A.
Merumuskan
Sasaran / Tujuan Belajar / Learning Objectives
Jelaskan mengenai etiologi, patogenesis, gejala
klinis, diagnosa dan terapi dari penyakit infeksi gangguan sistem
gastrointestinal pada ruminansia!
B.
Belajar
Mandiri (Mengumpulkan Informasi)
Etiologi, patogenesis, Gejala Klinis, Diagnosa dan
Terapi dari Penyakit Infeksi Gangguan Sistem Gastrointestinal pada Ruminansia
1. Bakterial
a. Escherichia coli
1)
Etiologi
Bakteri
ini banyak pada saluran pencernaan. E.
coli dapat menjadi penyebab utama diare atau juga dapat menjadi penyebab
sekunder yang sebelumnya usus telah diinfeksi oleh virus. E. coli menurut sifatnya dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
enteropatogenik yang menyebabkan diare karena membentuk koloni pada usus yang
akan menambah berat penyakit dan golongan septisemik yang dapat menyebabkan
sepsis dan berujung dengan kematian, tetapi golongan ini tidak menyebabkan
sakit pada pedet jika pedet tersebut kebutuhan kolostrunya terpenuhi. E. coli menginfeksi pada pedet saat umur 2-10 hari,
ini dapat menyebabkan kematian pedet 10-50% (Subronto, 2004).
E. coli bersifat motil dengan
peritrichous flagella dan fimbria. Memfermentasi laktosa sehingga memproduksi
koloni berwarna pink pada agar MacConkey dan memiliki
karakteristik reaksi biokimia pada IMViC tes. Beberapa jenis memiliki koloni
metallic mengkilat jika ditanam pada agar eosin metilen blue. bersifat
haemolitik pada agar darah. Faktor predisposisi pedet terinfeksi E.
coli antara lain : kekurangan atau
tidak mendapatkan imunitas dari kolostrum, tingkat kebersihan yang rendah,
belum terbentuknya sistem
imun pada pedet, reseptor untuk ETEC hanya muncul selama minggu-minggu pertama
hidup pedet (Quinn, 2002).
2)
Pathogenesis
Colisepticaemia
disebabkan oleh invasi strain E. coli.
Invasi jaringan dapat terjadipada lumen usus, pembuluh umbilical, mukosa
nasopharyngeal dan ruang tonsil. Pengaruh adesi fili, resistensi aktivitas anti
bacterial dari serum dan produksi dari endotoksin adalah factor dimana yang
mempertinggi tingkat patogenesitas dari invasi E. coli. Kehadiran dari reseptor untuk fili pada epitel dari mukosa
usus juga memfasilitasi bakteri untuk menginvasi. Setelah sukses menginvasi
pada mukosa, bakteri memproduksi endotoksin yang mana masuk ke dalam system
sirkulasi dan menginisiasi broncokonstriksi, hipertensi pulmonari dan oedema pulmo. Invasi bakteri juga
menyebabkan kerusakan jaringan (Kasiluka, 1996).
Enteric
colibasillosis disebabkan oleh enterotoksigenik strain dari E. coli yang mana mampu membentuk
koloni, berproliferasi dan memproduksi enterotoksin pada usus halus bagian
atas. Fimbria dari bakteri berikatan dengan reseptor sel epitel fili, dam
bakteri bermultiplikasi dan berkoloni pada permukaan fili. Koloni pada fili dan
prodoksi dari enterotoksin mengganggu mekanisme absorbs pada permukaan usus
yang selanjutnya menghasilkan sekresi cairan dan elektrolit dari system
sirkulasi ke dalam lumen usus. Kejadian ini mengawali ketidak seimbangan
elektrolit, dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, kegagalan sirkulasi dan kematian
(Kasiluka, 1996).
