Wednesday 26 February 2014

BLOK 16 UP 2



A.   Merumuskan Sasaran / Tujuan Belajar / Learning Objectives
Jelaskan mengenai etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa dan terapi dari penyakit infeksi gangguan sistem gastrointestinal pada ruminansia!

B.   Belajar Mandiri (Mengumpulkan Informasi)
Etiologi, patogenesis, Gejala Klinis, Diagnosa dan Terapi dari Penyakit Infeksi Gangguan Sistem Gastrointestinal pada Ruminansia
1.   Bakterial
a.      Escherichia coli
1)   Etiologi
Bakteri ini banyak pada saluran pencernaan. E. coli dapat menjadi penyebab utama diare atau juga dapat menjadi penyebab sekunder yang sebelumnya usus telah diinfeksi oleh virus. E. coli menurut sifatnya dibagi menjadi 2 golongan, yaitu enteropatogenik yang menyebabkan diare karena membentuk koloni pada usus yang akan menambah berat penyakit dan golongan septisemik yang dapat menyebabkan sepsis dan berujung dengan kematian, tetapi golongan ini tidak menyebabkan sakit pada pedet jika pedet tersebut kebutuhan kolostrunya terpenuhi. E. coli  menginfeksi pada pedet saat umur 2-10 hari, ini dapat menyebabkan kematian pedet 10-50% (Subronto, 2004).
E. coli  bersifat motil dengan peritrichous flagella dan fimbria. Memfermentasi laktosa sehingga memproduksi koloni berwarna pink pada agar MacConkey dan memiliki karakteristik reaksi biokimia pada IMViC tes. Beberapa jenis memiliki koloni metallic mengkilat jika ditanam pada agar eosin metilen blue. bersifat haemolitik pada agar darah. Faktor predisposisi pedet terinfeksi E. coli  antara lain : kekurangan atau tidak mendapatkan imunitas dari kolostrum, tingkat kebersihan yang rendah, belum terbentuknya sistem imun pada pedet, reseptor untuk ETEC hanya muncul selama minggu-minggu pertama hidup pedet (Quinn, 2002).
2)   Pathogenesis
Colisepticaemia disebabkan oleh invasi strain E. coli. Invasi jaringan dapat terjadipada lumen usus, pembuluh umbilical, mukosa nasopharyngeal dan ruang tonsil. Pengaruh adesi fili, resistensi aktivitas anti bacterial dari serum dan produksi dari endotoksin adalah factor dimana yang mempertinggi tingkat patogenesitas dari invasi E. coli. Kehadiran dari reseptor untuk fili pada epitel dari mukosa usus juga memfasilitasi bakteri untuk menginvasi. Setelah sukses menginvasi pada mukosa, bakteri memproduksi endotoksin yang mana masuk ke dalam system sirkulasi dan menginisiasi broncokonstriksi, hipertensi pulmonari dan oedema pulmo. Invasi bakteri juga menyebabkan kerusakan jaringan (Kasiluka, 1996).
Enteric colibasillosis disebabkan oleh enterotoksigenik strain dari E. coli yang mana mampu membentuk koloni, berproliferasi dan memproduksi enterotoksin pada usus halus bagian atas. Fimbria dari bakteri berikatan dengan reseptor sel epitel fili, dam bakteri bermultiplikasi dan berkoloni pada permukaan fili. Koloni pada fili dan prodoksi dari enterotoksin mengganggu mekanisme absorbs pada permukaan usus yang selanjutnya menghasilkan sekresi cairan dan elektrolit dari system sirkulasi ke dalam lumen usus. Kejadian ini mengawali ketidak seimbangan elektrolit, dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, kegagalan sirkulasi dan kematian (Kasiluka, 1996).
E. coli menghasilkan enterotoksin (endotoksin) yang dapat meningkatkan sekresi cairan dan elektorit ke lumen usus, untuk menutupi kekurangan maka cairan dan elektrolit jaringan lain akan ditarik dan dimobilisasikan ke dalam usus, sehingga penderita mengalami dehidrasi. Enterotoksin juga diduga mampu meransang aktivitas adenilsiklase hingga adenil-monofosfat (AMP) meningkat. Peningkatan AMP akan menyebabkan kenaikan dari sekresi sel-sel kelenjar di dalam usus. Cairan yang disekresikan oleh kelenjar mukosa usus mengandung banyak NaHCO3, hingga ion Na dan HCO3 akan ditarik dari darah, dan hal tersebut mengakibatkan derajat keasaman (pH) darah menurun atau terjadinya asidosis dari darah (Subronto, 2004)
3)   Gejala klinis
Septisemik colibasillosis biasanya terjadi pada anakan kambing, domba dan pedet. Sindrom perakut yang mana tiba-tiba mati terjadi tanpa ada gejala klinis. Penyakit akut menciri dengan kaki yang kaku atu posisi rucumbensi, depresi, demam, dan kejang. Hewan yang kolaps karena akut meningitis. Bentuk kronik ditandai oleh polyarthritis. Enteric colibasillosis ditandai dengan haemorrhagi atau diare mukoid dengan derajat yang bervariasi dan sedikit demam (Kasiluka, 1996).

