LEARNING
OBJECTIVE
1. Bagaimana
manajemen pakan yang baik pada sapi laktasi/bunting?
2. Jelaskan
gejala klinis dan pathogenesis dari milk fever!
3. Apa
perbedaan milk fever dan grass tetany?
PEMBAHASAN
1. Pakan
untuk Sapi Bunting
Phase Feeding adalah suatu program pemberian pakan
yang dibagi ke dalam periode-periode berdasarkan pada produksi susu, persentase
lemak susu, konsumsi pakan, dan bobot badan. Lihat ilustrasi bentuk dan
hubungan kurva produksi susu, % lemak susu, konsumsi BK, dan bobot badan.
Didasarkan pada kurva-kurva tersebut, didapatkan 4 fase pemberian pakan sapi
laktasi:
Fase 1, laktasi awal (early
lactation), 0 – 70 hari setelah beranak.
Selama periode ini,
produksi susu meningkat dengan cepat, puncak produksi susu dicapai pada 4-6
minggu setelah beranak. Pada saat ini konsumsi pakan tidak dapat memenuhi
kebutuhan zat-zat makanan (khususnya kebutuhan energi) untuk produksi susu,
sehingga jaringan-jaringan tubuh dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan. Selama
fase ini, penyesuaian sapi terhadap ransum laktasi merupakan cara manajemen
yang penting. Setelah beranak, konsentrat perlu ditingkatkan 1-1,5 lb per hari
untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang meningkat dan meminimisasi
problem tidak mau makan dan asidosis. Namun perlu diingat, proporsi konsentrat
yang berlebihan (lebih dari 60% BK ransum) dapat menyebabkan asidosis dan kadar
lemak yang rendah. Tingkat serat kasar ransum tidak kurang dari 18% ADF, 28%
NDF, dan hijauan harus menyediakan minimal 21% NDF dari total ransum. Bentuk
fisik serat kasar juga penting, secara normal ruminasi dan pencernaan akan
dipertahankan bila lebih dari 50% hijauan panjangnya 1” atau lebih (Sujono,
2010).
Kandungan protein
merupakan hal yang kritis selama laktasi awal. Upaya untuk memenuhi atau
melebihi kebutuhan PK selama periode ini membantu konsumsi pakan, dan
penggunaan yang efisien dari jaringan tubuh yang dimobilisasi untuk produksi
susu. Ransum dengan protein 19% atau lebih diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
selama fase ini. Tipe protein (protein yang dapat didegradasi atau tidak
didegradasi) dan jumlah protein yang diberikan dipengaruhi oleh kandungan zat
makanan ransum, metode pemberian pakan, dan produksi susu. Sebagai patokan,
yang diikuti oleh banyak peternak (di luar negeri) memberikan 1 lb bungkil
kedele atau protein suplemen yang ekivalen per 10 lb susu, di atas 50 lb susu
(Sujono, 2010).
Bila zat makanan yang
dibutuhkan saat laktasi awal ini tidak terpenuhi, produksi puncak akan rendah
dan dapat menyebabkan ketosis. Produksi puncak rendah, dapat diduga
produksi selama laktasi akan rendah. Bila konsumsi konsentrat terlalu cepat
atau terlalu tinggi dapat menyebabkan tidak mau makan, acidosis, dan displaced
abomasum. Untuk meningkatkan konsumsi zat-zat makanan:
§
beri hijauan kualitas tinggi,
§
protein ransum cukup,
§
tingkatkan konsumsi konsentrat pada kecepatan yang konstan
setelah beranak,
§
tambahkan 1,0-1,5 lb lemak/ekor/hari dalam ransum,
§
pemberian pakan yang konstan, dan
§
minimalkan stress.
(Sujono, 2010)
Fase 2, konsumsi BK puncak, 10 minggu kedua setelah beranak
Selama fase ini, sapi
diberi makan untuk mempertahankan produksi susu puncak selama mungkin. Konsumsi
pakan mendekati maksimal sehingga dapat me-nyediakan zat-zat makanan yang
dibutuhkan. Sapi dapat mempertahankan bobot badan atau sedikit meningkat.
Konsumsi konsentrat dapat banyak, tetapi jangan melebihi 2,3% bobot badan
(dasar BK). Kualitas hijauan tinggi perlu disediakan, minimal konsumsi 1,5%
dari bobot badan (berbasis BK) untuk mempertahankan fungsi rumen dan kadar
lemak susu yang normal. Untuk meningkatkan konsumsi pakan:
§
beri hijauan dan konsentrat tiga kali atau lebih sehari,
§
beri bahan pakan kualitas tinggi,
§
batasi urea 0,2 lb/sapi/hari,
§
minimalkan stress,
§
gunakan TMR (total mix ration).
(Sujono, 2010)
Fase 3, pertengahan – laktasi akhir, 140 – 305 hari setelah
beranak
Fase ini merupakan
fase yang termudah untuk me-manage. Selama periode ini produksi susu
menurun, sapi dalam keadaan bunting, dan konsumsi zat makanan dengan mudah
dapat dipenuhi atau melebihi kebutuhan. Level pemberian konsentrat harus
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan produksi, dan mulai mengganti berat badan
yang hilang selama laktasi awal. Sapi laktasi membutuhkan pakan yang lebih
sedikit untuk mengganti 1 pound jaringan tubuh daripada sapi kering. Oleh
karena itu, lebih efisien mempunyai sapi yang meningkat bobot badannya dekat
laktasi akhir daripada selama kering (Sujono, 2010).
Fase 4, periode kering, 45 – 60 hari sebelum beranak
Fase kering penting.
