Learning Objectives
Jelaskan
tentang distokia meliputi :
1.
Pengertian dan bentuk
2.
Penyebab
3.
Diagnosa dan prognosa
4.
Pencegahan, managemen
pengawinan dan pemeliharaan sapi bunting
5.
Penanganan distokia
6.
Perawatan induk dan
pedet pasca penanganan
Pembahasan
1. Pengertian dan Bentuk
Distokia
Kata ditokia berasal dari bahasa
Yunani yaitu dys : sukar atau sulit dan tokus
: kelahiran, yang berarti kesulitan kelahiran. Kejadian ini sering menyerang
sapi perah dan lebih sering pada hewan
yang sering dikandangkan (Manan, 2001).
Distokia adalah proses melahirkan
yang lebih lama daripada waktu normal dan mengalami kesulitan, untuk itu perlu
bantuan dalam proses melahirkan tersebut (Bearden,2004).
Distokia adalah kesulitan saat
proses melahirkan. Itu merupakan gejala dari kondisi induk atau kondisi fetus
yang membuat jalannya fetus melalui saluran peranakan menjadi terhambat (Smith,
2002).
Secara garis besar ada 2 bentuk
distokia:
Maternal Distokia, yaitu distokia karena
ada gangguan pada induknya. Sebagian besar adalah faktor – faktor yang
menyebabkan penyempitan atau stenosis saluran kelahiran atau yang menghalang –
halangi pemasukan foetus secara normal ke dalam saluran kelahiran.
Foetalis Distokia, yaitu distokia karena
ada kelainan pada fetusnya antara lain kelainan presentasi, posisi dan postur
foetus, anasarca atau acites foetalis, tumor foetus, pembesaran rongga tubuh
foetus, abnormalitas foetus dan mouster (Manan, 2001)
Presentasi adalah hubungan
anatara poros panjang fetus dan poros panjang saluran peranakan induk.
Kebanyakan longitudinal (anterior atau vertical) kadang transversal atau
vertical. Sedangkan posisi adalah
permukaan saluran peranakan induk kea rah diterapkanya kolumna vertrebalis
fetus. Kebanyakan dorsal, dapat ventral (fetus terbalik) atau lateral (kanan
atau kiri). Dan postur adalah penempatan
kepala dan lengan fetus.
1.Presentasi
Anterior : Normal
a.
Carpal plexion posture dapat unilateral atau bilateral
b.
Shoulder flexion posture dapat unilateral atau bilateral
c.
Head neck flexion posture dapat unilateral atau
bilateral
d.
Deviation head dapat sinister atau dexter
e.
Dog sitting
2.
Presentasi posterior , dapat sebabkan distokia.
a.
Carpal plexion posture dapat unilateral atau bilateral
b.
Shoulder flexion posture dapat unilateral atau bilateral
c.
Head neck flexion posture dapat unilateral atau
bilateral
d.
Deviation head dapat sinister atau dexter
3. Posisi
upside down, dapat sebabkan distokia. Penanganan dengan operasi (Jackson,
2007).
2. Penyebab Distokia
Dibagi
menjadi dua bagian yaitu :
a. Sebab
dasar, meliputi
1) Genetik : terdapat
pada induk yang berpredisposisi terhadap distokia, atau faktor – faktor yang
tersembunyi atau gen – gen resesif pada induk atau pejantan.
2) Ras Sapi : Angka
tertinggi pada ras sapi continental. Lama bunting pada ras ini lebih panjang
dan ukur fetus lebih besar daripada induk.
3) Nutrisi : Jika
sapi diberi pakan dengan kualitas yang buruk dapat menyebabkan distokia dan
mengurangi daya hidup pedet. Pemberian pakan berlebih tidak sesuai aturan
menambah berat fetus dan mentingkatkan timbunan lemak intrapelvis sehingga
proses pengejanan tidak efisien.
4) Supervisi : Kelahiran
sapi harus diawasi tapi tidak secara mencolok. Karena gangguan terhadap sapi
tidak lama menjelang kelahiran dapat meningkatkan insiden distokia.
5) Penyakit :
Hipokalsemia saat melahirkan adalah salah satu penyebab inersia uterine primer.
Sapi yang menderita Salmonellosis dan Brucellosis dapat meningkatkan insiden
distokia.
