A.
Merumuskan
Sasaran / Tujuan Belajar / Learning Objectives
1.
Jelaskan
etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, differensial diagnosa, terapi
dan pencegahan dari penyakit Anthrax!
B.
Belajar
Mandiri (Mengumpulkan Informasi)
1. Etiologi,
Patogenesis, Gejala Klinis, Diagnosa, Differensial Diagnosa, Terapi dan
Pencegahan dari penyakit Anthrax!
a. Etiologi
Bacillus anthracis meupakan
bakteri pathogen penyebab penyakit anthraks. Penyakit ini biasanya menyerang
hewan ternak maupun manusia yang kontak dengan hewan yang sudah terinfeksi. Bacillus
anthracis merupakan bakteri berbentuk batang, lebar 1-1,3 μm, panjang 3-10 μm, tidak mempunyai alat gerak (non-motil), berkapsul,
merupakan bakteri Gram positif, bentuk batangnya persegi atau cekung ujungnya, sering ditemukan berpasangan
atau membentuk rantai pendek, berspora oval yang letaknya oval, dan bersifat aerob atau anaerob fakultatif. Bacillus anthracis
memiliki dua tahap dalam siklus hidupnya yaitu fase vegetatif dan spora (Quinn, 2007 ; Soemarno, 2000).
b. Patogenesis
1) Siklus
Hidup
a) Fase
Vegetatif
Jika spora antraks memasuki
tubuh inang (manusia atau hewan memamah biak) atau keadaan lingkungan yang
memungkinkan spora segera berubah menjadi bentuk vegetatif, kemudian memasuki
fase berkembang biak. Sebelum inangnya mati, sejumlah besar bentuk vegetatif
bakteri antraks memenuhi darah. Bentuk vegetatif biasa keluar dari dalam tubuh
melalui pendarahan di hidung, mulut, anus, atau pendarahan lainnya. Ketika
inangnya mati dan oksigen tidak tersedia lagi di darah bentuk vegetatif itu
memasuki fase tertidur (dorman/tidak aktif). Jika kemudian dalam fase tertidur
itu berkontak dengan oksigen di udara bebas, bakteri antraks membentuk spora
(prosesnya disebut sporulasi) (Smith, 2009).
Bentuk vegetatif juga dapat
terbawa oleh nyamuk atau serangga pengisap darah yang menggigit korban yang
berada pada fase akhir. Bisa juga terbawa serangga yang memakan bangkai korban.
Serangga ini kemudian dapat menularkan bakteri itu ke inang lainnya, hingga
menyebabkan antraks kulit (Smith, 2009).
b) Fase Spora
Berbentuk seperti bola golf,
berukuran 1-1,5 mikrometer. Selama fase ini bakteri dalam keadaan tidak aktif
(dorman), menunggu hingga dapat berubah kembali menjadi bentuk vegetatif dan
memasuki inangnya. Hal ini dapat terjadi karena daya tahan spora antraks yang
tinggi untuk melewati kondisi tak ramah termasuk panas, radiasi ultraviolet dan ionisasi, tekanan tinggi,
dan sterilisasi dengan senyawa kimia. Hal itu terjadi ketika spora menempel
pada kulit inang yang terluka, termakan, atau karena ukurannya yang
sangat kecil
sehingga dapat terhirup. Begitu spora
antraks memasuki tubuh inang, spora itu berubah ke bentuk vegetatif (Smith, 2009).
2) Mekanisme
Infeksi
Setelah endospora masuk ke
dalam tubuh manusia, melalui luka pada kulit, inhalasi (ruang alveolar) atau
makanan (mukosa gastrointestinal), kuman akan difagosit oleh makrofag dan
dibawa ke kelenjar getah bening regional. Pada antraks kutaneus dan
gastrointestinal terjadi germinasi tingkat rendah di lokasi primer yang menimbulkan
edema lokal dan nekrosis. Endospora akan mengalami germinasi di dalam makrofag
menjadi bentuk vegetatif. Bentuk vegetatif akan keluar dari makrofag,
berkembang biak di dalam sistem limfatik, mengakibatkan limfadenitis hemoragik
regional, kemudian masuk ke dalam sirkulasi, dan menyebabkan septikemia (Smith, 2009).