E. coli menghasilkan
enterotoksin (endotoksin) yang dapat meningkatkan sekresi cairan dan elektorit
ke lumen usus, untuk menutupi kekurangan maka cairan dan elektrolit jaringan
lain akan ditarik dan dimobilisasikan ke dalam usus, sehingga penderita
mengalami dehidrasi. Enterotoksin juga diduga mampu meransang aktivitas
adenilsiklase hingga adenil-monofosfat (AMP) meningkat. Peningkatan AMP akan
menyebabkan kenaikan dari sekresi sel-sel kelenjar di dalam usus. Cairan yang
disekresikan oleh kelenjar mukosa usus mengandung banyak NaHCO3,
hingga ion Na dan HCO3 akan ditarik dari darah, dan hal tersebut
mengakibatkan derajat keasaman (pH) darah menurun atau terjadinya asidosis dari
darah (Subronto,
2004)
3)
Gejala
klinis
Septisemik
colibasillosis biasanya terjadi pada anakan kambing, domba dan pedet. Sindrom
perakut yang mana tiba-tiba mati terjadi tanpa ada gejala klinis. Penyakit akut
menciri dengan kaki yang kaku atu posisi rucumbensi, depresi, demam, dan
kejang. Hewan yang kolaps karena akut meningitis. Bentuk kronik ditandai oleh polyarthritis.
Enteric colibasillosis ditandai dengan haemorrhagi atau
diare mukoid dengan derajat yang bervariasi dan sedikit demam (Kasiluka, 1996).
4)
Perubahan
patologis
Tidak ada
gambaran patologi lesi pada kolibasilosis septisemik perakut karena mati dengan
tiba-tiba. Pada bentuk akut ptekie haemorrhagi tersebar luas pada subserosal
dan submukosa. Enteritis dan gastritis biasanya terjadi. Eksudat fibrinous
ditemukan pada tulang sendi dan cavum serosa. Meningitis porulenfibrin dan
peritonitis juga dapat ditemukan. Infeksi lewat umbilicus berhubungan dengan
omphalophelebitis. Enteric colibasillosis secara patologi haemorrhagi tersebar
luas pada mukosa usus dan dalam jumlah besar bakteri dapat dilihat dengan smear
(Kasiluka, 1996).
5)
Diagnosis
Diagnosis
penyakit dapat ditentukan dari wilayah persebaran penyakit, gejala klinis,
penampakan patologi, respon pengobatan juga mendukung diagnosis awal
kolibasilosis. Peneguhan dapat dilakukan dengan isolasi dan karakterisasi E. coli dari hewan yang terjangkit. Pada
bentuk perakut bakteri tersebut dapat di isolasi dari visceral abdominal dan
darah jantung (Kasiluka,
1996).
6)
Terapi
Kombinasi
Trimethoprim-sulphonamide (15-25 mg/kg) dan kanamycin (20 mg/kg) diberikan via
parenteral dan colistin 1-2 g/kg pada air minum sangat efektif untuk pengobatan
anak kambing. Antibiotik lain seperti oxytetracycline, neomycin, chloramphenicol dan
sulphadimidine juga digunakan. Vaksinasi 2-4 minggu sebelum partus untuk
menstimulasi antibody spesifik sangat dianjurkan pada perlindungan pasif
neonatal anak kambing (Kasiluka, 1996). Pemberian anti dehidrasi dengan cairan elektrolit,
garam faali dan sodium bikarbonat 50-100 ml/kg BB. Jangan memberikan air susu
selama 1-2 hari. Antibiotic kloramfenikol IV, IM 10 mg/kg BB dan pemberian obat
spasmolitika, protektiva (Subronto, 2004).
b. Salmonella sp.
1)
Etiologi
Salmonelliosis disebabkan oleh bakteri Salmonella sp.
yang bersifat motil, merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang, tidak berspora,
memiliki flagel pertrikh kecuali Salmonella
pullorum dan Salmonella gallinarum.
Bakteri ini zoonotik dan dapat bertahan hidup lama. Sifat infeksinya, laten (Subronto, 2004).
Dalam tubuh, biasanya bakteri ini memperbanyak diri
di dalam usus. Dalam waktu singkat dapat menyebabkan septisemia, sehingga dalam
waktu yang pendek juga menyebakan kematian. Apabila yang terjadi hanya
bakterimia, dimungkinkan bakteri ini hanya akan menyebabkan radang usus akut.
