Anestrus
Pada Sapi
Learning
Objective :
I.
Mengetahui
tentang Macam-macam Anestrus beserta :
A. Etiologi
B. Patogenitas
C. Gejala klinis
D. Diagnosa dan Prognosa
E. Pengobatan dan
Pencegahan
I.
Anestrus
pada Sapi
Anestrus
adalah stadium dimana seksual secara inaktif sempurna dengan tidak ada
manifestasi estrus (Hafez, 2000). Hal ini bukan suatu penyakit tetapi berbagai
macam kondisi dimana dapat terjadi karena belum masuk masa pubertas, selama
kebuntingan dan laktasi, dan musim kawin. Ini tanda – tanda dari depresi
aktifitas ovarium baik yang sementara atau permanen (True Anestrus) yang disebabakan perubahan musim pada lingkungan
fisik, defisiensi nutrisi, stress dan umur yang tua. Beberapa faktor yang dapat
menyebabkan anestrus antara lain sebagai berikut :
a.
Umur
: betina yang masih berumur muda belum dapat memperlihatkan gejala estrus.
Anestrus pada hewan yang masih muda ini disebabkan poros hipotalamus,
hipophisis dan ovarium belum berfungsi secara baik. Hormone gonadotropin belum
cukup dihasilkan oleh kelenjar hipofisis anterior, sehingga ovarium belum dapat
didorong untuk menghasilkan estrogen karena belum terjadi pertumbuhan folikel
yang sempurna. Sebaliknya pada hewan yang tua, poros tersebut telah mengalami
penurunan fungsi sehingga sekresi hormone gonadotropin berkurang dan disertai
dengan penurunan respon ovarium.
b.
Kebuntingan
: hewan yang sedang bunting pada
ovariumnya terdapat corpus luteum gravidatum yang mengahasilakan progesterone
dalam jumlah besar. Namun, hormone ini justru menghambat kegiatan hipofisis
anterior sehingga terjadi umpan balik negative terhadap FSH dan LH. Hal
tersebut membuat folikel baru tidak terbentuk sehingga estrogen tidak
diproduksi. Maka birahipun tidak timbul.
c.
Laktasi
: pada induk yang sedang laktasi
khususnya pada sapi perah yang produksinya tinggi, kadar prolaktin tinggi dalam
darah mendorong terbentuknya korpus luteum persisten sebagai kelanjutan dari CL
grafidatum saat bunting. Akibatnya kadar progesterone meningkat dan menyebabkan
feedback negative terhadap FSH dan LH. Lamanya anestrus sangat dipengaruhi oleh
intensitas susu dan masa laktasi.
d.
Pakan
: ransum pakan yang rendah kualitas maupun kuantitasnya dapat menyebabkan
terjadinya anestrus. Karbohidrat dan lemak yang rendah dalam ransum dapat
mempengaruhi aktivitas ovarium, menekan pertumbuhan folikel dan mendorong tombulnya anestrus. Kekurangan
protein mendorong terjadinya hipofungsi ovarium yang diikuti terjadinya
anestrus. Pakan yang kurang menyebabkan penurunan sekresi GnRH yang akan
menyebabkan penurunan produksi FSH dan LH sehingga pertumbuhan folikel pada
ovarium tidak ada, ovarium memiliki permukaan yang licin. Apabila hal tersebut
terus terjadi maka akan menyebabkan atropi ovarium.
e.
Musim
: musim dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsunga. Pada Negara
yang mempunyai 4 musim, biasa terjadi pada puncak musim dingin dan puncak musim
panas. Sedangkan pada Negara tropis anestrus sering kali dijumpai pada musim
kemarau, akibat curah hujan yang rendah menyebabkan kualitas hijauan pada pakan
menurun. Selain itu suhu yang terlalu panas juga dapat memicu anestrus pada
sapi-sapi eropa
f.
Lingkungan
: lingkungan yang kurang baik dapat
memicu stress pada induk sapi yang menginduksi terjadinya anestrus. Kandang
yang sempit membatasi pergerakan sapi, buruknya sirkulasi udara, sanitasi yang
kurang baik, dan kurangnya exercise sehingga menyebabkan stress yang kronis
sehingga mengganggu siklus hormonal yang dapat menyebabkan anestrus.
g.
Patologi
ovarium dan uterus. Beberapa khasus
patologi yang dapat menyebabkan anestrus diantaranya hipoplasia ovarium,
freemartin, piometra, tumor pada ovarium atau uterus. Pada khasus hipoplasia
ovarium atau freemartin, ovarium tidak terbentuk secara sempurna sehingga tidak
akan diproduksi progesterone ataupun esterogen dalam jumlah yang mencukupi.
