Wednesday 8 January 2014

BLOK 15 UP 4



LEARNING OBJECTIVE
1.      Mengetahui displasia abomasum meliputi: etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnose dan cara penanganannya!
2.      Mengetahui manajemen pakan sapi perah, bunting dan produksi susu tinggi!

PEMBAHASAN
1.      Displasia Abomasum
DISPLASIA ABOMASUM
Displasi abomai (DA) adalah gangguan pencernaan pada ruminansia yang disebabkan oleh tergesernya abomasum dari posisi aslinya, ditandai dengan anoreksia total maupun parsial, berkurangnya jumlah tinja yang dikeluarkan, dan pada kebanyakan kejadian diikuti dengan ketonuria yang persisten. Letak abomasum secara normal adalah di bagian ventral rongga perut sebelah kanan, diantara rusuk ke 7-11.
Pergeseran abomasum pada ± 90% kejadian mengarah kekiri (LDA), hingga sebagian besar abomasum tergeser dan terletak di sebelah kiri dari rumen, di belakang omasum, dengan kurvatura mayor abomasum yang terjepit di antara rumen dan dinding perut sebelah ventral. Pada pergeseran abomasum ke arah kanan (RDA) lambung tersebut terletak di antara hati dan dinding perut sebelah kanan, dapat juga tergeser ke belakang sampai di daerah panggul sebelah kanan. Pergeseran abomasum kearah kanan juga sering disebut pembesaran (dilatasi). Jenis yang ketiga yaitu pemuntiran abomasum (VA). Sedangkan ketika abomasum bergeser kedepan (ADA) terletak di antara retikulum dan diafragma. Pada umumnya telah disetujui bahwa istilah DA yang sebenarnya digunakan untuk menggambarkan penggeseran abomasum kearah kiri.
1.    Left Displacement of Abomasum (LDA)
Etiologi
Etiologinya ada beberapa faktor, namun yang sering disebutkan sebagai faktor utama yaitu hipomotilitas abomasum dan timbunan gas. Hipomotilitas menjadi faktor penting karena berhubungan erat dengan hipocalsemia. Hipomotilitas abomasum juga terkait dengan konsumsi konsentrat tinggi, pakan rendah serat sebagai alasan peningkatan konsentrasi asam lemak volatile (VFA). Sekitar 80% displasia abomasum terlihat dalam 1 bulan setelah kelahiran. Kejadian LDA ini lebih sering daripada RDA (Smith, 2002).


