LEARNING
OBJECTIVE
1. Bagaimana
Etiologi, Diagnosa, Penanganan infeksi parasit gastrointestinal?
2. Bagaimana
analisis infeksi parasit endemik?
1. Parasit
Gastrointestinal
a. Nematoda
(Nematodiasis)
1) Haemonchus contortus (Haemonchosis)
Cacing ini mempunyai tempat
predileksi pada abomasum. Pada cacing jantan mempunyai dorsal lobe yang tidak
simetris, pada betina mempunyai vulva lap. Pada cacing betina uterus melilit
pada usus, sehingga jika usus penuh
dengan darah akan terlihat barber’s pole (Levine,
1994).
Siklus hidup cacing ini,
yaitu cacing betina bertelur, kemudian telur akan menetas kemudian menjadi L1
di padang rumput dan akan berkembang terus sampai L3 selama 5 hari, tapi akan
ditunda dalam beberapa hari atau bulan jika komdisi dingin. Setelah L3
termakan,maka L3 akan melepaskan selubungnya dirumen dan melepaskan selubung
kedua didekat glandula gastrik. Cacing mendapatkan darah dengan menusuk
pembuluh dara dari mukusa dengan lanset. Cacing dewasa dapat berpindah dengan
bebas melewati permukaan mukosa dan periode prepaten 2-3 minggu pada domba dan
4 minggu pada sapi (Bowman, D.1999).
Pathogenesis dari
haemonchosis, pada dasarnya terjadi hemoragi anemia akut yang disebabkan oleh
menyedotan darah oleh cacing. Cacing dapat memakan darah 0,05ml per hari sekali
makan. Pada akut haemonchosis anemia terlihat selama 2 minggu setelah infeksi
dan turunya PCV, hematokrit stabil pada level rendah menyebabkan terjadinya
peningkatan erythropoiesis, ini disebabkan oleh hilangnya mineral besi secara
terus menerus dan protein pada saluran gastrointestinal dan nafsu makan
berkurang, kadar hemtokrit juga rendah sampai terjadi kematian (Bowman, D.1999).
Gejala klinis pada akut
haemonchus ditandai dengan karakteristik anemia, oedema pada mandibular dan
juga terjadi asites, lethargy, dark colour feses, diare.
Diagnosa dapat dilihat dari
gejala klinis, khususnya didukung dengen pemeriksaan telur. Nekropsi pada abomasums
dan perubahan pada sumsum tulang, perubahan biasanya tampak jelas pada keduanya (Subronto, 2004).
Pengobatan yang
bisa diberikan berupa kelompok benzilmidazole, antara lain albendazole dengan
dosis 5 – 10 mg/kg berat badan, mebendazole dengan dosis 13,5 mg/kg berat badan
dan thiabendazole dengan dosis 44 – 46 mg/kg berat badan. Albendazole dilarang
dipakai pada 1/3 kebuntingan awal. Mebendazole dan thiabendazole aman untuk
ternak bunting, tetapi thiabendazole sering menyebabkan resistensi. Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberiah anthelmintel
pada saat musim hujan (Subronto, 2004).
2)
Bunostomum
phlebotomum (Bunostomiasis)
Bunostomiasis pada sapi yang namanya Bunostomum
phlebotomum yang
betina mempunyai ukuran 24-28 mm, yang jantan 10-18 mm. Pada kambing B. trigonosephalus betina 19-26 mm, yang
jantan 12-17 mm (Levine, 1994).
Daur hidup bersifat langsung. Infeksi terhadap hospes
terjadi melalui mulut dan kulit melalui larva infektif. Setelah menembus kulit
melalui peredaran darah sampai paru-paru, sebagai larva stadium ketiga, dan
selanjutnya sebagai stadium larva keempat mencapai usus setelah hari kesebelas.
Telur pertama dibebaskan oleh cacing dewasa pada hari 30-56 stelah infeksi
pertama (Levine,
1994).
Karena pengisapan darah segar oleh cacing penderita
segera mengalami anemia. Bila jumlahnya cukup banyak, tinja berwarna hitam
(melena). Odem submandibuler juga mungkin teramati bila berlangusung ronik.
