Wednesday 19 February 2014

BLOK 16 UP 1



LEARNING OBJECTIVE
1.      Bagaimana Etiologi, Diagnosa, Penanganan infeksi parasit gastrointestinal?
2.      Bagaimana analisis infeksi parasit endemik?

PEMBAHASAN
1.    Parasit Gastrointestinal
a.    Nematoda (Nematodiasis)
1)   Haemonchus contortus (Haemonchosis)
Cacing ini mempunyai tempat predileksi pada abomasum. Pada cacing jantan mempunyai dorsal lobe yang tidak simetris, pada betina mempunyai vulva lap. Pada cacing betina uterus melilit pada usus, sehingga jika usus penuh dengan darah akan terlihat barber’s pole (Levine, 1994).
Siklus hidup cacing ini, yaitu cacing betina bertelur, kemudian telur akan menetas kemudian menjadi L1 di padang rumput dan akan berkembang terus sampai L3 selama 5 hari, tapi akan ditunda dalam beberapa hari atau bulan jika komdisi dingin. Setelah L3 termakan,maka L3 akan melepaskan selubungnya dirumen dan melepaskan selubung kedua didekat glandula gastrik. Cacing mendapatkan darah dengan menusuk pembuluh dara dari mukusa dengan lanset. Cacing dewasa dapat berpindah dengan bebas melewati permukaan mukosa dan periode prepaten 2-3 minggu pada domba dan 4 minggu pada sapi (Bowman, D.1999).
Pathogenesis dari haemonchosis, pada dasarnya terjadi hemoragi anemia akut yang disebabkan oleh menyedotan darah oleh cacing. Cacing dapat memakan darah 0,05ml per hari sekali makan. Pada akut haemonchosis anemia terlihat selama 2 minggu setelah infeksi dan turunya PCV, hematokrit stabil pada level rendah menyebabkan terjadinya peningkatan erythropoiesis, ini disebabkan oleh hilangnya mineral besi secara terus menerus dan protein pada saluran gastrointestinal dan nafsu makan berkurang, kadar hemtokrit juga rendah sampai terjadi kematian (Bowman, D.1999).
Gejala klinis pada akut haemonchus ditandai dengan karakteristik anemia, oedema pada mandibular dan juga terjadi asites, lethargy, dark colour feses, diare.
Diagnosa dapat dilihat dari gejala klinis, khususnya didukung dengen pemeriksaan telur. Nekropsi pada abomasums dan perubahan pada sumsum tulang, perubahan biasanya tampak jelas pada keduanya (Subronto, 2004).
Pengobatan yang bisa diberikan berupa kelompok benzilmidazole, antara lain albendazole dengan dosis 5 – 10 mg/kg berat badan, mebendazole dengan dosis 13,5 mg/kg berat badan dan thiabendazole dengan dosis 44 – 46 mg/kg berat badan. Albendazole dilarang dipakai pada 1/3 kebuntingan awal. Mebendazole dan thiabendazole aman untuk ternak bunting, tetapi thiabendazole sering menyebabkan resistensi. Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberiah anthelmintel pada saat musim hujan (Subronto, 2004).