4)   Perubahan patologis
Tidak ada gambaran patologi lesi pada kolibasilosis septisemik perakut karena mati dengan tiba-tiba. Pada bentuk akut ptekie haemorrhagi tersebar luas pada subserosal dan submukosa. Enteritis dan gastritis biasanya terjadi. Eksudat fibrinous ditemukan pada tulang sendi dan cavum serosa. Meningitis porulenfibrin dan peritonitis juga dapat ditemukan. Infeksi lewat umbilicus berhubungan dengan omphalophelebitis. Enteric colibasillosis secara patologi haemorrhagi tersebar luas pada mukosa usus dan dalam jumlah besar bakteri dapat dilihat dengan smear (Kasiluka, 1996).
5)   Diagnosis
Diagnosis penyakit dapat ditentukan dari wilayah persebaran penyakit, gejala klinis, penampakan patologi, respon pengobatan juga mendukung diagnosis awal kolibasilosis. Peneguhan dapat dilakukan dengan isolasi dan karakterisasi E. coli dari hewan yang terjangkit. Pada bentuk perakut bakteri tersebut dapat di isolasi dari visceral abdominal dan darah jantung (Kasiluka, 1996).
6)   Terapi
Kombinasi Trimethoprim-sulphonamide (15-25 mg/kg) dan kanamycin (20 mg/kg) diberikan via parenteral dan colistin 1-2 g/kg pada air minum sangat efektif untuk pengobatan anak kambing. Antibiotik lain seperti oxytetracycline, neomycin, chloramphenicol dan sulphadimidine juga digunakan. Vaksinasi 2-4 minggu sebelum partus untuk menstimulasi antibody spesifik sangat dianjurkan pada perlindungan pasif neonatal anak kambing (Kasiluka, 1996). Pemberian anti dehidrasi dengan cairan elektrolit, garam faali dan sodium bikarbonat 50-100 ml/kg BB. Jangan memberikan air susu selama 1-2 hari. Antibiotic kloramfenikol IV, IM 10 mg/kg BB dan pemberian obat spasmolitika, protektiva (Subronto, 2004).

