Wednesday 8 January 2014

BLOK 15 UP 2



LEARNING OBJECTIVE
1.      Mengetahui tentang pakan ruminansia yang berpontensi menimbulkan keracunan!
2.      Mengetahui keracunan sianida pada ternak ruminansia, meliputi:
Ø  Gejala Klinis
Ø  Patogenesis
Ø  Terapi
Ø  Perubahan Patologi
Ø  Pencegahan


PEMBAHASAN
1.      Pakan Ruminansia yang Berpotensi Menimbulkan Keracunan
Racun
Terdapat pada tanaman
Gejala keracunan
Fitohemaglutinin
Kacang merah
Mual, muntah, nyeri perut dan diare
Glikosida sianogenik
Singkong, rebung, biji buah-buahan (apel, aprikot, pir, plum, ceri, peach)
Penyempitan saluran nafas, mual, muntah, sakit kepala.
Glikoalkaloid
Kentang, tomat hijau
Rasa terbakar dimulut, sakit perut, mual, muntah
Kumarin
Parsnip dan sledri
Sakit perut, nyeri pada kulit jika terkena sinar matahari.
Kukurbitasin
Zucchimi
Muntah, kram perut, diare, pingsan
Asam oksalat
Bayam, teh, rhubarb
Kram, mual, muntah, sakit kepala