Faktor virulensi utama B.anthracis
dicirikan (encoded) pada dua plasmid virulen yaitu pXO1 dan pXO2.
Plasmid pXO1 mengandung gen yang memproduksi kompleks toksin antraks berupa
faktor letal, faktor edema, dan antigen protektif. Antigen protektif merupakan
komponen yang berguna untuk berikatan dengan reseptor toksin antraks (ATR = Anthrax Toxin Receptor) di
permukaan sel. Setelah berikatan dengan reseptor maka oleh furin protease
permukaan sel, antigen protektif yang berukuran 83-kDa itu membelah menjadi
bentuk 63-kDa dan selanjutnya bentuk itu akan mengalami oligomerisasi menjadi
bentuk heptamer. Pembelahan antigen protektif diperlukan agar tersedia tempat
pengikatan FL dan atau FE. Antigen protektif yang telah mengalami pembelahan,
bersama reseptornya akan melakukan pengelompokan ke dalam lipid rafts sel
kemudian mengalami endositosis. Melalui lubang yang terbentuk terjadilah
translokasi FE dan FL ke dalam sitosol yang selanjutnya dapat menimbulkan
edema, nekrosis, dan hipoksia (Smith,
2009).
FE
merupakan calmodulin-dependent adenylate cyclase yang mengubah adenosine
triphosphate (ATP) menjadi cyclic adenosine monophosphate (cAMP)
yang menyebabkan edema. FE menghambat fungsi netrofil dan aktivitas oksidatif sel
polimormonuklear (PMN). FL merupakan zinc metalloprotease yang menghambat
aktifitas mitogen-activated protein kinase kinase (MAPKK) in vitro dan
dapat menyebabkan hambatan signal intraselular. FL menyebabkan makrofag
melepaskan tumor necrosis-α (TNF- α) dan interleukin-1β (IL1β) yang merupakan
salah satu faktor penyebab kematian mendadak (Carter, 2004 ; Smith, 2009).
3) Antigen
Toksin yang dihasilkan Bacillus
anthracis mengandung komponen 3 antigen :
a) Protective
agen : mengikat separuh untuk kebanyakan oedema factor dan lethal factor.
b) Oedema
factor : adanya Calmodulin dependent adenylate cyclase dan masuk sel berikatan
dengan antigen protective dan menyebabkan kenaikan level cyclic AMP yang
berdampak pada homeostasis air sehingga terjadi akumulasi cairan pada gejala
yang tampak.
c)
Lethal factor : lethal toksin termasuk
lethal factor, zinc metalloprotease dan protective agen yang aksinya mengikat
domain untuk oedema factor sehingga menstimuli macrophage untuk mereleasekan
cytokines terutama TNFα dan IL-1β. Secara alami pada kejadian penyakit efek
local dari toksin complex termasuk bengkak dan kegelapan pada jaringan melanjut
menjadi oedema dan nekrosis. Ketika
septicaemia terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler dan perluasan hemoragi
yang menyebabkan shock dan kematian (Carter, 2004).
c. Gejala
Klinis
1)
Berdasarkan
stadiumnya
Pada ternak terdapat tiga bentuk
penyakit anthrax, yaitu perakut, akut dan kronis. Kondisi perakut mempunyai
gejala penyakit yang sangat mendadak dan segera terjadi kematian karena
perdarahan di otak. Gejala tersebut berupa sesak napas, gemetar kemudian ternak
rebah. Pada beberapa kasus ternak menunjukkan gejala kejang-kejang. Kematian
dapat terjadi hanya dalam waktu 2 - 6 jam saja.