Patogenesis
Patogenesis dari LDA melibatkan tiga faktor yaitu rumen sarat, kekosongan perut mendadak setelah melahirkan dan abomasal atoni. Pada saat hewan bunting rahim mengembang dan mendesak organ-organ pencernaan ke arah muka, serta agak mengangkat rumen sehingga posisi abomasum jadi terdesak ke muka di sebelah bawah atau ventral dari rumen. Pada saat setelah kelahiran, karena kosongnya rongga yang semula ditempati janin, rumen yang penuh dengan ingesta akan menindih abomasum yang terdapat di bawahnya (Subronto, 2003).
Oleh karena tergencetnya abomasum volume lambung tersebut menjadi lebih kecil, dan fungsi pencernaan normal pun juga mengalami gangguan. Pada kejadian DA, obstruksi ingesta di dalam abomasum tidak bersifat sempurna, dengan sebagian dari ingesta masih dapat diteruskan ke usus untuk mengalami pencernaan lanjutan dan penyerapan. Karena rasa sakit yang diderita, yang biasanya berlangsung secara progresif, penderita mengalami depresi, nafsu makannya jadi hilang, dan malas bergerak (Subronto, 2003).
Pada kebanyakan peristiwa DA ditemukan adanya ketonuria yang sifatnya persisten. Hal tersebut diduga karena gangguan metabolisme secara umum sebagai akibat kurangnya glukosa di dalam darah. Dengan terpecahnya lemak yang menghasilkan benda-benda keton di dalam kemih ini sering dipakai sebagai ukuran beratnya proses penyakit (Subronto, 2003).
Selain itu, pemberian konsentrat yang berlebihan menyebabkan aliran ingesta dari rumen ke abomasum meningkat, sehingga VFA (Volatile Fat Acid) juga meningkat. Adanya VFA yang meningkat menyebabkan motilitas abomasum turun, akibatnya ingesta tidak bisa ke duodenum karena lubang ke duodenum tersumbat, sehingga gas methana terjebak di dalam abomasum, akibatnya abomasum mudah bergeser (Subronto, 2003).
LDA dapat terjadi sebagai akibat sekunder dari penyakit yang berkaitan dengan endotoksik. Endotoksin dan mediator peradangan seperti histamine dilepas ketika sapi menderita metritis, mastitis dan laminitis dapat menyebabkan penurunan gerak abomasum karena endotoksemia dan sepsis menyebabkan hipocalsemia, yang nantinya akan mendepres tonus dan motilitas abomasum (Smith, 2002).
Gejala klinis
Sapi menderita anoreksia, jumlah fesesnya menurun, berwarna kehitaman dan lembek, suhu tubuh dan pernafasan relatif normal, abdomen terlihat membesar. dapat terlihat bagian abdomen yang asimetris antara kiri dan kanan jika dilihat dari belakang (bagian kiri terlihat lebih besar). frekuensi kontraksi rumen menurun, hypogalactia dan tidak memamah biak, tampak kesakitan, denyut jantung sedikit meningkat menjadi 85 – 90 kali/ menit (Smith, 2002). 
Diagnosa
Diagnosa yang paling menciri dari DA adalah adanya ‘ping sound/tinkling sound’ pada saat perkusi dan auskultasi. Keadaan indukan setelah partus (berhubungan erat dengan hypocalsemia), anoreksia parsial, dan produksi susu menurun juga merupakan perubahan yang dapat dijadikan acuan. Dapat juga ditemui kasus ketosis. Pemeriksaan rektal, dan evaluasi laboratorium juga mendukung diagnosis (Smith, 2002).
Pencegahan
Displasia abomasum dapat dikurangi dengan manajemen pakan yang baik (hijauan berkualitas baik dengan ransum seimbang antara hijauan dengan konsentrat), menghindari perubahan pola makan yang cepat, mempertahankan serat yang cukup dalam pakan, dan menghindari hypocalcemia postpartus (Subronto, 2003).
2.    Right Displacement of Abomasum (RDA)
Etiologi
Pada umumnya RDA diderita oleh sapi-sapi yang sudah tua, dan terjadi 3-6 minggu setelah partus. Kejadian lebih sering pada sapi-sapi perah yang lebih banyak tinggal di kandang. Membesarnya abomasum diduga disebabkan oleh obstruksi atau oleh menurunnya tonus otot-otot abomasum (Smith, 2002).
Patogenesis
Sapi perah yang baru saja melahirkan biasanya diberi pakan konsentrat dengan jumlah lebih banyak dengan harapan susu yang dihasilkan juga banyak. Konsentrat mengandung karbohidrat dan protein tinggi. Karbohidrat dan protein dari konsentrat tersebut sama-sama mengandung karbon, oksigen dan hidrogen yang berkontribusi dalam pembentukan VFA, CH4 dan CO2. Di dalam rumen, karbohidrat mengalami proses metabolisme menjadi glukosa yang sebagian digunakan untuk pertumbuhan sel bakteri rumen, dan sebagian lagi menghasilkan asam asetat, asam propionate dan asam butirat. Sedangkan protein dimetabolisme menjadi peptida yang digunakan untuk menyusun protein mikroba, dan menghasilkan asam asetat, asam propionate, asam butirat, asam valerat, asam isobutirat dan asam isovalerat. Jika konsentrat jumlahnya berlebih, maka VFA yang dihasilkan juga berlebih. VFA ini akan bergerak dari rumen ke retikulum lalu omasum dan abomasum. VFA tinggi menyebabkan penekanan tonus dan motilitas dinding abomasum. Jika abomasum berhenti berkontraksi, akumulasi gas akan terjadi dan abomasum akan cenderung untuk bergerak ke atas perut (Smith, 2002).
Gejala klinis
Gejala klinis meliputi anoreksia, output feses yang menurun, kontraksi rumen menurun, produksi susu menurun, dan area resonan tympani terdengar di sisi kanan (Smith, 2002). 
Pencegahan
Displasia abomasum dapat dikurangi dengan manajemen pakan yang baik (hijauan berkualitas baik dengan ransum seimbang antara hijauan dengan konsentrat), menghindari perubahan pola makan yang cepat, mempertahankan serat yang cukup dalam pakan, dan menghindari hypocalcemia postpartus (Subronto, 2003).

