LEARNING
OBJECTIVE
1. Mengetahui
displasia abomasum meliputi: etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnose dan
cara penanganannya!
2. Mengetahui
manajemen pakan sapi perah, bunting dan produksi susu tinggi!
PEMBAHASAN
1. Displasia
Abomasum
DISPLASIA ABOMASUM
Displasi abomai (DA) adalah gangguan pencernaan pada
ruminansia yang disebabkan oleh tergesernya abomasum dari posisi aslinya,
ditandai dengan anoreksia total maupun parsial, berkurangnya jumlah tinja yang
dikeluarkan, dan pada kebanyakan kejadian diikuti dengan ketonuria yang
persisten. Letak abomasum secara normal adalah di bagian ventral rongga perut
sebelah kanan, diantara rusuk ke 7-11.
Pergeseran
abomasum pada ± 90% kejadian mengarah kekiri (LDA), hingga sebagian besar
abomasum tergeser dan terletak di sebelah kiri dari rumen, di belakang omasum,
dengan kurvatura mayor abomasum yang terjepit di antara rumen dan dinding perut
sebelah ventral. Pada pergeseran abomasum ke arah kanan (RDA) lambung tersebut
terletak di antara hati dan dinding perut sebelah kanan, dapat juga tergeser ke
belakang sampai di daerah panggul sebelah kanan. Pergeseran abomasum kearah
kanan juga sering disebut pembesaran (dilatasi). Jenis yang ketiga yaitu
pemuntiran abomasum (VA). Sedangkan ketika abomasum bergeser kedepan (ADA) terletak
di antara retikulum dan diafragma. Pada umumnya telah disetujui bahwa istilah
DA yang sebenarnya digunakan untuk menggambarkan penggeseran abomasum kearah
kiri.
1.
Left
Displacement of Abomasum (LDA)
Etiologi
Etiologinya ada beberapa faktor,
namun yang sering disebutkan sebagai faktor utama yaitu hipomotilitas abomasum
dan timbunan gas. Hipomotilitas menjadi faktor penting karena berhubungan erat
dengan hipocalsemia. Hipomotilitas abomasum juga terkait dengan konsumsi
konsentrat tinggi, pakan rendah serat sebagai alasan peningkatan konsentrasi
asam lemak volatile (VFA). Sekitar 80% displasia abomasum terlihat dalam 1
bulan setelah kelahiran. Kejadian LDA ini lebih sering daripada RDA (Smith,
2002).
Patogenesis
Patogenesis dari LDA melibatkan tiga faktor yaitu
rumen sarat, kekosongan perut mendadak setelah melahirkan dan abomasal atoni.
Pada saat hewan bunting rahim mengembang dan mendesak organ-organ pencernaan ke
arah muka, serta agak mengangkat rumen sehingga posisi abomasum jadi terdesak
ke muka di sebelah bawah atau ventral dari rumen. Pada saat setelah kelahiran,
karena kosongnya rongga yang semula ditempati janin, rumen yang penuh dengan
ingesta akan menindih abomasum yang terdapat di bawahnya (Subronto, 2003).
Oleh karena tergencetnya abomasum volume lambung
tersebut menjadi lebih kecil, dan fungsi pencernaan normal pun juga mengalami
gangguan. Pada kejadian DA, obstruksi ingesta di dalam abomasum tidak bersifat
sempurna, dengan sebagian dari ingesta masih dapat diteruskan ke usus untuk
mengalami pencernaan lanjutan dan penyerapan. Karena rasa sakit yang diderita,
yang biasanya berlangsung secara progresif, penderita mengalami depresi, nafsu
makannya jadi hilang, dan malas bergerak (Subronto, 2003).
Pada kebanyakan peristiwa DA ditemukan adanya
ketonuria yang sifatnya persisten. Hal tersebut diduga karena gangguan
metabolisme secara umum sebagai akibat kurangnya glukosa di dalam darah. Dengan
terpecahnya lemak yang menghasilkan benda-benda keton di dalam kemih ini sering
dipakai sebagai ukuran beratnya proses penyakit (Subronto, 2003).
Selain itu, pemberian konsentrat yang berlebihan
menyebabkan aliran ingesta dari rumen ke abomasum meningkat, sehingga VFA
(Volatile Fat Acid) juga meningkat. Adanya VFA yang meningkat menyebabkan motilitas
abomasum turun, akibatnya ingesta tidak bisa ke duodenum karena lubang ke
duodenum tersumbat, sehingga gas methana terjebak di dalam abomasum, akibatnya
abomasum mudah bergeser (Subronto, 2003).