b.      Salmonella sp.
1)      Etiologi
Salmonelliosis disebabkan oleh bakteri Salmonella sp. yang bersifat motil, merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang, tidak berspora, memiliki flagel pertrikh kecuali Salmonella pullorum dan Salmonella gallinarum. Bakteri ini zoonotik dan dapat bertahan hidup lama. Sifat infeksinya, laten (Subronto, 2004).
Dalam tubuh, biasanya bakteri ini memperbanyak diri di dalam usus. Dalam waktu singkat dapat menyebabkan septisemia, sehingga dalam waktu yang pendek juga menyebakan kematian. Apabila yang terjadi hanya bakterimia, dimungkinkan bakteri ini hanya akan menyebabkan radang usus akut. Pada yang sifatnya kronik, bakteri ini dapat diisolasi dari kelenjar-kelenjar limfe di sekitar usus, hati, limpa dan kantong empedu. Bakteri ini dapat dibebaskan melalui tinja maupun air susu. Pada infeksi laten, biasanya akan berkembang biak dalam tubuh dan menurun. Salmonelliosis dapat menyebabkan keluron pada sapi betina. Pada sapi yang berproduksi salmonelliosis dapat menyebabkan terhentinya produksi air susu. Selain itu, bakteri ini dapat menyebar ke jaringan-jaringan lain (Subronto, 2004).
2)      Pathogenesis
Virulensi salmonella berhubungan dengan kemampuannya untuk menginvasi sel hospes, replikasi di dalam dan resisten terhadap digesti fagosit dan destruksi oleh komponen komplemen plasma. Tipe sel target invasi Salmonella terletak di sel M di epithelium lempeng Peyer. Menempel melalui fimbria ke permukaan usus, bakteri menginduksi pengerutan membrane sel. Pengerutan membuat bakteri dalam vesikel yang sering bergabung. Organisme replikasi di vesikel dan dengan cepat dilepas dari sel, yang menderita kerusakan ringan atau sementara. S. typhimurium memindahkan protein efektor bakteri ke sitosol sel hospes via system sekresi SPI-1 terkode tipe III. Beberapa protein mempunyai kinase, phosphatase, atau aktivitas ikatan aktin dan setelah di sitosol sel epitel, mereka mengubah  jalan signal sel hospes yang memicu perubahan pada sitoskeleton, dengan internalisasi bacterial dan merubah gen sel. Epitel mengembangkan bentukan sitoplasmik dengan kerusakan sitoskeleton di bawahnya dan bakteri intrasel terdeteksi 30 menit setelah infeksi. Perubahan morfologi dan sitoskeletal dicirikan dengan pembentukan struktur seperti kerutan, mediator internalisasi bakteri ke sel epitel. Efek toksik oksidatif radikal bebas diproduksi fagosit diminimalisir oleh katalase bacterial dan aktivitas superokside dismutase. Setelah 1 jam infeksi Salmonella mencapai daerah basal dan mengalami fagositosis oleh makrofag dan neutrofil Resistensi tergantung panjang antigen rantai LPS O. LPS juga bertanggung jawab terhadap efek endotoksik sehingga menyebabkan inflamasi yang merusak sel epitel usus dan menjadi diare. LPS juga mediator shock endotoksik yang diikuti septikemik salmonellosis. Reaksi keradangan pada pedet terjadi setelah infeksi, ditandai dengan infiltrasi neutrofil karena ekspresi dan sekresi IL-8 dari sel. Sel epitel juga merespon dengan peningkatan konsentrasi sitosolik kalsium, yang dibutuhkan untuk aktivasi NF-kB dan ekspresi IL-8. Salmonella mematikan makrofag, dipicu oleh pengikatan SipB dan aktivasi caspase-1. IL-1b lalu dilepaskan dan menimbulkan inflamasi. Sebagai progress reaksi inflamasi, neutrofil migrasi melalui lapisan epitel, dengan akumulasi sel inflamasi dan cairan penuh protein ke lumen. Kejadian berkembang dari 1-3 jam. Reaksi inflamasi berlebih menyebabkan migrasi transepitelial neutrofil yang menyebabkan pelepasan epitel dari membrane basal, sekresi berbagai cairan ke lumen dan diare. Dikarenakan pelepasan protease dan mediator lain dari sel inflamasi, nekrosis ekstensif mukosa superficial pada 24-48 jam setelah infeksi. Debris nekrotik menyebabkan pertumbuhan bakteri meningkat (Santos, 2003).