Racun alami pada tanaman pangan dan pencegahan keracunannya
1. Kacang merah (Phaseolus vulgaris)
Racun alami yang dikandung oleh kacang merah disebut fitohemaglutinin (phytohaemagglutinin), yang termasuk golongan lektin. Keracunan makanan oleh racun ini biasanya disebabkan karena konsumsi kacang merah dalam keadaan mentah atau yang dimasak kurang sempurna. Gejala keracunan yang ditimbulkan antara lain adalah mual, muntah, dan nyeri perut yang diikuti oleh diare (Widodo, 2005). 
2. Singkong
Singkong mengandung senyawa yang berpotensi racun yaitu linamarin dan lotaustralin. Keduanya termasuk golongan glikosida sianogenik. Linamarin terdapat pada semua bagian tanaman, terutama terakumulasi pada akar dan daun. Singkong dibedakan atas dua tipe, yaitu pahit dan manis. Singkong tipe pahit mengandung kadar racun yang lebih tinggi daripada tipe manis. Jika singkong mentah atau yang dimasak kurang sempurna dikonsumsi, maka racun tersebut akan berubah menjadi senyawa kimia yang dinamakan hidrogen sianida, yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Singkong manis mengandung sianida kurang dari 50 mg per kilogram, sedangkan yang pahit mengandung sianida lebih dari 50 mg per kilogram. Meskipun sejumlah kecil sianida masih dapat ditoleransi oleh tubuh, jumlah sianida yang masuk ke tubuh tidak boleh melebihi 1 mg per kilogram berat badan per hari (Widodo, 2005).
Gejala keracunan sianida antara lain meliputi penyempitan saluran nafas, mual, muntah, sakit kepala, bahkan pada kasus berat dapat menimbulkan kematian. Untuk mencegah keracunan singkong, sebelum dikonsumsi sebaiknya singkong dicuci untuk menghilangkan tanah yang menempel, kulitnya dikupas, dipotong-potong, direndam dalam air bersih yang hangat selama beberapa hari, dicuci, lalu dimasak sempurna, baik itu dibakar atau direbus. Singkong tipe manis hanya memerlukan pengupasan dan pemasakan untuk mengurangi kadar sianida ke tingkat non toksik. Singkong yang umum dijual di pasaran adalah singkong tipe manis (Widodo, 2005).
3. Pucuk bambu (rebung)
Racun alami pada pucuk bambu termasuk dalam golongan glikosida sianogenik. Untuk mencegah keracunan akibat mengkonsumsi pucuk bambu, maka sebaiknya pucuk bambu yang akan dimasak terlebih dahulu dibuang daun terluarnya, diiris tipis, lalu direbus dalam air mendidih dengan penambahan sedikit garam selama 8-10 menit. Gejala keracunannya mirip dengan gejala keracunan singkong, antara lain meliputi penyempitan saluran nafas, mual, muntah, dan sakit kepala (Widodo, 2005).
4. Biji buah-buahan
Contoh biji buah-buahan yang mengandung racun glikosida sianogenik adalah apel, aprikot, pir, plum, ceri, dan peach. Walaupun bijinya mengandung racun, tetapi daging buahnya tidak beracun. Secara normal, kehadiran glikosida sianogenik itu sendiri tidak membahayakan. Namun, ketika biji segar buah-buahan tersebut terkunyah, maka zat tersebut dapat berubah menjadi hidrogen sianida, yang bersifat racun. Gejala keracunannya mirip dengan gejala keracunan singkong dan pucuk bambu. Dosis letal sianida berkisar antara 0,5-3,0 mg per kilogram berat badan (Widodo, 2005).
5. Kentang
Racun alami yang dikandung oleh kentang termasuk dalam golongan glikoalkaloid, dengan dua macam racun utamanya, yaitu solanin dan chaconine. Biasanya racun yang dikandung oleh kentang berkadar rendah dan tidak menimbulkan efek yang merugikan bagi manusia.Meskipun demikian, kentang yang berwarna hijau, bertunas, dan secara fisik telah rusak atau membusuk dapat mengandung kadar glikoalkaloid dalam kadar yang tinggi (Widodo, 2005).
6. Tomat hijau
Tomat mengandung racun alami yang termasuk golongan glikoalkaloid. Menyebabkan tomat hijau berasa pahit saat dikonsumsi. Untuk mencegah terjadinya keracunan, sebaiknya hindari mengkonsumsi tomat hijau dan jangan pernah mengkonsumsi daun dan batang tanaman tomat (Widodo, 2005).
7. Parsnip (semacam wortel)
Parsnip mengandung racun alami yang disebut furokumarin (furocoumarin). Senyawa ini dihasilkan sebagai salah satu cara tanaman mempertahankan diri dari hama serangga. Kadar racun tertinggi biasanya terdapat pada kulit atau lapisan permukaan tanaman atau di sekitar area yang rusak. Racun tersebut antara lain dapat menyebabkan sakit perut dan nyeri pada kulit jika terkena sinar matahari. Kadar racun dapat berkurang karena proses pemanggangan atau perebusan. Lebih baik bila sebelum dimasak, parsnip dikupas terlebih dahulu (Widodo, 2005).
8. Seledri
Seledri mengandung senyawa psoralen, yang termasuk kumarin. Senyawa ini dapat menimbulkan sensitivitas pada kulit jika terkena sinar matahari. Untuk menghindari efek toksik psoralen, sebaiknya hindari terlalu banyak mengkonsumsi seledri mentah, dan akan lebih aman jika seledri dimasak sebelum dikonsumsi karena psoralen dapat terurai melalui proses pemasakan (Widodo, 2005).
9. Zucchini (semacam ketimun)
Zucchini mengandung racun alami yang disebut kukurbitasin (cucurbitacin). Racun ini menyebabkan zucchini berasa pahit. Namun, zucchini yang telah dibudidayakan (bukan wild type) jarang yang berasa pahit. Gejala keracunan zucchini meliputi muntah, kram perut, diare, dan pingsan. Sebaiknya hindari mengkonsumsi zucchini yang berbau tajam dan berasa pahit (Widodo, 2005).
10. Bayam
Asam oksalat secara alami terkandung dalam kebanyakan tumbuhan, termasuk bayam. Namun, karena asam oksalat dapat mengikat nutrien yang penting bagi tubuh, maka konsumsi makanan yang banyak mengandung asam oksalat dalam jumlah besar dapat mengakibatkan defisiensi nutrien, terutama kalsium. Asam oksalat merupakan asam kuat sehingga dapat mengiritasi saluran pencernaan, terutama lambung. Asam oksalat juga berperan dalam pembentukan batu ginjal. Untuk menghindari pengaruh buruk akibat asam oksalat, sebaiknya kita tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung senyawa ini terlalu banyak (Widodo, 2005).

