Wednesday 15 January 2014

BLOK 15 UP 5



Learning Objectives
Jelaskan tentang distokia meliputi :
1.    Pengertian dan bentuk
2.    Penyebab
3.    Diagnosa dan prognosa
4.    Pencegahan, managemen pengawinan dan pemeliharaan sapi bunting
5.    Penanganan distokia
6.    Perawatan induk dan pedet pasca penanganan


Pembahasan
1.    Pengertian dan Bentuk Distokia
Kata ditokia berasal dari bahasa Yunani yaitu  dys : sukar atau  sulit  dan tokus : kelahiran, yang berarti kesulitan kelahiran. Kejadian ini sering menyerang sapi perah  dan lebih sering pada hewan yang sering dikandangkan (Manan, 2001).
Distokia adalah proses melahirkan yang lebih lama daripada waktu normal dan mengalami kesulitan, untuk itu perlu bantuan dalam proses melahirkan tersebut (Bearden,2004).
Distokia adalah kesulitan saat proses melahirkan. Itu merupakan gejala dari kondisi induk atau kondisi fetus yang membuat jalannya fetus melalui saluran peranakan menjadi terhambat (Smith, 2002).
Secara garis besar ada 2 bentuk distokia:
Maternal Distokia, yaitu distokia karena ada gangguan pada induknya. Sebagian besar adalah faktor – faktor yang menyebabkan penyempitan atau stenosis saluran kelahiran atau yang menghalang – halangi pemasukan foetus secara normal ke dalam saluran kelahiran.
Foetalis Distokia, yaitu distokia karena ada kelainan pada fetusnya antara lain kelainan presentasi, posisi dan postur foetus, anasarca atau acites foetalis, tumor foetus, pembesaran rongga tubuh foetus, abnormalitas foetus dan mouster (Manan, 2001)
          Presentasi adalah hubungan anatara poros panjang fetus dan poros panjang saluran peranakan induk. Kebanyakan longitudinal (anterior atau vertical) kadang transversal atau vertical. Sedangkan posisi adalah permukaan saluran peranakan induk kea rah diterapkanya kolumna vertrebalis fetus. Kebanyakan dorsal, dapat ventral (fetus terbalik) atau lateral (kanan atau kiri). Dan postur adalah penempatan kepala dan lengan fetus.
                                    1.Presentasi Anterior : Normal
a.       Carpal plexion posture dapat unilateral atau bilateral
b.      Shoulder flexion posture dapat unilateral atau bilateral
c.       Head neck flexion posture dapat unilateral atau bilateral
d.      Deviation head dapat sinister atau dexter
e.       Dog sitting
                                    2. Presentasi posterior , dapat sebabkan distokia.
a.       Carpal plexion posture dapat unilateral atau bilateral
b.      Shoulder flexion posture dapat unilateral atau bilateral
c.       Head neck flexion posture dapat unilateral atau bilateral
d.      Deviation head dapat sinister atau dexter
3.    Posisi upside down, dapat sebabkan distokia. Penanganan  dengan operasi (Jackson, 2007).

2.    Penyebab Distokia
Dibagi menjadi dua bagian yaitu :
a.    Sebab dasar, meliputi
1)   Genetik : terdapat pada induk yang berpredisposisi terhadap distokia, atau faktor – faktor yang tersembunyi atau gen – gen resesif pada induk atau pejantan.
2)   Ras Sapi : Angka tertinggi pada ras sapi continental. Lama bunting pada ras ini lebih panjang dan ukur fetus lebih besar daripada induk.
3)   Nutrisi : Jika sapi diberi pakan dengan kualitas yang buruk dapat menyebabkan distokia dan mengurangi daya hidup pedet. Pemberian pakan berlebih tidak sesuai aturan menambah berat fetus dan mentingkatkan timbunan lemak intrapelvis sehingga proses pengejanan tidak efisien.
4)   Supervisi : Kelahiran sapi harus diawasi tapi tidak secara mencolok. Karena gangguan terhadap sapi tidak lama menjelang kelahiran dapat meningkatkan insiden distokia.
5)   Penyakit : Hipokalsemia saat melahirkan adalah salah satu penyebab inersia uterine primer. Sapi yang menderita Salmonellosis dan Brucellosis dapat meningkatkan insiden distokia.
6)   Induksi Kelahiran : Walaupun hal ini dapat mengurangi distokia sehubungan  dengan disporporsi fetopelvis, insiden malpodisisi fetus, kegagalan servik untuk dilatasi dan retensi membran fetus dapat meningkat (Jackson, 2007).