2)   Bunostomum phlebotomum (Bunostomiasis)
Bunostomiasis pada sapi yang namanya Bunostomum phlebotomum yang betina mempunyai ukuran 24-28 mm, yang jantan 10-18 mm. Pada kambing B. trigonosephalus betina 19-26 mm, yang jantan 12-17 mm (Levine, 1994).
Daur hidup bersifat langsung. Infeksi terhadap hospes terjadi melalui mulut dan kulit melalui larva infektif. Setelah menembus kulit melalui peredaran darah sampai paru-paru, sebagai larva stadium ketiga, dan selanjutnya sebagai stadium larva keempat mencapai usus setelah hari kesebelas. Telur pertama dibebaskan oleh cacing dewasa pada hari 30-56 stelah infeksi pertama (Levine, 1994).
Karena pengisapan darah segar oleh cacing penderita segera mengalami anemia. Bila jumlahnya cukup banyak, tinja berwarna hitam (melena). Odem submandibuler juga mungkin teramati bila berlangusung ronik. Pada nekropsi usus halus mengalami radang hemoragik dan terdapat cacing yang melekat kuat pada bagian anteriornya (Levine, 1994).
Pada sapi yang dikandangkan mungkin dijumapai rasa gatal di kaki, yang disebabkan oleh  larva migrans. Pada spesies lain dekenal sebagai creeping-itch, sapi menghentakkan kakinya atau berusaha menjilat kaki yang gatal tersebut. Diare, kelemahan umum, dan anemia merupakan gejala yang tampak terutama pada anak sapi, domba dan kambing (Levine, 1994).
Penentuan diagnosis berdasarkan pada identifikasi telur cacing dan larva yang dibiakkan dari tinja penderita (Subronto, 2004).
Kontrol dapat dilakukan dengan selalu menjaga agar kandang bersih dan kering, pemberian pakan hijauan jangan langsung dalam keadaan basah. Tetraclorethylene dapat digunakan untuk penangangan. Levamisole, ruelene, thiabendazole dan trichlorfon juga efektif untuk digunakan (Subronto, 2004).

3)      Toxocara vitulorum (Neoascaris vitulorum) (Neoascariasis)
Cacing Toxocara vitulorum termasuk Nematoda yang memiliki kemampuan lintas hati, paru-paru dan plasenta. Ukuran panjang cacing betina adalah sebesar 30 cm dan lebar 25 cm, warna kekuning-kuningan dengan telur agak bulat dab memiliki dinding yang tebal. Habitat cacing adalah pada sapi dan kerbau serta berlokasi di usus kecil (Bowman, D.1999).
Telur dalam tinja tertelan oleh sapi atau kerbau dan menetas di usus halus menjadi laeva. Larva kemudian bermigrasi ke hati, paru-paru, jantung, ginjal dan bisa ke plasentadan masuk ke cairan amnion serta masuk ke dalam kelenjar mammae dan keluar bersama kolustrum (Bowman, D.1999).
Terdapat tiga cara penularan cacing Toxocara vitulorum, antara lain makan telur, tertelan tanpa sengaja, lewat plasenta pada saat fetus dan lewat kolustrum pada waktu menyusu induknya (Bowman, D.1999).
Pada anak sapi atau kerbau terjadi diare dan ternak menjadi kurus. Pernah dilaporkan juga bisa menyebabkan kematian. Anak sapi yang tetap hidup akan mengalami gangguan pertumbuhan (Bowman, D.1999).
Pemeriksaan telur cacing dalam tinja merupakan cara diagnosis adanya cacing ini. Upaya pengobatan cacing ini adalah dengan pemberian piperazin. Pengobatan secara teratur pada anak sapi dan menjaga kebersihan kandang merupakan tindakan pencegahan yang diharuskan (Morgan, 2003).

