalam menyediakan kalsium hanya 2-5%. 
5)      Vitamin D berperan dalam menimbulkan kasus paresis puerpuralis. Gangguan terhadap produksi pro vitamin D dalam tubuh dapat mengurangi tersedianya vitamin D  dan dapat mendorong terjadinya penyakit ini, karena vitamin D mengatur keseimbangan kalsium dan posfor dalam tubuh dan proses deposisi atau mobilisasi kalsium dari tulang yang masih  muda.  Vitamin D yang aktif di dalam metabolisme kalsium dan fosfor adalah vitamin D3 (25-Hydroxycholecalciferol). 
6)      Hormon estrogen dan steroid yang lain baik yang dihasilkan oleh plasenta maupun kelenjar adrenal bagian korteks dapat menurunkan penyerapan kalsium dari usus atau mobilisasi kalsium dari tulang muda.  Pada sapi bunting aktifitas estrogen plasma meningkat sampai satu bulan sebelum melahirkan. Peningkatan berlangsung dengan cepat satu minggu sebelum melahirkan untuk kemudian menurun tajam 24 jam sebelum melahirkan (Hardjopranjoto, 1995)
 
Beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam kejadian Milk Fever antara lain :
1)      Breed / bangsa. Kejadian paling tinggi terjadi pada sapi jenis Jersey. Namun karena populasi sapi Holstein juga banyak sehingga yang sering terlihat adalah pada sapi Holstein.
2)      Produksi susu tinggi. Sapi perah yang mempunyai produksi susu yang tinggi membutuhkan kalsium dari darah untuk produksi susu yang tinggi. Akibatnya kadar kalsium dalam darah dalam waktu singkat menjadi rendah (hypocalcaemia), diikuti gejala paresis puerpuralis.
3)      Umur. Produksi susu secara normal, grafiknya akan meningkat mulai laktasi keempat sampai umur-umur berikutnya dan diikuti dengan kebutuhan kalsium yang meningkat pula.  Sedangkan kemampuan  mukosa usus untuk menyerap kalsium makin tua umurnya makin menurun. Hal ini berhubungan dengan skeletal maturity dan ukuran calcium pool.
4)      Nafsu makan. Pada kira-kira 8-16 jam sebelum partus induk sapi akan menurun nafsu makannya sampai pada tidak mau makan sama sekali. Hal ini mengakibatkan persediaan kalsium dalam pakan yang siap dicerna menjadi menurun, akibatnya kekurangan kalsium diambil dari darah sehingga kalsium dalam darah menjadi turun dan diikuti oleh hypocalcaemia. Penurunan nafsu makan juga disebabkan meningkatnya kadar estrogen dalam darah pada fase terakhir kebuntingan menjelang terjadinya kelahiran.  Keadaan ini dapat mengganggu keseimbangan kalsium dalam tubuh sehingga kadar kalsium dalam darah merosot dari keadaan normal yaitu 9-12 mg persen menjadi 4-5 mg persen.
5)      Ransum makanan. Ransum yang baik adalah bila imbangan antara Ca dan P mempunyai perbandingan 2 dan 1. Ransum pakan semacam ini adalah ransum yang dianjurkan sapi untuk sapi perah menjelang partus. Sapi bunting tua yang diberi ransum kaya akan Ca dan rendah P cenderung mengalami paresis puerpuralis sesudah melahirkan.
6)      Kondisi tubuh. Sapi yang mengalami obesitas akan lebih mudah terkena hypocalcemia daripada sapi yang ramping. Hal ini ada kaitannya dengan kadar lemak pada hepar.
7)      Tingkat kejadian. Ada variasi kejadian dari satu peternakan ke peternakan lain, namun secara umum tingkat kejadiannya antara 3 - 10%. Dan perlu diketahui bahwa sapi yang pernah mengalami hypocalcemia memiliki kemungkinan mencapai 50% untuk kembali terkena hypocalcemia pada laktasi berikutnya.
8)      Waktu kejadian. Hampir 90% dari kasus hypocalcemia terjadi antara hari partus sampai 72 jam postpartum. Dan 3% terjadi lebih dari tiga hari setelah melahirkan (Hardjopranjoto, 1995).

