BAB I
ABSTRAK
Indigesti
simpleks merupakan gangguan fungsi saluran pencernaan minor pada ruminansia.
Indigesti simpleks biasanya terjadi karena adanya perubahan kualitas atau kuantitas
diet.
Hampir
semua faktor diet yang dapat mengubah keadaan rumen dapat menyebabkan indigesti
simpleks. Penyakit ini umumnya terjadi pada sapi perah yang diberi makan (hand-fed) dan sapi pedaging karena
variasi kualitas dan kuantitas pakan mereka. Indigesti simpleks dapat terjadi
karena perubahan pakan, penggunaan pakan beku atau sudah basi, memasukkan urea
ke diet, dan lain – lain.
Ruminal
atony dapat mengikuti indigesti simpleks setelah terjadi perubahan pH pada isi
rumen yang disebabkan fermentasi berlebihan atau pembusukan pakan. Akumulasi
dari jumlah pakan berlebihan yang tidak dapat dicerna dalam rumen dapat
memperburuk fungsi rumen selama1 1-2 hari (Merck & Co., Inc. 2008).
BAB
II
RIWAYAT
KASUS
A.
Ambulatoir
Pemeriksaan
dilakukan pada hari Rabu 7 Januari 2013 dimulai
pada pukul 13.30
WIB dan selesai pada pukul 15.00
WIB.
Nama
pemilik : Koperasi Warga Mulya
Alamat : Cemoro Harjo, Cangkringan,
Sleman, Yogyakarta
Macam
Hewan : Sapi
Nama
Hewan : -
Signalemen :
Breed :
PFH (Peranakan Frisian Holstein)
Sex :
Betina
Age :
10 Bulan
Spesific patern : Warna tubuh putih dan hitam
B.
Anamnesa
Sapi datang 3 hari yang lalu, diberi pakan HMT saja
C.
Status
Presens
1. Keadaan Umum : BCS 2, Berdiri normal, nafsu makan
normal
2. Frek Nafas : 34x/menit Frek Pulsus: 92x/menit Panas Badan: 39,4 C
3. Kulit dan Rambut : Normal, ada scabies (Kutu Sarcoptes
scabei)
4. Selaput Lendir : Normal
5. Kelenjar-kelenjar limfe:
Normal, tidak ada kebengkakan
6. Pernafasan : Kuat dan Cepat
7. Peredaran darah : Nomal (Sistol dan Diastol dapat
dibedakan)
8. Pencernaan : Tonus rumen 7x/5 menit,
Lemah
9. kelamin : Normal dan bersih
10. Saraf : Normal tidak ada
kelainan
11. Anggota Gerak : Normal, bisa jalan menggunakan ke
4 kakinya, berdiri tegak
12. Lain-Lain: BB: 150 Kg
D.
Diagnosa
Diagnosa diambil berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan kondisi umum, gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium yang
meliputi pemeriksaan darah. Diagnosa sementara yang bisa diambil adalah
indigesti simplek / Indigesti sederhana.
E.
Prognosis
Fausta
F.
Tata
Laksana / Terapi
1.
Vitamin B1 10 ml
Vitamin B1 mempunyai fungsi sebagai :
·
Mengatasi
kelesuan dan gangguan metabolism
·
Menambah nafsu
makan, memperbaiki kondisi tubuh, meningkatkan daya tahan tubuh
·
Memperbaiki
pertumbuhan
·
Memelihara
fungsi normal pada sistem syaraf
·
Suplemen vitamin
setelah pengobatan antibiotic
·
Terutama
diperlukan pada semua keadaan akibat defisiensi vitamin B
2.
Vetadryl 6ml
·
Isi : Setiap mg mengandung
dipenhidramin HCL 20 mg
·
Dosis : Hewan kecil (anjing, kucing) 0,1
ml/kgBB. Hewan besar (kuda,
sapi) 1,0
ml/20 kg BB
·
Indikasi : Pengobatan reaksi alergi
seperti urtikaria, reaksi anafilatik, dermatitis alergi, rhinitis alergi,
pruritis, gatal-gatal pada peradangan pada peradangan dan asma bronkial. Pencegahan
dan pengobatan mabuk dan sebagai antiemetik pada hewan kecil. Sebagai
terapi tambahan untuk laminitis aseptik pada sapi.
G. Saran
Pemberian makanan
penguat atau makanan kasar perlu dihentikan sementara. Sebaliknya, pakan
hijauan segar akan lebih menarik bagi penderita. Air minum bila perlu diberi
garam dapur, harus disediakan secara ad libitum. Menghindari perubahan pakan
yang mendadak dengan kandungan serat kasar tinggi serta tidak diimbangi dengan
cairan yang cukup karena akan memudahkan terjadinya indigesti.