Pada yang sifatnya kronik, bakteri ini dapat diisolasi dari kelenjar-kelenjar
limfe di sekitar usus, hati, limpa dan kantong empedu. Bakteri ini dapat
dibebaskan melalui tinja maupun air susu. Pada infeksi laten, biasanya akan
berkembang biak dalam tubuh dan menurun. Salmonelliosis dapat menyebabkan
keluron pada sapi betina. Pada sapi yang berproduksi salmonelliosis dapat
menyebabkan terhentinya produksi air susu. Selain itu, bakteri ini dapat
menyebar ke jaringan-jaringan lain
(Subronto, 2004).
2)
Pathogenesis
Virulensi salmonella berhubungan dengan
kemampuannya untuk menginvasi sel hospes, replikasi di dalam dan resisten
terhadap digesti fagosit dan destruksi oleh komponen komplemen plasma. Tipe sel
target invasi Salmonella terletak di sel M di epithelium lempeng Peyer.
Menempel melalui fimbria ke permukaan usus, bakteri menginduksi pengerutan
membrane sel. Pengerutan membuat bakteri dalam vesikel yang sering bergabung.
Organisme replikasi di vesikel dan dengan cepat dilepas dari sel, yang
menderita kerusakan ringan atau sementara. S.
typhimurium memindahkan protein efektor bakteri ke sitosol sel hospes via
system sekresi SPI-1 terkode tipe III. Beberapa protein mempunyai kinase,
phosphatase, atau aktivitas ikatan aktin dan setelah di sitosol sel epitel,
mereka mengubah jalan signal sel hospes
yang memicu perubahan pada sitoskeleton, dengan internalisasi bacterial dan
merubah gen sel. Epitel mengembangkan bentukan sitoplasmik dengan kerusakan
sitoskeleton di bawahnya dan bakteri intrasel terdeteksi 30 menit setelah
infeksi. Perubahan morfologi dan sitoskeletal dicirikan dengan pembentukan
struktur seperti kerutan, mediator internalisasi bakteri ke sel epitel. Efek
toksik oksidatif radikal bebas diproduksi fagosit diminimalisir oleh katalase
bacterial dan aktivitas superokside dismutase. Setelah 1 jam infeksi Salmonella
mencapai daerah basal dan mengalami fagositosis oleh makrofag dan neutrofil
Resistensi tergantung panjang antigen rantai LPS O. LPS juga bertanggung jawab
terhadap efek endotoksik sehingga menyebabkan inflamasi yang merusak sel epitel
usus dan menjadi diare. LPS juga mediator shock endotoksik yang diikuti
septikemik salmonellosis. Reaksi keradangan pada pedet terjadi setelah infeksi,
ditandai dengan infiltrasi neutrofil karena ekspresi dan sekresi IL-8 dari sel.
Sel epitel juga merespon dengan peningkatan konsentrasi sitosolik kalsium, yang
dibutuhkan untuk aktivasi NF-kB dan ekspresi IL-8. Salmonella mematikan
makrofag, dipicu oleh pengikatan SipB dan aktivasi caspase-1. IL-1b lalu
dilepaskan dan menimbulkan inflamasi. Sebagai progress reaksi inflamasi,
neutrofil migrasi melalui lapisan epitel, dengan akumulasi sel inflamasi dan
cairan penuh protein ke lumen. Kejadian berkembang dari 1-3 jam. Reaksi
inflamasi berlebih menyebabkan migrasi transepitelial neutrofil yang
menyebabkan pelepasan epitel dari membrane basal, sekresi berbagai cairan ke
lumen dan diare. Dikarenakan pelepasan protease dan mediator lain dari sel
inflamasi, nekrosis ekstensif mukosa superficial pada 24-48 jam setelah
infeksi. Debris nekrotik menyebabkan pertumbuhan bakteri meningkat (Santos,
2003).
3)
Gejala Klinis
-
Kelemahan secara mendadak pada pedet
yang menderita septicemia perakut.
-
Kenaikan suhu tubuh pedet yang menyolok
(40-42oC).
- Inkoordinasi
dan nystagmus sebelum kematian, biasanya disebabkan oleh S. dublin.
- Diare
profus selama 2-5 hari → dehidrasi.
- Kenaikan
suhu pada sapi dewasa (40-41oC).
- Feses
berbau busuk karena dekomposisi reruntuhan selaput lender usus.
- Nafsu
makan berkurang namun nafsu minum masih ada.