2.      Keracunan Sianida
Gejala Klinis
Setelah terpejan sianida, gejala yang paling cepat muncul adalah iritasi pada lidah dan membran mukus serta suara desir darah yang tidak teratur. Gejala dan tanda awal yang terjadi setelah menghirup HCN atau menelan garam sianida adalah kecemasan, sakit kepala, mual, bingung, vertigo, dan hypernoea, yang diikuti dengan dyspnoea, sianosis, hipotensi, bradikardi, dan sinus atau aritmea AV nodus. Onset yang terjadi secara tiba-tiba dari efek toksik yang pendek setelah pemaparan sianida merupakan tanda awal dari keracunan sianida. Symptomnya termasuk sakit kepala, mual, dyspnea, dan kebingungan. Syncope, koma, respirasi agonal, dan gangguan kardiovaskular terjadi dengan cepat setelah pemaparan yang berat (Meredith, 1993).
Dalam keracunan stadium kedua, tampak kecemasan berlebihan, koma, dan terjadi konvulsi, kejang, nafas tersengal-sengal, kolaps kardiovaskular, kulit menjadi dingin, berkeringat, dan lembab. Nadi menjadi lemah dan lebih cepat. Tanda terakhr dari toksisitas sianida meliputi hipotensi, aritmia kompleks, gagal jantung, udem pada paru-paru dan kematian (Meredith, 1993).
Warna merah terang pada kulit atau tidak terjadinya sianosis, jarang terjadi dalam keracunan sianida. Secara teoritis tanda ini dapat dijelaskan dengan adanya kandungan yang tinggi dari oksihemoglobin, dalam venus return, tetapi dalam keracunan berat, gagal jantung dapat dicegah. Kadang-kadang sianosis dapat dikenali apabila pasien memiliki bintik merah muda terang (Meredith, 1993).
Gejala yang paling cepat muncul setelah keracunan sianida adalah iritasi pada lidah dan membran mukus serta suara desir darah yang tidak teratur. Gejala dan tanda awal yang terjadi setelah menghirup HCN atau menelan garam sianida adalah kecemasan, sakit kepala, mual, bingung, vertigo, dan hypernoea, yang diikuti dengan dyspnea, sianosis (kebiruan), hipotensi, bradikardi, dan sinus atau aritmea AV nodus. Dalam keracunan stadium kedua, tampak kecemasan berlebihan, koma, dan terjadi kejang, nafas tersengal-sengal, kolaps kardiovaskular, kulit menjadi dingin, berkeringat, dan lembab. Nadi menjadi lemah dan lebih cepat. Tanda terakhir dari toksisitas sianida meliputi hipotensi, aritmia kompleks, gagal jantung, udem pada paru-paru dan kematian (Utomo, 2006).