Pathogenesis
Kalsium di dalam tubuh sapi berperan penting dalam fungsi persyarafan. Oleh karena itu, apabila kadar Kalsium dalam darah turun dengan drastis maka pengaturan urat syaraf akan berhenti, sehingga fungsi otak pun terganggu. Hal ini dapat menyebabkan kelumpuhan pada ternak (Subronto, 2004).
Pada akhir masa kebuntingan, kebutuhan sapi akan Kalsium cukup tinggi, sebab jumlah Kalsium yang dibutuhkan cukup besar. Oleh karenanya apabila Kalsium dalam ransum tidak mencukupi, maka Kalsium yang berada dalam tubuh akan dimobilisasikan untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Subronto, 2004).
Pada awal laktasi, kebutuhan Kalsium juga meningkat, sebab setiap kg air susu mengandung Kalsium 1,2 sampai dengan 1,4 gram. Sedangkan Kalsisum dalam darah adalah 9 – 12 mg/100ml, sehingga sekresi susu yang mendekati 2 kg akan memerlukan semua Ca yang terdapat dalam darah, padahal jumlah Kalsium dalam darah tidak dapat kurang. Jika keadaan Kalsium dalam darh tidak dapat dipertahankan maka sapi akan mengalami Paresis Puerpuralis atau Milk Fever (Subronto, 2004).
Adapun faktor-faktor predisposisi yang menyebabkan gangguan ini meliputi umur, produksi serta persistensi produksi susu. Pemberian Kalsium dengan kadar tinggi dan perbandingan Kalsium dan Posfor yang tinggi di dalam ransum kepada sapi perah pada periode kering dapat merangsang pelepasan calcitonin dari sel-sel parafolikuler pada kelenjar thyroid, sehingga menghambat penyerapan (resorbsi) Kalsium ke dalam tulang oleh parathormon (Subronto, 2004).
Hypercalcemia (tingginya kadar Kalsium dalam darah) menghambat sekresi parathormon dan merangsang sekresi (pengeluaran) calcitonin. Calcitonin merupakan suatu zat yang dapat menurunkan konsentrasi Kalsium dalam darah dengan jalan menghambat resorbsi oleh tulang. Pengauh ini cenderung menghambat adaptasi normal sapi tersebut terhadap kekurangan Kalsium pada permulaan partus dan laktasi yang menyebabkan terjadinya kelumpuhan. Kelumpuhan (paralisa) ini biasanya berhubungan dengan kadar Kalsium dalam darah di bawah 5 mg/100 ml serum (Subronto, 2004).

Gejala Klinis dan Perubahan Patologi yang Terjadi
Pada awal penyakit hewan mula-mula terlihat gelisah, ketakutan dan nafsu makan menghilang. Kadang-kadang terlihat tremor dan hipersensitivitas urat daging di kaki belakang dan kepala (Girindra 1988).
Gejala pertama yang terlihat pada penderita dalah induk sapi mengalami sempoyongan waktu berjalan atau berdiri dan tidak adanya koordinasi gerakan dan jatuh.  Biasanya hewan itu selalu berusaha untuk berdiri.  Bila pada stadium ini induk sapi dapat diadakan pengobatan gejala paresis tidak akan muncul.  Bila pengobatan belum dilakukan gejala berikutnya adalah induk sapi penderita berbaring dengan pada sebelah sisinya atau pada tulang dada (sternal recumbency) dan diikuti dengan mengistirahatkan kepalanya dijulurkan ke arah atas kedua kaki depan atau kepala diletakkan disebelah sisi dari tubuh  diatas bahu/scapula (kurva S) namun ada juga yang tidak disertai kurva S. Matanya mejadi membelalak dan pupilnya berdilatasi, kelihatan anoreksi, moncongnya kering dan suram, hewan tidak peka terhadap sakit dan suara, suhu rektal umumnya sub normal walaupun terkadang masih dalam batas normal, rumen dan usus mengalami atoni, anggota badan dingin, denyut jantung meningkat, defekasi terhambat dan anus relaksasi. Bila pengobatan ditunda beberapa jam kemudian induk berubah menjadi tidak sadarkan diri dan kalau tidak ada pertolongan hewan bertambah depresi urat daging melemah dan berbaring dengan posisi lateral (tahap komstose). Hewan tidak dapat bangun lagi dan akibat gangguan berbaring terus terjadi timpani.  Pulsa meningkat  (sampai lebih dari 120x), pupil mata berdilatasi, kepekaan terhadap  cahaya menghilang dan akhirnya beberapa jam terjadi kematian (Hardjopranjoto, 1995).
Gambaran klinis Milk Fever yang dapat diamati tergantung pada tingkat dan kecepatan penurunan kadar kalsium di dalam darah. Dikenal 3 stadium gambaran klinis yaitu stadium prodromal, berbaring (rekumbent) dan stadium koma (Subronto, 2004).

