LEARNING
OBJECTIVE
1. Mengetahui
tentang pakan ruminansia yang berpontensi menimbulkan keracunan!
2. Mengetahui
keracunan sianida pada ternak ruminansia, meliputi:
Ø Gejala
Klinis
Ø Patogenesis
Ø Terapi
Ø Perubahan
Patologi
Ø Pencegahan
PEMBAHASAN
1.
Pakan
Ruminansia yang Berpotensi Menimbulkan Keracunan
Racun
|
Terdapat pada
tanaman
|
Gejala
keracunan
|
Fitohemaglutinin
|
Kacang merah
|
Mual,
muntah, nyeri perut dan diare
|
Glikosida
sianogenik
|
Singkong,
rebung, biji buah-buahan (apel, aprikot, pir, plum, ceri, peach)
|
Penyempitan
saluran nafas, mual, muntah, sakit kepala.
|
Glikoalkaloid
|
Kentang,
tomat hijau
|
Rasa
terbakar dimulut, sakit perut, mual, muntah
|
Kumarin
|
Parsnip
dan sledri
|
Sakit
perut, nyeri pada kulit jika terkena sinar matahari.
|
Kukurbitasin
|
Zucchimi
|
Muntah,
kram perut, diare, pingsan
|
Asam
oksalat
|
Bayam,
teh, rhubarb
|
Kram,
mual, muntah, sakit kepala
|
Racun alami
pada tanaman pangan dan pencegahan keracunannya
1. Kacang merah (Phaseolus
vulgaris)
Racun alami yang dikandung oleh kacang merah disebut fitohemaglutinin (phytohaemagglutinin), yang
termasuk golongan lektin.
Keracunan makanan oleh racun ini biasanya
disebabkan karena konsumsi kacang merah dalam keadaan mentah atau yang dimasak kurang sempurna. Gejala
keracunan yang ditimbulkan antara lain adalah mual, muntah, dan nyeri perut yang diikuti oleh diare (Widodo, 2005).
2. Singkong
Singkong mengandung senyawa yang berpotensi racun yaitu linamarin dan lotaustralin. Keduanya termasuk golongan glikosida sianogenik. Linamarin terdapat pada semua bagian
tanaman, terutama terakumulasi pada akar dan daun. Singkong dibedakan atas dua
tipe, yaitu pahit dan manis. Singkong tipe pahit mengandung kadar racun yang
lebih tinggi daripada tipe manis. Jika singkong mentah atau yang dimasak kurang
sempurna dikonsumsi, maka racun tersebut akan berubah menjadi senyawa kimia
yang dinamakan hidrogen sianida,
yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Singkong manis mengandung sianida
kurang dari 50 mg per kilogram, sedangkan yang pahit mengandung sianida lebih
dari 50 mg per kilogram. Meskipun sejumlah kecil sianida masih dapat
ditoleransi oleh tubuh, jumlah sianida yang masuk ke tubuh tidak boleh melebihi
1 mg per kilogram berat badan per hari (Widodo, 2005).
Gejala keracunan sianida antara lain meliputi penyempitan
saluran nafas, mual, muntah, sakit kepala, bahkan pada kasus berat dapat
menimbulkan kematian. Untuk mencegah keracunan singkong, sebelum dikonsumsi
sebaiknya singkong dicuci untuk menghilangkan tanah yang menempel, kulitnya
dikupas, dipotong-potong, direndam dalam air bersih yang hangat selama beberapa
hari, dicuci, lalu dimasak sempurna, baik itu dibakar atau direbus. Singkong
tipe manis hanya memerlukan pengupasan dan pemasakan untuk mengurangi kadar
sianida ke tingkat non toksik. Singkong yang umum dijual di pasaran adalah
singkong tipe manis (Widodo,
2005).
3. Pucuk bambu (rebung)
Racun alami pada pucuk bambu termasuk dalam golongan glikosida sianogenik. Untuk mencegah
keracunan akibat mengkonsumsi pucuk bambu, maka sebaiknya pucuk bambu yang akan
dimasak terlebih dahulu dibuang daun terluarnya, diiris tipis, lalu direbus
dalam air mendidih dengan penambahan sedikit garam selama 8-10 menit. Gejala
keracunannya mirip dengan gejala keracunan singkong, antara lain meliputi
penyempitan saluran nafas, mual, muntah, dan sakit kepala (Widodo, 2005).