b.   Sebab langsung, meliputi
1)   Faktor  Maternal (induk), dapat berupa :
a)   Kondisi sapi : Jika sapi mengalami Hipokalsemia saat partus beresiko menderita inersia uteriner primer akibat dari distokia.
b)   Ukuran pelvis induk :  Bila sempit atau terlalu kecil akan sebabkan distokia.
c)   Umur : Kejadian distokia lebih sering pada sapi dara dengan kondisi tubuh jelek yang baru pertama kali melahirkan.
d)  Lama kebuntingan : Pada sapi bunting tua berat badan fetus dapat meningkat 0,5 kg/hari dan panjang tulang juga meningkat (Jackson,2007).


2)   Faktor Fetus, dapat berupa :
a)   Ukuran fetus : Jika berat badan dan ukuran besar akan meningkatkan kejadian distokia.
b)   Jenis kelamin fetus : Jantan berat badannya lebih beratdan masa kebuntingannya lebih lama  dibanding betina.
c)   Presentasi fetus : Presentasi tertinggi dengan presentasi posterior.
d)  Kondisi fetus : Yang dimaksud yaitu fetus masih hidup atau mati. Kematian fetus pada akhir kebuntingan atau awal kelahiran sebabkan distokia. Misalnya fetus mengalami hipoksia kronis, fetus gagal melepaskan hormone-hormonnya dengan cukup (ACTH dan kortisol), fetus tidak dapat mengambil postur kelahiran normal sehingga maldiposisi dan servik gagal dilatasi sempurna sehingga fetus tidak bisa keluar.
e)   Kembar siam : Karena pemeblahan ovum yang dibuahi tak sempurna dan menunjukan variasi yang besar dari duplikasi parsial dan akan sulit bila dilahirkan secara normal (Jackson, 2007).

3.    Diagnosa dan Prognosa
Anamnesa : Sewaktu pemeriksaan pendahuluan dan persiapan penanganan dilakukan, sejarah kejadian distokia dan informasi lain perlu diperoleh dari peternak maupun dari pengamatan sendiri. Informasi ini penting untuk pemeriksaan dan penanggulangan distokia secara cermat dan tepat.
Pemeriksaan umum : pemeriksaan umum meliputi kondisi fisik hewan saat itu.
Pemeriksaan khusus : merupakan pemeriksaan terperinci terhadap saluran kelamin dan foetus.
Diagnosa juga dapat terlihat dari gejala klinis
a.    Tahap pertama kelahiran yang lama dan tidak progresif.
b.    Sapi berdiri dengan postur abnormal selama tahap pertama kelahiran.
c.    Sapi mengejan dengan kuat selama 30 menit, namun anak sapi tidak muncul.
d.   Cairan amnion telah tampak pada vulva selama 2 jam, namun anak sapi gagal keluar. Fetus mengalami malpresentasi, malpostur atau maldisposisi, misalnya kepala keluar tanpa kaki depan, ekor keluar tanpa kaki belakang atau kepala keluar dengan salah satu kaki depan.
e.    Cairan korioalantois yang terpisah, mekonium fetus atau carian amnion yang tercemar darah menunjukkan telah terjadi hipoksia fetus dan kemungkinan fetus telah mati (Jackson, 2007).
Setelah dilakukan diagnosa, maka kita dapat memutuskan status melakukan tindakan selanjutnya. Secara umum hal yang dapat dilakukan adalah sebagi berikut :