BAB
III
PEMBAHASAN
Dari
hasil inspeksi dilihat keadaaan sapi sedang dan ekspresi muka biasa dan sayu
serta agak takut/stress. Kemungkinan sapi stress dikarenakan banyak praktikan
dan praktikan dalam restrain sapi kurang halus/terlalu memaksakan sehingga sapi
stress. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan umum meliputi penghitungan frekuensi
nafas, pulsus dan suhu. Frekuensi nafas dapat dihitung dengan memperhatikan
gerak rongga dada pada saat hewan istirahat, frekuensi nafas sapi 34
kali/menit. Menurut Surono (1975), frekuensi nafas normal sapi adalah
24-42kali/menit, sehingga bisa dikatakan bahwa frekuensi pernafasan sapi
tersebut normal. Untuk mendapatkan frekuensi pulsus diraba pada a.coccygea di
sebelah ventral dari pangkal ekor. Frekuensi pulsus sapi 92 kali/menit. Menurut
Surono (1975), frekuensi pulsus sapi normal adalah 54-84 kali/meni,sehingga
bisa dikatakan pulsusnya begitu cepat kemungkinan dikarenakan kondisi stress.
Pengukuran suhu tubuh dilakukan dengan meletakkan termometer pada
anus sapi, suhu tubuh sapi 39,40C, ini menunjukkan bahwa sapi tersebut
masih dalam keadaan suhu tinggi, karena kisaran suhu sapi normal menurut Surono
(1975) adalah 37,6 – 39,20C.
Pemeriksaan
selanjutnya adalah pemeriksaan kulit dan rambut. Pada pemeriksaan ini
terlihat bahwa saat bagian
punggung sapi diusap dengan arah yang berlawanan dari
rambut diketahui bahwa rambut sapi sedikit ada kerontokan, agak kusam dan agak kasar. Pada Kondisi kulit juga
terdapat lesi lesi akibat gigitan kutu Sarcoptes scabei dikarenakan
kondisi dalam kandang kotor dan jarang dibersihkan. Pada pemeriksaan selaput lendir
dilakukan dengan memeriksa konjungtiva mata dan cermin hidung sapi. Konjungtiva mata sapi berwarna pink dan cermin hidung basah. Berdasarkan (Subronto, 2003) gejala yang nampak pada sapi
normal sesuai dengan literatur tersebut, yaitu konjungtiva merah muda, dan cermin hidung basah. Pemeriksaan
selanjutnya adalah pemeriksaan kelenjar-kelenjar limfe. Pada pemeriksaan
kelenjar-kelenjar limfe diketahui bahwa limfoglandula pada sapi normal,dan
tidak ada perubahan apapun pada limfoglandula.
Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan saluran pernafasan. Pemeriksaan paru-paru dilakukan dengan auskultasi.
Pada pemeriksaan ini diketahui sapi mengeluarkan suara vesikuler dengan tipe pernapasan thoracoabdominal. Hal ini
normal sesuai dengan literatur. Selanjutnya dilakukan
pemeriksaan peredaran darah. Pemeriksaan dilakukan
didaerah pekak jantung dengan cara auskultasi pada rongga intercostae ke-5 dan ke-3
pada dada sebelah
kiri kira-kira setinggi persendian siku (Subronto, 2003). Saat diauskultasi suara sistole dan diastole dapat
dibedakan (ritmis). Hal ini menunjukkan bahwa jantung, terutama katup
jantung, tidak mengalami gangguan sehingga jantung terdengar ritmis, selain itu
tidak terdengar suara-suara abnormal saat auskultasi. Berdasarkan
perbandingan antara literatur dan hasil pemeriksaan dapat dikatakan bahwa
peredaran darah sapi dalam keadaan normal.
Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan saluran pencernaan. Hal yang dilakukan pertama
adalah memeriksa area mulut untuk mengetahui ada tidaknya lesi dan ternyata
normal, setelah itu palpasi esophagus dan tampak normal karena tidak adanya
efek kesakitan saat dipalpasi. Langkah selanjutnya yakni menghitung tonus
rumen, caranya adalah dengan menekan daerah lekuk paralumbar sebelah
kiri/flank dengan kepalan tinju. Didapatkan tonus rumen pedet tonus rumen 7 kali/5 menit
(normal: 5-10 kali/5 menit), gerakan peristaltik bisa dilihat dengan auskultasi
dan terdengar gerakan peristaltik yang seirama, akan tetapi gerakan
ini terasa lemah. Sedangkan feses terlihat berwarna hitam
gelap dan keras. Adanya feses yang mengeras ini kemungkinan karena terlalu lama
berada di dalam intestinum akibat dari pemberian pakan yang terlalu banyak
mengandung serat yang tidak diimbangi dengan pemberian cairan yang mencukupi
sehingga bisa menimbulkan gangguan metabolisme pencernaan seperti indigesti
sederhana maupun bisa juga sumbatan usus (obstruksi usus).
Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan kelamin dan perkencingan (urogenital), yaitu bersih, mukosa pink pucat, tidak ada leleran dan urinasi normal dan
dapat disimpulkan bahwa kelamin dan perkencingan tidak ada perubahan.
Selanjutnya diilakukan pemeriksaan saraf. Reflek palpebra dengan cara
menggerakkan tangan ke arah mata pedet, pedet menggerakan kelopak matanya. Pada
pemeriksaan anggota gerak, dari hasil inspeksi terlihat pedet berdiri tegak
dengan keempat kakinya.
Dari
hasil pemeriksaan darah di laboratorium diketahui:
Tes
|
Unit
|
Hasil Lab
|
Literatur
(Schalm’s, 2010)
|
Interpretasi
|
Hematokrit (PCV)
|
%
|
27
|
21 – 30
|
Normal
|
Hemoglobin
|
g/dl
|
9,0
|
8,4 – 12
|
Normal
|
Eritrosit
|
X 106/µl
|
4,71
|
4,9 – 7,5
|
Rendah
|
MCV
|
Fl
|
-
|
36 – 50
|
-
|
MCH
|
Pg
|
-
|
14 – 19
|
-
|
MCHC
|
g/dl / %
|
-
|
38 – 43
|
-
|
Leukosit
|
X 103/µl
|
6,25
|
5,1 – 13,3
|
Normal
|
Protein total
|
%
|
7,1
|
2-20
|
Normal
|
Fibrinogen
|
g/dl
mg%
|
-
500
|
7,56
300-700
|
-
Normal
|
Neutrofil segment
|
%
|
21
|
14-45
|
Normal
|
Monosit
|
%
|
4
|
45-75
|
Monopenia
|
Eosinofil
|
%
|
16
|
2-7
|
Eosinofilia
|
(Schalm’s.
2010)
Berdasarkan
hasil anamnesa, pemeriksaan kondisi umum, gejala
klinis dan pemeriksaan laboratorium yang meliputi
pemeriksaan darah. Diagnosa yang bisa diambil
adalah indigesti simplek / Indigesti sederhana.
Indigesti
simplek/indigesti sederhana merupakan sindrom gangguan pencernaan yang berasal
dari rumen atau retikulum,
ditandai dengan penurunan atau hilangnya gerak rumen, lemahnya tonus kedua
lambung tersebut, hingga ingesta tertimbun di dalamnya dan disertai dengan
konstipasi. Proses indigesti
bentuk ini terjadi mendadak, berlangsung beberapa jam sampai kurang lebih
dua hari. Kebanyakan kejadian
timbul akibat perubahan pakan yang mendadak, terutama pada pemberian pakan
dengan serat kasar terlalu tinggi yang tidak diimbangi dengan cairan yang cukup
akan memudahkan terjadinya indigesti. Pemberian pakan dengan kandungan serat
kasar tinggi dan jumlahnya banyak akan menyebabkan rumen akan bekerja lebih
keras yaitu ditandai dengan peningkatan kontraksi pada otot – otot rumen yang
pada akhirnya akan meyebabkan otot – otot rumen menjadi kelelahan. Kelelahan ini
akan berakibat pada penurunan gerakan rumen (hipotonia) dan beberapa jam
kemudian gerakan rumen akan hilang (atonia). Hilangnya gerakan rumen ini sangat
berbahaya karena ingesta yang ada didalam rumen tidak akan tercerna secara
maksimal. Akibatnya ingesta tersebut akan tertimbun didalam rumen ataupun akan
menyubat saluran pencernaan sehingga ketika ingesta tersebut keluar dalam
bentuk feses akan terlihat bahwa feses tersebut memiliki konsistensi yang
keras, warnanya agak gelap dan terkadang juga terdapat lendir bercampur darah (Subronto, 2003).
Penderita indigesti simplek
ditandai dengan kondisi tubuh nampak lesu dan malas bergerak, nafsu makan
hilang, sedang nafsu minum mungkin masih ada.