6) Induksi Kelahiran :
Walaupun hal ini dapat mengurangi distokia sehubungan dengan disporporsi fetopelvis, insiden
malpodisisi fetus, kegagalan servik untuk dilatasi dan retensi membran fetus
dapat meningkat (Jackson, 2007).
b. Sebab
langsung, meliputi
1)
Faktor Maternal (induk),
dapat berupa :
a) Kondisi sapi
: Jika sapi mengalami Hipokalsemia saat partus beresiko menderita inersia
uteriner primer akibat dari distokia.
b) Ukuran pelvis induk
: Bila sempit atau terlalu kecil akan
sebabkan distokia.
c) Umur
: Kejadian distokia lebih sering pada sapi dara dengan kondisi tubuh jelek yang
baru pertama kali melahirkan.
d) Lama kebuntingan
: Pada sapi bunting tua berat badan fetus dapat meningkat 0,5 kg/hari dan
panjang tulang juga meningkat (Jackson,2007).
2)
Faktor
Fetus, dapat berupa :
a) Ukuran fetus
: Jika berat badan dan ukuran besar akan meningkatkan kejadian distokia.
b) Jenis kelamin fetus
: Jantan berat badannya lebih beratdan masa kebuntingannya lebih lama dibanding betina.
c) Presentasi fetus
: Presentasi tertinggi dengan presentasi posterior.
d) Kondisi fetus : Yang
dimaksud yaitu fetus masih hidup atau mati. Kematian fetus pada akhir kebuntingan
atau awal kelahiran sebabkan distokia. Misalnya fetus mengalami hipoksia kronis,
fetus gagal melepaskan hormone-hormonnya dengan cukup (ACTH dan kortisol),
fetus tidak dapat mengambil postur kelahiran normal sehingga maldiposisi dan
servik gagal dilatasi sempurna sehingga fetus tidak bisa keluar.
e) Kembar siam :
Karena pemeblahan ovum yang dibuahi tak sempurna dan menunjukan variasi yang
besar dari duplikasi parsial dan akan sulit bila dilahirkan secara normal (Jackson,
2007).
3. Diagnosa dan Prognosa
Anamnesa
: Sewaktu pemeriksaan pendahuluan dan persiapan penanganan dilakukan, sejarah
kejadian distokia dan informasi lain perlu diperoleh dari peternak maupun dari
pengamatan sendiri. Informasi ini penting untuk pemeriksaan dan penanggulangan
distokia secara cermat dan tepat.
Pemeriksaan
umum : pemeriksaan umum meliputi kondisi fisik hewan saat itu.
Pemeriksaan
khusus : merupakan pemeriksaan terperinci terhadap saluran kelamin dan foetus.
Diagnosa
juga dapat terlihat dari gejala klinis
a.
Tahap pertama kelahiran
yang lama dan tidak progresif.
b.
Sapi berdiri dengan
postur abnormal selama tahap pertama kelahiran.
c.
Sapi mengejan dengan
kuat selama 30 menit, namun anak sapi tidak muncul.
d.
Cairan amnion telah
tampak pada vulva selama 2 jam, namun anak sapi gagal keluar. Fetus mengalami
malpresentasi, malpostur atau maldisposisi, misalnya kepala keluar tanpa kaki
depan, ekor keluar tanpa kaki belakang atau kepala keluar dengan salah satu
kaki depan.
e.
Cairan korioalantois
yang terpisah, mekonium fetus atau carian amnion yang tercemar darah
menunjukkan telah terjadi hipoksia fetus dan kemungkinan fetus telah mati
(Jackson, 2007).
Setelah
dilakukan diagnosa, maka kita dapat memutuskan status melakukan tindakan
selanjutnya. Secara umum hal yang dapat dilakukan adalah sebagi berikut :
4. Pencegahan Distokia,
Managemen Pengawinan dan Pemeliharaan Sapi Bunting
Ternak
yang terhambat pertumbuhannya sering menderita distokia saat melahirkan. Oleh
kareana itu perlu diberikan makanan yang sempurna. Jangan memberikan pakan yang
terlalu berlebihan pada sapi dara karena dapat meningkatkan lemak pada daerah
pelvis yang malah akan mengganggu proses kelahiran (Manan, 2001).