Pada khasus patologi uterus, PgF2α tidak dapat diproduksi dalam jumlah yang
mencukupi sehingga corpus luteum tidak dapat dilisiskan. Sehingga kadar
progesterone melebihi esterogen.
h.
Penyakit
yang kronis dapat menyebabkan penurunan nafsu
makan ataupun berkurangnya suplai nutrisi akibat penyakit tersebut, misalnya
pada penyakit cacing saluran pencernaan yang kronis yang dapat menyebabkan anestrus
dalam jangka waktu yang lama
Anestrus
menurut gejala utamanya dapat dibagi menjadi dua, yaitu anestrus normal dan
abnormal.
ü Anestrus Normal
o
Prepubertas,
(system organ reproduksi belum matang, system hormonal belum berperan)
o
Bunting,
(dominasi hormon P4, korpus luteum verum/gravidatum)
o
Laktasi/menyusui,
(dominasi prolaktin dan oksitoksin, hambatan pelepasan GnRH, nutrisi terfokus
untuk air susu)
o
Umur
Tua, (system hormonal terhenti/terganggu)
o
Stress,
(gangguan hormonal)
ü Anestrus Abnormal
(karena gangguan / penyakit)
·
Hipoplasia ovaria
(Ovarian Hypoplasia) yaitu ovarium mengalami
hipoplasi. Cirinya ovarium teraba kecil, halus, dan rata.
·
Agenesis ovaria (Ovarian Agenesi
) yaitu ovarium tidak tumbuh, sehingga
tidak ada ovarium pada organ kelamin betina.
·
Freemartin adalah hewan betina yang organ reproduksinya tidak
berkembang, 90% biasanya terjadi pada kasus kelahiran kembar jantan dan betina.
Cirinya, hewan betina menyerupai hewan jantan, uterus tidak berkembang, seringa
ditemukan bentukan seperti kelenjar vesikula seminalis dalam uterus, vulva
ditumbuhi rambut kasar dan lebat.
·
Oophoritis yaitu keradangan ovarium, biasa disebabkan karena
infeksi ikutan, dan traumatik.
·
Hypofungsi ovaria yaitu penurunan fungsi
ovarium pada hewan betina. Adalah penyebab anestrus yang sering terjadi pada
sapi. Disebabkan oleh malnutrisi, infeksi kronis, infestasi cacing, dan stress.
·
Atropi ovaria yaitu pengecilan ovarium, yang disebabkan karena
kasus hypofungsi ovaria yang tidak segera ditangani. Cirinya ovarium kecil,
kasar dan keras saat diraba.
·
Sista luteal, disebabkan karena
peningkatan hormone LTH secara mendadak. Cirinya dinding folikel jadi tebal
>2,5 cm, terjadi luteinisasi, dan progesterone meningkat.
·
Subestrus / silent heat yaitu birahi pendek (1-4jam)/ birahi tenang, tidak
terlihatnya birahi. Silent heat sering terjadi pada
sapi post partus. Sapi yang silent heat ditandai dengan adanya aktifitas
ovarium dan adanya ovulasi tapi tidak disertai dengan gejala estrus yang jelas.
Sedangkan pada kasus subestrus, ditandai dengan adanya gejala birahi tapi yang
berlangsung sangta pendek / singkat. Predisposisi
adalah genetik. Penyebab dari
keduanya adanya terjadinya devisiensi nutrisi β caroten, Co, P, cobalt dan BB
rendah. Diagnosis berdasarkan gejala
klinis dan palpasi perektal. Pada palpasi perektal, ovarium akan teraba adanya
aktifitas ovarium. Terapi : jika
tidak terjadi buntingnamun ada CL, dapat diberi PGF2a atau analognya dan
diikuti fixed time insemination atau dengan pemberian GnRH dan progesteron..
·
Korpus luteum persisten
:
Korpus
luteum yang persisten dapat disebabkan :
§ Karena
hewan tsb bunting (adanya korpus luteum
kebuntingan yang menetap) atau
§ Karena
CL persisten akibat adanya gangguan atau patologi pada uterus seperti Pyometra,
mommifikasi. dll
Prognosa
: tergantung penyebabnya. Terapi : perbaikan
manajemen, dan penyingkiran korpus luteum persisten dengan cara manual atau
pemberian PGF2a
·
Pyometra
·
Mummifikasi dan
maserasi fetus
·
Endometritis klinis
Keadaan
anestrus dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu :
- True anestrus (anestrus normal)
Abnormalitas
ini ditandai dengan tidak adanya aktivitas siklik dari ovaria, penyebabnya
karena tidak cukupnya produksi gonadotropin atau karena ovaria tidak
respon terhadap hormon gonadotropin. Secara perrektal pada sapi dara
akan teraba kecil, rata dan halus, sedangkan kalau pada sapi tua ovaria akan
teraba irreguler (tidak teratur) karena adanya korpus luteum yang
regresi (melebur) atau lebih dikenal dengan korpus albicans. Oleh karenanya sulit
dibedakan korpus luteum yang sedang berkembang dengan korpus luteum yang
regresi.