Program pemberian pakan sapi kering yang baik dapat meminimalkan problem
metabolik pada atau segera setelah beranak dan meningkatkan produksi susu
selama laktasi berikutnya. Sapi kering harus diberi makan terpisah dari sapi
laktasi. Ransum harus diformulasikan untuk memenuhi kebutuhannya yang spesifik:maintenance,
pertumbuhan foetus, pertambahan bobot badan yang tidak terganti pada fase 3.
Konsumsi BK ransum harian sebaiknya mendekati 2% BB; konsumsi hijauan minimal
1% BB; konsumsi konsentrat bergantung kebutuhan, tetapi tidak lebih 1% BB.
Setengah dari 1% BB (konsentrat) per hari biasanya cukup untuk program
pemberian pakan sapi kering (Sujono, 2010).
Sapi kering jangan
terlalu gemuk. Memberikan hijauan kualitas rendah, seperti grass hay,
lebih disukai untuk membatasi konsumsi. Level protein 12% cukup untuk
periode kering (Sujono, 2010).
Sedikit konsentrat
perlu diberikan dalam ransum sapi kering dimulai 2 minggu sebelum beranak,
bertujuan:
§
mengubah bakteri rumen dari populasi pencerna hijauan seluruhnya
menjadi populasi campuran pencerna hijauan dan konsentrat;
§
meminimalkan stress terhadap perubahan ransum
setelah beranak.
Kebutuhan Ca dan P
sapi kering harus dipenuhi, tetapi perlu dihindari pemberian yang berlebihan;
kadang-kadang ransum yang mengandung lebih dari 0,6% Ca dan 0,4% P meningkatkan
kejadian milk fever. Trace mineral, termasuk Se, harus
disediakan dalam ransum sapi kering. Juga, jumlah vitamin A, D. dan E yang
cukup dalam ransum untuk mengurangi kejadian milk fever,
mengurangi retained plasenta, dan meningkatkan daya tahan pedet
(Sujono, 2010).
Zat gizi yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia
dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: (a) kebutuhan untuk mikroba di dalam
rumen dan (b) kebutuhan untuk ternak itu sendiri. Kebutuhan zat gizi untuk
mikroba rumen dapat berupa asam amino essensial, asam amino rantai cabang,
ammonia, mineral sulfur dan asam α keto.
Zat gizi tersebut diperlukan mikroba rumen untuk proses sintesis protein
tubuhnya disamping memerlukan ATP sebagai sumber enersi tinggi untuk terjadinya
reaksi kimiawi (Kerley, 2000).
Kebutuhan nitrogen untuk mikroba rumen seringkali
dinyatakan dalam istilah rumen degradable nitrogen (RDN) requirement atau bisa
juga disebut Rumen Degradable Protein (RDP) Requirement, yaitu kebutuhan
nitrogen yang dapat difermentasikan di dalam rumen sehingga kebutuhan bakalan
utama sintesis protein mikroba, yaitu berupa ammonia dapat dipenuhi. Saat ini
di literatur dinyatakan bahwa rataan kebutuhan RDN untuk ternak ruminansia
dewasa adalah sebesar 30 g N/kg bahan organik terfermentasi. Selain itu
konsentrasi ammonia di dalam rumen juga dapat digunakan sebagai indikator akan
kecukupan sumber nitrogen untuk mikroba rumen khususnya bakteria (Kerley, 2000).
Mineral sulfur juga merupakan kebutuhan esensial
bagi bakteria rumen karena sel bakteri kaya akan kandungan asam amino yang
megandung sulfur. Kisaran kebutuhan mineral sulfur dikaitkan dengan kandungan
nitrogen ransum. Sehingga kebutuhannya dinyatakan sebagai nisbah antara
kebutuhan N : S. Berdasarkan pengalaman, kisaran nisbah N : S adalah 10 : 1
hingga 12 : 1 (Kerley, 2000).
Kebutuhan Air
Acapkali kita membicarakan kebutuhan zat gizi,
kebutuhan air sering terabaikan. Padahal air merupakan komponen terbesar tubuh
ternak yang senantiasa menjaga keseimbangan suhu tubuh. Air juga ikut berperan
dalam proses pencernakan (hidrolisis protein, karbohidrat maupun lemak), proses
penyerapan zat gizi, proses transport metabolit di dalam tubuh serta proses
eksresi sisa metabolit ke luar tubuh.
Kebutuhan air sangat tergantung pada bentuk pakan,
kandungan bahan kering pakan, cara makan serta suhu lingkungan. Pada ternak
sapi setiap kg bahan kering yang dikonsumsi memerlukan air minum 3 – 5 L. Pada
ternak yang masih menyusu kebutuhan air lebih besar lagi, yaitu dapat berkisar
antara 6 – 7 L air/kg konsumsi bahan kering. Sapi perah membutuhkan lebih
banyak air untuk menjamin produksi susunya. Pemberian air minum secara berlebih
(ad libitum) pada sapi perah laktasi dapat meningkatkan produksi susu
antara 1 – 2 L/hari tanpa penambahan pakan suplemen (Kerley, 2000).
Adanya garam dapur (NaCl) atau protein dalam
konsentrasi tinggi di dalam pakan akan
memicu ekskresi urine, sehingga akan menyebabkan peningkatan konsumsi air
(Kerley, 2000).