- Frekuensi
pulsus meningkat.
- Kualitas
pulsus lemah.
- Kongesti
pada selaput lender perifer.
- Frekuensi
nafas meningkat dan nafas dangkal.
- Produksi
air susu berhenti pada sapi betina (Subronto, 2004).
4)
Diagnosa
Media diperkaya selektif untuk isolasi
dari sampel yang mengandung organism enteric gram negative lain. Agar triple
sugar iron (mengandung 0,1% glukosa, 1% laktosa dan 1% sukrosa dengan indicator
phenol red (pH 8,2; kuning di pH 6,4) dapat dipakai untuk identifikasi
Salmonella. Media selektif lain untuk diferensiasi seperti Briliant Green (BG)
dan xylose-lysine-deoxycholate (XLD). Pada agar BG, koloni salmonella dan medium sekitarnya menunjukkan reaksi
alkaline merah. Pada media XLD koloni warna merah karena reaksi alkaline dengan
titik hitam di tengah karena produksi H2S. Tes aglutinasi
dengan mikroskop untuk mendeteksi antigen O (somatic), H (flagella) dan K
(kapsular) (Quinn.2002).
5)
Terapi
Antibotik
yang digunakan dalam pengobatan salmonellosis adalah:
a)
Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50
mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian dan diberikan secara oral atau
intravena, selama 14 hari.
b)
Ampisilin dengan dosis 200 mg/kg
BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian yang diberikan secara intravena
selama 21 hari.
c)
Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kg
BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian yang diberikan secara oral/intravena
selama 21 hari (Subronto,
2004).
c. Mycobacterium avium subs. paratuberculosis
1) Etiologi
Mycobacterium avium
subspesies paratuberculosis termasuk bakteri dalam keluarga Mycobacteriaceae, spesies Mycobacterium
avium complex. Mikroba ini merupakan bakteri yang dapat ditemui di alam,
tergolong gram positif, berbentuk batang dengan ukuran 0,2-0,7 × 1-10 μm, non motil, tahan asam dan alkohol,
obligat aerob, suhu pertumbuhuan 37oC, tumbuh lambat (8-12 minggu)
dan membutuhkan mycobactin senyawa hidroksimat pengikat besi, mampu
tumbuh pada konsentrasi garam <56% pada pH 5,5. Bakteri ini juga memiliki kemampuan
bertahan dalam makrofag meskipun sifatnya fakultatif (Subronto, 2004).
2) Pathogenesis
Jalannya penyakit diawali dengan masuknya
sejumlah bakteri dan atau toksin yang kemudian menembus mukosa usus hingga
mencapai lamina propria. Penularannya pada anak sapi umumnya melalui kotoran
(feses) hewan sakit yang mengandung bakteri yang menempel pada puting susu
induk atau melalui pakan yang terkontaminasi feses yang mengandung MAP (Subronto, 2004).
Bakteri diekskresikan lewat kolostrum dan susu,
sehingga dapat menginfeksi anak sapi sejak periode neonatal. Pada
kejadian infeksi yang menahun (kronis), bagian distal usus kecil (ileum)
merupakan tempat bersarangnya bakteri MAP, dengan demikian pada bagian usus ini
terdapat bakteri yang kepadatannya paling tinggi. Lokasi sekunder bersarangnya
MAP adalah Iimfoglandula menseterika, sedangkan sebagai lokasi tersier
adalah hati, limpa dan Iimfoglandula lainnya. Secara persisten MAP
menetap pada ileum dan Iimfoglandula menseterika hingga berbulan-bulan,
meskipun belum atau sedikit mengeluarkan mycobacteria dalam fesesnya dan
selama sembilan bulan pertama infeksi, respon antibodi humoral belum dapat
dideteksi. Ileum merupakan target utama MAP, karena pada dinding usus ileum
terkandung Peyer’s patches yang cocok untuk perkembangbiakannya.
Meskipun infeksi MAP terjadi pada periode neonatal (0-4 bulan), namun gejala
klinik JD pada sapi biasanya muncul setelah hewan berumur lebih dua tahun. Pada
awal infeksi tidak menunjukkan gajala klinik sakit (subklinis).