3)      Gejala Klinis
-       Kelemahan secara mendadak pada pedet yang menderita septicemia perakut.
-       Kenaikan suhu tubuh pedet yang menyolok (40-42oC).
-       Inkoordinasi dan nystagmus sebelum kematian, biasanya disebabkan oleh S. dublin.
-       Diare profus selama 2-5 hari → dehidrasi.
-       Kenaikan suhu pada sapi dewasa (40-41oC).
-       Feses berbau busuk karena dekomposisi reruntuhan selaput lender usus.
-       Nafsu makan berkurang namun nafsu minum masih ada.
-       Frekuensi pulsus meningkat.
-       Kualitas pulsus lemah.
-       Kongesti pada selaput lender perifer.
-       Frekuensi nafas meningkat dan nafas dangkal.
-       Produksi air susu berhenti pada sapi betina (Subronto, 2004).
4)      Diagnosa
Media diperkaya selektif untuk isolasi dari sampel yang mengandung organism enteric gram negative lain. Agar triple sugar iron (mengandung 0,1% glukosa, 1% laktosa dan 1% sukrosa dengan indicator phenol red (pH 8,2; kuning di pH 6,4) dapat dipakai untuk identifikasi Salmonella. Media selektif lain untuk diferensiasi seperti Briliant Green (BG) dan xylose-lysine-deoxycholate (XLD). Pada agar BG, koloni salmonella  dan medium sekitarnya menunjukkan reaksi alkaline merah. Pada media XLD koloni warna merah karena reaksi alkaline dengan titik hitam di tengah karena produksi H2S. Tes aglutinasi dengan mikroskop untuk mendeteksi antigen O (somatic), H (flagella) dan K (kapsular) (Quinn.2002).
5)      Terapi
Antibotik yang digunakan dalam pengobatan salmonellosis adalah:
a)      Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian dan diberikan secara oral atau intravena, selama 14 hari.
b)      Ampisilin dengan dosis 200 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian yang diberikan secara intravena selama 21 hari.
c)      Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian yang diberikan secara oral/intravena selama 21 hari (Subronto, 2004).

c.       Mycobacterium avium subs. paratuberculosis
1)      Etiologi
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis termasuk bakteri dalam keluarga Mycobacteriaceae, spesies Mycobacterium avium complex. Mikroba ini merupakan bakteri yang dapat ditemui di alam, tergolong gram positif, berbentuk batang dengan ukuran 0,2-0,7 × 1-10 μm, non motil, tahan asam dan alkohol, obligat aerob, suhu pertumbuhuan 37oC, tumbuh lambat (8-12 minggu) dan membutuhkan mycobactin senyawa hidroksimat pengikat besi, mampu tumbuh pada konsentrasi garam <56% pada pH 5,5. Bakteri ini juga memiliki kemampuan bertahan dalam makrofag meskipun sifatnya fakultatif (Subronto, 2004).