Kebutuhan Protein
Penentuan kebutuhan protein ternak juga mengalami perkembangan, yaitu jika semula hanya ditentukan berdasarkan protein kasar, kemudian berkembang ke protein tercerna, sekarang ini telah berkembang ke arah kebutuhan UDN (undegradable dietary nitrogen) atau UDP (undegradable dietary protein). UDP merupakan bagian dari protein pakan yang tidakterdegradasi di dalam rumen dan sampai di usus halus untuk diserap. Besarnya nilai UDP sangat tergantung jenis sumber protein, komponen pakan lainnya dalam ransum, level pemberian serta stadia fisiologis ternak (Kerley, 2000)
Kebutuhan Energi
Kebutuhan enersi ternak seringkali dinyatakan dalam satuan kalori atau joule, dimana per definisi 1 cal = 4.182 joule. Pada ternak ruminansia dikenal istilah Total Digestible Nutrient (TDN), yaitu suatu asumsi bahwa selisih antara zat gizi yang dikonsumsi dengan zat gizi yang terdapat di dalam faeces merupakan nilai zat gizi yang tercerna dan dapat diubah menjadi enersi (Kerley, 2000).
Kebutuhan Lemak
Pakan ternak ruminansia umumnya mengandung lemak
relatif rendah, yaitu kurang dari 5 % meskipun telah diberi pakan konsentrat.
Jika diberi hanya hijauan kadar lemaknya dapat lebih rendah lagi. Namun
demikian karena konsumsinya relatif banyak maka sesungguhnya konsumsi lemak
pakan juga relatif besar. Selain itu dengan adanya pasok mikroba rumen yang
mengandung fosfolipid, maka serapan lemak dari usus halus sangat besar jika
dibandingkan dengan ternak monogastrik (Kerley, 2000).
Peranan lemak dalam pakan cukup besar terutama bagi
sapi perah karena lemak pakan memberikan kontribusi bagi kadar lemak susu.
Salah satu karakteristik ternak ruminansia ialah terjadinya proses
dehidrogenasi lemak pakan di dalam rumen sehingga lemak tak jenuh diubah
menjadi lemak jenuh karena pergantian ikatan rangkap dengan dua atom hidrogen.
Sebagai contoh asam oleat (C18:1) akan diubah menjadi asam stearat (C18:0).
Oleh karena itu sebagian besar lemak yang terserap dari usus halus juga berupa
lemak jenuh (Kerley, 2000).
Sebagai pedoman sapi perah tidak boleh diberi
suplemen lemak hingga 1.5 kg/hari disamping konsumsi lemak yang terkandung di
dalam pakan. Kadar lemak total ransum yang masih dapat dianjurkan ialah sekitar
6 hingga 8 % sebelum muncul dampak negatipnya. Produksi susu umumnya akan
dimaksimalkan jika kadar lemak mencapai 5 % dari total kadar bahan kering
pakan. Penambahan lemak umumnya akan menurunkan kandungan protein susu hingga
0.1 %. Selain itu pemberian lemak secara berlebihan akan menurunkan konsumsi
pakan, produksi susu serta komposisi lemak susu (Kerley, 2000).
Kebutuhan Serat Kasar
Fungsi utama serat kasar ada tiga yaitu, sebagai
pengisi lambung, menjaga fungsi peristaltik usus dan merangsang salivasi. Hasil
fermentasi komponen serat kasar adalah berupa VFA rantai pendek yaitu asam
asetat yang berfungsi sebagai bakalan lemak susu. Oleh arena itu imbangan
antara hijauan dan konsentrat dalam pakan akan berpengaruh juga terhadap kadar
lemak susu. Pemberian sumber serat kasar dalam bentuk panjang akan merangsang
sekresi saliva sehingga berfungsi sebagai penyanggah (buffering action)
keasaman rumen. Hal ini akan menjegah terjadinya acidosis serta merangsang
aktivitas bakteri selulolitik yang sangat sensitif terhadap keasaman (pH) di
bawah 5 (Kerley, 2000).
Kebutuhan Vitamin
Vitamin ialah senyawa organik yang dibutuhkan tubuh
dalam jumlah sedikit. Berbeda dengan mineral, vitamin terdapat dalam tubuh
bukan sebagai struktur dari senyawa lain serta sebagian besar vitamin mempunyai
fungsi sebagai Ko-enzim (Kerley, 2000).
Kebutuhan Mineral
Kebutuhan
mineral untuk ternak ruminansia dapat dibagi kedalam dua kelompok yaitu mineral
makro (Ca, Na, Cl, K, P, S, Mg) dan mineral mikro (Cu, I, Fe, Zn, Co, Se, Mn). Fungsi utama mineral makro Na, Cl, dan K adalah
sebagai agent elektro-kimia yang berperan dalam proses menjaga keseimbangan
asam-basa dan mengontrol tekanan osmotik air sehingga didistribusikan ke
seluruh tubuh. Sedangkan mineral lain mungkin memiliki fungsi struktural,
misalnya Ca dan P adalah komponen esensial pada tulang dan gigi. Selain itu peran
mineral S dalam proses sintesis protein mikroba di dalam rumen sangatlah
penting (Kerley,
2000).
Beberapa
mineral mikro mempunyai fungsi khas, misalnya mineral Fe merupakan komponen
penting dari haem yang merupakan komponen penting dari haemochromogens, yaitu
senyawa penting dalam proses respirasi. Sedangkan mineral Co diperlukan sebagai
bagian metal senyawa vitamin B12. Mineral yodium ( I ) merupakan komponen
penting hormon tyroxine (Kerley,
2000).
Apabila
kita ingin membuat sendiri campuran “Premix”, maka ada 14 mineral makro
dan mikro penting yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia. Kebutuhan garam
setiap ekor/hari adalah sekitar 200 g /hari tergantung dengan ukuran tubuh
ternak. Pengalaman penulis untuk seekor sapi potong dengan bobot hidup sekitar
250 kg hanya memerlukan 125 g premix/ekor/hari tanpa ada gangguan akibat
defisiensi mineral (Kerley,
2000).