Sapi
yang bunting banyak sekali memerlukan gerak badan untuk itu dilepaskan di
padang terbuka atau dibawa jalan-jalan dengan maksud supaya peredaran darah
menjadi lebih lancar sehingga kesehatan fetus lebih terjamin, distokia dapat
dihindarkan dan terjadinya Retentiosecundinarum (ketinggian ari) dapat dicegah.
2 menjelang kelahirn yaitu, pada kebuntingan 7 bulan yang kebetulan sedang
laktsi harus dikeringkan walaupun produksi masih tinggi sebab waktu 2 bulan itu
diperlukan sapi tresebut untuk mempersiapkan laktasi yang akan datang.
Pengeringan
dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: 1). Pemerahan berselang, 2).
Pemerahan tak lengkap, 3). Penghentian pemberian konsentrat dengan tiba - tiba
dibarengi dengan pemerahan bersela (Blakely,
1998).
Manajemen pakan pada umur kebuntingan
muda (3-5 bulan) diberikan konsentrat sebanyak 1% dari berat badan. Pada umur
kebuntingan mulai 8 bulan, diberikan konsentrat sebanyak 1% dari berat badan (Blakely, 1998).
Pemberian pakan
pada sapi bunting kering berupa konsentrat dan hijauan. Pakan hijauan yang
diberikan sebanyak 45 kg per ekor per hari. Sedangkan pakan konsentrat yang
diberikan sebanyak 4 kg per ekor per hari.Kebutuhan
nutrisi untuk sapi induk diantaranya :
a. Bunting muda, terdiri atas Protein 7-10 % ; TDN 50-55 %
; EM 1.8 Mcal/kg ; Ca 0.5 % dan
Phosphorus 0.2 %.
b. Bunting tua
sampai laktasi, terdiri atas Protein 12 – 12.5 % ; TDN
60 -65 % ; EM 2 – 2,8 Mcal/Kg ; Ca 0.7 % dan Phosphorus 0.3
%.
Kebutuhan air sapi bunting dan
menyusui berdasarkan suhu lingkungan, yaitu :
a.
Suhu 22-25 O C
konsumsi air minum 37 - 40 liter/hari/ekor.
b.
Suhu 26 – 28 O C
konsumsi air minum 55 – 60 liter/hari/ekor.
c.
Suhu 30 – 32 O C
konsumsi air minum 60 – 67 liter/hari/ekor
Untuk sapi pada umumnya mengkonsumsi
air rata-rata 60 liter/hari/ekor (Blakely,
1998).
Managemen
perkawinan
Yang paling penting adalah
menentukan waktu yang tepat untuk dikawinkan, karena waktu pengawinan yang
salah dapat menyebabkan gangguan reproduksi. Waktu IB pertama untuk sapi dara
yang baik perawatannya dapat dilakukan umur 14-16 bulan, sedangkan yang kurang
baik perawtannya dapat dilakukan umur 2-3 tahun. Setelah melahirkan, induk akan
mengalami birahi pada minggu ke sepuluh meskipun involusi uterus belum normal.
Kesuburan akan kembali normal pada 40-60 pasca kelahiran. IB yang dilakukan
40-60 hari pasca kelahiran akan mendapatkan angka kebuntingan sampai 80% (Hardjopranjoto,
1995).
5. Penanganan Distokia
Ada
beberapa prosedur obstetrik untuk manajemen distokia secara manipulative antara
lain :
a.
Repulsi,
yaitu mendorong fetus sepanjang saluran peranakan kea rah dalam uterus. Memakai
tangan pelaksanaanya denga presentasi fetus :
1) Anterior,
tangan fetus antara bahu dan dada atau bawah leher.
2) Longitudinal
posterior, tangan ditempatkan di daerah perineal di atas arcus ischiadicus.
b.
Mutasi,
yaitu cara penanggulangan distokia dimana fetus
dikembalikan ke presentasi, posisi dan postur yang noemal melalui repulse,
rotasi versi dan pembentukan atau perentangan ekstremitas.
c.
Ekstensi,
yaitu pembetulan letak bagian-bagian fetus yang mengalami fleksi.
d.
Rotasi,
yaitu memutar tubuh fetus sepanjang sumbu longitudinal (ke kanan atau kiri).