LDA dapat terjadi sebagai akibat sekunder dari penyakit
yang berkaitan dengan endotoksik. Endotoksin dan mediator peradangan seperti
histamine dilepas ketika sapi menderita metritis, mastitis dan laminitis dapat
menyebabkan penurunan gerak abomasum karena endotoksemia dan sepsis menyebabkan
hipocalsemia, yang nantinya akan mendepres tonus dan motilitas abomasum (Smith,
2002).
Gejala
klinis
Sapi menderita
anoreksia, jumlah fesesnya menurun, berwarna kehitaman dan lembek, suhu tubuh
dan pernafasan relatif normal, abdomen terlihat membesar. dapat terlihat bagian
abdomen yang asimetris antara kiri dan kanan jika dilihat dari belakang (bagian
kiri terlihat lebih besar). frekuensi kontraksi rumen menurun, hypogalactia dan
tidak memamah biak, tampak kesakitan, denyut jantung sedikit meningkat menjadi
85 – 90 kali/ menit (Smith, 2002).
Diagnosa
Diagnosa yang
paling menciri dari DA adalah adanya ‘ping sound/tinkling sound’ pada saat
perkusi dan auskultasi. Keadaan indukan setelah partus (berhubungan erat dengan
hypocalsemia), anoreksia parsial, dan produksi susu menurun juga merupakan
perubahan yang dapat dijadikan acuan. Dapat juga ditemui kasus ketosis.
Pemeriksaan rektal, dan evaluasi laboratorium juga mendukung diagnosis (Smith,
2002).
Pencegahan
Displasia
abomasum dapat dikurangi dengan manajemen pakan yang baik (hijauan berkualitas
baik dengan ransum seimbang antara hijauan dengan konsentrat), menghindari
perubahan pola makan yang cepat, mempertahankan serat yang cukup dalam pakan,
dan menghindari hypocalcemia postpartus (Subronto, 2003).
2.
Right
Displacement of Abomasum (RDA)
Etiologi
Pada umumnya RDA
diderita oleh sapi-sapi yang sudah tua, dan terjadi 3-6 minggu setelah partus.
Kejadian lebih sering pada sapi-sapi perah yang lebih banyak tinggal di
kandang. Membesarnya abomasum diduga disebabkan oleh obstruksi atau oleh
menurunnya tonus otot-otot abomasum (Smith, 2002).
Patogenesis
Sapi
perah yang baru saja melahirkan biasanya diberi pakan konsentrat dengan jumlah
lebih banyak dengan harapan susu yang dihasilkan juga banyak. Konsentrat
mengandung karbohidrat dan protein tinggi. Karbohidrat dan protein dari
konsentrat tersebut sama-sama mengandung karbon, oksigen dan hidrogen yang
berkontribusi dalam pembentukan VFA, CH4 dan CO2. Di
dalam rumen, karbohidrat mengalami proses metabolisme menjadi glukosa yang sebagian
digunakan untuk pertumbuhan sel bakteri rumen, dan sebagian lagi menghasilkan
asam asetat, asam propionate dan asam butirat. Sedangkan protein dimetabolisme
menjadi peptida yang digunakan untuk menyusun protein mikroba, dan menghasilkan
asam asetat, asam propionate, asam butirat, asam valerat, asam isobutirat dan
asam isovalerat. Jika konsentrat jumlahnya berlebih, maka VFA yang dihasilkan
juga berlebih. VFA ini akan bergerak dari rumen ke retikulum lalu omasum dan
abomasum. VFA tinggi menyebabkan penekanan tonus dan motilitas dinding
abomasum. Jika abomasum berhenti berkontraksi, akumulasi
gas akan terjadi dan abomasum akan cenderung untuk bergerak ke atas perut (Smith,
2002).
Gejala
klinis
Gejala klinis
meliputi anoreksia, output feses yang menurun, kontraksi rumen menurun,
produksi susu menurun, dan area resonan tympani terdengar di sisi kanan (Smith,
2002).
Pencegahan
Displasia
abomasum dapat dikurangi dengan manajemen pakan yang baik (hijauan berkualitas
baik dengan ransum seimbang antara hijauan dengan konsentrat), menghindari
perubahan pola makan yang cepat, mempertahankan serat yang cukup dalam pakan,
dan menghindari hypocalcemia postpartus (Subronto, 2003).
3.
Volvulus
Abomasum (VA) / Torsio Abomasum (TA)
Etiologi
Volvulus
Abomasum menyebabkan obstruksi total pada aliran ingesta melalui duodenum. Kejadian RTA lebih jarang daripada LDA dan
RDA (Smith, 2002).
Patogenesis
RTA
dapat berkembang dari kejadian RDA yang tidak segera ditangani. Rotasi yang
paling sering terjadi yaitu pada reticuloomasal
junction. Duodenum membelit mengelilingi omasum. Perubahan letak organ ini
menyebabkan rotasi berlawanan arah jarum jam pada omasum dan abomasum jika
dilihat dari sisi kanan (Smith, 2002).