Sodium
bentonite dan sodium bicarbonate dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
acidosis terutama jika pakan yang dikonsumsi mengandung konsentrat dengan
ukuran partikel halus serta tinggi enersinya (Kerley, 2000).
2. Milk
Fever
Etiologi
Paresis Puerpuralis atau Milk Fever merupakan
penyakit gangguan metabolisme yang menimpa sapi betina menjelang atau pada saat
melahirkan atau sesudah melahirkan yang ditandai dengan kurangnya kadar Kalsium
(Ca) dalam darah, selain itu penderita mengalami depresi umum, tak dapat
berdiri karena kelemahan bagian tubuh sebelah belakang dan tidak sadarkan diri
(Hardjopranjoto 1995).
Biasanya kejadian ini menyerang
sapi pada masa akhir kebuntingan atau pada masa laktasi. Kasus ini sering dialami sapi yang sudah
melahirkan yang ketiga kalinya sampai yang ketujuh. Tetapi di beberapa daerah
ternyata penyakit ini ditemui juga pada sapi-sapi dara yang produksi tinggi dan
terjadi ditengah-tengah masa laktasi. Biasanya kasus ini terjadi pada sapi
perah setelah beranak empat kali atau lebih tua, jarang terjadi pada induk yang
lebih muda atau sebelum beranak yang ketiga (Girindra, 1988)
Ditinjau dari bangsa sapi, bangsa Jersey paling
sering menderita penyakit ini disusul kemudian sapi Frisian Holstein dan bangsa
sapi yang lain. Di negara yang maju peternakan sapi perahnya kejadian penyakit
mencapai 3-10% dan kadang-kadang di dalam satu peternakan dapat berupa sebagai
suatu wabah dengan angka kejadian mencapai 90% dari populasi sapi perah
dikelompoknya. Kasus ini dapat bersifat habitualis artinya penyakit paresis
puerpuralis ini pada induk sapi dapat terulang pada partus berikutnya
(Subronto, 2004).
Paresis puerpuralis biasanya terjadi 18-24 jam post
partus. Akan tetapi dari laporan bahwa
penyakit ini dapt juga terjadi beberapa jam sebelum partus atau beberapa hari
setelah partus. Penyakit ini juga dapat
terjadi pada induk sapi yang mengalami kelahiran yang sukar (dystokia) karena
kurangnya kekuatan untuk mengeluarkan fetus.
Kasus yang terjadi di lapangan mulai terjadi sejak dua minggu post
partus dan sapi benar-benar ambruk baru lima hari (Subronto, 2004).
Ada beberapa teori, mengapa sapi perah yang baru
melahirkan dan produksi susu tinggi sering terjadi hipocalcaemia sehingga
mendorong terjadinya kasus paresis puerpuralis (Hardjopranjoto, 1995) :
1) Hormon
parathyroid yang kadarnya mengalami penurunan dalam darah (defisiensi), karena stres kelahiran dapat
mengganggu keseimbangan mineral dalam darah khususnya kalsium disusul adanya
hipokalcaemia dan selanjutnya timbul kasus paresis puerpuralis. Berkurangnya aktivitas parathormon pada saat
kelahiran disebabkan oleh defisiensi vitamin D. Kekurangan vitamin D biasanya
disebabkan oleh asupan yg kurang, kurang terpapar sinar matahari (pengaktivan
vitamin D terjadi jika kulit terpapar sinar matahari), penyakit hati, penyakit
saluran pencernaan yg menghalangi penyerapan vitamin D, pemakaian barbiturat
dan fenitoin, yang mengurangi efektivitas vitamin D.
2) Stres
melahirkan menyebabkan hormon tirokalsitonin yang mengatur glukosa usus dalam
menyerap mineral kalsium dari pakan menurun dan mempengaruhi kadar kalsium
dalam darah. Bila hormon tirokalsitonin
menurun dapat diikuti menurunnya kadar kalsium dalam darah. Hormon tirokalsitonin atau kalsitonin
dihasilkan oleh sel ultimobranchial C dari kelenjar tiroid.
3) Waktu
proses kelahiran, kalsium dibutuhkan terlalu banyak oleh air susu, khususnya
dalam kolostrum. Kebutuhan ini dapat
dicukupi dari ransum pakan ternak, dari tulang dalam tubuh induk atau dari
darah. Rendahnya penyerapan kalsium
dalam ransum pakan atau absorbsi kalsium dalam saluran pencernaan, dapat
disebabkan adanya gangguan pada dinding usus. Penurunan nafsu makan pada induk
yang sedang bunting mengakibatkan
masuknya bahan pakan menurun, menyebabkan penyediaan kalsium dalam alat
pencernaan yang rendah diikuti oleh penyerapan kalsium juga rendah. Daya menyerap dinding usus terhadap kalsium
dapat menurun pada induk sapi yang sudah tua.
Pada sapi yang masih muda 80% kalsium dalam usus dapat diserap, makin
tua umurnya makin menurun daya serap usus terhadap kalsium, karena pH usus yang
tinggi dan kadar lemak yang tinggi dalam makanan dapat menghambat penyerapan
kalsium. Pada sapi yang sudah tua,
penyerapan kalsium hanya mencapai 15% dari kalsium dalam pakan.
4) Persediaan
kalsium dalam tulang yang dapat dimobilisasi, bervariasi menurut umur. Pada anak sapi, 6-20% kebutuhan normal akan
kalsium dapat disediakan oleh tulang, sedang pada sapi yang telah tua kemampuan
tulang dalam menyediakan kalsium hanya 2-5%.