4. Biji buah-buahan
Contoh biji buah-buahan yang mengandung racun glikosida sianogenik adalah apel,
aprikot, pir, plum, ceri, dan peach. Walaupun bijinya mengandung racun,
tetapi daging buahnya tidak beracun. Secara normal, kehadiran glikosida
sianogenik itu sendiri tidak membahayakan. Namun, ketika biji segar buah-buahan
tersebut terkunyah, maka zat tersebut dapat berubah menjadi hidrogen sianida,
yang bersifat racun. Gejala keracunannya mirip dengan gejala keracunan singkong
dan pucuk bambu. Dosis letal sianida berkisar antara 0,5-3,0 mg per kilogram
berat badan (Widodo, 2005).
5. Kentang
Racun alami yang dikandung oleh kentang termasuk dalam
golongan glikoalkaloid, dengan
dua macam racun utamanya, yaitu solanin
dan chaconine.
Biasanya racun yang dikandung oleh kentang berkadar rendah dan tidak
menimbulkan efek yang merugikan bagi manusia.Meskipun demikian, kentang yang
berwarna hijau, bertunas, dan secara fisik telah rusak atau membusuk dapat
mengandung kadar glikoalkaloid dalam kadar yang tinggi (Widodo, 2005).
6. Tomat hijau
Tomat mengandung racun alami yang termasuk golongan glikoalkaloid. Menyebabkan
tomat hijau berasa pahit saat dikonsumsi. Untuk mencegah terjadinya keracunan,
sebaiknya hindari mengkonsumsi tomat hijau dan jangan pernah mengkonsumsi daun
dan batang tanaman tomat
(Widodo, 2005).
7. Parsnip (semacam wortel)
Parsnip mengandung
racun alami yang disebut furokumarin (furocoumarin). Senyawa ini
dihasilkan sebagai salah satu cara tanaman mempertahankan diri dari hama serangga.
Kadar racun tertinggi biasanya terdapat pada kulit atau lapisan permukaan
tanaman atau di sekitar area yang rusak. Racun tersebut antara lain dapat
menyebabkan sakit perut dan nyeri pada kulit jika terkena sinar matahari. Kadar
racun dapat berkurang karena proses pemanggangan atau perebusan. Lebih baik
bila sebelum dimasak, parsnip dikupas terlebih dahulu (Widodo, 2005).
8. Seledri
Seledri mengandung senyawa psoralen, yang termasuk kumarin.
Senyawa ini dapat menimbulkan sensitivitas pada kulit jika terkena sinar
matahari. Untuk menghindari efek toksik psoralen, sebaiknya hindari terlalu
banyak mengkonsumsi seledri mentah, dan akan lebih aman jika seledri dimasak
sebelum dikonsumsi karena psoralen dapat terurai melalui proses pemasakan (Widodo, 2005).
9. Zucchini (semacam ketimun)
Zucchini mengandung
racun alami yang disebut kukurbitasin (cucurbitacin). Racun ini
menyebabkan zucchini berasa pahit. Namun, zucchini yang telah
dibudidayakan (bukan wild type) jarang yang berasa pahit. Gejala
keracunan zucchini meliputi muntah, kram perut, diare, dan pingsan. Sebaiknya
hindari mengkonsumsi zucchini yang berbau tajam dan berasa pahit (Widodo, 2005).
10. Bayam
Asam oksalat secara alami terkandung dalam kebanyakan
tumbuhan, termasuk bayam. Namun, karena asam oksalat dapat mengikat nutrien
yang penting bagi tubuh, maka konsumsi makanan yang banyak mengandung asam
oksalat dalam jumlah besar dapat mengakibatkan defisiensi nutrien, terutama
kalsium. Asam oksalat merupakan asam kuat sehingga dapat mengiritasi saluran pencernaan,
terutama lambung. Asam oksalat juga berperan dalam pembentukan batu ginjal.