Gejala
klinis
Pada
volvulus abomasum, sapi mengalami anoreksia total, penurunan produksi susu
sangat drastis dan progresif. Denyut jantung lebih dari 100 kali/ menit, bola
mata cekung, dehidrasi, pulsus lemah, distensi bilateral dari abdominal. Jika
RTA sudah parah, maka sapi posisinya rebah dan tampak depresi. Kematian terjadi
dalam beberapa jam pada fase ini, yang terjadi 1-3 hari setelah terjadinya
volvulus. Sapi yang menderita volvulus abomasum akan mengalami hypochloremic
dan metablolik alkalosis (Smith, 2002).
Diagnosis
Dilakukan dengan
auskultasi dan perkusi secara bersamaan untuk mendengarkan ping sound di sebelah kanan abdomen. Selain itu dapat juga dilihat
dari gejala klinis yang terjadi (Smith, 2002).
PENANGANAN
1.
Operasi
a. Laparoskopi dan Fiksasi
Merupakan
cara pengikatan abomasum dengan dinding abdomen dari luar dengan membuat lubang
kecil menggunakan alat seperti trokar dan benang yang diberi penahan. Cara ini
memang meminimalkan luka tetapi membutuhkan pengetahuan dan pengalaman yang lebih.
Ada berbagai metode laparoskopi dan fiksasi, antara lain: percutaneous toggle-pin fixation; two-step laparoscopic reposition and
fixation; one-step laparoscopic reposition and fixation pada posisi hewan berdiri dan one-step laparoscopic fixation pada posisi dorsal recumbency. Kelebihan:
Cepat dan murah, luka minimal, tanpa pembedahan dinding abdomen. Kelemahan: Berbahaya jika salah tusuk. Point penting: Sangat berbahaya untuk
kasus RDA apalagi disertai volvulus (Weaver,2005).
b.
Left Flank Abomasopexy
Hewan masih dalam keadaan berdiri.
Digunakan untuk kasus LDA. Merupakan cara terbaik untuk penanganan kasus LDA
pada masa kebuntingan tua (8-9 bulan). Inspeksi abomasum dan palpasi reticulum
lebih mudah dibandingkan dengan teknik Right flank omentopexy. Teknik yang
sangat dianjurkan untuk kebuntingan tua. Jika belum terbiasa tandai terlebih
dahulu bagian dari tempat keluarnya jarum. Sebelum melakukan fiksasi ke ventral
abdomen pastikan tidak ada usus yang ikut terikat. Kelemahannya abomasum
harus berada dalam posisi yang lebih atas. Operator harus dibantu dalam
melakukan penusukan jarum ke dinding ventral abdomen. Membutuhkan lengan
yang panjang. Fistula dapat terjadi jika abomasum sobek dari jahitan. Resiko
tertusuk atau sobeknya vena mammaria. (Weaver,2005).
c.
Right
Flank Omentopexy
|
d.
Paramedian Abomasopexy
Dengan
metode ini perlekatan antara abomasum dan dinding abdomen sangat kuat.
Fiksasi abomasum pada posisi normal. Inspeksi abomasum sangat jelas.
Jahitan jangan sampai melewati mukosa abomasum. Harus digunakan benang
monofilamen untuk menutup dinding abdomen. Kelemahannya restrain hewan sangat
sulit jika tidak tersedia peralatan yang memadai. Kontra indikasi untuk hewan
yang mengalami pneumonia atau dalam keadaan shock. Resiko terjadinya
infeksi luka bekas incisi (Weaver,2005).
2.
Non
– Operasi
a.
Rolling Technique
Pertolongan
sederhana di dalam praktek lapangan dapat dapat dilakukan dengan rolling
technique. Penderita diikat kaki-kakinya, terlentangkan, kemudian badannya
digoyang-goyangkan ke arah kanan dan ke kiri beberapa kali. Dengan cara
tersebut mungkin DA dapat disembuhkan. Dapat pula setelah kaki-kaki diikat,
badan dibalikkan searah dengan jarum jam, dilihat dari kepala. Pemutaran badan
tersebut dihentikan secara mendadak. Bila perlu gerakan tersebut diulangi
beberapa kali. Kelebihan cara ini murah, tanpa operasi. Kelemahannya
tingkat keberhasilan rendah. Kemungkinan untuk kambuh lagi besar serta untuk
melakukannya membutuhkan banyak tenaga. Berbahaya
apalagi untuk hewan bunting (Scott, 2011).
b.