b.   Trematoda (Trematodiasis)
1)   Fasciola sp. (Fasciolosis)
 Terdapat di empedu domba, sapi, kambing, manusia dan hampir seluruh mamalia lainnya terutama di wilayah Eropa. Cacing dewasa berbentuk daun, panjang mencapai 5cm dan lebar 1,5 cm, mempunyai bahu yang nyata tapi dibelakang kerucut (Fasciola hepatica). Telur mempunyai operculum dan berwarna agak kekuningan (Levine, 1994).
Ketika telur dideposit, setiap telur terdiri dari ovum yang terfertilisasi dan menjadi satu kelompok oleh sel vetelin yang ditutup oleh operculum. Jika telur jatuh pada air akan menjadi larva yang bersilia yang disebut mirasidium dan berkembang didalamnya, mirasidium ditutupi sepenuhnya oleh silia, mempunyai sepasang titik mata, otak, rudimenter ekretori system. Mirasisium berkambang dan sipa menetas selama 2-4 minggu pada temperature yang panas. Setelah menetas maka akan mencari siput yang cocok (Lymnea truncatula). Jika mirasidium gagal mendapatkan siput dalam 24 jam, mirasidium kehilangan energy dan mati. Jika mirasidium menemukan siput maka dia silia akan hilang dan akan bermigrasi ke gonad dan digestif system terutama di liver dan menjadi sporosista. Kemudian tumbuh menjadi redia dan keluar dari tubuh siput menjadi serkaria, serkaria mencari rumput yang tergenang air dan menjadi metaserkaria. Jika metaserkaria tercerna maka dinamakan marita, melakukan penetrasi pada dinding usus dan melewati peritoneal menuju ke liver, setelah beberaoa waktu berada di parenkim hati kemudian menuju ke duktus-duktus empedu, menjadi dewasa dan mulai bertelur (Subronto, 2004).
Pathogenesis dari cacing ini adalah pada dasarnya ada 2 fase, fase pertama terjadi selama migrasi ke parenkim hati dan menyebabkan kerusakan hati. Pada kejadian kedua ketika parasit ada pada duktus biliverus terjadi  hemoragi, hemoragi diakibatkan karena adanya aktifitas dari cacing dan kerusakan mukosa empedu oleh spina (Subronto, 2004).
Gejala klinis pada domba yang menderita fascioliasis akut dapat mati mendadak tanpa gejala klinis sebelumnya. Pada yang terinfeksi tidak masif, hewan terlihat lesu, lemah, anoreksia, pucat, oedema pada mukosa dan konjungtiva serta sakit pada palpasi hati.  Subakut, masuknya banyak metasercaria dalam waktu lama mengakibatkan kelesuan, pertumbuhan terhambat, efisiensi pakan turun, bottle jaw dan anemia. Pada kasus kronik, terjadi kekurusan, kelemahan umum, cachexia, anoreksia, anemia, tidak mampu bangun, bottle jaw, suara jantung mendebur, dan feses encer (Subronto, 2004).
Diagnosa fascioliasis dapat dilakukan antara lain dengan pemeriksaan telur pada feses dengan metode sedimentasi (Parfit&Banks). Telur fasciola sangat mirip dengan paramphistomum, perbedaanya telur fasciola lebih kecil, dinding telurnya lebih tipis sehingga mudah menyerap zat warna empedu, yodium, atau methylen blue. Selain itu didalam paramphistomum biasanya lebih jelas sel-sel embrionalnya daripada dalam telur fasciola. Enzyme plasma akan keluar karena adanya kerusakan sel hati. Dua enzyme yang biasanya ada adalahm Glutamat dehydrogenase (GLDH) yang keluar ketikan parenkim sel rusak dan level meningkat pada minggu pertama infeksi. Gamma glutamyltranspeptidase (GGT) merupakan indikasi kerusakan pada saluran empedu (Subronto, 2004).
Pencegahan dapat dilakuakn dengan perbaikan sanitasi lingkungan dan pakan sangat berperan untuk mencegah terjadinya Fasciolasis, serta adanya perbaikan manajemen perkandangan. Pengobatan dapat menggunakan Carbontetrachloride, domba 1 ml – 1 ml untuk cacing dewasa, secara i.m mengurangi resiko toksisitas dibanding per oral.  Hexachlorphene – pada sapi 220 mg – 400 mg/kg bb 3 –4 dosis, Domba 20-30 g/hewan.  Hexachlorphene – oral/s.c. Domba 15-20 mg/kg akut – 40 mg/kg. Sapi 10-20 mg/kg – efektif cacing dewasa dan stadium parenkimal. Hetol 150 mg/kg (domba) Anak db : 5-6 bln 5-10 gr, Sapi 125 mg/kg. Bithionol – sapi 30 – 35 mg/kg bb., Bithionol sulphoxide – domba 40 mg/kg. Diamphenethide 100 mg/kg – cacing muda 150 mg/kg – cacing dewasa, Oxyclozanida – domba 15 –20 mg/kg. sapi 10 – 15 mg/kg, domba 3 × dosis 45 mg/kg efektif untuk cacing muda dan untuk akut. Rafaoxanide – sapi dan domba 7,5 mg/kg. Nitroxynil secara s.c. 10 mg/kg untuk cacing dewasa (domba dan sapi) 15 mg/kg untuk cacing muda umur 4 minggu (Subronto, 2004).