Secara
klinis, sapi yang mengalami true anestrus dapat terjadi baik pada sapi dara
atau sapi yang pernah beranak. Gejala yang nampak yaitu anestrus.
Anetrus
ini sering terjadi pada : Sapi dalam masa pubertas, sapi dengan produksi susu
tinggi, pasca beranak, hewan bunting, dan sapi yang sedang laktasi. Faktor predisposisi yang menyebabkan
terjadinya true anestrus adalah factor musim dan lingkungan serta factor
genetik
- Anestrus karena gangguan hormon
Biasanya
terjadi karena tingginya kadar progesteron (hormon kebuntingan) dalam
darah atau akibat kekurangan hormon gonadotropin. Misalnya sista luteal.
- Anestrus karena kekurangan nutrisi
Kekurangan
nutrisi dapat menyebabkan gagalnya produksi dan pelepasan hormon gonadotropin,
terutama FSH dan LH, akibatnya ovarium tidak aktif. Contoh kasus ini adalah
terjadinya hipofungsi ovaria. Jiak ini terjadi pada periode yang lama akan
melanjut ke atropi ovaria.
- Anestrus karena genetik
Anestrus
karena faktor genetik yang sering terjadi adalah hipoplasia ovarium dan agenesis
ovaria. Penanganan dengan perbaikan pakan sehingga skor kondisi tubuh (SKT)
meningkat, merangsang aktivitas ovaria dengan cara pemberian (eCG 3000-4500 IU;
GnRH 0,5 mg; PRID/ CIDR dan estrogen). Pada kenyataannya, tidak semuanya pada
kasus atropi ovaria, hipoplasi ovarium, agenesis ovaria, dan freemartin.
Anestrus yang dapat disebabkan karena kasus hipofungsi ovaria dapat diteerapi dengan
cara :
§ Perbaikan
feeding agar BCS meningkat
§ Merangsang
aktivitas ovaria dengan cara pemberian : ECG, GnRH, progesteron, esterogen baik
sintetik atau alami.
Pathogenesis
Kegagalan estrus atau anestrus pada ternak sapi merupakan
gejala utama dari banyak faktor lain yang mempengaruhi siklus birahi. Menurut
Hafez (2000) bahwa anestrus akibat hipofungsi ovarium sering berhubungan
dengan gagalnya sel-sel folikel menanggapai rangsangan hormonal, adanya
perubahan kuantitas maupun kualitas sekresi hormonal, menurunnya rangsangan
yang berhubungan dengan fungsi hipotalamus-pituitaria-ovarium yang akan
menyebabkan menurunnya sekresi gonadotropin sehingga tidak ada aktivitas
ovarium setelah melahirkan.
GnRH berfungsi menginduksi pelepasan FSH dan
LH di hipofisa anterior sehingga menyebabkan perkembangan folikel dan
terjadinya estrus (Hafez, 2000). Sehingga apabila terjadinya penurunan GnRH
maka pelepasan LH dan FSH pun akan terhambat, maka terjadilah anestrus.
Gejala
Klinis
Anestrus bukanlah penyakit, tetapi gejala yang
tampak pada sapi karena mengalami kondisi atau keadaan tertentu (Hafez, 2000).
Jadi anestrus sendiri merupakan gejala klinis yang timbul karena beberapa
faktor, misalnya karena faktor alami atau faktor gangguan/ penyakit, contohya
sudah dijelaskan di atas.
Malnutrisi,
gejalanya:
-
Sapi kurus
-
Anestrus/tidak birahi
-
Lemah
-
Bulu kusam, dsb
Diagnosis
Diagnosis dari anestrus:
a) Anamnesa, meliputi: pakan yang diberikan perhari,
berapa lama kejadian anestrus.
b) Pemeriksaan umum meliputi inspeksi, pemeriksaan
pulsus, dll.
c) Eksplorasi perektal, untuk menentukan adakah
abnormalitas pada organ reproduksinya. Pemeriksaan pada ovarium pada kasus
sista luteal misalnya ada penebalan pada folikel, atau tidak adanya ovarium
pada kasus agenesis ovarium.
d) Pemeriksaan darah dan urin, untuk mengetahui hormon
yang ada, progesterone meningkat saat kebuntingan, setelah partus akan turun.