Pada nekropsi usus halus mengalami radang hemoragik dan terdapat cacing yang
melekat kuat pada bagian anteriornya (Levine, 1994).
Pada sapi yang dikandangkan mungkin dijumapai rasa gatal
di kaki, yang disebabkan
oleh larva migrans. Pada spesies lain
dekenal sebagai creeping-itch, sapi menghentakkan kakinya atau berusaha
menjilat kaki yang gatal tersebut. Diare, kelemahan umum, dan anemia merupakan
gejala yang tampak terutama pada anak sapi, domba dan kambing (Levine,
1994).
Penentuan diagnosis berdasarkan pada identifikasi
telur cacing dan larva yang dibiakkan dari tinja penderita (Subronto, 2004).
Kontrol dapat dilakukan dengan selalu menjaga agar
kandang bersih dan kering, pemberian pakan hijauan jangan langsung dalam
keadaan basah. Tetraclorethylene dapat digunakan untuk penangangan. Levamisole,
ruelene, thiabendazole dan trichlorfon juga efektif untuk digunakan (Subronto, 2004).
3)
Toxocara vitulorum (Neoascaris vitulorum) (Neoascariasis)
Cacing Toxocara vitulorum termasuk
Nematoda yang memiliki kemampuan lintas hati, paru-paru dan plasenta. Ukuran
panjang cacing betina adalah sebesar 30 cm dan lebar 25 cm, warna
kekuning-kuningan dengan telur agak bulat dab memiliki dinding yang tebal.
Habitat cacing adalah pada sapi dan kerbau serta berlokasi di usus kecil (Bowman, D.1999).
Telur dalam tinja tertelan oleh sapi
atau kerbau dan menetas di usus halus menjadi laeva. Larva kemudian bermigrasi
ke hati, paru-paru, jantung, ginjal dan bisa ke plasentadan masuk ke cairan
amnion serta masuk ke dalam kelenjar mammae dan keluar bersama kolustrum (Bowman, D.1999).
Terdapat tiga cara penularan cacing Toxocara
vitulorum, antara lain makan telur, tertelan tanpa sengaja, lewat plasenta
pada saat fetus dan lewat kolustrum pada waktu menyusu induknya (Bowman, D.1999).
Pada anak sapi atau kerbau terjadi diare
dan ternak menjadi kurus. Pernah dilaporkan juga bisa menyebabkan kematian.
Anak sapi yang tetap hidup akan mengalami gangguan pertumbuhan (Bowman, D.1999).
Pemeriksaan telur cacing dalam tinja
merupakan cara diagnosis adanya cacing ini.
Upaya pengobatan cacing ini adalah
dengan pemberian piperazin. Pengobatan secara teratur pada anak sapi dan
menjaga kebersihan kandang merupakan tindakan pencegahan yang diharuskan (Morgan, 2003).
b. Trematoda
(Trematodiasis)
1)
Fasciola sp. (Fasciolosis)
Terdapat di empedu
domba, sapi, kambing, manusia dan hampir seluruh mamalia lainnya terutama di wilayah Eropa. Cacing dewasa berbentuk daun, panjang
mencapai 5cm dan lebar 1,5 cm,
mempunyai bahu yang nyata tapi dibelakang kerucut (Fasciola
hepatica). Telur mempunyai operculum dan berwarna agak kekuningan (Levine, 1994).
Ketika telur dideposit,
setiap telur terdiri dari ovum yang terfertilisasi dan menjadi satu kelompok
oleh sel vetelin yang ditutup oleh operculum. Jika telur jatuh pada air akan
menjadi larva yang bersilia yang disebut mirasidium dan berkembang didalamnya,
mirasidium ditutupi sepenuhnya oleh silia, mempunyai sepasang titik mata, otak,
rudimenter ekretori system. Mirasisium berkambang dan sipa menetas selama 2-4
minggu pada temperature yang panas. Setelah menetas maka akan mencari siput
yang cocok (Lymnea truncatula). Jika mirasidium gagal mendapatkan siput dalam
24 jam, mirasidium kehilangan energy dan mati. Jika mirasidium menemukan siput
maka dia silia akan hilang dan akan bermigrasi ke gonad dan digestif system
terutama di liver dan menjadi sporosista. Kemudian tumbuh menjadi redia dan
keluar dari tubuh siput menjadi serkaria, serkaria mencari rumput yang
tergenang air dan menjadi metaserkaria. Jika metaserkaria tercerna maka
dinamakan marita, melakukan penetrasi pada dinding usus dan melewati peritoneal
menuju ke liver, setelah beberaoa waktu berada di parenkim hati kemudian menuju
ke duktus-duktus empedu, menjadi dewasa dan mulai bertelur (Subronto, 2004).