2)   Paramphistomum sp. (Paramfitomiasis)
Etiologi merupakan penyakit sapi, kerbau, dan domba. Disebabkan oleh cacing trematoda genus Paramfistomum sp, Chalicophoron sp, Ceylonocotyle sp, Cotyledophoron sp (Levine, 1994).
Stadium  infektif yang termakan hospes akan mengakibatkan terjadinya erosi pada mukosa duodenum. Ada infeksi ringan yang terjadi adalah enteritis yang dikarakteristikkan dengan adanya udema, hemorraghi (Levine, 1994).
Gejala klinis Pada intestinal, teramati radang usus diikuti diare, berbau busuk. Penderita lemah, depresif, dehidrasi dan anoreksia. Mukoasa pucat dan hipoproteinemia ditandai adanya oedema submandbula. Pada gastric, menyebabkan kekurusan, anemia, kekurusan, bulu kusam dan turunya produktifitas (Subronto, 2004).
          Merupakan penyakit yang sering menyerang ruminansia yang disebabkan oleh cacing trematoda Paramphistomum. Bentuk intestinal Paramphistomiasis adalah ditandai dengan radang usus, dan pada lambung ditandai oleh gangguan berupa kekurusan, anemia, dan penurunan produktifitas (Subronto, 2004).
          Tumbuh pada siput sederhana, yang hidup di air tawar. Di dalam tubuh siput, juga mengalami daur sporokista, redia, dan serkaria. Cercaria dalam kista menempel pada daun dan akan termakan oleh ternak dan tumbuh di duodenum sebagai cacing muda. Setelah dewasa akan bermigrasi ke abomasum dan retikulum. Daur hidupnua berlangsung dalam waktu 6 minggu sampai 4 bulan (Subronto, 2004).
          Cacing yang belum dewasa dalam duodenum dan abomasum akan menyebabkan radang usus hebat hingga segera diikuti dengan diare yang berat. Radang akut akan terjadi apabila jumlah cacing muda yang berkembang dalam duodenum sangat banyak. Cacing dewasa tinggal di lambung muka, rumen dan reticulum (Subronto, 2004).
          Pada bentuk intestinal yang berat karena adanya radang usus akan diikuti dengan diare yang berbau busuk. Penderita menjadi lemah, depresif, dehidrasi, dan anorexia, mukosa jadi pucat dan hipoproteinemia juga ditandai dengan oedema submandibular. Munngkin akan terjadi kematian setelah 15-20 hari setelah gejala klinis. Bentuk lambung parasit dewasa dapat menyebabkan penyakit kronik yang berupa kekurusan, anemia, bulu kusam, serta produktivitas menurun (Subronto, 2004).
          Dapat dikatakan sulit untuk mengidentifikasi telur Paramphistomum karena pengamatan telur parasit sangat sulit dijumpai, seksi cacing muda juga kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan harus diikuti dengan tindakan ditemukannya entritis berat yang dipelihara di tempat lembab yang memungkinkan adanya cercaria (Subronto, 2004).
Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian CCl4 dan hexacloethan yang memeberikan respon bagus terhadap cacing dewasa. Obat lain yang memberikan respon baik termasuk antara lain Resorantel (Terenol, Resorcylam, Resorchantel) dengan dosis 65mg/kg. untuk sapi niclolofan dengan dosis 6 mg/kg memberikan respon baik. Brothiamide dinyatakan efektif untuk cacing dewasa pada sapi dengan dosis 15 mg/kg. Pencegahan paramfistomiasis dapat dilakukan dengan pengendalian parasit gastrointestinal secara rutin. Bila perlu misalnya obat pembunuh siput CuSO4 dapat diberikan. Pengeringan parit dan air genangan perlu dilakukan untuk mencegah paramfitomiasis dan parasitisme lainnya (Morgan, 2003).