5) Vitamin
D berperan dalam menimbulkan kasus paresis puerpuralis. Gangguan terhadap
produksi pro vitamin D dalam tubuh dapat mengurangi tersedianya vitamin D dan dapat mendorong terjadinya penyakit ini,
karena vitamin D mengatur keseimbangan kalsium dan posfor dalam tubuh dan proses
deposisi atau mobilisasi kalsium dari tulang yang masih muda.
Vitamin D yang aktif di dalam metabolisme kalsium dan fosfor adalah
vitamin D3 (25-Hydroxycholecalciferol).
6) Hormon
estrogen dan steroid yang lain baik yang dihasilkan oleh plasenta maupun
kelenjar adrenal bagian korteks dapat menurunkan penyerapan kalsium dari usus
atau mobilisasi kalsium dari tulang muda.
Pada sapi bunting aktifitas estrogen plasma meningkat sampai satu bulan
sebelum melahirkan. Peningkatan berlangsung dengan cepat satu minggu sebelum
melahirkan untuk kemudian menurun tajam 24 jam sebelum melahirkan
(Hardjopranjoto, 1995)
Beberapa faktor
predisposisi yang berperan dalam kejadian Milk Fever antara lain :
1) Breed
/ bangsa. Kejadian paling tinggi terjadi pada sapi jenis Jersey. Namun karena
populasi sapi Holstein juga banyak sehingga yang sering terlihat adalah pada
sapi Holstein.
2) Produksi
susu tinggi. Sapi perah yang mempunyai produksi susu yang tinggi membutuhkan
kalsium dari darah untuk produksi susu yang tinggi. Akibatnya kadar kalsium
dalam darah dalam waktu singkat menjadi rendah (hypocalcaemia), diikuti gejala
paresis puerpuralis.
3) Umur.
Produksi susu secara normal, grafiknya akan meningkat mulai laktasi keempat
sampai umur-umur berikutnya dan diikuti dengan kebutuhan kalsium yang meningkat
pula. Sedangkan kemampuan mukosa usus untuk menyerap kalsium makin tua
umurnya makin menurun. Hal ini berhubungan dengan skeletal maturity dan ukuran
calcium pool.
4) Nafsu
makan. Pada kira-kira 8-16 jam sebelum partus induk sapi akan menurun nafsu
makannya sampai pada tidak mau makan sama sekali. Hal ini mengakibatkan
persediaan kalsium dalam pakan yang siap dicerna menjadi menurun, akibatnya
kekurangan kalsium diambil dari darah sehingga kalsium dalam darah menjadi
turun dan diikuti oleh hypocalcaemia. Penurunan nafsu makan juga disebabkan
meningkatnya kadar estrogen dalam darah pada fase terakhir kebuntingan
menjelang terjadinya kelahiran. Keadaan
ini dapat mengganggu keseimbangan kalsium dalam tubuh sehingga kadar kalsium
dalam darah merosot dari keadaan normal yaitu 9-12 mg persen menjadi 4-5 mg
persen.
5) Ransum
makanan. Ransum yang baik adalah bila imbangan antara Ca dan P mempunyai
perbandingan 2 dan 1. Ransum pakan semacam ini adalah ransum yang dianjurkan
sapi untuk sapi perah menjelang partus. Sapi bunting tua yang diberi ransum
kaya akan Ca dan rendah P cenderung mengalami paresis puerpuralis sesudah
melahirkan.
6) Kondisi
tubuh. Sapi yang mengalami obesitas akan lebih mudah terkena hypocalcemia
daripada sapi yang ramping. Hal ini ada kaitannya dengan kadar lemak pada
hepar.
7) Tingkat
kejadian. Ada variasi kejadian dari satu peternakan ke peternakan lain, namun
secara umum tingkat kejadiannya antara 3 - 10%. Dan perlu diketahui bahwa sapi
yang pernah mengalami hypocalcemia memiliki kemungkinan mencapai 50% untuk
kembali terkena hypocalcemia pada laktasi berikutnya.
8) Waktu
kejadian. Hampir 90% dari kasus hypocalcemia terjadi antara hari partus sampai
72 jam postpartum. Dan 3% terjadi lebih dari tiga hari setelah melahirkan
(Hardjopranjoto, 1995).
Pathogenesis
Kalsium di dalam tubuh sapi berperan penting dalam
fungsi persyarafan. Oleh karena itu, apabila kadar Kalsium dalam darah turun
dengan drastis maka pengaturan urat syaraf akan berhenti, sehingga fungsi otak
pun terganggu. Hal ini dapat menyebabkan kelumpuhan pada ternak (Subronto, 2004).
Pada akhir masa kebuntingan, kebutuhan sapi akan
Kalsium cukup tinggi, sebab jumlah Kalsium yang dibutuhkan cukup besar. Oleh
karenanya apabila Kalsium dalam ransum tidak mencukupi, maka Kalsium yang
berada dalam tubuh akan dimobilisasikan untuk memenuhi kebutuhan tersebut
(Subronto, 2004).
Pada awal laktasi, kebutuhan Kalsium juga meningkat,
sebab setiap kg air susu mengandung Kalsium 1,2 sampai dengan 1,4 gram.
Sedangkan Kalsisum dalam darah adalah 9 – 12 mg/100ml, sehingga sekresi susu
yang mendekati 2 kg akan memerlukan semua Ca yang terdapat dalam darah, padahal
jumlah Kalsium dalam darah tidak dapat kurang. Jika keadaan Kalsium dalam darh
tidak dapat dipertahankan maka sapi akan mengalami Paresis Puerpuralis atau
Milk Fever (Subronto, 2004).