Pathogenesis dari cacing ini
adalah pada dasarnya ada 2 fase, fase pertama terjadi selama migrasi ke
parenkim hati dan menyebabkan kerusakan hati. Pada kejadian kedua ketika
parasit ada pada duktus biliverus terjadi
hemoragi, hemoragi diakibatkan karena adanya aktifitas dari cacing dan
kerusakan mukosa empedu oleh spina (Subronto, 2004).
Gejala klinis pada domba yang menderita fascioliasis akut dapat mati
mendadak tanpa gejala klinis sebelumnya. Pada yang terinfeksi tidak masif, hewan terlihat lesu, lemah, anoreksia, pucat, oedema
pada mukosa dan konjungtiva serta sakit pada palpasi hati. Subakut,
masuknya banyak metasercaria dalam waktu lama mengakibatkan kelesuan,
pertumbuhan terhambat, efisiensi pakan turun, bottle jaw dan anemia. Pada kasus
kronik, terjadi kekurusan, kelemahan umum, cachexia, anoreksia, anemia, tidak
mampu bangun, bottle jaw, suara jantung mendebur, dan feses encer (Subronto,
2004).
Diagnosa
fascioliasis dapat dilakukan antara lain dengan pemeriksaan telur pada feses
dengan metode sedimentasi (Parfit&Banks). Telur fasciola sangat mirip
dengan paramphistomum, perbedaanya telur fasciola lebih kecil, dinding telurnya
lebih tipis sehingga mudah menyerap zat warna empedu, yodium, atau methylen
blue. Selain itu didalam paramphistomum biasanya lebih jelas sel-sel
embrionalnya daripada dalam telur fasciola. Enzyme plasma akan keluar karena
adanya kerusakan sel hati. Dua enzyme yang biasanya ada adalahm Glutamat
dehydrogenase (GLDH) yang keluar ketikan parenkim sel rusak dan level meningkat
pada minggu pertama infeksi. Gamma glutamyltranspeptidase (GGT) merupakan
indikasi kerusakan pada saluran empedu (Subronto, 2004).
Pencegahan dapat dilakuakn dengan perbaikan sanitasi lingkungan
dan pakan sangat berperan untuk mencegah terjadinya Fasciolasis, serta adanya
perbaikan manajemen perkandangan. Pengobatan dapat menggunakan Carbontetrachloride, domba 1 ml – 1 ml untuk cacing
dewasa, secara i.m mengurangi resiko toksisitas dibanding per oral. Hexachlorphene – pada sapi 220 mg – 400 mg/kg
bb 3 –4 dosis, Domba 20-30 g/hewan.
Hexachlorphene – oral/s.c. Domba 15-20 mg/kg akut – 40 mg/kg. Sapi 10-20
mg/kg – efektif cacing dewasa dan stadium parenkimal. Hetol 150 mg/kg (domba)
Anak db : 5-6 bln 5-10 gr, Sapi 125 mg/kg. Bithionol – sapi 30 – 35 mg/kg bb.,
Bithionol sulphoxide – domba 40 mg/kg. Diamphenethide 100 mg/kg – cacing muda
150 mg/kg – cacing dewasa, Oxyclozanida – domba 15 –20 mg/kg. sapi 10 – 15
mg/kg, domba 3 ×
dosis 45 mg/kg efektif untuk cacing muda dan untuk akut. Rafaoxanide – sapi dan
domba 7,5 mg/kg. Nitroxynil secara s.c. 10 mg/kg untuk cacing dewasa (domba dan
sapi) 15 mg/kg untuk cacing muda umur 4 minggu (Subronto, 2004).
2)
Paramphistomum
sp. (Paramfitomiasis)
Etiologi merupakan penyakit sapi, kerbau, dan domba.