2)      Pathogenesis
Jalannya penyakit diawali dengan masuknya sejumlah bakteri dan atau toksin yang kemudian menembus mukosa usus hingga mencapai lamina propria. Penularannya pada anak sapi umumnya melalui kotoran (feses) hewan sakit yang mengandung bakteri yang menempel pada puting susu induk atau melalui pakan yang terkontaminasi feses yang mengandung MAP (Subronto, 2004).
Bakteri diekskresikan lewat kolostrum dan susu, sehingga dapat menginfeksi anak sapi sejak periode neonatal. Pada kejadian infeksi yang menahun (kronis), bagian distal usus kecil (ileum) merupakan tempat bersarangnya bakteri MAP, dengan demikian pada bagian usus ini terdapat bakteri yang kepadatannya paling tinggi. Lokasi sekunder bersarangnya MAP adalah Iimfoglandula menseterika, sedangkan sebagai lokasi tersier adalah hati, limpa dan Iimfoglandula lainnya. Secara persisten MAP menetap pada ileum dan Iimfoglandula menseterika hingga berbulan-bulan, meskipun belum atau sedikit mengeluarkan mycobacteria dalam fesesnya dan selama sembilan bulan pertama infeksi, respon antibodi humoral belum dapat dideteksi. Ileum merupakan target utama MAP, karena pada dinding usus ileum terkandung Peyer’s patches yang cocok untuk perkembangbiakannya. Meskipun infeksi MAP terjadi pada periode neonatal (0-4 bulan), namun gejala klinik JD pada sapi biasanya muncul setelah hewan berumur lebih dua tahun. Pada awal infeksi tidak menunjukkan gajala klinik sakit (subklinis).
Kemampuan invasi bakteri terhadap sel inang ini diketahui dikendalikan protein 35 kDa yang bertanggung jawab terhadap protein membran mayor (MMP) yang merupakan vaktor virulensi dari bakteri ini. Kerusakan berlanjut, dan menyebabkan tereksposnya se-sel pertahanan di lamina propria sehingga terjadi mekanisme fagositosis bakteri oleh makrofag. Hasil interaksi ini adalah adanya radang pada daerah infeksi (Subronto, 2004).
3)      Gejala klinis
Gejala spesifik pada sapi berupa kehilangan bobot badan (meskipun nafsu makannya normal), diare, produksi susu menurun. Hewan dapat terinfeksi sebelum umur enam bulan melalui makanan atau susu yang terkontaminasi MAP. Karena perkembangan penyakitnya yang lambat, maka gejala klinik seringkali tidak teramati sampai umur hewan paling sedikit tiga tahun (Subronto, 2004).
Tanda klinik ini muncul, seringkali dipicu oleh adanya stres seperti beranak atau kepadatan ternak yang tinggi, dan sebagainya. fesesnya dan sangat berbahaya bagi hewan sekelompoknya. Karena sapi tersebut dapat menghamburkan (shedding) MAP selama 18 bulan sesudah perkembangan gejala kliniknya. Meskipun tidak berkembang biak pada lingkungan, namun MAP dapat hidup dalam tanah dan air selama lebih dari satu tahun, dalam keadaan dingin atau kering. MAP tahan hidup (resisten) dalam kotoran hewan/pupuk kandang dan air pada suhu yang rendah. Pada sapi dapat mengakibatkan enteritis, peradangan usus kecil yang mengakibatkan penebalan dan pelipatan dingin usus hewan yang terinfeksi (Subronto, 2004).
Berdasarkan tingkat gejala klinik JD terdapat empat stadia, yakni:
Stadium I, tipe ”silent”, sub-klinik infeksi tidak dapat terdeteksi, meskipun hewan sudah terinfeksi MAP (dalam dosis kecil) dan terjadi pada anak sapi dan sapi dara.
Stadium II, tipe penyebaran subklinik (sub-clinical shedders), terjadi pada sapi dara yang lebih tua atau sapi dewasa. Hewan tampak sehat, tetapi sebenarnya mereka adalah karier yang sewaktu-waktu dapat menularkan atau menyebarkan banyak MAP pada kotorannya yang dapat dideteksi melalui kultur dari fesesnya. Terjadi pencemaran lingkungan dengan bakteri MAP (Subronto, 2004).
Stadium III, sapi memperlihatkan gejala klinik berupa diare encer (seperti cairan) yang akut atau intermittent dan kotorannya berbau busuk, penurunan berat badan dan produksi susu. Dengan uji serologi, positip mengandung antibodi terhadap paratuberkulosis. Munculnya gejala klinik biasanya dipicu oleh adanya stres.
Stadium IV, merupakan stadium akhir paratuberkulosis, hewan menjadi sangat kurus (emasiasio) dengan diare cair dan terlihat adanya edema pada rahang bawah (bottlejaw) dan dapat berakibat fatal (Subronto, 2004).
4)      Perubahan patologis
Kerusakan jaringan yang terjadi pada CD pada awal infeksi biasanya berupa ulcer mukosa yang umumnya berada di bawah jaringan simpul limfa. Terkadang lesi mengecil namun pada kasus lain peradangan berkembang dan meluas pada seluruh lapisan usus dan menebal. Lokasi radang dapat terjadi pada ileum dan kolon sendiri-sendiri namun lebih sering terjadi pada kedua bagian tersebut seluruhnya. Perubahan yang khas terjadi pada lapisan submukosa dengan ditemukannya lymphoedema dan infiltrasi sel limfotik dan melanjut menjadi fibrosis dengan batas yang jelas atau disebut radang granulomatosa. Lesi pada ileum-sekum dan selaput lender usus mengalami penebalan, konsistensi keras, berwarna kuning. Infiltrasi sel radang pada histopatologi (Subronto, 2004).
5)      Diagnosis
Diagnosis sementara dapat didasarkan atas hejala klinis dan perubahan patologi. Untuk peneguhan diagnose dapat dilakukan uji kepekaan, uji serologis, isolasi bakteri, dan histopatologi (Subronto, 2004).
6)      Terapi
Terapi terhadap penyakit ini cukup sulit karena kemampuan bakteri yang dapat masuk ke dalam makrofag. Beberapa obat seperti streptomycin, isonazid dan rifampicin kurang dapat memberikan hasil yang memuaskan dengan cara Terapi tunggal sehingga untuk meningkatkan efektifitas dan mencegah resistensi obat maka dapat dilakukan kombinasi Terapi dengan obat-obat tersebut. Penggunaan Benzoxazinorifamycin KRM-1648 memiliki potensi yang baik untuk Terapi MAP secara intermiten hanya obat ini memiliki kelarutan yang rendah dalam darah. Linezolid juga merupakan obat antimycobacteria alternatif, konsentrasi linezolid dalam darah yang direkomendasikan berkisar 2-32 μg/ml didasarkan pada tingkat resistensi bakteri yang ada. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah efek samping obat ini yang dapat menekan aktivitas sumsum tulang (Subronto, 2004).