1)      Stadium prodomal (stadium 1)
Penderita menjadi gelisah dengan ekspresi muka yang tampak beringas. Nafsu makan dan pengeluaran kemih serta tinja terhenti. Meskipun ada usaha untuk berak akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil. Sapi mudah mengalami rangsangan dari luar dan bersifat hipersensitif. Otot-otot kepala maupun kaki tampak gemetar (tremor). Bila milk fever juga dibarengi dengan penurunan kadar magnesium yang cukup berat akan terlihat stadium tetanik yang panjang. Waktu berdiri hewan tampak kaku, tonus otot-otot alat gerak meningkat, dan bila bergerak tampak inkoordinasi. Penderita melangkah dengan berat, hingga terlihat hati-hati dan bila dipaksa akan jatuh. Bila telah jatuh usaha untuk bangun dilakukan susah payah, dan mungkin tidak akan berhasil (Subronto, 2004).
2)      Stadium berbaring / recumbent (stadium 2)
Penderita milk fever dilaporkan sudah tidak mampu untuk berdiri, berbaring pada sternumnya, dengan kepala yang mengarah kebelakang, sehingga dari belakang seperti membentuk huruf “S”. Karena dehidrasi, kulit tampak kering, nampak lesu, pupil mata normal atau membesar, dan tanggapan terhadap rangsangan sinar jadi lambat atau hilang sama sekali. Tanggapan terhadap rangsangan rasa sakit juga berkurang, otot-otot jadi kendor, spingter ani mengalami relaksasi, sedangkan reflek anal menghilang, dengan rectum yang berisi tinja kering atau setengah kering (Subronto, 2004).
Penderita masih mau makan dan masih mengalami proses ruminasi, meskipun intensitasnya berkurang, tetapi masih dapat terlihat. Pada tingkat selanjutnya proses ruminasi hilang dan nafsu makan pun hilang, dan penderita semakin bertambah lesu. Gangguan sirkulasi yang mengikuti akan terlihat sebagai pulsus yang frekuen dan lemah, rabaan pada alat gerak terasa dingin dan suhu rektal bersifat subnormal (Subronto, 2004).
3)      Stadium koma (stadium 3)
Penderita tampak sangat lemah, tidak mampu bangun, dan berbaring pada salah satu sisinya (lateral recumbency). Kelemahan otot-otot rumen akan segera diikuti dengnan kembung rumen. Gangguan sirkulasi sangat meencolok, pulsus menjadi lemah (120x/menit), dan suhu tubuh turun dibawah normal. Pupil melebar dan reflek terhadap sinar menghilang. Stadium koma kebanyakan diakhiri dengan kematian, meskipun pengobatan konvensional telah dilakukan (Subronto, 2004).