3.    Volvulus Abomasum (VA) / Torsio Abomasum (TA)
Etiologi
Volvulus Abomasum menyebabkan obstruksi total pada aliran ingesta melalui duodenum.  Kejadian RTA lebih jarang daripada LDA dan RDA (Smith, 2002).
Patogenesis
RTA dapat berkembang dari kejadian RDA yang tidak segera ditangani. Rotasi yang paling sering terjadi yaitu pada reticuloomasal junction. Duodenum membelit mengelilingi omasum. Perubahan letak organ ini menyebabkan rotasi berlawanan arah jarum jam pada omasum dan abomasum jika dilihat dari sisi kanan (Smith, 2002).
Gejala klinis
Pada volvulus abomasum, sapi mengalami anoreksia total, penurunan produksi susu sangat drastis dan progresif. Denyut jantung lebih dari 100 kali/ menit, bola mata cekung, dehidrasi, pulsus lemah, distensi bilateral dari abdominal. Jika RTA sudah parah, maka sapi posisinya rebah dan tampak depresi. Kematian terjadi dalam beberapa jam pada fase ini, yang terjadi 1-3 hari setelah terjadinya volvulus. Sapi yang menderita volvulus abomasum akan mengalami hypochloremic dan metablolik alkalosis (Smith, 2002).
Diagnosis
Dilakukan dengan auskultasi dan perkusi secara bersamaan untuk mendengarkan ping sound di sebelah kanan abdomen. Selain itu dapat juga dilihat dari gejala klinis yang terjadi (Smith, 2002).

PENANGANAN
1.    Operasi
a.    Laparoskopi dan Fiksasi
Merupakan cara pengikatan abomasum dengan dinding abdomen dari luar dengan membuat lubang kecil menggunakan alat seperti trokar dan benang yang diberi penahan. Cara ini memang meminimalkan luka tetapi membutuhkan pengetahuan dan pengalaman yang lebih. Ada berbagai metode laparoskopi dan fiksasi, antara lain: percutaneous toggle-pin fixation; two-step laparoscopic reposition and fixation; one-step laparoscopic reposition and fixation pada posisi hewan berdiri dan one-step laparoscopic fixation pada posisi dorsal recumbency. Kelebihan: Cepat dan murah, luka minimal, tanpa pembedahan dinding abdomen. Kelemahan: Berbahaya jika salah tusuk. Point penting: Sangat berbahaya untuk kasus RDA apalagi disertai volvulus (Weaver,2005).
b.   Left Flank Abomasopexy
Hewan masih dalam keadaan berdiri. Digunakan untuk kasus LDA. Merupakan cara terbaik untuk penanganan kasus LDA pada masa kebuntingan tua (8-9 bulan). Inspeksi abomasum dan palpasi reticulum lebih mudah dibandingkan dengan teknik Right flank omentopexy. Teknik yang sangat dianjurkan untuk kebuntingan tua. Jika belum terbiasa tandai terlebih dahulu bagian dari tempat keluarnya jarum. Sebelum melakukan fiksasi ke ventral abdomen pastikan tidak  ada usus yang ikut terikat. Kelemahannya abomasum harus berada dalam posisi yang lebih atas. Operator harus dibantu dalam melakukan penusukan jarum ke dinding  ventral abdomen. Membutuhkan lengan yang panjang. Fistula dapat terjadi jika abomasum sobek dari jahitan. Resiko tertusuk atau sobeknya vena mammaria. (Weaver,2005).
c.       Right Flank Omentopexy
Right flank
 