2.   Protozoa
a.      Eimeria zuernii
1)      Etiologi
Oosista subsferikal (agak bulat) 12-29 × 10-21 µm. Dinding oosista berlapis satu. Meron di jumpai di lamina propia ileum bawah. Berlokasi di usus halus sapi dan kerbau di seluruh dunia (Smith, 2002).
2)      Patogenesis dan Gejala Klinis
Merupakan spesies koksidia sapi paling pathogen dan penyebab diare akut dan berdarah pada anak sapi. Diare dapat cair ke beku dan tinja encer disertai batuk rejan, anemia, lemah, kurus, disertai infeksi sekunder dan pneumonia. Fase akut berlanjut hingga 3-4 hari, jika tidak mati dalam 7-10 hari akan sembuh sendiri. diare menahun, gejala kurus, dehidrasi, lemah, lesu bulu kasar dan kuping terkulai. Enteritis kataralis di usus halus dan usus besar. Infeksi kombinasi antara E. zuernii dan E. bovis sangat sering dan paling patogen. Pada sapi muda 3 minggu-6 bulan. Kandang berdesak-desakan akan meningkatkan bahaya penyakit ini (Smith, 2002).
3)      Diagnosa
Riwayat kasus, luka-luka pada bedah bangkai, pemeriksaan isi usus dan usus serta pemeriksaan tinja (Smith, 2002).
4)      Terapi
Sulfonamide baik untuk pengobatan koksidiosis sapi. Monensin merupakan obat paling efektif dengan jumlah 16,5 g setiap metrik ton pakan mencegah tanda-tanda klinik sapi dengan pemberian 3 hari – 31 hari. Pemberian 3 mg lasalocid per kg bb ditambahkan pada pakan efektif mengendalikan koksidiosis klinis pada anak-anak sapi.
Sanitasi dan isolasi merupakan cara efektif mencegah koksidiosis sapi. Jumlah sapi yang overstocking harus dikurangi. Anak sapi yang menderita koksidiosis harus segera diisolasi (Smith, 2002).
                
b.      Eimeria bovis
Lokasi di usus halus sapi dan kerbau, merupakan koksidiosis paling patogen pada sapi. Penyebab diare, disentri, tenesmus dan temperatur naik 18 p.i dan bahkan kematian. Mukosa oedem, menebal, ada petekiae, rongga berisi darah, mukosa rusak dan terkelupas. Oosista ovoid 23-24 X 17-23 µm, dinding lapis 2. Waktu sporulasi 2-3 hari. Periode prepaten 16-21 hari (Smith, 2002).

c.       Eimeria alabamensis
Lokasi di usus halus, sekum dan kolon sapi. Ditemukan di seluruh dunia. Oosista ovoid, 13-25 X 11 – 17 µm. Pada kondisi lapangan dianggap tidak patogen. Waktu sporulasi 4 – 8 hari (Smith, 2002).