Adapun faktor-faktor predisposisi yang menyebabkan
gangguan ini meliputi umur, produksi serta persistensi produksi susu. Pemberian
Kalsium dengan kadar tinggi dan perbandingan Kalsium dan Posfor yang tinggi di
dalam ransum kepada sapi perah pada periode kering dapat merangsang pelepasan
calcitonin dari sel-sel parafolikuler pada kelenjar thyroid, sehingga
menghambat penyerapan (resorbsi) Kalsium ke dalam tulang oleh parathormon
(Subronto, 2004).
Hypercalcemia (tingginya kadar Kalsium dalam darah)
menghambat sekresi parathormon dan merangsang sekresi (pengeluaran) calcitonin.
Calcitonin merupakan suatu zat yang dapat menurunkan konsentrasi Kalsium dalam
darah dengan jalan menghambat resorbsi oleh tulang. Pengauh ini cenderung
menghambat adaptasi normal sapi tersebut terhadap kekurangan Kalsium pada
permulaan partus dan laktasi yang menyebabkan terjadinya kelumpuhan. Kelumpuhan
(paralisa) ini biasanya berhubungan dengan kadar Kalsium dalam darah di bawah 5
mg/100 ml serum (Subronto, 2004).
Gejala
Klinis dan Perubahan Patologi yang Terjadi
Pada awal penyakit hewan mula-mula terlihat gelisah,
ketakutan dan nafsu makan menghilang. Kadang-kadang terlihat tremor dan
hipersensitivitas urat daging di kaki belakang dan kepala (Girindra 1988).
Gejala pertama yang terlihat pada penderita dalah
induk sapi mengalami sempoyongan waktu berjalan atau berdiri dan tidak adanya
koordinasi gerakan dan jatuh. Biasanya
hewan itu selalu berusaha untuk berdiri.
Bila pada stadium ini induk sapi dapat diadakan pengobatan gejala
paresis tidak akan muncul. Bila
pengobatan belum dilakukan gejala berikutnya adalah induk sapi penderita
berbaring dengan pada sebelah sisinya atau pada tulang dada (sternal recumbency) dan diikuti dengan mengistirahatkan
kepalanya dijulurkan ke arah atas kedua kaki depan atau kepala diletakkan
disebelah sisi dari tubuh diatas
bahu/scapula (kurva S) namun ada juga yang tidak disertai kurva S. Matanya
mejadi membelalak dan pupilnya berdilatasi, kelihatan anoreksi, moncongnya
kering dan suram, hewan tidak peka terhadap sakit dan suara, suhu rektal
umumnya sub normal walaupun terkadang masih dalam batas normal, rumen dan usus
mengalami atoni, anggota badan dingin, denyut jantung meningkat, defekasi
terhambat dan anus relaksasi. Bila pengobatan ditunda beberapa jam kemudian
induk berubah menjadi tidak sadarkan diri dan kalau tidak ada pertolongan hewan
bertambah depresi urat daging melemah dan berbaring dengan posisi lateral
(tahap komstose). Hewan tidak dapat bangun lagi dan akibat gangguan berbaring
terus terjadi timpani. Pulsa
meningkat (sampai lebih dari 120x),
pupil mata berdilatasi, kepekaan terhadap
cahaya menghilang dan akhirnya beberapa jam terjadi kematian
(Hardjopranjoto, 1995).
Gambaran klinis Milk Fever yang dapat diamati
tergantung pada tingkat dan kecepatan penurunan kadar kalsium di dalam darah.
Dikenal 3 stadium gambaran klinis yaitu stadium prodromal, berbaring
(rekumbent) dan stadium koma (Subronto, 2004).
1) Stadium
prodomal (stadium 1)
Penderita menjadi gelisah dengan ekspresi muka yang
tampak beringas. Nafsu makan dan pengeluaran kemih serta tinja terhenti.
Meskipun ada usaha untuk berak akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil. Sapi
mudah mengalami rangsangan dari luar dan bersifat hipersensitif. Otot-otot
kepala maupun kaki tampak gemetar (tremor). Bila milk fever juga dibarengi
dengan penurunan kadar magnesium yang cukup berat akan terlihat stadium tetanik
yang panjang. Waktu berdiri hewan tampak kaku, tonus otot-otot alat gerak
meningkat, dan bila bergerak tampak inkoordinasi. Penderita melangkah dengan
berat, hingga terlihat hati-hati dan bila dipaksa akan jatuh. Bila telah jatuh
usaha untuk bangun dilakukan susah payah, dan mungkin tidak akan berhasil
(Subronto, 2004).
2) Stadium
berbaring / recumbent (stadium 2)
Penderita milk fever dilaporkan sudah tidak mampu
untuk berdiri, berbaring pada sternumnya, dengan kepala yang mengarah
kebelakang, sehingga dari belakang seperti membentuk huruf “S”. Karena
dehidrasi, kulit tampak kering, nampak lesu, pupil mata normal atau membesar,
dan tanggapan terhadap rangsangan sinar jadi lambat atau hilang sama sekali.
Tanggapan terhadap rangsangan rasa sakit juga berkurang, otot-otot jadi kendor,
spingter ani mengalami relaksasi, sedangkan reflek anal menghilang, dengan
rectum yang berisi tinja kering atau setengah kering (Subronto, 2004).
Penderita masih mau makan dan masih mengalami proses
ruminasi, meskipun intensitasnya berkurang, tetapi masih dapat terlihat. Pada
tingkat selanjutnya proses ruminasi hilang dan nafsu makan pun hilang, dan
penderita semakin bertambah lesu. Gangguan sirkulasi yang mengikuti akan
terlihat sebagai pulsus yang frekuen dan lemah, rabaan pada alat gerak terasa
dingin dan suhu rektal bersifat subnormal (Subronto, 2004).