Pada kondisi akut, mula-mula terjadi
panas tubuh yang meningkat (demam), kemudian penderita menjadi gelisah, depresi
dengan pernafasan susah. Gejala ini diikuti dengan jantung cepat dan lemah,
kejang dan penderita segera mati. Selama penyakit berlangsung, demamnya
mencapai 41,5°C. Produksi susu berkurang dan susu yang dihasilkan berwarna
sangat kuning atau kemerahan. Pembengkakan pada tenggorok dan lidah adalah
salah satu gejala umum yang tampak.
Pada bentuk perakut kematian dapat
mencapai 100% sedangkan dalam bentuk yang akut kematian dapat mencapai 90%
meski telah dilakukan pengobatan. Sedangkan anthrax bentuk kronis umumnya
terdapat pada babi, tetapi juga terdapat pada ternak lainnya. Gejalanya
ditandai dengan adanya lepuh lokal terbatas pada lidah dan tenggorokan (Carter, 2004 ; Subronto, 2003).
2)
Berdasarkan
Jalur Masuknya
Bentuk antraks pada
manusia ada 3 jenis yaitu antraks kulit, antraks usus dan antraks pernafasan.
Antraks kulit terjadi karena endospora yang menembus kulit yang terkelupas,
bentuk usus karena menelan infective material dari bakteri seperti makan daging
hewan yang mati karena antraks, sedangkan bentuk pernafasan jarang, hal ini
karena inhalasi spora. Gejala antraks kulit adalah adanya benjolan kecil,
gatal, membesar, lepuh diikuti bagian lainnya dan membentuk cincin dengan tepi
kemerahan dengan pusat jaringan mati berwarna hitam, jika tidak diobati dapat
menyebar melalui aliran darah dan membuat kematian (angka kematian 20%).
Antraks usus ditandai dengan rasa sakit perut hebat (mual, muntah, mencret
darah dan nafsu makan turun), demam karena septicaemia (angka kematian 50%). Pada
antraks pernafasan terlihat gejala influenza, tetapi tiba-tiba menunjukkan
gejala berat dengan kesulitan bernafas, demam tinggi dan shock, kemudian mati
setelah 3-5 hari (angka kematian 100%) (Carter, 2004 ; Subronto, 2003).
d. Diagnosa
1) Perubahan
Pasca Mati
Bangkai ternak yang mati karena anthrax
dilarang keras untuk diseksi. Bangkai tersebut cepat membusuk karena sepsis dan
sangat menggembung. Kekakuan bangkai (rigormortis) biasanya tidak ada atau
tidak sempurna. Darah yang berwarna hitam seperti aspal mungkin keluar dari
lubang hidung dan dubur yang bengkak dan lekas membusuk. Selaput lendir
kebiruan, sering terdapat penyembulan rektum disertai perdarahan (Subronto,
2003).
2) Laboratorium
Diagnosis secara
laboratorium dilakukan dengan berbagai metode/uji :
a)
Mikroskopis,
dengan pewarnaan metilen blue polichromatic, gram atau wright
b)
Kultural
bakteriologik pada media agar darah dan kaldu protein
c)
Uji ascoli
d)
Identifikasi B.anthracis dengan media gula-gula
e)
Uji biologik
menggunakan hewan percobaan
f)
Uji serologi
dengan PCR (Polymerasi Chain Reaction) dan ELISA
Sampel yang diambil adalah serum darah vena, swab darah
vena, usap ulcus swab, dahak dan tanah tempat hewan mati dikubur (Quiin, 2007).
Tabel 1. daftar hasil uji biokimia Bacillus
sp.