Hewan masih dalam keadaan berdiri. Dapat dipakai untuk kasus LDA, RDA maupun volvulus. Manipulasi terhadap abomasum minimal. Mudah untuk mengidentifikasi  jika terjadi volvulus. Handle omentum harus dengan hati-hati. Tempat fiksasi sebaiknya 5-7 cm caudal dan dorsal dari pylorus. Kelemahannya Sulit untuk melakukan reposisi abomasum dan fiksasi terutama pada kasus LDA. Abomasum sulit untuk dilihat. Resiko terjadinya kontaminasi saat melakukan pengeluaran gas. Kemungkinan untuk kambuh kembali jika lokasi fiksasi terlalu caudal atau terlalu dorsal dari pylorus (Weaver,2005).






































































d.      Paramedian Abomasopexy
Dengan metode ini perlekatan antara abomasum dan dinding abdomen sangat kuat. Fiksasi  abomasum pada posisi normal. Inspeksi abomasum sangat jelas. Jahitan jangan sampai melewati mukosa abomasum. Harus digunakan benang monofilamen untuk menutup dinding abdomen. Kelemahannya restrain hewan sangat sulit jika tidak tersedia peralatan yang memadai. Kontra indikasi untuk hewan yang mengalami pneumonia atau dalam keadaan shock.  Resiko terjadinya infeksi luka bekas incisi (Weaver,2005).

2.    Non – Operasi
a.      Rolling Technique
Pertolongan sederhana di dalam praktek lapangan dapat dapat dilakukan dengan rolling technique. Penderita diikat kaki-kakinya, terlentangkan, kemudian badannya digoyang-goyangkan ke arah kanan dan ke kiri beberapa kali. Dengan cara tersebut mungkin DA dapat disembuhkan. Dapat pula setelah kaki-kaki diikat, badan dibalikkan searah dengan jarum jam, dilihat dari kepala. Pemutaran badan tersebut dihentikan secara mendadak. Bila perlu gerakan tersebut diulangi beberapa kali. Kelebihan cara ini murah, tanpa operasi. Kelemahannya tingkat keberhasilan rendah. Kemungkinan untuk kambuh lagi besar serta untuk melakukannya membutuhkan banyak tenaga. Berbahaya  apalagi untuk hewan bunting (Scott, 2011).
b.      Puasa dan exercise
Merupakan cara yang sering dilakukan di lapangan apabila tidak mungkin dilakukan operasi. Cara ini dilakukan karena kebanyakan kejadian Displasia Abomasum yang ditemui akibat kesalahan manajemen dan pemberian pakan. Terapi ini dilakukan dengan menghentikan total pemberian konsentrat dan membiarkan sapi untuk berjalan-jalan di tempat yang lapang untuk beberapa hari. Tujuan terapi ini adalah mencegah bertambahnya akumulasi gas dan mengharapkan pergeseran abomasum ke posisi normal. Tingkat keberhasilan dengan cara ini memang kecil tapi sampai sejauh ini masih menjadi pilihan karena masih tingginya ketakutan peternak dengan operasi.
c.       Terapi Pengobatan Supportif
Terapi yang dapat diberikan yaitu dengan memberikan garam inggris. Terapi ini berfungsi sebagai obat pencahar yang ditujukan agar isi rumen yang ada di dalam dapat dikeluarkan. Setelah ditunggu ± 30 menit- 1 jam terlihat hasil bahwa sapi mengeluarkan feses berwarna hitam, encer dan berbau busuk yang dapat disebabkan karena akumulasi bakteri dalam saluran pencernaan. Terapi selanjutnya yaitu dengan pemberian multivitamin (Vit A, Vit D3, Vit E, Vit B kompleks) untuk menambah nafsu makan dan memperbaiki kondisi tubuh. Injeksi sulpidon 10 cc IM sebagai analgesik, antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh kembali normal dan sebagai antispasmodik. Kemudian injeksi Intertrim LA 20 cc IM  untuk menghilangkan infeksi pada saluran pencernaan. Pada hewan yang dehidrasi dapat diberikan NaCl 7,2%, 5 ml / kg,  secara intravena (Scott, 2011).