Posisi dorso-ilial atau dorso pubis sering terjadi pada tortio uterus 90 – 180
derajat.
e.
Versio,
yaitu memutar fetus ke depan atau ke belakang ( Manan,2001 ; Smith, 2002)
f.
Reposisi
dan Retraksi
Retraksi
dapat diterapkan setelah dilakukan reposisi pada kasus malpresentasi,
maldisposisi atau malpostur fetus. Berikut penerapannya :
1. Malpostur
penyimpangan lateral kepala
|
|
2 & 3. Malpostur fleksi karpal
|
Tahap I
Tahap II
|
1. Malpostur fleksi tengkuk
|
|
2. Malpostur
fleski Hock
|
|
(Jackson,2007).
g. Fetotomi
Adalah memotong fetus yang tidak bisa
dikeluarkan, menjadi potongan-potongan kecil yang lebih mudah dikeluarkan
melalui saluran peranakan. Indikasi dilakukannya fetotomi antara lain
penanganan distokia yang disebabkan maldisposisi yang tidak dapat dikoreksi
dengan cara manipulatif, penanganan distokia yang disebabkan disproporsi
fetopelvis dengan fetus mati dan tidak dapat dikeluarkan dengan tarikan dan
penanganan distokia yang disebabkan oleh fetus terjepit selama pengeluaran
fetus. Fetotomi dilakukan dengan mempertimbangakan presentasi, posisi dan
postur fetus. Untuk fetus dengan presentasi anterior, fetotomi dilakukan dengan
pemotongan kepala terlebih dahulu, dilanjutkan pemotongan kaki depan kanan dan
kiri, kemudian pemotongan dada, lalu pemotongan pelvis. Jika fetus dalam
keadaan presentasi posterior, dilakukan pemotongan kaki belakang terlebih
dahulu. Ada 2 teknik fetotomi yaitu :
1. Dalam
fetotomi perkutan digunakan embrio tubuler, yang melalui gergaji kawat
dilewatkan. Gergaji kawat untuk memotong fetus sedangkan embriotom melindungi
jaringan maternal dari kerusakan.
2. Dalam
fetotomi subkutan bagian-bagian tubuh fetus dibedah keluar dari dalam
kulitnya hingga mengurangi bagian terbesar fetus.
Perawatan induk pasca fetotomi yaitu
vagina dan uterus harus diperiksa secara manual untuk mengetahui kerusakan
jaringan lunak. Lalu pemberian antibiotik
local dan parenteral. Analgesi dan toksemia guna terapi non-steriodal
dan anti inflamasi (Jackson, 2007).
h.
Sectio
Caesaria
Indikasi
sesar pada sapi antara lain disproporsi fetopelvis, maldisposisi fetus yang
tidak dapat dikoreksi secara manipulatif, torsi uterus yang tidak dapat
dibetulkan lagi, dilatasi serviks atau bagian lain dari saluran peranakan yang
tidak lengkap, monster fetus dan kerusakan berat pada vagina. Indikasi secti
caesaria :
1) Distokia
karena hewan betina yang belum dewas.
2) Dilatasi
dan relaksasi service yang tidak sempurna berhubungan dengan kelemah uterus dan
involution service dan uterus karena tortio uteri.
3) Fetus
terlampau besar secara abnormal.
Sebelum dilakukan operasi, hewan
diberi anestesi epidural untuk mencegah pengejanan Untuk lokasi operasi,
terdapat dua pilihan lokasi, yaitu :
a) Daerah flank (
laparotomy flank )
Keuntungan : perlu anastesi local.
Irisan dapat diperluas dengan mudah, resiko pengotoran luka postoperasi atau
herniasi kecil.
Kerugian :
uterus sulit diekspos sebelum pembukaan, peritoneum telah terkontaminasi oleh
uterus khususnya jika fetus mati dan mengalami emfisema.
b) Daerah ventrolateral atau
midline
Keuntungan : uterus (yang berisi satu
anak sapi yang emfisema) dapat lebih siap diekspos dengan sedikit risiko
kontaminasi peritoneum.
Kerugian :
perlu sedasi berat atau anastesi umum, berisiko pongotoran postoperative dari
insisi atau herniasi lebih tinggi
(Jackson, 2007 ; Manan, 2001).