No
|
Spesies
|
BS
|
Mo
|
Lec
|
Glu
|
Lac
|
Man
|
Mal
|
Suc
|
G6%
|
Sta
|
Nit
|
AnO2
|
GL
|
1
|
B.anthracis
|
ON
|
–
|
+
|
+
|
–
|
–
|
+
|
+
|
–
|
–
|
+
|
+
|
–
|
2
|
B.cereus
|
ON
|
+
|
+
|
+
|
–
|
–
|
+
|
+/–
|
+/–
|
+/–
|
+/–
|
++
|
+
|
3
|
B.megaterium
|
ON
|
+/–
|
–
|
+
|
±
|
+
|
±
|
+
|
+/–
|
+
|
–
|
–
|
+
|
4
|
B.licheniformis
|
ON
|
+/–
|
–
|
+
|
–
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
–
|
5
|
B.subtulis
|
ON
|
+/–
|
–
|
+
|
–
|
+
|
±
|
+
|
+
|
+/–
|
+
|
–
|
–
|
6
|
B.pumilus
|
ON
|
+
|
–
|
+
|
–
|
+
|
–
|
+
|
+
|
–
|
–
|
–
|
–
|
7
|
B.thuringiensis
|
ON
|
+
|
–
|
+
|
–
|
–
|
+
|
+
|
–
|
–
|
+
|
+
|
–
|
8
|
B.polimixa
|
OS
|
+
|
–
|
+
|
+
|
±
|
+
|
+
|
+/–
|
+
|
+
|
+
|
–
|
9
|
B.circulans
|
OS
|
+
|
–
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+/–
|
+
|
+/–
|
+/–
|
–
|
10
|
B.stearothermophilus
|
OS
|
+
|
–
|
+
|
±
|
–
|
+
|
+
|
–
|
+
|
+/–
|
–
|
–
|
11
|
B.coagulans
|
ON
|
+
|
–
|
+
|
–
|
–
|
–
|
–
|
–
|
–
|
+/–
|
+
|
–
|
12
|
B.alvei
|
ON
|
+
|
–
|
+
|
–
|
–
|
+
|
+
|
+/–
|
+
|
–
|
+
|
–
|
13
|
B.firmus
|
ON
|
+
|
–
|
+
|
±
|
+
|
+
|
+
|
+/–
|
+/–
|
+
|
–
|
–
|
14
|
B.laterosporus
|
ON
|
+
|
–
|
+
|
–
|
+
|
+
|
–
|
–
|
–
|
+
|
+
|
–
|
BS=bentuk spora, O=Oval, N=sel tidak mengembang, S=sel
mengembang, Mo=Motility, Lec=Lechitinase, Glu=Glukose, Lac= Lactose,
Man=Mannitol, Mal=Maltose, Suc=Sucrose, G6%=Kaldu NaCl 6%, Sta=Starch,
Nit=reduksi Nitrate, AnO2=pertumbuhan pada agar nutrient anaerob,
GL=Globule lipid (Soemarno, 2000).
e. Differensial
Diagnosa
1) IBR
(Infectious Bovine Rhinotracheitis)
Etiologi
: Bovine Herpes-virus tipe 1,
termasuk famili Herpetoviridae memiliki ds DNA. Virus berreaksi silang dengan
virus equine rhinopneumonitis, genus Herpes-virus, mungkin juga dengan antibody
coryza contagiosa bovis (MCF) dan pseudorabies.Terdapat subtype 1.1, 1.2a dan
1.2b. subtipe 1.1 menyebabkan penyakit pernafasan, subtipe 1.2a dan 1.2b
menyebabkan penyakit respirasi ringan, IBP, IPV, subtipe1.1 menyebabkan aborsi
begitu juga subtipe 1.2b namun jarang dan virulensinya rendah (Quinn, 2007).
Patogenesis :
virus masuk secara parentral/aerosol ® menginvasi vili
permukaan pencernaan ® masuk peredaran darah ®
viremia ®
bersarang di organ tergantung manifestasinya. Bentuk manifestasinya dapat
berupa bentuk respiratorik, konjungtival genital dan keluron, ensefalitik
(syaraf) dan neonatal (Quinn, 2007).