Pada hewan yang sedang
menghasilkan susu, produksi susu menurun dalam berbagai tingkatan. Pada awalnya frekuensi
gerak rumen meningkat selama beberapa jam dan segera diikuti penurunan
frekuensi gerak dan tonus rumen. Pada palpasi rumen terasa berisi ingesta yang
lunak. Pada umumnya frekuensi pernafasan dan pulsus masih dalam batas normal.
Feses dikeluarkan biasanya hanya sedikit berlendir, berwarna gelap dengan
konsistensi lunak (Subronto, 2003).
Beberapa penyebab indigesti yang lain misalnya: sapi
mengkonsumsi pakan yang kandungan proteinnya terlalu tingi, bahan pakan
berjamur, pemberian obat antimikrobial yang berlebihan, dan hewan yang lelah
atau sehabis makan langsung dipekerjakan lagi. Gangguan indigesti sederhana ini
sering ditemukan mengawali gangguan organik lainnya, misalnya radang retikulum,
metriris, dan kembung rumen (bloat) (Subronto, 2008).
Pada praktikum kali ini,
pengobatan yang diberikan berupa vitamin B1 sebanyak 10 ml dan Vetadryl 6 ml.
Tujuan dari pemberian vitamin B1 ini adalah untuk mengatasi kelesuan dan gangguan metabolisme, menambah nafsu makan, memperbaiki kondisi tubuh,
meningkatkan daya tahan tubuh,
memperbaiki pertumbuhan, memelihara
fungsi normal pada sistem syaraf dan sebagai suplemen vitamin setelah
pengobatan antibiotik. Sedangkan pemberian Vetadryl adalah sebagai antihistamin.
Sedangkan menurut Subronto
(2003), pengobatan indigesti secara simptomatik banyak dilakukan. Obat-obat
parasimptomimetik seperti carbamyl-choline dengan dosis 2-4 ml secara subkutan
pada sapi dan kerbau dewasa dapat merangsang gerak rumen
dalam waktu singkat. Physostigmin atau neostigmin dengan dosis
5 mg/ 100 kg secara subkutan. Secara
oral, preparat magnesimsulfat
atau sodium sulfat dengan dosis 100-400
gram, pemberian dengan dosis rendah
50-100
gram selama 2-3 hari sebagi rumintaorium. Pengobatan dengan campuran antarasodium salisilat
dengan sodium bikabonat dengn jumlah 5-10 gram selama 2-3 hari per oral.
Pemberian makanan penguat
dan makanan kasar perlu dihentikan, air minum, bila perlu diberi garam dapur harus
disediakan ad libitum.
Sedang menurut Frasser (2005), sapi diberi 20-40 L air
hangat atau saline melalui saluran perut, diikuti dengan pemijatan kuat pada
rumen, dapat membantu mengembalikan fungsi rumen. Jika terlalu banyak atau protein telah tertelan, asam
asetat atau cuka dapat diberikan PO. Jika aktivitas mikroba rumen berkurang,
pemasukan 4-8 L cairan rumen dari sapi yang sehat akan cukup membantu. Pemberian air minum bersih yang dicampur dengan garam
dapur secara ad libitum. Obat parasimpatomimetik seperti carbamil choline (Carbachol®,
Lentin®) dengan dosis 2-4 ml, disuntikkan subkutan pada sapi dapat
merangsang gerak rumen dalam waktu singkat.
BAB
IV
KESIMPULAN
Dari hasil pemeriksaan
yang dilakukan pada sapi FH di Koperasi Warga Mulya,dapat disimpulkan bahwa
sapi menderita indigesti simpleks atau indigesti sederhana. Indigesti simpleks
ditandai dengan ditandai dengan
kondisi tubuh nampak lesu dan malas bergerak, nafsu makan hilang, sedang nafsu
minum mungkin masih ada dan ditandai
dengan penurunan atau hilangnya gerak rumen, lemahnya tonus kedua lambung
tersebut, hingga ingesta tertimbun di dalamnya dan disertai dengan konstipasi
sehingga feses tampak keras dan agak kehitaman.
BAB
V
DAFTAR PUSTAKA
Subronto.
2003. Ilmu Penyakit Ternak I (Mamalia). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Subronto.
2008. Ilmu Penyakit Ternak I-a (Mamalia). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Schalm’s. 2010. Veterinary Hematology 6ed.
Wiley – Blackwell : USA
Smith, B.P. 2002. Large Animal Internal Medicine 3rd ed.
Mosby : st. Louis Missouri.
Frasser,
C.M. 2005. The Merck Veterinary Manual: a Handbook of Diagnosis, Therapy, and
Disease. USA : Blackwell Publishing.
No comments:
Post a Comment