2.      Manajemen Sapi Produksi Susu Tinggi
MANAJEMEN PAKAN UNTUK SAPI PERAH
Pakan sapi perah terdiri dari hijauan sebanyak 60% (hijauan berupa jerami padi, pucuk daun tebu, lamtoro, rumput gajah, rumput benggala atau rumput raja, daun jagung, daun ubi dan daun kacang-kacangan) dan konsentrat (40%). Umumnya pakan diberikan dua kali perhari pada pagi dan sore. Konsentrat diberikan sebelum pemerahan sedangkan rumput diberikan setelah pemerahan. Hijauan diberikan siang hari setelah pemerahan sebanyak 30-50 kg/ekor/hari.
Pemberian pakan pada sapi perah dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu sistem penggembalaan, sistem perkandangan atau intensif dan sistem kombinasi keduanya. Pemberian jumlah pakan berdasarkan periode sapi seperti anak sapi sampai sapi dara, periode bunting, periode kering kandang dan laktasi. Pada anak sapi pemberian konsentrat lebih tinggi daripada rumput. Pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan sebanyak 10% dari bobot badan (BB) dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari BB. Sapi yang sedang menyusui (laktasi) memerlukan makanan tambahan sebesar 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya. Hijauan yang berupa rumput segar sebaiknya ditambah dengan jenis kacang-kacangan (legum).
Sumber karbohidrat berupa dedak halus atau bekatul, ampas tahu, gaplek, dan bungkil kelapa serta mineral (sebagai penguat) yang berupa garam dapur, kapur, dll. Pemberian pakan konsentrat sebaiknya diberikan pada pagi hari dan sore hari sebelum sapi diperah sebanyak 1-2 kg/ekor/hari. Selain makanan, sapi harus diberi air minum sebanyak 10% dari berat badan perhari. Pemeliharaan utama adalah pemberian pakan yang cukup dan berkualitas, serta menjaga kebersihan kandang dan kesehatan ternak yang dipelihara. Pemberian pakan secara intensif dikombinasikan dengan penggembalaan. Di awal musim kemarau, setiap hari sapi digembalakan. Di musim hujan sapi dikandangkan dan pakan diberikan menurut jatah. Penggembalaan bertujuan pula untuk memberi kesempatan bergerak pada sapi guna memperkuat kakinya (Wahiduddin, 2009).

DAFTAR PUSTAKA
Scott, P.R, Penny, C.D, Macrae, A.I., 2011. Cattle Medicine. London : Manson Publishing
Smith, B. P. 2002. Large Animal Internal Medicine. New York : Mosby
Subronto, 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Wahiduddin, M. 2009. Manajemen Pengelolaan Sapi Perah. Accessed from: http://duniaveteriner.com/2009/05/manajemen-pengelolaan-sapi-perah/print at January 8th 2014
Weaver, D. 2005. Bovine Surgery and Lameness. Oxford : Blackwell Publishing

No comments:

Post a Comment