c.    Cestoda (Cestodiasis)
1)   Monieza expansa  (Moneziasis)
Cacing ini mempunyai alat kelamin ganda, merupakan cacing pita besar dapat mencapai 2 meter atau lebih.terdapat didalam usus halus sapi, domba dan ruminansia lain. Telur kasar berbentuk segitiga (Levine, 1994).
Siklus hidup cacing ini apabila proglotid sudah dewasa maka telur akan diletakan pada feses dan dikeluarkan menjadi onchosfere pada padang rumput. Jika onchosfere dimakan oleh tungau maka embryo akan bermigrasi kedalam tubuh tungau dan akan menjadi cysticerkoid selama 1-4bulan dan infeksi pada ruminan dengan gigitan oleh vector, selam 6 minggu cacing akan tumbuh dewasa
Infestasi cacing ini menyebabkan diare dan penyumbatan pada usus, infeksi ini diperjelas dengan adanya proglotid yang ada difeses dan saat nekropsi (Subronto, 2004).
Ada berbagai banyak gejala klinis termasuk diare, gejala respiratori dan terjadi konvulsi. Diagnosis dapat dilihat dengan adanya proglotid yang ada di feses. Terlihatnya segmen yang menggantung di anus atau adanya potongan segmen cacing bersama tinja dan disertai dengan gejala klinis cukup memberikan petunjuk adanya infeksi cacaing Moniezea pada kambing. Apabila potongan cacing tidak ditemukan, maka diagnosis didasarkan dengan pemeriksaan telur cacing di bawah mikroskop (Subronto, 2004).
Sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap cacing Moniezea, selain tindakan pengobatan pada ternak yang sakit, juga harus dilaksanakan pemberantasan terhadap insekta (serangga) yang dapat digunakan sebagai inang antara (Levine, 1994).
Pengobatan dan control dapat menggunakan bisa diberikan preparat obat, antara lain : albendazole, oxfendazole 5 mg/kg berat badan, cambendazole 20 – 25 mg/kg berat badan, fenbendazole 5 – 10 mg/kg berat badan atau mebendazole 13,5 mg/kg berat badan (Morgan, 2003).

2.    Analisis infeksi parasit endemik
Penyakit endemik adalah penyakit yang sudah lama terjadi pada suatu daerah dan dapat diramalkan. Penyakit ini sering dianggap normal sehingga kurang diperhatikan (Budiharta, 2014).
Pentingnya penyidikan terhadap penyakit :
-        Skala prioritas (endemik yang meluas lebih berarti secara ekonomis daripada epidemik yang terbatas lingkup dan waktunya)
-        Hasil penelitian lembaga lain tidak selalu bisa diterapkan
-        Membantu menggambarkan problem secara benar
-        Kadang problem penyakit tidak disadari.
Sepuluh langkah penyidikan endemik :
-        Identifikasi masalah
-        Menyatakan tujuan
-        Pemilihan jenis kajian
-        Perencanaan sampel
-        Rencana koleksi dan pengelolaan data
-        Pemilihan pengujian diagnostik
-        Rencana analisis
-        Rencana administrasi
-        Implementasi penyidikan
-        Pelaporan
       Parasitisme subklinis dapat berubah menjadi klinis dan selanjutnya mungkin dapat  mendatangkan kerugian secara ekonomik. Perubahan tersebut terjadi bila hospes tidak mampu bertahan atau kehilangan kekebalan. Penderita parasitisme akan bertindak sebagai sumber penularan bagi hewan lainnya, terutama bila parasit yang dikandungnya memiliki daur hidup yang bersifat langsung, tanpa memerlukan hospes antara untuk mencapai usia dewasanya (Budiharta, 2014).
       Pedet yang menderita parasitisme akan tumbuh lambat dan pakan tidak digunakan secara efisien, hingga pada waktu mencapai umur untuk dipotong berat badannya jauh ketinggalan dibandingkan dengan yang tidak menderita parasitisme.
Untuk mencegah kerugian dalam usaha peternakan perhatian yang lebih besar harus diberikan terhadap parasit pada individu muda (Budiharta, 2014).

DAFTAR PUSTAKA
Bowman,D.1999. Parasitology For Veterinarians. Philadelphia : Elsevier
Budiharta, Setyawan. 2014. Kuliah Pengantar Penyidikan Penyakit Endemik. Yogyakarta : FKH UGM.
Levine, N. D. 1994. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Morgan, B.B. 2003. Veterinary Helminthology. Minneapolis : Burger Publishing Company
Subronto, dan Ida T. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

No comments:

Post a Comment