3) Stadium
koma (stadium 3)
Penderita tampak sangat lemah, tidak mampu bangun,
dan berbaring pada salah satu sisinya (lateral recumbency). Kelemahan otot-otot
rumen akan segera diikuti dengnan kembung rumen. Gangguan sirkulasi sangat
meencolok, pulsus menjadi lemah (120x/menit), dan suhu tubuh turun dibawah
normal. Pupil melebar dan reflek terhadap sinar menghilang. Stadium koma
kebanyakan diakhiri dengan kematian, meskipun pengobatan konvensional telah
dilakukan (Subronto, 2004).
Diagnosa
Kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan
sangat membantu kesembuhan. kesembuhan
spontan hampir tidak dimungkinkan. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan
terhadap sapi ini adalah melakukan pemeriksaan darah. Darah dapat diambil lewat
vena jugularis. Darah yang diambil diperiksa terhadap kadar kalsium darah.
Kalsium dalam serum dapat diukur dengan metoda sangat sederhana sampai metoda
yang mutakhir. Yang termasuk sederhana ialah dengan metoda Clark&Collib yang menggunakan KMnO4 untuk
titrasi. Lainnya ialah dengan metoda
“kolorimetri sederhana”, berdasarkan intensitas warna yang kemudian dibandingkan
dengan warna standar. Sekarang sering dilakukan uji untuk menentukan kadar kalsium
mengion. Dalam hal ini dipakai suatu elektroda yang bersifat khas untuk ion
kalsium. Lain dari itu kadar kalsium dalam darah dapat pula ditentukan dengan “Atomic absorption spectroscopy”
(Girindra 1988).
Pemeriksaan kadar kalsium dalam darah di lapangan
adalah menurut cara Herdt dimana peralatan yang dibutuhkan yaitu tabung rekasi
12 ml dengan kalibrasi 2,3,5,7 dan 10 ml, larutan EDTA 1,9%, alat suntik
tuberkulin dan water bath. Cara pemeriksaannya ke dalam semua tabung reaksi dimasukkan
EDTA sebanyak 0.1 ml. Darah sebanyak 35 ml diambil dari vena jugularis dengan
cepat dan dimasukkan ke dalam 5 tabung sampai pada batas kalibrasi. Setelah
ditutup dikocok kuat-kuat dimasukkan ke dalam water bath dengan suhu 1150 F
(46.10 C) dan diamati selama 15 dan 20 menit. Setelah waktu tersebut
rak diangkat dan jumlah tabung yang darahnya menggumpal dihitung. Di lapangan
tidak dilakukan pengecekan darah untuk melihat kadar Ca, Mg dan P (Subronto,
2004).
Treatment
dan Pencegahan
Pengobatan sapi yang menampakkan gejala adalah
penyuntikan 750 s/d 1500 ml Gluconas calcium 20 % secara
intravena pada vena jugularis. Suntikan dapat diulangi kembali setelah 8 sampai
12 jam kemudian. Sediaan kalsium yang dipakai antara lain:
§ Larutan
kalsium khlorida 10% disuntikkan secara intra vena, pemberian yang terlalu
banyak atau terlalu cepat dapat mengakibatkan heart block.
§ Larutan
kalsium boroglukonat 20-30% sebanyak 1:1 terhadap berat badan disuntikkan
secara intra vena jugularis atau vena mammaria selama 10-15 menit.
§ Campuran
berbagai sediaan kalsium seperti Calphon Forte, Calfosal atau Calcitad-50 (Fraser,
1991).
Apabila belum menampakkan hasil hewan dapat
diberikan preparat yang mengandung magnesium. Hanya sedikit air susu yang boleh
diperah selam 2 sampai 3 hari. Pengosongan ambing sebaiknya dihindarkan selama
waktu tersebut (Fraser, 1991).
Untuk mencegah terjadinya Paresis peurpuralis, kadar
Kalsium dalam ransum harus dikurangi pada akhir periode laktasi. Pemberian
kosentrat dapat diberikan + 2 kg/hari atau selama periode kering kandang dengan
mengurangi pemberian legum atau suplemen mineral. Peningkatan pemberian
konsentrat baru dapat dilakukan 2 minggu menjelang sapi akan melahirkan (Fraser,
1991).
Metode alternatif untuk pencegahan dari hypocalcemia
meliputi pemerahan yang tidak tuntas setelah melahirkan, mengatur tekanan dalam
ambing dan menurunkan produksi susu. Namun hal ini praktis memperburuk infeksi
mammae latent dan meningkatkan kejadian mastitis (Fraser, 1991).
Pengobatan dengan prophylactic pada sapi yang rentan
menderita milk fever setelah melahirkan dapat membantu mengurangi kejadian
parturient paresis. Kalsium dapat diberikan pada sapi melalui dua cara, yaitu
secara subkutan pada hari melahirkan atau kalsium gel secara oral pada saat
melahirkan dan 12 jam setelahnya (Fraser, 1991).
Selain itu pengobatan pada kasus milk fever dapat
juga dilakukan dengan pemberian vitamin D. Defisiensi vitamin D dapat dikoreksi
dengan pemberian vitamin D sebanyak 400 - 1000 IU/hari, namun terapi terhadap
hipokalsemia karena proses lain akan memerlukan dosis vitamin D yang lebih
besar atau penggunaan metabolit aktif (Fraser, 1991).