Gejala klinis
Bentuk
respiratorik : Masa inkubasi 3-7 hari menyerang sapi
umur 6 bulan atau lebih, gejala pernafasan ringan sampai bronchopneumonia, bila
terjadi infeksi sekunder, gejala paru-paru dengan suhu tubuh naik (42oC),
hewan lesu, hipersalivasi, lakrimasi, busung pada konjungtiva, radang hidung,
sinus, tenggorokan. Kelenjar limfe retropharyngeal, bronchial, mediastinal
bengkak dan hiperemi. Secara mikroskopik terlihat pembengkakan sel saluran pernafasan. Mukosa hidung kadang
hiperemi sehingga dapat digunakan sebagai diagnosa “red nose”. Dalam keadaan
berat ingus dapat bersifat fibrinomukoid / purulen kental dan terjadi nekrosis
pada mukosanya. Dengan adanya banyak ingus hewan tampak dyspnoe. Bentuk ini
juga dapat menyebabkan abortus pada trisemester akhir (Subronto, 2003).
Bentuk
Konjungtival :
Sering
disebut “winter pink eye”. Gejalanya seperti edema kornea dan konjungtiva yang
mengandung eksudat serous-mukopurulen. Penyakit keratokonjungtivitis menular
merupakan bentuk ini (Subronto,
2003).
Bentuk
ensefalik (syaraf) : Menyerang sapi umur 2-3 bulan. Virus
menyerang otak sehingga terjadi meningoensefalitis dengan tanda hiperestesi,
eksitasi dan inkoordinasi.
Bentuk
genital dan keluron
: Virus
menyerang mukosa vagina dan vulva dikenal dengan infectious pustular
vulvovaginitis (IPV) dan infeksi pada hewan jantan disebut balanopostitis,
keluar leleran purulen dari preputium, selain itu penis nampak hiperemi dan
terdapat nekrotik area dan hemoragi. Infeksi akut terjadi 1-3 hari setelah
kopulasi gejalanya tampak pustulae, pustulae kemudian pecah dan membentuk
bercak nekrotik. Pada hewan betina tewrdapat leleran nanah dari vulva dan
terjadi endometritis/abortus pada trisemester akhir, virus banyak ditemukan pada
hati dan ginjal janin yang digugurkan. Hati nampak terjadi radang nekrotik dan
jaringan mengalami autolisis.
Bentuk
neonatal :
Gejala
pada pedhet seperti demam, anoreksia, depresi, dyspnoe, eksudat serous dari
mata dan diare persisten. Pada lambung muka dan kerongkongan terdapat jejas
nekrosis Kasus ini biasanya membuat kematian (Subronto, 2003).
2) Bovine Viral Diarrhea (BVD)
Etiologi :
pestivirus dari keluarga Togaviridae, Virus ini berkapsul labil, positif sense,
ss RNA dan tempat replikasinya di sitoplasma. Virus ini memiliki 2 genotipe
yaitu BVDV 1 dan BVDV 2 serta memiliki 2 biotipe yaitu cytophatic dan
non-cytophatic (Quinn, 2007).
Patogenesis :
Infeksi via oronasal ® replikasi di mukosanya ®
viremia ®menyebar
ke tubuh, bebas di serum dan kontak dengan leukosit sehingga mambuat B dan T
limfosit turun ® immunosupresif efek ®
terjadi pada pedhet bentuk respiratori dan enteric disease. Jika terjadi
penyebaran transplasenta pada usia kebuntingan 90 hari maka dapat terjadi
aborsi, mummifikasi, abnormalitas congenital di CNS terkadang cerebelar
hypoplasia. Pada infeksi kebuntingan 120 hari terjadi immunotolerant pada fetus
sehingga menjadikan infeksinya persisten (non-cytophatic) namun setelah usia 2
tahun dapat bermutasi menjadi biotipe cytophatic atau recombinasi dengan asam
nukleat dari sel hospes atau non-cytophatic biotipe lainnya menghasilkan bentuk
penyakit mucosal (Quinn,
2007).