6. Perawatan Induk dan
Pedet Pasca Penanganan
Induk
a. Jika
terdapat keragu-raguan tentang status mineral sapi, harus diberikan lebih
banyak.
b. Jika
terdapat penyakit spesifik, mastitis dan hati berlemak segera lakukan
penanganan
c. Jika
terdapat cedera pasca distokia seperti laserasi harus segera ditangani.
d. Memberikan
makanan dan minuman yang membangkitkan selera makan
e. Sapi
harus dipertahankan pada kondisi rebah sternal tetapi berbaring pada seperempat
bagian belakangatau sisi lainnya. Hal ini berhubungan dengan titik – titik
tekanan abominal pasca kelahiran.
f. Perawatan
ambing, jika ambing sedang memproduksi susu diperah pada jangka waktu yang
teratur.
g. Permukaan
lantai tidak boleh licin, kotsk yang beralas tebal atau rumput lapangan dapat
digunakan.
h. Mengangkat
sapi, hal ini akan membantu untuk mengetahui sapi dapat menopang dirinya
sendiri atau tidak.
i.
Terapi obat non –
spesifik dapat menstimulasi sapi yang rebah untuk berdiri. Seperti ripelannamine
hidroklorida dosis 10 mL/450kg IV.
j.
Kemajuan harus dipantau
setiap hari dan didiskusikan dengan pemilik. (Jackson, 2007).
Pedet
Pasca fetus dari kasus distokia harus
dipastikan fetus masih hidup atau sudah mati yaitu dengan cara melihat
ciri-ciri fetus yang hidup yaitu :
Ciri Fetus Hidup
;
a. Respon
positif pada penarikan pedal dan reflex palpebral.
b. Respon
pada tekanan pada bola mata atau cubitan hidung atau telinga.
c. Gerak
reflex menghisap jika jari ditempatkan pada mulut anak sapi.
d. Kontraksi
anal sphincter ketika jari dimasukkan (Jackson,2007).
Setelah
memastikan fetus benar-benar hidup, langkah selanjutnya menyadarkan anak sapi :
a. Membersihkan
jalan udara : anak sapi digantungkan
dengan kakinya dari balok yang nyaman atau digantung pada pintu. Dengan
alat penghisap untuk memastikan hilangnya lender pada mulut, farink, larink dan
saluran hidung.
b. Memeriksa
denyut jantung fetus
c. Penegakan
respirasi saat jantung berdenyut :dapat dirangsang dengan mencubit hidung atau
kaki fetus, menusuk nasal filtrum atau mencipratkan air dingin ke bagian
kepala.
Perawatan selanjutnya anak sapi harus
didorong untuk minum kolostrum dalam 6 jam kelahiran. Pusarnya harus dicelupkan
dalam iodin atau disemprot aerosol antibiotic setelah sadar juga pemeriksaan
pusar secara berkala untuk memastikan hemoraghi yang tertunda dari umbilicus
tidak terjadi (Jackson,2007).
Adapun cara yaitu
pembuatan klostrum buatan dengan bahan :
a. Susu
skim 12 sendok makan (bahan dasar kolostrum).
b. Garam
dapur 1 sendok makan (elektrolit pengganti NaCl) dan MgSO4 (laksansia).
c. Kuning
telur 1-2 butir (sumber lemak, protein dan imunoglobin).
d. Madu
(sumber vitamin dan tenaga).
e. Antibiotik
(antibakteri).
f. Air
hangat dan gula jawa (pelarut).
Cara
pembuatannya panaskan air dalam keadaan mendidih lalu tuangkan pada wadah yang
telah dicampur semua bahan diatas, aduk rata dan siap di berikan pada fetus
yang baru lahir (Manan,2001).
C.
Sumber
Informasi (Daftar Pustaka)
Bearden,2004.
Applied Animal reproduction. London :
Pearson Prentice Hall
Blakely, J. dan D.H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Edisi keempat.
Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press
Hardjopranjoto, 1995. Ilmu Kemajiaran pada Ternak. Surabaya : Airlangga University Press
Jackson P.G.G, 2007. Handbook of Veterinary
Obstetrics. Philadelphia : Elsevier Saunder Company
Manan, D. 2001. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Aceh :
Universitas Syah Kuala
Smith, B. P.
2002. Large Animal Internal Medicine.
New York : Mosby
No comments:
Post a Comment