Diagnosa
Kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan sangat membantu kesembuhan.  kesembuhan spontan hampir tidak dimungkinkan. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan terhadap sapi ini adalah melakukan pemeriksaan darah. Darah dapat diambil lewat vena jugularis. Darah yang diambil diperiksa terhadap kadar kalsium darah. Kalsium dalam serum dapat diukur dengan metoda sangat sederhana sampai metoda yang mutakhir. Yang termasuk sederhana ialah dengan metoda Clark&Collib yang menggunakan KMnO4 untuk titrasi.  Lainnya ialah dengan metoda “kolorimetri sederhana”, berdasarkan intensitas warna yang kemudian dibandingkan dengan warna standar. Sekarang sering dilakukan uji untuk menentukan kadar kalsium mengion. Dalam hal ini dipakai suatu elektroda yang bersifat khas untuk ion kalsium. Lain dari itu kadar kalsium dalam darah dapat pula ditentukan dengan “Atomic absorption spectroscopy” (Girindra 1988).
Pemeriksaan kadar kalsium dalam darah di lapangan adalah menurut cara Herdt dimana peralatan yang dibutuhkan yaitu tabung rekasi 12 ml dengan kalibrasi 2,3,5,7 dan 10 ml, larutan EDTA 1,9%, alat suntik tuberkulin dan water bath. Cara pemeriksaannya ke dalam semua tabung reaksi dimasukkan EDTA sebanyak 0.1 ml. Darah sebanyak 35 ml diambil dari vena jugularis dengan cepat dan dimasukkan ke dalam 5 tabung sampai pada batas kalibrasi. Setelah ditutup dikocok kuat-kuat dimasukkan ke dalam water bath dengan suhu 1150 F (46.10 C) dan diamati selama 15 dan 20 menit. Setelah waktu tersebut rak diangkat dan jumlah tabung yang darahnya menggumpal dihitung. Di lapangan tidak dilakukan pengecekan darah untuk melihat kadar Ca, Mg dan P (Subronto, 2004). 
Treatment dan Pencegahan
Pengobatan sapi yang menampakkan gejala adalah penyuntikan 750 s/d 1500 ml Gluconas calcium 20 % secara intravena pada vena jugularis. Suntikan dapat diulangi kembali setelah 8 sampai 12 jam kemudian. Sediaan kalsium yang dipakai antara lain:
§  Larutan kalsium khlorida 10% disuntikkan secara intra vena, pemberian yang terlalu banyak atau terlalu cepat dapat mengakibatkan heart block.
§  Larutan kalsium boroglukonat 20-30% sebanyak 1:1 terhadap berat badan disuntikkan secara intra vena jugularis atau vena mammaria selama 10-15 menit.
§  Campuran berbagai sediaan kalsium seperti Calphon Forte, Calfosal atau Calcitad-50 (Fraser, 1991).
Apabila belum menampakkan hasil hewan dapat diberikan preparat yang mengandung magnesium. Hanya sedikit air susu yang boleh diperah selam 2 sampai 3 hari. Pengosongan ambing sebaiknya dihindarkan selama waktu tersebut (Fraser, 1991).
Untuk mencegah terjadinya Paresis peurpuralis, kadar Kalsium dalam ransum harus dikurangi pada akhir periode laktasi. Pemberian kosentrat dapat diberikan + 2 kg/hari atau selama periode kering kandang dengan mengurangi pemberian legum atau suplemen mineral. Peningkatan pemberian konsentrat baru dapat dilakukan 2 minggu menjelang sapi akan melahirkan (Fraser, 1991).
Metode alternatif untuk pencegahan dari hypocalcemia meliputi pemerahan yang tidak tuntas setelah melahirkan, mengatur tekanan dalam ambing dan menurunkan produksi susu. Namun hal ini praktis memperburuk infeksi mammae latent dan meningkatkan kejadian mastitis (Fraser, 1991).
Pengobatan dengan prophylactic pada sapi yang rentan menderita milk fever setelah melahirkan dapat membantu mengurangi kejadian parturient paresis. Kalsium dapat diberikan pada sapi melalui dua cara, yaitu secara subkutan pada hari melahirkan atau kalsium gel secara oral pada saat melahirkan dan 12 jam setelahnya (Fraser, 1991).
Selain itu pengobatan pada kasus milk fever dapat juga dilakukan dengan pemberian vitamin D. Defisiensi vitamin D dapat dikoreksi dengan pemberian vitamin D sebanyak 400 - 1000 IU/hari, namun terapi terhadap hipokalsemia karena proses lain akan memerlukan dosis vitamin D yang lebih besar atau penggunaan metabolit aktif (Fraser, 1991).