Puasa dan exercise
Merupakan cara yang sering
dilakukan di lapangan apabila tidak mungkin dilakukan operasi. Cara ini
dilakukan karena kebanyakan kejadian Displasia Abomasum yang ditemui akibat
kesalahan manajemen dan pemberian pakan. Terapi ini dilakukan dengan
menghentikan total pemberian konsentrat dan membiarkan sapi untuk
berjalan-jalan di tempat yang lapang untuk beberapa hari. Tujuan terapi ini
adalah mencegah bertambahnya akumulasi gas dan mengharapkan pergeseran abomasum
ke posisi normal. Tingkat keberhasilan dengan cara ini memang kecil tapi sampai
sejauh ini masih menjadi pilihan karena masih tingginya ketakutan peternak
dengan operasi.
c.
Terapi Pengobatan Supportif
Terapi yang dapat diberikan yaitu dengan memberikan garam inggris.
Terapi ini berfungsi sebagai obat pencahar yang ditujukan agar isi rumen yang
ada di dalam dapat dikeluarkan. Setelah ditunggu ± 30 menit- 1 jam terlihat
hasil bahwa sapi mengeluarkan feses berwarna hitam, encer dan berbau busuk yang
dapat disebabkan karena akumulasi bakteri dalam saluran pencernaan. Terapi
selanjutnya yaitu dengan pemberian multivitamin (Vit A, Vit D3, Vit E, Vit B
kompleks) untuk menambah nafsu makan dan memperbaiki kondisi tubuh. Injeksi
sulpidon 10 cc IM sebagai analgesik, antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh
kembali normal dan sebagai antispasmodik. Kemudian injeksi Intertrim LA 20 cc
IM untuk menghilangkan infeksi pada
saluran pencernaan. Pada hewan yang dehidrasi dapat diberikan NaCl
7,2%, 5 ml / kg, secara intravena
(Scott, 2011).
2. Manajemen
Sapi Produksi Susu Tinggi
MANAJEMEN
PAKAN UNTUK SAPI PERAH
Pakan sapi perah terdiri dari hijauan sebanyak 60% (hijauan berupa
jerami padi, pucuk daun tebu, lamtoro, rumput gajah, rumput benggala atau
rumput raja, daun jagung, daun ubi dan daun kacang-kacangan) dan konsentrat
(40%). Umumnya pakan diberikan dua kali perhari pada pagi dan sore. Konsentrat
diberikan sebelum pemerahan sedangkan rumput diberikan setelah pemerahan.
Hijauan diberikan siang hari setelah pemerahan sebanyak 30-50 kg/ekor/hari.
Pemberian pakan pada sapi perah dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu
sistem penggembalaan, sistem perkandangan atau intensif dan sistem kombinasi
keduanya. Pemberian jumlah pakan berdasarkan periode sapi seperti anak sapi
sampai sapi dara, periode bunting, periode kering kandang dan laktasi. Pada
anak sapi pemberian konsentrat lebih tinggi daripada rumput. Pakan berupa
rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan sebanyak 10% dari bobot badan (BB)
dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari BB. Sapi yang sedang menyusui (laktasi)
memerlukan makanan tambahan sebesar 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya.
Hijauan yang berupa rumput segar sebaiknya ditambah dengan jenis
kacang-kacangan (legum).
Sumber karbohidrat berupa dedak halus atau bekatul, ampas tahu, gaplek,
dan bungkil kelapa serta mineral (sebagai penguat) yang berupa garam dapur,
kapur, dll. Pemberian pakan konsentrat sebaiknya diberikan pada pagi hari dan
sore hari sebelum sapi diperah sebanyak 1-2 kg/ekor/hari. Selain makanan, sapi
harus diberi air minum sebanyak 10% dari berat badan perhari. Pemeliharaan
utama adalah pemberian pakan yang cukup dan berkualitas, serta menjaga
kebersihan kandang dan kesehatan ternak yang dipelihara. Pemberian pakan secara
intensif dikombinasikan dengan penggembalaan. Di awal musim kemarau, setiap
hari sapi digembalakan. Di musim hujan sapi dikandangkan dan pakan diberikan
menurut jatah. Penggembalaan bertujuan pula untuk memberi kesempatan bergerak
pada sapi guna memperkuat kakinya (Wahiduddin, 2009).
DAFTAR
PUSTAKA
Scott, P.R, Penny, C.D, Macrae, A.I.,
2011. Cattle Medicine. London :
Manson Publishing
Smith,
B. P. 2002. Large Animal Internal
Medicine. New York : Mosby
Subronto, 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Wahiduddin, M. 2009. Manajemen Pengelolaan Sapi Perah. Accessed from: http://duniaveteriner.com/2009/05/manajemen-pengelolaan-sapi-perah/print
at January 8th 2014
Weaver, D. 2005. Bovine Surgery
and Lameness. Oxford : Blackwell Publishing
No comments:
Post a Comment