Untuk menghindari pengaruh buruk akibat asam oksalat, sebaiknya kita tidak
mengkonsumsi makanan yang mengandung senyawa ini terlalu banyak (Widodo, 2005).
2.
Keracunan
Sianida
Gejala
Klinis
Setelah
terpejan sianida, gejala yang paling cepat muncul adalah iritasi pada lidah dan
membran mukus serta suara desir darah yang tidak teratur. Gejala dan tanda awal
yang terjadi setelah menghirup HCN atau menelan garam sianida adalah kecemasan,
sakit kepala, mual, bingung, vertigo, dan hypernoea, yang diikuti dengan
dyspnoea, sianosis, hipotensi, bradikardi, dan sinus atau aritmea AV
nodus. Onset yang terjadi secara tiba-tiba dari efek toksik yang pendek
setelah pemaparan sianida merupakan tanda awal dari keracunan sianida.
Symptomnya termasuk sakit kepala, mual, dyspnea, dan kebingungan. Syncope,
koma, respirasi agonal, dan gangguan kardiovaskular terjadi dengan cepat
setelah pemaparan yang berat (Meredith, 1993).
Dalam
keracunan stadium kedua, tampak kecemasan berlebihan, koma, dan terjadi
konvulsi, kejang, nafas tersengal-sengal, kolaps kardiovaskular, kulit menjadi
dingin, berkeringat, dan lembab. Nadi menjadi lemah dan lebih cepat. Tanda
terakhr dari toksisitas sianida meliputi hipotensi, aritmia kompleks, gagal
jantung, udem pada paru-paru dan kematian (Meredith, 1993).
Warna
merah terang pada kulit atau tidak terjadinya sianosis, jarang terjadi dalam
keracunan sianida. Secara teoritis tanda ini dapat dijelaskan dengan adanya kandungan
yang tinggi dari oksihemoglobin, dalam venus return, tetapi dalam
keracunan berat, gagal jantung dapat dicegah. Kadang-kadang sianosis dapat
dikenali apabila pasien memiliki bintik merah muda terang (Meredith, 1993).
Gejala
yang paling cepat muncul setelah keracunan sianida adalah iritasi pada lidah
dan membran mukus serta suara desir darah yang tidak teratur. Gejala dan tanda
awal yang terjadi setelah menghirup HCN atau menelan garam sianida adalah
kecemasan, sakit kepala, mual, bingung, vertigo, dan hypernoea, yang
diikuti dengan dyspnea, sianosis (kebiruan), hipotensi, bradikardi, dan
sinus atau aritmea AV nodus. Dalam keracunan stadium kedua, tampak
kecemasan berlebihan, koma, dan terjadi kejang, nafas tersengal-sengal, kolaps
kardiovaskular, kulit menjadi dingin, berkeringat, dan lembab. Nadi menjadi
lemah dan lebih cepat. Tanda terakhir dari toksisitas sianida meliputi
hipotensi, aritmia kompleks, gagal jantung, udem pada paru-paru dan kematian
(Utomo, 2006).
Patogenesis
Ada
berbagai jenis tanaman yang bersifat racun pada ruminansia. Beberapa
diantaranya adalah rebung dan singkong. Keduanya disebut tanaman sianogenik
karena mengandung toksin glikosida sianogenik. Glikosida sianogenik adalah
glikosida yang akan menghasilkan asam sianida (HCN) ketika diproses dalam
pencernaan atau ketika terjadi kerusakan pada tanaman glikosida sianogenik
sendiri (Smith, 2002).