Saat anestrus hormone GnRH, FSH dan LH
kurang dari normal ada di dalam darah.
e) Menggunakan Ultrasonography, dimasukkan transrektal.
USG dapat mengindikasikan bahwa anestrus disebabkan karena kegagalan mekanisme
pengeluaran LH. Tidak keluarnya LH dalam hal ini bukan saja karena pengeluaran
GnRH yang kurang, melainkan karena kesensitifan dari kerja
hipotalamus-pituitary untuk lebih meningkatkan level estradiol (Hafez, 2000).
f) Swab vagina, jika anestrus (sekitar
dua bulan) ditandai banyak sel epitel dengan inti piknotik dan terdapat sedikit
leukosit heterofil dan limfosit.
Pengobatan dan Pencegahan
Pada umumnya penanggulangan
anestrus dapat ditempuh dengan cara:
·
Perbaikan pengelolaan.
Dilakukan dengan pengamatan birahi pada ternak. Ternak yang diamati birahinya,
sebaiknya dilepaskan bersama dan diamati dengan teliti, satu, dua atau sampai 3
kali perhari, karena pengamatan brahi dikandang sangat tdak memuaskan. Dengan
ini bisa diketahui apakah sapi tersebut mengalami anestrus.
·
Penyingkiran korpus
luteum persisten. Bisa dilakukan secara manual melalu perektal. Walaupun
pemecahan korpus luteum persisten secara manual paling sederhana dan praktis
tetapi sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan perdarahan dan perlekatan
dar ovarum. Sebab bila korpus luteum jatuh pada ovarium dapat menyebabkan
perlekatan antara bursa dan ovarium sehingga dapat menyebabkan kemajiran.
·
Dengan penyuntikan PGF2a
intrauterina untuk mempermudah regresi korpus luteum persisten. Penyingkiran
korpus luteum perssten dengan penyuntikan PGF2a umumnya akan disusul dengan brahi
2-7 hari setelah penyuntikan pada 50-80% sapi-sapi tersebut dengan angka
kebuntingan 25-80%. Bila birahi tidak terlihat maka dapat saja dikawinkan 3-4
hari sesudah korpus luteum regresi. Penyingkiran corpus luteum secara berulang
pada interval 10 hari akan menyebabkan pembentukan kista korpus luteum.
· Sista ovaria : prostaglandin (jika hewan tidak bunting)
· Sista folikel : Suntik HCG/LH (Preynye, Nymfalon) secara
intramuskuler sebanyak 200 IU.
· Sista luteal : PGH 7,5 mg secara intra uterina atau 2,5
ml secara intramuskuler. Selain itu juga dapat diterapi dengan PRID/CIDR, intra
uterina (12 hari). Dua sampai lima hari setelah pengobatan sapi akan birahi.
· Apabila terdapat corpus luteum maka dapat diterapi dengan PGF2 dan diikuti
dengan pemberian GnRH
· Penanganan dengan perbaikan pakan sehingga skor kondisi
tubuh (SKT) meningkat, merangsang aktivitas ovaria dengan cara pemberian (eCG
3000-4500 IU; GnRH 0,5 mg; PRID/ CIDR dan estrogen).
· Pada anestrus karena hipofungsi ovarium biasanya
disebabkan oleh kekurangan pakan maka pertolonganya adalah dengan memperbaika
kualitas pakannnya.
· Pada kasus anestrus karena atropi ovarium yang umumnya
juga disebabkan oleh kurang pakan dalam jangka waktu yang lama pertolongan juga
ditujukan pada perbaikan kualitas pakan dalam jangka waktu yang lama, setelah
kondisi badan telah pulih kembali birahi dapat dipercepat permunculnya dengan
penyuntikan FSH dan LH.
DAFTAR PUSTAKA
Arthur,
G. H., 1990. Veterinary Reproduction and Obstetrics. Bailiere. Tind.
Bearden H.J. and W.J
Fuquay, 2004. Applied Animal reproduction. 6th Ed. Lea & Febriger.
Philadelphia.
Hafez, E.S.E.,
2000. Reproduction in Farm Animals, 7th Edition. LWW Wolter Kluwer
Company. USA
Hardjopranjoto, Soehartojo. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Arlangga University Press, Surabaya
Winugroho, M
and Teleni, E, 1993. Feeding and Breeding Strategies. ACIAR Monograph.
Canberra, Australia
No comments:
Post a Comment