Disebabkan oleh cacing trematoda genus Paramfistomum sp, Chalicophoron sp,
Ceylonocotyle sp, Cotyledophoron sp (Levine, 1994).
Stadium infektif yang termakan hospes akan mengakibatkan
terjadinya erosi pada mukosa duodenum. Ada infeksi ringan yang terjadi adalah
enteritis yang dikarakteristikkan dengan adanya udema, hemorraghi (Levine,
1994).
Gejala klinis Pada intestinal, teramati radang usus diikuti diare,
berbau busuk. Penderita lemah, depresif, dehidrasi dan anoreksia. Mukoasa pucat
dan hipoproteinemia ditandai adanya oedema submandbula. Pada gastric,
menyebabkan kekurusan, anemia, kekurusan, bulu kusam dan turunya produktifitas
(Subronto, 2004).
Merupakan penyakit yang sering menyerang ruminansia yang
disebabkan oleh cacing trematoda Paramphistomum.
Bentuk intestinal Paramphistomiasis adalah ditandai dengan radang usus, dan
pada lambung ditandai oleh gangguan berupa kekurusan, anemia, dan penurunan
produktifitas (Subronto, 2004).
Tumbuh pada siput sederhana, yang hidup di air tawar. Di
dalam tubuh siput, juga mengalami daur sporokista, redia, dan serkaria.
Cercaria dalam kista menempel pada daun dan akan termakan oleh ternak dan
tumbuh di duodenum sebagai cacing muda. Setelah dewasa akan bermigrasi ke
abomasum dan retikulum. Daur hidupnua berlangsung dalam waktu 6 minggu sampai 4
bulan (Subronto,
2004).
Cacing yang belum dewasa dalam duodenum dan abomasum akan
menyebabkan radang usus hebat hingga segera diikuti dengan diare yang berat.
Radang akut akan terjadi apabila jumlah cacing muda yang berkembang dalam
duodenum sangat banyak. Cacing dewasa tinggal di lambung muka, rumen dan
reticulum (Subronto, 2004).
Pada bentuk intestinal yang berat karena adanya radang usus
akan diikuti dengan diare yang berbau busuk. Penderita menjadi lemah, depresif,
dehidrasi, dan anorexia, mukosa jadi pucat dan hipoproteinemia juga ditandai
dengan oedema submandibular. Munngkin akan terjadi kematian setelah 15-20 hari
setelah gejala klinis. Bentuk lambung parasit dewasa dapat menyebabkan penyakit
kronik yang berupa kekurusan, anemia, bulu kusam, serta produktivitas menurun (Subronto,
2004).
Dapat
dikatakan sulit untuk mengidentifikasi telur Paramphistomum karena pengamatan
telur parasit sangat sulit dijumpai, seksi cacing muda juga kadang tidak
terdeteksi. Pemeriksaan harus diikuti dengan tindakan ditemukannya entritis
berat yang dipelihara di tempat lembab yang memungkinkan adanya cercaria (Subronto,
2004).
Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian CCl4
dan hexacloethan yang memeberikan respon bagus terhadap cacing dewasa. Obat
lain yang memberikan respon baik termasuk antara lain Resorantel (Terenol,
Resorcylam, Resorchantel) dengan dosis 65mg/kg. untuk sapi niclolofan dengan
dosis 6 mg/kg memberikan respon baik. Brothiamide dinyatakan efektif untuk
cacing dewasa pada sapi dengan dosis 15 mg/kg. Pencegahan paramfistomiasis
dapat dilakukan dengan pengendalian parasit gastrointestinal secara rutin. Bila
perlu misalnya obat pembunuh siput CuSO4 dapat diberikan.
Pengeringan parit dan air genangan perlu dilakukan untuk mencegah
paramfitomiasis dan parasitisme lainnya (Morgan, 2003).
c. Cestoda
(Cestodiasis)
1) Monieza expansa (Moneziasis)
Cacing
ini mempunyai alat kelamin ganda, merupakan cacing pita besar dapat mencapai 2
meter atau lebih.terdapat didalam usus halus sapi, domba dan ruminansia lain. Telur kasar berbentuk segitiga (Levine, 1994).