Ketela
mengandung 2 macam glikogen sianogenik, yaitu linamarin dan lotaustralin. Kedua
toksin ini akan dipecah oleh enzim hidrolitik yang ada pada tanaman menjadi
asam sianida (HCN), aseton, dan glukosa. Kadar HCN pada singkong ini
berbeda-beda tergantung umur dari tanaman, kondisi pertumbuhan, perbedaan
varietas dan bagian dari tanaman itu sendiri. Kadar HCN pada kulit buah adalah
568-950 mg/kg dan pada daging buah sekitar 2–200 mg/kg. Walaupun begitu, kadar
toksisitas minimal (KTM) yang dapat menyebabkan ruminansia sakit tidak
diketahui dengan jelas. Toksisitas sering terjadi pada pedet yang mengkonsumsi
daun singkong segar dengan kadar HCN180-240 mg/kg. KTM yang sering terjadi pada
bebrgaai hewan adalah 2-2,5 mg/kg BB. Pada kasus kronis sapi dewasa, keracunan
glikosida sianogenik dapat menurunkan performan (Smith, 2002).
Keracunan
glikosida sianogenik ini sering terjadi pada sapi dikarenakan sapi memiliki
lambung yang bersifat alkalis (pH 6,5 – 7), memiliki kadar air yang tinggi, dan
memiliki enzim mikrofloral yang dapat menghidrolisa glikosida menjadi asam
sianida. Tanaman yang mengandung glikosida sianogenik akan melepaskan
β-glikosidase dan akan bertemu dengan glikosida sehingga asam sianida bebas
akan dilepaskan (Bradford,2002). Jika HCN ini masuk secara ekstraseluler dan
mencapai ke usus, maka HCN akan diabsorbsi di dalam usus dan traktus
respiratorius (Smith, 2002).
Dalam mekanismenya, proses keracunan
oleh sianida ini melibatkan enzim pernafasan selular (sitokrom oksidase). HCN
ini memiliki afinitas yang tinggi terhadap trivalent
iron yang ada pada molekul sitokrom oksidase. Reaksi ini terjadi di dalam
mitokondria, tempat sitokrom oksidase membentuk komplek yang stabil dengan
sianida. Dengan demikian proses transpor elektron pada rantai pernafasan
sitokrom dihentikan, dan metabolisme oksidasi serta posforilasi dihambat.
Dengan demikian, maka sianida menimbulkan hipoksia selular atau “cytotoxic
anoxia” (Bahri, 1994).
Di sini oksihemoglobin tidak dapat
melepaskan oksigennya untuk proses transpor elektron. Itulah sebabnya mengapa
pada keracunan sianida, darah terlihat berwarna merah terang, karena oksigen
tidak dapat digunakan oleh sel. Hipoksia yang terjadi pada tingkat susunan
syaraf pusat di otak juga mempengaruhi pusat sistem pernafasan (Bahri, 1994).
Dengan adanya methemoglobin (Hb-Fe3+),
sianida dapat dilepaskan dari ikatan komplek sianida-sitokrom oksidase (Cyt-Fe2+-CN).
Kemudian, enzim rodanase yang ada di mitokondria akan membantu mentransfer
sulfur dari tiosulfat ke ion sianida (CN-), sehingga terbentuk
tiosianat. Selanjutnya enzim pernafasan dibebaskan, dengan akibat pernafasan
sel kembali normal (Bahri, 1994).
Gangguan lain dapat terjadi pada
keracunan sianida secara kronis. Di sini muncul gejala-gejala syaraf yang
disebut ”tropical ataxic neuropathy” (TAN), lesio pada membran mukosa, spinal
cord, dan syaraf-syaraf perifer (Bahri, 1994).
Efek samping tiosianat yang
dihasilkan dari metabolisme sianida adalah berupa gangguan pada kelenjar
tiroid, terutama pada ternak yang kekurangan iodium. Tetapi hal ini hanya dapat
timbul bila kejadiannya kronis (Bahri, 1994).
Terapi
Penanggulangan terutama ditujukan
pada hewan-hewan yang menderita gejala keracunan, karena kematian akan segera
terjadi apabila tidak cepat-cepat diberi pertolongan. Dalam hal ini, pemberian
terapi (treatment) dimaksudkan untuk menguraikan ikatan komplek
sianida-sitokrom oksidase, agar sistem pernafasan selular dapat berjalan
kembali. Nitrit dan tiosulfat merupakan bahan yang umum dipergunakan dalam
menanggulangi keracunan sianida (Bahri, 1994).