4.    Pencegahan Distokia, Managemen Pengawinan dan Pemeliharaan Sapi Bunting
          Ternak yang terhambat pertumbuhannya sering menderita distokia saat melahirkan. Oleh kareana itu perlu diberikan makanan yang sempurna. Jangan memberikan pakan yang terlalu berlebihan pada sapi dara karena dapat meningkatkan lemak pada daerah pelvis yang malah akan mengganggu proses kelahiran (Manan, 2001).
          Sapi yang bunting banyak sekali memerlukan gerak badan untuk itu dilepaskan di padang terbuka atau dibawa jalan-jalan dengan maksud supaya peredaran darah menjadi lebih lancar sehingga kesehatan fetus lebih terjamin, distokia dapat dihindarkan dan terjadinya Retentiosecundinarum (ketinggian ari) dapat dicegah. 2 menjelang kelahirn yaitu, pada kebuntingan 7 bulan yang kebetulan sedang laktsi harus dikeringkan walaupun produksi masih tinggi sebab waktu 2 bulan itu diperlukan sapi tresebut untuk mempersiapkan laktasi yang akan datang.
          Pengeringan dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: 1). Pemerahan berselang, 2). Pemerahan tak lengkap, 3). Penghentian pemberian konsentrat dengan tiba - tiba dibarengi dengan pemerahan bersela (Blakely, 1998).
          Manajemen pakan pada umur kebuntingan muda (3-5 bulan) diberikan konsentrat sebanyak 1% dari berat badan. Pada umur kebuntingan mulai 8 bulan, diberikan konsentrat sebanyak 1% dari berat badan (Blakely, 1998).
          Pemberian pakan pada sapi bunting kering berupa konsentrat dan hijauan. Pakan hijauan yang diberikan sebanyak 45 kg per ekor per hari. Sedangkan pakan konsentrat yang diberikan sebanyak 4 kg per ekor per hari.Kebutuhan nutrisi untuk sapi induk diantaranya :
a.   Bunting muda, terdiri atas   Protein 7-10 % ; TDN 50-55 % ;  EM 1.8 Mcal/kg ;  Ca 0.5 % dan  Phosphorus 0.2 %.
b.   Bunting tua sampai laktasi, terdiri atas Protein  12 – 12.5  % ; TDN 60 -65  % ;   EM 2 – 2,8 Mcal/Kg ; Ca 0.7 % dan Phosphorus 0.3 %.
  Kebutuhan air sapi bunting dan menyusui berdasarkan suhu lingkungan, yaitu :
a.    Suhu    22-25 O C konsumsi air minum 37 -  40 liter/hari/ekor.
b.   Suhu    26 – 28 O C konsumsi air minum 55 – 60 liter/hari/ekor.
c.    Suhu    30 – 32 O C konsumsi air minum 60 – 67 liter/hari/ekor
            Untuk sapi pada umumnya mengkonsumsi air rata-rata 60 liter/hari/ekor (Blakely, 1998).
Managemen perkawinan
Yang paling penting adalah menentukan waktu yang tepat untuk dikawinkan, karena waktu pengawinan yang salah dapat menyebabkan gangguan reproduksi. Waktu IB pertama untuk sapi dara yang baik perawatannya dapat dilakukan umur 14-16 bulan, sedangkan yang kurang baik perawtannya dapat dilakukan umur 2-3 tahun. Setelah melahirkan, induk akan mengalami birahi pada minggu ke sepuluh meskipun involusi uterus belum normal. Kesuburan akan kembali normal pada 40-60 pasca kelahiran. IB yang dilakukan 40-60 hari pasca kelahiran akan mendapatkan angka kebuntingan sampai 80% (Hardjopranjoto, 1995).

5.    Penanganan Distokia
Ada beberapa prosedur obstetrik untuk manajemen distokia secara manipulative antara lain :
a.   Repulsi, yaitu mendorong fetus sepanjang saluran peranakan kea rah dalam uterus. Memakai tangan pelaksanaanya denga presentasi fetus :
1)   Anterior, tangan fetus antara bahu dan dada atau bawah leher.
2)   Longitudinal posterior, tangan ditempatkan di daerah perineal di atas arcus ischiadicus.
b.   Mutasi, yaitu cara penanggulangan distokia dimana fetus dikembalikan ke presentasi, posisi dan postur yang noemal melalui repulse, rotasi versi dan pembentukan atau perentangan ekstremitas.
c.    Ekstensi, yaitu pembetulan letak bagian-bagian fetus yang mengalami fleksi.
d.   Rotasi, yaitu memutar tubuh fetus sepanjang sumbu longitudinal (ke kanan atau kiri). Posisi dorso-ilial atau dorso pubis sering terjadi pada tortio uterus 90 – 180 derajat.
e.    Versio, yaitu memutar fetus ke depan atau ke belakang ( Manan,2001 ; Smith, 2002)
f.    Reposisi dan Retraksi
Retraksi dapat diterapkan setelah dilakukan reposisi pada kasus malpresentasi, maldisposisi atau malpostur fetus. Berikut penerapannya :
1.      Malpostur penyimpangan lateral kepala
2     &  3. Malpostur fleksi karpal
Tahap I