3.      Perbedaan MF dan Tetany
Paresis Puerpuralis atau Milk Fever merupakan penyakit gangguan metabolisme yang menimpa sapi betina menjelang atau pada saat melahirkan atau sesudah melahirkan yang ditandai dengan kurangnya kadar Kalsium (Ca) dalam darah, selain itu penderita mengalami depresi umum, tak dapat berdiri karena kelemahan bagian tubuh sebelah belakang dan tidak sadarkan diri (Hardjopranjoto 1995).
Grass tetany atau Tetanus hipomagnesaemia dapat terjadi pada sapi perah karena kekurangan magnesium dalam darah. Kadar magnesium yang rendah dalam darah dapat diakibatkan oleh :
§  Kadar magnesium dalam pakan kurang.
§  Ketidakseimbangan nutrisi dalam pakan sehingga mengganggu metabolisme magnesium.
§  Produksi susu tinggi
Pada jenis akut, kandungan magnesium darah turun secara drastis sehingga cadangan magnesium tubuh tidak dapat dimobilisasi cukup cepat untuk mengatasinya. Pada bentuk penyakit yang kronis, kandungan magnesium dalam plasma turun dalam jangka waktu yang lama sampai mencapai titik terendah (McDonald, et al. 1995).
Kandungan magnesium darah yang normal pada sapi adalah kisaran 17 sampai 40 mg/l serum darah, akan tetapi level di bawah 17 sering kali terjadi tanpa gejala klinis tetanus hipomagnesaemia. Tetanus umumnya diawali dengan penurunan magnesium dalam serum darah sampai sekitar 5 mg/l. Penyuntikan magnesium sulfat secara subkutan, atau lebih disukai magnesium laktat, biasanya dapat diharapkan mengobati hewan yang terkena tetanus hipomagnesaemia jika diberikan lebih dini. Gejala tetanus yang khas adalah nervous, tremor, kontraksi otot muka, langkah kaku dan kejang-kejang (McDonald, et al. 1995).
Suatu derajat keberhasilan yang tinggi pencegahan hipomagnesaemia bisa diperoleh dengan meningkatkan konsumsi magnesium. Hal tersebut dapat ditempuh dengan memberikan makanan dengan campuran mineral yang kaya akan magnesium, atau secara alternatif dengan cara meningkatkan kandungan magnesium pastur dengan penggunaan pupuk magnesium (McDonald, et al. 1995).
Sumber magnesium pada makanan ternak dapat diperoleh dari dedak gandum, kapang kering, dan sebagian besar konsentrat protein, khususnya tahu biji kapas, dan linseed merupakan sumber magnesium yang baik. Clover umumnya lebih banyak kandungan megnesiumnya dibandingkan dengan rumput, meskipun kandungan magnesium tanaman hijauan sangat bervariasi. Suplemen mineral yang paling umum adalah magnesium oksida, yang dijual secara komersial sebagai kalsin magnesit. Jika tetanus hipomagnesaemia sangat mungkin terjadi maka disarankan untuk memberikan 50g magnesium oksida per ekor per hari sebagai tindakan pencahar. Dosis pencahar harian untuk anak sapi adalah 7 sampai 15g magnesium oksida, sementara untuk domba laktasi adalah sekitar 7g. Supplemen mineral dapat diberikan dalam keadaan tercampur dengan konsentrat. Secara alternatif campuran larutan magnesium asetat dan molases dapat digunakan, sering kali disediakan dalam sistem bebas pilih disediakan dalam sistem bebas pilih dari tempat makanan yang ditempatkan di lapangan (McDonald, et al. 1995).
            Patogenesis
            Rumput muda yang memperoleh cukup air dan pupuk tumbuh dengan cepat di padangan dan biasanya mengadung kadar magnesium rendah. Hewan-hewan yang digembalakan di lapangan secara masif dipupuk dengan kalium dan nitrogen cenderung mudah menyebabkan mudah terkena grass tetani. Kadar Mg dalam cairan serebrospinal ternyata lebih penting daripada kadar di dalam serum. Meskipun kadar magnesium dalam cairan serebrospinal berada dalam keimbangan dengan kadarnua di dalam plasma rupanya keseimbangan tersebut tidak cukup tercapai untuk menghindarkan kekurangan Mg dari plasma ke dalam cairan serebrospinal juga didukung dengan kenyataan apabila kepada penderita grass tetani diberikan larutan magnesium, respin yang diperoleh berlangsung relatif lambat, tidak seperti pada penyuntikan kalsium pada penyakit milk fever (Subronto, 2004).
 
DAFTAR PUSTAKA
Girinda, A. 1988. Biokimia Patologi Hewan. Bogor : PAU-IPB
McDonald, P., Edward R.A., Greenhalg J.F.D., Morgan C.A. 1995. Animal Nutrition 5th Edition. New York : John Wiley & Sons Inc.
Fraser, C.M. 1991. The Merck Veterinary Manual: Hand Book of Diagnosis, Therapy and Disease Prevention and Control for The Veterinarian. 7th edition. Philadelphia : Merck & Co. Inc
Harjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Surabaya : Airlangga University Press
Kerley, M.S., 2000. Feeding For Enhancing Rumen Function. Columbia : Departement of Animal Sciences, University of Missouri
Subronto.  2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Sujono. 2010. Menyusun Pakan Sapi Perah. sujono.http://staff.umm.ac.id/files/2010/02/KULH-M.T.PERAH-5.ppt. Diakses pada 12 Desember 2013

No comments:

Post a Comment