Kemampuan invasi bakteri terhadap sel inang ini
diketahui dikendalikan protein 35 kDa yang bertanggung jawab terhadap protein
membran mayor (MMP) yang merupakan vaktor virulensi dari bakteri ini. Kerusakan
berlanjut, dan menyebabkan tereksposnya se-sel pertahanan di lamina propria
sehingga terjadi mekanisme fagositosis bakteri oleh makrofag. Hasil interaksi
ini adalah adanya radang pada daerah infeksi (Subronto, 2004).
3) Gejala klinis
Gejala spesifik pada sapi berupa kehilangan bobot
badan (meskipun nafsu makannya normal), diare, produksi susu menurun. Hewan
dapat terinfeksi sebelum umur enam bulan melalui makanan atau susu yang
terkontaminasi MAP. Karena perkembangan penyakitnya yang lambat, maka gejala
klinik seringkali tidak teramati sampai umur hewan paling sedikit tiga tahun (Subronto, 2004).
Tanda klinik ini muncul, seringkali dipicu oleh
adanya stres seperti beranak atau kepadatan ternak yang tinggi, dan sebagainya.
fesesnya dan sangat berbahaya bagi hewan sekelompoknya. Karena sapi tersebut
dapat menghamburkan (shedding) MAP selama 18 bulan sesudah perkembangan
gejala kliniknya. Meskipun tidak berkembang biak pada lingkungan, namun MAP
dapat hidup dalam tanah dan air selama lebih dari satu tahun, dalam keadaan
dingin atau kering. MAP tahan hidup (resisten) dalam kotoran hewan/pupuk
kandang dan air pada suhu yang rendah. Pada sapi dapat mengakibatkan enteritis,
peradangan usus kecil yang mengakibatkan penebalan dan pelipatan dingin usus
hewan yang terinfeksi (Subronto, 2004).
Berdasarkan tingkat gejala klinik JD terdapat empat
stadia, yakni:
Stadium I, tipe ”silent”, sub-klinik
infeksi tidak dapat terdeteksi, meskipun hewan sudah terinfeksi MAP (dalam
dosis kecil) dan terjadi pada anak sapi dan sapi dara.
Stadium II, tipe penyebaran subklinik (sub-clinical
shedders), terjadi pada sapi dara yang lebih tua atau sapi dewasa. Hewan
tampak sehat, tetapi sebenarnya mereka adalah karier yang sewaktu-waktu dapat
menularkan atau menyebarkan banyak MAP pada kotorannya yang dapat dideteksi
melalui kultur dari fesesnya. Terjadi pencemaran lingkungan dengan bakteri MAP (Subronto, 2004).
Stadium III, sapi memperlihatkan gejala klinik
berupa diare encer (seperti cairan) yang akut atau intermittent dan
kotorannya berbau busuk, penurunan berat badan dan produksi susu. Dengan uji
serologi, positip mengandung antibodi terhadap paratuberkulosis. Munculnya
gejala klinik biasanya dipicu oleh adanya stres.
Stadium IV, merupakan stadium akhir
paratuberkulosis, hewan menjadi sangat kurus (emasiasio) dengan diare
cair dan terlihat adanya edema pada rahang bawah (bottlejaw) dan dapat
berakibat fatal (Subronto, 2004).
4) Perubahan patologis
Kerusakan
jaringan yang terjadi pada CD pada awal infeksi biasanya berupa ulcer mukosa
yang umumnya berada di bawah jaringan simpul limfa. Terkadang lesi mengecil
namun pada kasus lain peradangan berkembang dan meluas pada seluruh lapisan
usus dan menebal. Lokasi radang dapat terjadi pada ileum dan kolon
sendiri-sendiri namun lebih sering terjadi pada kedua bagian tersebut
seluruhnya. Perubahan yang khas terjadi pada lapisan submukosa dengan
ditemukannya lymphoedema dan infiltrasi sel limfotik dan melanjut menjadi
fibrosis dengan batas yang jelas atau disebut radang granulomatosa. Lesi pada
ileum-sekum dan selaput lender usus mengalami penebalan, konsistensi keras,
berwarna kuning. Infiltrasi sel radang pada histopatologi (Subronto, 2004).