Pemberian natrium nitrit (NaNO2)
akan menguraikan komplek sianida-sitokrom oksidase dengan membentuk
methemoglobin yang akan berkompetisi dengan sitokrom oksidase dalam mengikat
sianida, sehingga akan banyak terbentuk sianmethemoglobin (Hb-Fe2+-CN).
Beberapa aminofenol dapat memproduksi methemoglobin lebih cepat daripada NaNO2
(Bahri, 1994).
Pemberian natrium tiosulfat (Na2S2O3)
akan mengubah sianida menjadi tiosianat dengan bantuan enzim rodanase
(sulfurtransferase). Oleh karena itu, paling sering terapi keracunan sianida
dilakukan dengan pemberian kombinasi natrium nitrit dan natrium tiosulfat.
Dosis yang dianjurkan untuk kedua campuran ini adalah 1 ml NaNO2 20%
dan 3 ml Na2S2O3 20%, yang diberikan secara
intravena pada hewan yang mempunyai berat badan 45 kg. Untuk sapi dapat juga
diberikan 5g NaNO2 dan 15g Na2S2O3
yang dilarutkan dalam 20 ml air (aquades), dan diberikan secara intravena.
Sedangkan untuk domba, 1g NaNO2 dan 2,4g Na2S2O3
yang dilarutkan dalam 10 ml akuades, diberikan secara intravena. Atau dapat
juga diberikan natrium tiosulfat sebanyak 660 mg/kg yang dikombinasi dengan 6,6
mg/kg natrium nitrit (Bahri, 1994).
Antidota lain yang dapat diberikan
untuk menanggulangi keracunan sianida adalah hidroksokobalamin (vitamin B12a),
yang dapat bergabung dengan sianida membentuk sianokobalamin (vitaminB12).
Tetapi, zat ini mempunyai kelarutan yang rendah dan kurang efektif terhadap
keracunan sianida yang hebat (Bahri, 1994).
Pencegahan merupakan cara yang
terbaik untuk menanggulangi bahaya keracunan sianida ini, antara lain, dengan
cara memindahkan atau menjauhkan kawanan hewan tersebut dari bahan atau pakan
yang diduga banyak mengandung sianida (Bahri, 1994).
Saat
sitokrom oksidase diikat oleh sianida (CN–)
Cy + Fe3+ + CN– à
Cy + FeCN
sitokrom
oksidase sitoksi sianida
Saat penambahan NaNO2
HbFe3+ + NaNO2
à HbFe3+
+ MetHb
HbFe3+ + Cy + FeCN à HbFeCN + Cy + Fe3+
HbFeCN ↔ HbFe3++ CN–
Saat penambahan natrium tiosulfat
Na2S2O3 + CN à SCN– + Na2SO4
satrium tiosulfat Tiosianat
Perubahan Patologi
Pada pemeriksaan pasca mati akan
dijumpai darah yang berwarna merah terang seperti buah cherry, dan biasanya
disertai dengan bau bitter almond
yang khas pada isi rumen (Bahri, 1994). Lesi non-spesifik
seperti edema pulmo, hydrothorax dan kongesti visceral (Utomo, 2008).
Pencegahan dan Penanganan
Pencegahan
keracunan ammonia antara lain penanganan pakan yang benar. Penanganan yaitu
mengasamkan rumen dengan infus 2-6 liter asam asetat atau 0,5-1 liter pada
kambing dan domba (Smith, 2002).
DAFTAR
PUSTAKA
Bahri,
S., Tarmudji. 1994. Wartazoa Vol.11 No.3
Januari 1994 : Keracunan Sianida pada Ternak dan Cara Mengatasinya. Bogor :
Balai Penelitian Peyakit Hewan
Meredith, T.J., 1993. Antidots for
Poisoning by Cyanide. Philadelphia : Elsevier
Smith,
B. P. 2002. Large Animal Internal Medicine.
New York : Mosby
Utomo,
R., Budhi, SPS., Agus, A., Noviandi, C.T. 2008. Bahan Pakan Dan Formulasi Ransum. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press
Widodo, W. 2005. Tanaman
Beracun dalam Kehidupan Ternak. Malanag : UMM PRESS.
No comments:
Post a Comment