Siklus
hidup cacing ini apabila proglotid sudah dewasa maka telur akan diletakan pada
feses dan dikeluarkan menjadi onchosfere pada padang rumput. Jika onchosfere
dimakan oleh tungau maka embryo akan bermigrasi kedalam tubuh tungau dan akan
menjadi cysticerkoid selama 1-4bulan dan infeksi pada ruminan dengan gigitan
oleh vector, selam 6 minggu cacing akan tumbuh dewasa
Infestasi
cacing ini menyebabkan diare dan penyumbatan pada usus, infeksi ini diperjelas
dengan adanya proglotid yang ada difeses dan saat nekropsi (Subronto,
2004).
Ada
berbagai banyak gejala klinis termasuk diare, gejala respiratori dan terjadi
konvulsi. Diagnosis dapat dilihat dengan adanya proglotid yang ada di feses. Terlihatnya segmen yang menggantung
di anus atau adanya potongan segmen cacing bersama tinja dan disertai dengan
gejala klinis cukup memberikan petunjuk adanya infeksi cacaing Moniezea pada
kambing. Apabila potongan cacing tidak ditemukan, maka diagnosis didasarkan
dengan pemeriksaan telur cacing di bawah mikroskop (Subronto,
2004).
Sebagai
upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap cacing Moniezea, selain tindakan
pengobatan pada ternak yang sakit, juga harus dilaksanakan pemberantasan terhadap
insekta (serangga) yang dapat digunakan sebagai inang antara (Levine, 1994).
Pengobatan dan control dapat menggunakan bisa diberikan preparat obat, antara
lain : albendazole, oxfendazole 5 mg/kg berat badan, cambendazole 20 – 25 mg/kg
berat badan, fenbendazole 5 – 10 mg/kg berat badan atau mebendazole 13,5 mg/kg
berat badan (Morgan, 2003).
2. Analisis
infeksi parasit endemik
Penyakit
endemik adalah penyakit yang sudah lama terjadi pada suatu daerah dan dapat
diramalkan. Penyakit ini sering dianggap normal sehingga kurang diperhatikan
(Budiharta, 2014).
Pentingnya penyidikan terhadap penyakit :
-
Skala prioritas (endemik yang meluas lebih
berarti secara ekonomis daripada epidemik yang terbatas lingkup dan waktunya)
-
Hasil penelitian lembaga lain tidak selalu bisa
diterapkan
-
Membantu menggambarkan problem secara benar
-
Kadang
problem penyakit tidak disadari.
Sepuluh langkah penyidikan endemik :
-
Identifikasi masalah
-
Menyatakan tujuan
-
Pemilihan jenis kajian
-
Perencanaan sampel
-
Rencana koleksi dan pengelolaan data
-
Pemilihan pengujian diagnostik
-
Rencana analisis
-
Rencana administrasi
-
Implementasi penyidikan
-
Pelaporan
Parasitisme
subklinis dapat berubah menjadi klinis dan selanjutnya mungkin dapat mendatangkan kerugian secara ekonomik.
Perubahan tersebut terjadi bila hospes tidak mampu bertahan atau kehilangan
kekebalan. Penderita parasitisme akan bertindak sebagai sumber penularan bagi
hewan lainnya, terutama bila parasit yang dikandungnya memiliki daur hidup yang
bersifat langsung, tanpa memerlukan hospes antara untuk mencapai usia dewasanya
(Budiharta, 2014).
Pedet
yang menderita parasitisme akan tumbuh lambat dan pakan tidak digunakan secara
efisien, hingga pada waktu mencapai umur untuk dipotong berat badannya jauh
ketinggalan dibandingkan dengan yang tidak menderita parasitisme.
Untuk mencegah kerugian dalam usaha peternakan perhatian
yang lebih besar harus diberikan terhadap parasit pada individu muda
(Budiharta, 2014).
DAFTAR
PUSTAKA
Bowman,D.1999. Parasitology For Veterinarians. Philadelphia : Elsevier
Budiharta, Setyawan. 2014. Kuliah
Pengantar Penyidikan Penyakit Endemik. Yogyakarta
: FKH UGM.
Levine, N. D. 1994. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Morgan,
B.B. 2003. Veterinary Helminthology. Minneapolis : Burger Publishing Company
Subronto, dan Ida T. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
No comments:
Post a Comment