5) Diagnosis
Diagnosis sementara
dapat didasarkan atas hejala klinis dan perubahan patologi. Untuk peneguhan
diagnose dapat dilakukan uji kepekaan, uji serologis, isolasi bakteri, dan
histopatologi
(Subronto, 2004).
6) Terapi
Terapi terhadap penyakit ini cukup sulit karena
kemampuan bakteri yang dapat masuk ke dalam makrofag. Beberapa obat seperti
streptomycin, isonazid dan rifampicin kurang dapat memberikan hasil yang
memuaskan dengan cara Terapi tunggal sehingga untuk meningkatkan efektifitas
dan mencegah resistensi obat maka dapat dilakukan kombinasi Terapi dengan
obat-obat tersebut. Penggunaan Benzoxazinorifamycin KRM-1648 memiliki potensi
yang baik untuk Terapi MAP secara intermiten hanya obat ini memiliki kelarutan
yang rendah dalam darah. Linezolid juga merupakan obat antimycobacteria
alternatif, konsentrasi linezolid dalam darah yang direkomendasikan berkisar
2-32 μg/ml didasarkan pada tingkat resistensi bakteri yang ada. Hal lain yang
perlu dipertimbangkan adalah efek samping obat ini yang dapat menekan aktivitas
sumsum tulang (Subronto, 2004).
2. Protozoa
a. Eimeria
zuernii
1)
Etiologi
Oosista
subsferikal (agak bulat) 12-29
× 10-21
µm. Dinding oosista berlapis satu. Meron di jumpai di lamina propia ileum bawah. Berlokasi di usus halus sapi dan kerbau di seluruh
dunia (Smith, 2002).
2)
Patogenesis dan Gejala Klinis
Merupakan
spesies koksidia sapi paling pathogen dan penyebab diare akut dan berdarah pada
anak sapi. Diare dapat cair ke beku dan tinja encer disertai batuk rejan,
anemia, lemah, kurus, disertai infeksi sekunder dan pneumonia. Fase akut
berlanjut hingga 3-4 hari, jika tidak mati dalam 7-10 hari akan sembuh sendiri.
diare menahun, gejala kurus, dehidrasi, lemah, lesu bulu kasar dan kuping terkulai.
Enteritis kataralis di usus halus dan usus besar. Infeksi kombinasi antara E.
zuernii dan E. bovis sangat sering dan paling patogen. Pada sapi muda 3
minggu-6 bulan. Kandang berdesak-desakan akan meningkatkan bahaya penyakit ini (Smith, 2002).
3)
Diagnosa
Riwayat
kasus, luka-luka pada bedah bangkai, pemeriksaan isi usus dan usus serta
pemeriksaan tinja (Smith,
2002).
4)
Terapi
Sulfonamide
baik untuk pengobatan koksidiosis sapi. Monensin merupakan obat paling efektif
dengan jumlah 16,5 g setiap metrik ton pakan mencegah tanda-tanda klinik sapi
dengan pemberian 3 hari – 31 hari. Pemberian 3 mg lasalocid per kg bb
ditambahkan pada pakan efektif mengendalikan koksidiosis klinis pada anak-anak
sapi.
Sanitasi
dan isolasi merupakan cara efektif mencegah koksidiosis sapi. Jumlah sapi yang
overstocking harus dikurangi. Anak
sapi yang menderita koksidiosis harus segera diisolasi (Smith, 2002).
b.
Eimeria bovis
Lokasi
di usus halus sapi dan kerbau, merupakan koksidiosis paling patogen pada sapi.
Penyebab diare, disentri, tenesmus dan temperatur naik 18 p.i dan bahkan kematian. Mukosa oedem, menebal, ada
petekiae, rongga berisi darah, mukosa rusak dan terkelupas. Oosista ovoid 23-24
X 17-23 µm, dinding lapis 2. Waktu sporulasi 2-3 hari. Periode prepaten 16-21
hari (Smith, 2002).
c. Eimeria alabamensis
Lokasi di usus halus, sekum dan kolon sapi. Ditemukan di
seluruh dunia. Oosista ovoid, 13-25 X 11 – 17 µm. Pada kondisi lapangan
dianggap tidak patogen. Waktu sporulasi 4 – 8 hari (Smith, 2002).