Tahap II



1.  Malpostur fleksi tengkuk
2.   Malpostur fleski Hock


                                         



(Jackson,2007).
g.    Fetotomi
          Adalah memotong fetus yang tidak bisa dikeluarkan, menjadi potongan-potongan kecil yang lebih mudah dikeluarkan melalui saluran peranakan. Indikasi dilakukannya fetotomi antara lain penanganan distokia yang disebabkan maldisposisi yang tidak dapat dikoreksi dengan cara manipulatif, penanganan distokia yang disebabkan disproporsi fetopelvis dengan fetus mati dan tidak dapat dikeluarkan dengan tarikan dan penanganan distokia yang disebabkan oleh fetus terjepit selama pengeluaran fetus. Fetotomi dilakukan dengan mempertimbangakan presentasi, posisi dan postur fetus. Untuk fetus dengan presentasi anterior, fetotomi dilakukan dengan pemotongan kepala terlebih dahulu, dilanjutkan pemotongan kaki depan kanan dan kiri, kemudian pemotongan dada, lalu pemotongan pelvis. Jika fetus dalam keadaan presentasi posterior, dilakukan pemotongan kaki belakang terlebih dahulu. Ada 2 teknik fetotomi yaitu :
1.   Dalam fetotomi perkutan digunakan embrio tubuler, yang melalui gergaji kawat dilewatkan. Gergaji kawat untuk memotong fetus sedangkan embriotom melindungi jaringan maternal dari kerusakan.
2.   Dalam fetotomi subkutan bagian-bagian tubuh fetus dibedah keluar dari dalam kulitnya  hingga mengurangi  bagian terbesar fetus.
          Perawatan induk pasca fetotomi yaitu vagina dan uterus harus diperiksa secara manual untuk mengetahui kerusakan jaringan lunak. Lalu pemberian antibiotik  local dan parenteral. Analgesi dan toksemia guna terapi non-steriodal dan anti inflamasi (Jackson, 2007).

h.   Sectio Caesaria
          Indikasi sesar pada sapi antara lain disproporsi fetopelvis, maldisposisi fetus yang tidak dapat dikoreksi secara manipulatif, torsi uterus yang tidak dapat dibetulkan lagi, dilatasi serviks atau bagian lain dari saluran peranakan yang tidak lengkap, monster fetus dan kerusakan berat pada vagina. Indikasi secti caesaria : 
1)   Distokia karena hewan betina yang belum dewas.
2)   Dilatasi dan relaksasi service yang tidak sempurna berhubungan dengan kelemah uterus dan involution service dan uterus karena tortio uteri.
3)   Fetus terlampau besar secara abnormal.
Sebelum dilakukan operasi, hewan diberi anestesi epidural untuk mencegah pengejanan Untuk lokasi operasi, terdapat dua pilihan lokasi, yaitu : 
a)      Daerah flank ( laparotomy flank )
Keuntungan : perlu anastesi local. Irisan dapat diperluas dengan mudah, resiko pengotoran luka postoperasi atau herniasi kecil.
Kerugian  : uterus sulit diekspos sebelum pembukaan, peritoneum telah terkontaminasi oleh uterus khususnya jika fetus mati dan mengalami emfisema.
b)      Daerah ventrolateral atau midline
Keuntungan : uterus (yang berisi satu anak sapi yang emfisema) dapat lebih siap diekspos dengan sedikit risiko kontaminasi peritoneum.
Kerugian  : perlu sedasi berat atau anastesi umum, berisiko pongotoran postoperative dari insisi atau herniasi lebih tinggi  (Jackson, 2007 ; Manan, 2001).