Patogenesis
Ada berbagai jenis tanaman yang bersifat racun pada ruminansia. Beberapa diantaranya adalah rebung dan singkong. Keduanya disebut tanaman sianogenik karena mengandung toksin glikosida sianogenik. Glikosida sianogenik adalah glikosida yang akan menghasilkan asam sianida (HCN) ketika diproses dalam pencernaan atau ketika terjadi kerusakan pada tanaman glikosida sianogenik sendiri (Smith, 2002).
Ketela mengandung 2 macam glikogen sianogenik, yaitu linamarin dan lotaustralin. Kedua toksin ini akan dipecah oleh enzim hidrolitik yang ada pada tanaman menjadi asam sianida (HCN), aseton, dan glukosa. Kadar HCN pada singkong ini berbeda-beda tergantung umur dari tanaman, kondisi pertumbuhan, perbedaan varietas dan bagian dari tanaman itu sendiri. Kadar HCN pada kulit buah adalah 568-950 mg/kg dan pada daging buah sekitar 2–200 mg/kg. Walaupun begitu, kadar toksisitas minimal (KTM) yang dapat menyebabkan ruminansia sakit tidak diketahui dengan jelas. Toksisitas sering terjadi pada pedet yang mengkonsumsi daun singkong segar dengan kadar HCN180-240 mg/kg. KTM yang sering terjadi pada bebrgaai hewan adalah 2-2,5 mg/kg BB. Pada kasus kronis sapi dewasa, keracunan glikosida sianogenik dapat menurunkan performan (Smith, 2002).
Keracunan glikosida sianogenik ini sering terjadi pada sapi dikarenakan sapi memiliki lambung yang bersifat alkalis (pH 6,5 – 7), memiliki kadar air yang tinggi, dan memiliki enzim mikrofloral yang dapat menghidrolisa glikosida menjadi asam sianida. Tanaman yang mengandung glikosida sianogenik akan melepaskan β-glikosidase dan akan bertemu dengan glikosida sehingga asam sianida bebas akan dilepaskan (Bradford,2002). Jika HCN ini masuk secara ekstraseluler dan mencapai ke usus, maka HCN akan diabsorbsi di dalam usus dan traktus respiratorius (Smith, 2002).
Dalam mekanismenya, proses keracunan oleh sianida ini melibatkan enzim pernafasan selular (sitokrom oksidase). HCN ini memiliki afinitas yang tinggi terhadap trivalent iron yang ada pada molekul sitokrom oksidase. Reaksi ini terjadi di dalam mitokondria, tempat sitokrom oksidase membentuk komplek yang stabil dengan sianida. Dengan demikian proses transpor elektron pada rantai pernafasan sitokrom dihentikan, dan metabolisme oksidasi serta posforilasi dihambat. Dengan demikian, maka sianida menimbulkan hipoksia selular atau “cytotoxic anoxia” (Bahri, 1994).
Di sini oksihemoglobin tidak dapat melepaskan oksigennya untuk proses transpor elektron. Itulah sebabnya mengapa pada keracunan sianida, darah terlihat berwarna merah terang, karena oksigen tidak dapat digunakan oleh sel. Hipoksia yang terjadi pada tingkat susunan syaraf pusat di otak juga mempengaruhi pusat sistem pernafasan (Bahri, 1994).
Dengan adanya methemoglobin (Hb-Fe3+), sianida dapat dilepaskan dari ikatan komplek sianida-sitokrom oksidase (Cyt-Fe2+-CN). Kemudian, enzim rodanase yang ada di mitokondria akan membantu mentransfer sulfur dari tiosulfat ke ion sianida (CN-), sehingga terbentuk tiosianat. Selanjutnya enzim pernafasan dibebaskan, dengan akibat pernafasan sel kembali normal (Bahri, 1994).
Gangguan lain dapat terjadi pada keracunan sianida secara kronis. Di sini muncul gejala-gejala syaraf yang disebut ”tropical ataxic neuropathy” (TAN), lesio pada membran mukosa, spinal cord, dan syaraf-syaraf perifer (Bahri, 1994).
Efek samping tiosianat yang dihasilkan dari metabolisme sianida adalah berupa gangguan pada kelenjar tiroid, terutama pada ternak yang kekurangan iodium. Tetapi hal ini hanya dapat timbul bila kejadiannya kronis (Bahri, 1994).