3. Perbedaan
MF dan Tetany
Paresis Puerpuralis atau Milk Fever
merupakan penyakit gangguan metabolisme yang menimpa sapi betina menjelang atau
pada saat melahirkan atau sesudah melahirkan yang ditandai dengan kurangnya
kadar Kalsium (Ca) dalam darah, selain itu penderita mengalami depresi umum,
tak dapat berdiri karena kelemahan bagian tubuh sebelah belakang dan tidak
sadarkan diri (Hardjopranjoto 1995).
Grass tetany
atau Tetanus hipomagnesaemia dapat terjadi pada sapi perah karena kekurangan
magnesium dalam darah. Kadar magnesium yang rendah dalam darah dapat
diakibatkan oleh :
§ Kadar
magnesium dalam pakan kurang.
§ Ketidakseimbangan
nutrisi dalam pakan sehingga mengganggu metabolisme magnesium.
§ Produksi
susu tinggi
Pada jenis akut, kandungan magnesium darah turun secara drastis sehingga
cadangan magnesium tubuh tidak dapat dimobilisasi cukup cepat untuk
mengatasinya. Pada bentuk penyakit yang kronis, kandungan magnesium dalam
plasma turun dalam jangka waktu yang lama sampai mencapai titik terendah (McDonald,
et al. 1995).
Kandungan magnesium darah yang normal pada sapi adalah kisaran 17 sampai 40
mg/l serum darah, akan tetapi level di bawah 17 sering kali terjadi tanpa
gejala klinis tetanus hipomagnesaemia. Tetanus umumnya diawali dengan penurunan
magnesium dalam serum darah sampai sekitar 5 mg/l. Penyuntikan magnesium sulfat
secara subkutan, atau lebih disukai magnesium laktat, biasanya dapat diharapkan
mengobati hewan yang terkena tetanus hipomagnesaemia jika diberikan lebih dini.
Gejala tetanus yang khas adalah nervous, tremor, kontraksi otot muka, langkah
kaku dan kejang-kejang (McDonald, et al. 1995).
Suatu derajat keberhasilan yang tinggi pencegahan hipomagnesaemia bisa
diperoleh dengan meningkatkan konsumsi magnesium. Hal tersebut dapat ditempuh
dengan memberikan makanan dengan campuran mineral yang kaya akan magnesium,
atau secara alternatif dengan cara meningkatkan kandungan magnesium pastur
dengan penggunaan pupuk magnesium (McDonald, et al. 1995).
Sumber magnesium pada makanan ternak dapat diperoleh dari dedak gandum,
kapang kering, dan sebagian besar konsentrat protein, khususnya tahu biji
kapas, dan linseed merupakan sumber magnesium yang baik. Clover umumnya lebih
banyak kandungan megnesiumnya dibandingkan dengan rumput, meskipun kandungan
magnesium tanaman hijauan sangat bervariasi. Suplemen mineral yang paling umum
adalah magnesium oksida, yang dijual secara komersial sebagai kalsin magnesit.
Jika tetanus hipomagnesaemia sangat mungkin terjadi maka disarankan untuk
memberikan 50g magnesium oksida per ekor per hari sebagai tindakan pencahar.
Dosis pencahar harian untuk anak sapi adalah 7 sampai 15g magnesium oksida,
sementara untuk domba laktasi adalah sekitar 7g. Supplemen mineral dapat
diberikan dalam keadaan tercampur dengan konsentrat. Secara alternatif campuran
larutan magnesium asetat dan molases dapat digunakan, sering kali disediakan
dalam sistem bebas pilih disediakan dalam sistem bebas pilih dari tempat
makanan yang ditempatkan di lapangan (McDonald, et al. 1995).
Patogenesis
Rumput muda yang memperoleh cukup
air dan pupuk tumbuh dengan cepat di padangan dan biasanya mengadung kadar
magnesium rendah. Hewan-hewan yang digembalakan di lapangan secara masif
dipupuk dengan kalium dan nitrogen cenderung mudah menyebabkan mudah terkena
grass tetani. Kadar Mg dalam cairan serebrospinal ternyata lebih penting
daripada kadar di dalam serum. Meskipun kadar magnesium dalam cairan serebrospinal
berada dalam keimbangan dengan kadarnua di dalam plasma rupanya keseimbangan
tersebut tidak cukup tercapai untuk menghindarkan kekurangan Mg dari plasma ke
dalam cairan serebrospinal juga didukung dengan kenyataan apabila kepada
penderita grass tetani diberikan larutan magnesium, respin yang diperoleh
berlangsung relatif lambat, tidak seperti pada penyuntikan kalsium pada
penyakit milk fever (Subronto, 2004).
DAFTAR
PUSTAKA
Girinda,
A. 1988. Biokimia Patologi Hewan.
Bogor : PAU-IPB
McDonald,
P., Edward R.A., Greenhalg J.F.D., Morgan C.A. 1995. Animal Nutrition 5th Edition. New York : John Wiley
& Sons Inc.
Fraser,
C.M. 1991. The Merck Veterinary Manual:
Hand Book of Diagnosis, Therapy and Disease Prevention and Control for The
Veterinarian. 7th edition. Philadelphia : Merck & Co. Inc
Harjopranjoto, S. 1995.
Ilmu Kemajiran pada Ternak. Surabaya
: Airlangga University Press
Kerley, M.S., 2000. Feeding For Enhancing Rumen Function. Columbia : Departement of
Animal Sciences, University of Missouri
Subronto. 2004. Ilmu
Penyakit Ternak II. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Sujono. 2010. Menyusun
Pakan Sapi Perah.
sujono.http://staff.umm.ac.id/files/2010/02/KULH-M.T.PERAH-5.ppt. Diakses pada
12 Desember 2013
No comments:
Post a Comment