6.    Perawatan Induk dan Pedet Pasca Penanganan
Induk
a.       Jika terdapat keragu-raguan tentang status mineral sapi, harus diberikan lebih banyak.
b.      Jika terdapat penyakit spesifik, mastitis dan hati berlemak segera lakukan penanganan
c.       Jika terdapat cedera pasca distokia seperti laserasi harus segera ditangani.
d.      Memberikan makanan dan minuman yang membangkitkan selera makan
e.       Sapi harus dipertahankan pada kondisi rebah sternal tetapi berbaring pada seperempat bagian belakangatau sisi lainnya. Hal ini berhubungan dengan titik – titik tekanan abominal pasca kelahiran.
f.       Perawatan ambing, jika ambing sedang memproduksi susu diperah pada jangka waktu yang teratur.
g.      Permukaan lantai tidak boleh licin, kotsk yang beralas tebal atau rumput lapangan dapat digunakan.
h.      Mengangkat sapi, hal ini akan membantu untuk mengetahui sapi dapat menopang dirinya sendiri atau tidak.
i.        Terapi obat non – spesifik dapat menstimulasi sapi yang rebah untuk berdiri. Seperti ripelannamine hidroklorida dosis 10 mL/450kg IV.
j.        Kemajuan harus dipantau setiap hari dan didiskusikan dengan pemilik. (Jackson, 2007).
Pedet
Pasca fetus dari kasus distokia harus dipastikan fetus masih hidup atau sudah mati yaitu dengan cara melihat ciri-ciri fetus yang hidup yaitu :
Ciri Fetus Hidup ;
a.    Respon positif pada penarikan pedal dan reflex palpebral.
b.   Respon pada tekanan pada bola mata atau cubitan hidung atau telinga.
c.    Gerak reflex menghisap jika jari ditempatkan pada mulut anak sapi.
d.   Kontraksi anal sphincter ketika jari dimasukkan (Jackson,2007).
Setelah memastikan fetus benar-benar hidup, langkah selanjutnya menyadarkan anak sapi :
a.    Membersihkan jalan udara : anak sapi digantungkan  dengan kakinya dari balok yang nyaman atau digantung pada pintu. Dengan alat penghisap untuk memastikan hilangnya lender pada mulut, farink, larink dan saluran hidung.
b.   Memeriksa denyut jantung fetus
c.    Penegakan respirasi saat jantung berdenyut :dapat dirangsang dengan mencubit hidung atau kaki fetus, menusuk nasal filtrum atau mencipratkan air dingin ke bagian kepala.
       Perawatan selanjutnya anak sapi harus didorong untuk minum kolostrum dalam 6 jam kelahiran. Pusarnya harus dicelupkan dalam iodin atau disemprot aerosol antibiotic setelah sadar juga pemeriksaan pusar secara berkala untuk memastikan hemoraghi yang tertunda dari umbilicus tidak terjadi (Jackson,2007).
Adapun cara yaitu pembuatan klostrum buatan dengan bahan :
a.    Susu skim 12 sendok makan (bahan dasar kolostrum).
b.   Garam dapur 1 sendok makan (elektrolit pengganti NaCl) dan MgSO4 (laksansia).
c.    Kuning telur 1-2 butir (sumber lemak, protein dan imunoglobin).
d.   Madu (sumber vitamin dan tenaga).
e.    Antibiotik (antibakteri).
f.    Air hangat dan gula jawa (pelarut).
             Cara pembuatannya panaskan air dalam keadaan mendidih lalu tuangkan pada wadah yang telah dicampur semua bahan diatas, aduk rata dan siap di berikan pada fetus yang baru lahir (Manan,2001).
C.   Sumber Informasi (Daftar Pustaka)
Bearden,2004. Applied Animal reproduction. London : Pearson Prentice Hall
Blakely, J. dan D.H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Edisi keempat. Yogyakarta :  Gadjah Mada       
               University Press
Hardjopranjoto, 1995. Ilmu Kemajiaran pada Ternak. Surabaya : Airlangga University Press
Jackson P.G.G, 2007. Handbook of Veterinary Obstetrics. Philadelphia : Elsevier Saunder Company
Manan, D. 2001. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Aceh : Universitas Syah Kuala
Smith, B. P. 2002. Large Animal Internal Medicine. New York : Mosby

No comments:

Post a Comment