Terapi
Penanggulangan terutama ditujukan pada hewan-hewan yang menderita gejala keracunan, karena kematian akan segera terjadi apabila tidak cepat-cepat diberi pertolongan. Dalam hal ini, pemberian terapi (treatment) dimaksudkan untuk menguraikan ikatan komplek sianida-sitokrom oksidase, agar sistem pernafasan selular dapat berjalan kembali. Nitrit dan tiosulfat merupakan bahan yang umum dipergunakan dalam menanggulangi keracunan sianida (Bahri, 1994).
Pemberian natrium nitrit (NaNO2) akan menguraikan komplek sianida-sitokrom oksidase dengan membentuk methemoglobin yang akan berkompetisi dengan sitokrom oksidase dalam mengikat sianida, sehingga akan banyak terbentuk sianmethemoglobin (Hb-Fe2+-CN). Beberapa aminofenol dapat memproduksi methemoglobin lebih cepat daripada NaNO2 (Bahri, 1994).
Pemberian natrium tiosulfat (Na2S2O3) akan mengubah sianida menjadi tiosianat dengan bantuan enzim rodanase (sulfurtransferase). Oleh karena itu, paling sering terapi keracunan sianida dilakukan dengan pemberian kombinasi natrium nitrit dan natrium tiosulfat. Dosis yang dianjurkan untuk kedua campuran ini adalah 1 ml NaNO2 20% dan 3 ml Na2S2O3 20%, yang diberikan secara intravena pada hewan yang mempunyai berat badan 45 kg. Untuk sapi dapat juga diberikan 5g NaNO2 dan 15g Na2S2O3 yang dilarutkan dalam 20 ml air (aquades), dan diberikan secara intravena. Sedangkan untuk domba, 1g NaNO2 dan 2,4g Na2S2O3 yang dilarutkan dalam 10 ml akuades, diberikan secara intravena. Atau dapat juga diberikan natrium tiosulfat sebanyak 660 mg/kg yang dikombinasi dengan 6,6 mg/kg natrium nitrit (Bahri, 1994).
Antidota lain yang dapat diberikan untuk menanggulangi keracunan sianida adalah hidroksokobalamin (vitamin B12a), yang dapat bergabung dengan sianida membentuk sianokobalamin (vitaminB12). Tetapi, zat ini mempunyai kelarutan yang rendah dan kurang efektif terhadap keracunan sianida yang hebat (Bahri, 1994).
Pencegahan merupakan cara yang terbaik untuk menanggulangi bahaya keracunan sianida ini, antara lain, dengan cara memindahkan atau menjauhkan kawanan hewan tersebut dari bahan atau pakan yang diduga banyak mengandung sianida (Bahri, 1994).
Saat sitokrom oksidase diikat oleh sianida (CN)
                    Cy + Fe3+ +  CN à Cy + FeCN
                           sitokrom oksidase         sitoksi sianida
Saat penambahan NaNO2
            HbFe3+ + NaNO2 à HbFe3+ + MetHb
            HbFe3+ + Cy + FeCN à HbFeCN + Cy + Fe3+
                                HbFeCN ↔ HbFe3++  CN

Saat penambahan natrium tiosulfat
Na2S2O3 + CN à SCN +  Na2SO4           
satrium tiosulfat    Tiosianat

Perubahan Patologi
Pada pemeriksaan pasca mati akan dijumpai darah yang berwarna merah terang seperti buah cherry, dan biasanya disertai dengan bau bitter almond yang khas pada isi rumen (Bahri, 1994). Lesi non-spesifik seperti edema pulmo, hydrothorax dan kongesti visceral (Utomo, 2008).

Pencegahan dan Penanganan
Pencegahan keracunan ammonia antara lain penanganan pakan yang benar. Penanganan yaitu mengasamkan rumen dengan infus 2-6 liter asam asetat atau 0,5-1 liter pada kambing dan domba (Smith, 2002).

DAFTAR PUSTAKA
Bahri, S., Tarmudji. 1994. Wartazoa Vol.11 No.3 Januari 1994 : Keracunan Sianida pada Ternak dan Cara Mengatasinya. Bogor : Balai Penelitian Peyakit Hewan
Meredith, T.J., 1993. Antidots for Poisoning by Cyanide. Philadelphia : Elsevier
Smith, B. P. 2002. Large Animal Internal Medicine. New York : Mosby
Utomo, R., Budhi, SPS., Agus, A., Noviandi, C.T. 2008. Bahan Pakan Dan Formulasi Ransum. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Widodo, W. 2005. Tanaman Beracun dalam Kehidupan Ternak. Malanag : UMM PRESS.  

No comments:

Post a Comment