3.   Viral
a.      Bovine Viral Diarrhea (BVD)
1)      Etiologi
Virus BVD termasuk dalam genus Pestivirus, anggota dari keluarga Togaviridae dan merupakan RNA virus. Virus memiliki antigen determinan yang mirip virus hog cholera. Dalam batas – batas tertentu virus bersifat termostabil, peka terhadap asam, kloroform dan tripsin. Virus tidak menyebabkan hemaglutinasi. Semua galur virus BVD menunjukkan reaksi silang (Subronto, 2004).
2)      Patogenesis
Viremia berlangsung selama 15-60 hari setelah terjadinya infeksi. Perubahan yang mencolok berupa jelas terbatas pada saluran pencernaan, pernafasan, mata dan pada permukaan epitel organ lain maupun epidermis (Subronto, 2004).
Virus yang bersifat imunosuppresif menyebabkan penurunan fungsi limfosit-T. Supresi juga terjadi pada pusat hemopoetik hingga penderita mengalami leukopenia, terutama neutropenia. Pada hewan yang bunting, virus dapat menembus barrier plasenta hingga janin dapat menjadi sero-positif saat berumur 7 bulan dalam kandungan. Sebagai akibat imunosupresi oleh virus, hewan mudah menderita infeksi skunder hingga terjadi pneumonia dan radang – radang infeksi yang lain (Subronto, 2004).
3)      Gejala Klinis
-          Subklinis
Demam tidak begitu tinggi, leukopenia, diare ringan dan secara serologis ditemukan titer antibodi yang tidak tinggi (Subronto, 2004).
-          Akut
Demam tinggi, anoreksia dan diare penderita akan mengalami dehidrasi, yang akan mengakibatkan asidosis, hipokloremia dan hypokalemia. Karena asidosis maka respirasi akan meningkat frekuensinya. Dari segi alat pernafasan terlihat ingus yang mukoid mukopurulen (Subronto, 2004).
-          Kronik
Diare intermiten, kekurusan, kembung rumen yang kronik, serta erosi mukosa mulut dan kulit yang kronik pula. Anemia dan leukopenia akan ditemukan secara mencolok. Pertumbuhan badan jadi terhambat (Subronto, 2004).
4)      Diagnosa
Didasarkan pada gejala klinis, perubahan dalam seksi dan pemeriksaan laboratorium. Umumnya pemeriksaan titer antibodi dilakukan dengan uji serum netralisasi terhadap sepasang sera yang diambil dengan sela 3- 4 minggu. Hasil pemeriksaan darah juga sangat penting diperhatikan dalam penentuan diagnosis. Rendahnya jumlah sel darah putih dan adanya demam pada penderita di daerah wabahharus dicurigai terhadap BVD (Subronto, 2004).
5)      Penanganan
Pengobatan terhadap penderita berupa pengobatan suportif, terutama cairan elektrolit. Pemberian antibiotika sprektum luas untuk infeksi skunder, dan aspirin sebagai analgesika dan antipiretika dianjurkan. Pencegahan dilakukan dengan cara vaksinasi dengan vaksin inaktif dan vaksin MLV. Meskipun hasil vaksinasi tidak selalu meyakinkan cara tersebut tetap lebih baik dilakukan (Subronto, 2004).

C.   Sumber Informasi (Daftar Pustaka)
Kusiluka, L dan Kambarage, D. 1996. Diseases of Small Ruminants a Handbook. Scotland : Vetaid
Quinn. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. London : Blackwell Science
Santos, R.L., Tsolis, R.M., Baumler, A.J., dan Adams, L.G. 2003. Brazilian Journal of Medical and Biological Research (2003) 36 : 3 – 12 : Pathogenesis of Salmonella-induced enteritis. Belo Horizonte : Departamento de Clínica e Cirurgia Veterinárias
Smith, B. P. 2002. Large Animal Internal Medicine, New York : Mosby
Subronto. 2004. Ilmu Penyakit Ternak 2. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

No comments:

Post a Comment