3. Viral
a. Bovine
Viral Diarrhea (BVD)
1)
Etiologi
Virus BVD termasuk dalam
genus Pestivirus, anggota dari
keluarga Togaviridae dan merupakan
RNA virus. Virus memiliki antigen determinan yang mirip virus hog cholera.
Dalam batas – batas tertentu virus bersifat termostabil, peka terhadap asam,
kloroform dan tripsin. Virus tidak menyebabkan hemaglutinasi. Semua galur virus
BVD menunjukkan reaksi silang (Subronto, 2004).
2)
Patogenesis
Viremia berlangsung selama
15-60 hari setelah terjadinya infeksi. Perubahan yang mencolok berupa jelas
terbatas pada saluran pencernaan, pernafasan, mata dan pada permukaan epitel
organ lain maupun epidermis (Subronto, 2004).
Virus yang bersifat
imunosuppresif menyebabkan penurunan fungsi limfosit-T. Supresi juga terjadi
pada pusat hemopoetik hingga penderita mengalami leukopenia, terutama
neutropenia. Pada hewan yang bunting, virus dapat menembus barrier plasenta
hingga janin dapat menjadi sero-positif saat berumur 7 bulan dalam kandungan.
Sebagai akibat imunosupresi oleh virus, hewan mudah menderita infeksi skunder
hingga terjadi pneumonia dan radang – radang infeksi yang lain (Subronto,
2004).
3)
Gejala
Klinis
-
Subklinis
Demam tidak begitu tinggi,
leukopenia, diare ringan dan secara serologis ditemukan titer antibodi yang
tidak tinggi (Subronto, 2004).
-
Akut
Demam tinggi, anoreksia dan
diare penderita akan mengalami dehidrasi, yang akan mengakibatkan asidosis,
hipokloremia dan hypokalemia. Karena asidosis maka respirasi akan meningkat
frekuensinya. Dari segi alat pernafasan terlihat ingus yang mukoid mukopurulen
(Subronto, 2004).
-
Kronik
Diare intermiten, kekurusan,
kembung rumen yang kronik, serta erosi mukosa mulut dan kulit yang kronik pula.
Anemia dan leukopenia akan ditemukan secara mencolok. Pertumbuhan badan jadi
terhambat (Subronto, 2004).
4)
Diagnosa
Didasarkan pada gejala
klinis, perubahan dalam seksi dan pemeriksaan laboratorium. Umumnya pemeriksaan
titer antibodi dilakukan dengan uji serum netralisasi terhadap sepasang sera
yang diambil dengan sela 3- 4 minggu. Hasil pemeriksaan darah juga sangat
penting diperhatikan dalam penentuan diagnosis. Rendahnya jumlah sel darah
putih dan adanya demam pada penderita di daerah wabahharus dicurigai terhadap
BVD (Subronto, 2004).
5)
Penanganan
Pengobatan terhadap
penderita berupa pengobatan suportif, terutama cairan elektrolit. Pemberian
antibiotika sprektum luas untuk infeksi skunder, dan aspirin sebagai analgesika
dan antipiretika dianjurkan. Pencegahan dilakukan dengan cara vaksinasi dengan
vaksin inaktif dan vaksin MLV. Meskipun hasil vaksinasi tidak selalu meyakinkan
cara tersebut tetap lebih baik dilakukan (Subronto, 2004).
C.
Sumber
Informasi (Daftar Pustaka)
Kusiluka, L dan Kambarage, D. 1996. Diseases of Small Ruminants a Handbook. Scotland : Vetaid
Quinn.
2002. Veterinary Microbiology and
Microbial Disease. London : Blackwell Science
Santos,
R.L., Tsolis, R.M., Baumler, A.J., dan Adams, L.G. 2003. Brazilian Journal of Medical and Biological Research
(2003) 36 : 3 – 12 :
Pathogenesis of Salmonella-induced enteritis. Belo Horizonte : Departamento de Clínica e Cirurgia
Veterinárias
Smith, B. P. 2002. Large Animal Internal Medicine, New York : Mosby
Subronto. 2004. Ilmu Penyakit Ternak 2. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
No comments:
Post a Comment