Gejala klinis :
- Kebanyakan
bentuk subklinis
- Infeksi akut sapi dewasa menyebabkan diare dan agalactia
- Terjadi demam, depresi, diare, innapetence, enteritis
tinggi, pneumonia
- Bentuk perakut terjadi demam, diare, dehidrasi, ulcer
pada mukosa mulut, interdigiti dan corona band
- Trombocytopenia karena diare berdarah, epistaxis dan
petechiae di mulut, konjungtiva dan sclera
- Pada bentuk mucosal menyerang usia 6-18 minggu dan
kematian terjadi setelah 2-3 minggu post infeksi dengan gejala depresi, demam,
diare profus, leleran pada nasal, salivasi.
- Dapat berkombinasi dengan infeksi RSV, IBR, PI3 sehingga
tampak gejala pneumonia (Quinn, 2007 ; Subronto, 2003).
3) Malignant
Catrrahal Fever (MCF)
Etiologi :
Agen penyebab penyakit ini digolongkan menjadi dua macam, yaitu :
a)
Acelaphine
herpes virus 1 (ALV-1)
b)
Ovine
herpes virus 2 (OHV-2) (Quinn, 2007).
Patogenesis
: virus dapat masuk melalui
peroral, pernafasan dan dapat menular melalui transplasenta. Penyakit ini
bersifat akut dan fatal pada sapi dan kerbau, terutama pada sapi Bali.Gejala
yang sangat menyolok adalah keluarnya ingus yang hebat dari hidung disertai demam yang tinggi, radang
mukopurelen pada selaput epitel pernapasan maupun selaput mata dan
encephalitis. Penyakit ingusan ini dapat menyerang ternak segala umur, namun
kebanyakan yang terserang berumur 4 – 6 tahun.. Angka kematian akibat penyakit
ingusan sangat tinggi (95 %) (Quinn, 2007).
Gejala
Klinis
- Periode inkubasi 3-4 minggu
- Demam tinggi (40 – 41º C).
- Keluarnya cairan dari hidung dan mata semula encer yang
akhirnya menjadi kental dan
mukopurulen.
- Peradangan mulut dan erosi permukaan lidah, sehingga air
liur menetes.
- Moncong kering dan pecah pecah terisi eksudat (nanah).
- Hidung tersumbat kerak sehingga kesulitan bernapas.
- Kondisi badan menurun, lemah dan lama kelamaan menjadi
kurus.
- Kornea mata keruh dan keputihan, dalam keadaan yang serius dapat terjadi
kebutaan.
- Kadang kadang dapat terjadi dermatitis (radang kulit)
dengan adanya penebalan dan pengelupasan kulit.
- Kelenjar limfe luar tubuh membengkak.
- Kadang kadang terjadi sembelit yang diikuti diare/
mencret.
- Gejala kelainan syaraf timbul akibat peradangan otak.
- Otot otot menjadi gemetar, berjalan sempoyongan, torticolis dan bersifat agresif.
- Terjadi hemoragi, hiperaemia dan erosi pada saluran
pernafasan
- Kematian terjadi biasanya antara 4 - 13 hari setelah
timbul tanda tanda penyakit (Quinn, 2007 ; Subronto, 2003).
4) Septichaemia
Epizootica (SE) atau Penyakit Ngorok, Septicemia Hemorrhagica,
Hemorrhagic Septicemia, Barbone.
Etiologi
: Penyakit SE disebabkan oleh
kuman Pasteurella multocida.
Patogenesis : Infeksi berlangsung melalui saluran pencernaan dan
pernapasan.
Gejala
Klinis
- Kondisi tubuh lesu dan lemah.
- Suhu tubuh meningkat dengan cepat diatas 41 º C.
- Tubuh gemetar, mata sayu dan berair.
- Selaput lendir mata hiperemik.
- Nafsu makan, memamah biak, gerak rumen dan usus menurun
sampai hilang disertai konstipasi.
- Pada bentuk busung, terjadi busung pada kepala, tenggorokan, leher bagian bawah,
gelambir dan kadang kadang pada kaki muka.
Derajad kematian bentuk ini dapat mencapai 90 % dan berlangsung cepat (3
hari – 1 minggu). Sebelum mati, hewan
terlihat mengalami gangguan pernapasan, sesak napas (dyspneu), suara ngorok
dengan gigi gemeretak.
- Pada bentuk pektoral, tanda tanda brhoncopnemoni lebih
menonjol. Mula mula bentuk kering dan
nyeri diikuti keluarnya ingus, pernapasan cepat dan susah. Pada bentuk ini proses penyakit berlangsung
lebih lama (1 – 3 minggu).
- Penyakit yang berjalan kronis, hewan menjadi kurus dan
sering batuk, nafsu makan terganggu dan terus
menerus mengeluarkan air mata, suhu badan normal tetapi terjadi mencret
bercampur darah (Subronto, 2003).
f. Terapi
1) Pemberian
antibiotika berspektrum luas.
a) Procain
penisilin G, dosis untuk ruminansia besar (sapi,
kerbau): 6.000 – 20.000 IU/kg BB, sedang untuk ruminansia kecil
(kambing, domba) : 20.000 – 40.000 IU/kg
berat badan.
b) Streptomycin,
dosis untuk ruminansia besar: 5 – 10 mg/kg BB, sedang untuk ruminansia kecil
: 50 – 100 mg/kg
BB.
c)
Kombinasi antara Procain Penisilin G dengan
Streptomycin.
d)
Penisilin
10.000 unit/kg BB 2 kali sehari selama 3-5 hari
e)
Oksitetrasiklin ,
untuk ruminansia besar: 50 mg/10 Kg BB, sedang untuk ruminansia kecil: 50 mg/5
Kg BB.
2) Pemberian
antiserum yang tinggi titernya (100 – 150 ml) (Smith, 2009).
g. Pencegahan
1)
Di daerah endemik
a)
vaksinasi
berkala pada sapi dan kambing, domba, vaksinasi dilakukan 1 bulan sebelum
antisipasi outbreak. Spora pada vaksin hidup diconvert menjadi noncapsulated
avirulen vegetatif organisme.
b)
Chemoprophylaxis, seperti long acting
penisilin.
c)
Vaksin
mati untuk vaksinasi pada manusia (Subronto, 2003).
2)
Di
daerah non endemik
a)
Isolasi
hewan, desinfeksi produk hewan, pakan, segala hal yang kontak dengan hewan.
b)
Desinfeksi
pakaian, sepatu dengan foot bath yang larutannya mengandung 5% formalin/3%
peracetic acid.
c)
Barang
yang kontak dengan karkas dibakar disemprot dengan formalin 10%.
d)
Insektisida
di sekitar karkas untuk mencegah penyebaran melalui lalat.
e)
Isolasi
hewan yang suspect selama 2 minggu (Subronto,
2003).
C.
Sumber
Informasi (Daftar Pustaka)
Carter,
G. R., and Wise, D. J. 2004. Essential of
Veterinary Bacteriology And Mycology 6th
ed. Iowa : Iowa
State Press
Quinn,
P.J. 2007. Veterinary Microbiology and
Microbial Disease. Iowa :
Blackwell
Smith,
Bradford P., 2009. Large Animal Internal
Medicine Fourth Edition. Philadelphia
: Mosby
Elsevier
Soemarno, 2000. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Klinik.
Yogyakarta : Akademi Analisis Kesehatan
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mammalia I).
Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press
No comments:
Post a Comment