Sunday 2 March 2014

BLOK 16 UP 3



A.   Merumuskan Sasaran / Tujuan Belajar / Learning Objectives
1.      Jelaskan etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, differensial diagnosa, terapi dan pencegahan dari penyakit Anthrax!

B.   Belajar Mandiri (Mengumpulkan Informasi)
1.      Etiologi, Patogenesis, Gejala Klinis, Diagnosa, Differensial Diagnosa, Terapi dan Pencegahan dari penyakit Anthrax!
a.    Etiologi
Bacillus anthracis meupakan bakteri pathogen penyebab penyakit anthraks. Penyakit ini biasanya menyerang hewan ternak maupun manusia yang kontak dengan hewan yang sudah terinfeksi. Bacillus anthracis merupakan bakteri berbentuk batang, lebar 1-1,3 μm, panjang 3-10 μm, tidak mempunyai alat gerak (non-motil), berkapsul, merupakan bakteri Gram positif, bentuk batangnya persegi atau cekung ujungnya, sering ditemukan berpasangan atau membentuk rantai pendek, berspora oval yang letaknya oval, dan bersifat aerob atau anaerob fakultatif. Bacillus anthracis memiliki dua tahap dalam siklus hidupnya yaitu fase vegetatif dan spora (Quinn, 2007 ; Soemarno, 2000).

b.   Patogenesis
1)   Siklus Hidup
a)    Fase Vegetatif
Jika spora antraks memasuki tubuh inang (manusia atau hewan memamah biak) atau keadaan lingkungan yang memungkinkan spora segera berubah menjadi bentuk vegetatif, kemudian memasuki fase berkembang biak. Sebelum inangnya mati, sejumlah besar bentuk vegetatif bakteri antraks memenuhi darah. Bentuk vegetatif biasa keluar dari dalam tubuh melalui pendarahan di hidung, mulut, anus, atau pendarahan lainnya. Ketika inangnya mati dan oksigen tidak tersedia lagi di darah bentuk vegetatif itu memasuki fase tertidur (dorman/tidak aktif). Jika kemudian dalam fase tertidur itu berkontak dengan oksigen di udara bebas, bakteri antraks membentuk spora (prosesnya disebut sporulasi) (Smith, 2009).
Bentuk vegetatif juga dapat terbawa oleh nyamuk atau serangga pengisap darah yang menggigit korban yang berada pada fase akhir. Bisa juga terbawa serangga yang memakan bangkai korban. Serangga ini kemudian dapat menularkan bakteri itu ke inang lainnya, hingga menyebabkan antraks kulit (Smith, 2009).
b)   Fase  Spora
Berbentuk seperti bola golf, berukuran 1-1,5 mikrometer. Selama fase ini bakteri dalam keadaan tidak aktif (dorman), menunggu hingga dapat berubah kembali menjadi bentuk vegetatif dan memasuki inangnya. Hal ini dapat terjadi karena daya tahan spora antraks yang tinggi untuk melewati kondisi tak ramah termasuk panas, radiasi ultraviolet dan ionisasi, tekanan tinggi, dan sterilisasi dengan senyawa kimia. Hal itu terjadi ketika spora menempel pada kulit inang yang terluka, termakan, atau karena ukurannya yang sangat kecil sehingga dapat terhirup. Begitu spora antraks memasuki tubuh inang, spora itu berubah ke bentuk vegetatif (Smith, 2009).
2)   Mekanisme Infeksi
Setelah endospora masuk ke dalam tubuh manusia, melalui luka pada kulit, inhalasi (ruang alveolar) atau makanan (mukosa gastrointestinal), kuman akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke kelenjar getah bening regional. Pada antraks kutaneus dan gastrointestinal terjadi germinasi tingkat rendah di lokasi primer yang menimbulkan edema lokal dan nekrosis. Endospora akan mengalami germinasi di dalam makrofag menjadi bentuk vegetatif. Bentuk vegetatif akan keluar dari makrofag, berkembang biak di dalam sistem limfatik, mengakibatkan limfadenitis hemoragik regional, kemudian masuk ke dalam sirkulasi, dan menyebabkan septikemia (Smith, 2009).
Faktor virulensi utama B.anthracis dicirikan (encoded) pada dua plasmid virulen yaitu pXO1 dan pXO2. Plasmid pXO1 mengandung gen yang memproduksi kompleks toksin antraks berupa faktor letal, faktor edema, dan antigen protektif. Antigen protektif merupakan komponen yang berguna untuk berikatan dengan reseptor toksin antraks (ATR = Anthrax Toxin Receptor) di permukaan sel. Setelah berikatan dengan reseptor maka oleh furin protease permukaan sel, antigen protektif yang berukuran 83-kDa itu membelah menjadi bentuk 63-kDa dan selanjutnya bentuk itu akan mengalami oligomerisasi menjadi bentuk heptamer. Pembelahan antigen protektif diperlukan agar tersedia tempat pengikatan FL dan atau FE. Antigen protektif yang telah mengalami pembelahan, bersama reseptornya akan melakukan pengelompokan ke dalam lipid rafts sel kemudian mengalami endositosis. Melalui lubang yang terbentuk terjadilah translokasi FE dan FL ke dalam sitosol yang selanjutnya dapat menimbulkan edema, nekrosis, dan hipoksia (Smith, 2009).
FE merupakan calmodulin-dependent adenylate cyclase yang mengubah adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang menyebabkan edema. FE menghambat fungsi netrofil dan aktivitas oksidatif sel polimormonuklear (PMN). FL merupakan zinc metalloprotease yang menghambat aktifitas mitogen-activated protein kinase kinase (MAPKK) in vitro dan dapat menyebabkan hambatan signal intraselular. FL menyebabkan makrofag melepaskan tumor necrosis-α (TNF- α) dan interleukin-1β (IL1β) yang merupakan salah satu faktor penyebab kematian mendadak (Carter, 2004 ; Smith, 2009).
     
3)   Antigen
Toksin yang dihasilkan Bacillus anthracis mengandung komponen 3 antigen :
a)    Protective agen : mengikat separuh untuk kebanyakan oedema factor dan lethal factor.
b)   Oedema factor : adanya Calmodulin dependent adenylate cyclase dan masuk sel berikatan dengan antigen protective dan menyebabkan kenaikan level cyclic AMP yang berdampak pada homeostasis air sehingga terjadi akumulasi cairan pada gejala yang tampak.
c)    Lethal factor : lethal toksin termasuk lethal factor, zinc metalloprotease dan protective agen yang aksinya mengikat domain untuk oedema factor sehingga menstimuli macrophage untuk mereleasekan cytokines terutama TNFα dan IL-1β. Secara alami pada kejadian penyakit efek local dari toksin complex termasuk bengkak dan kegelapan pada jaringan melanjut menjadi oedema dan nekrosis. Ketika septicaemia terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler dan perluasan hemoragi yang menyebabkan shock dan kematian (Carter, 2004).

c.    Gejala Klinis
1)   Berdasarkan stadiumnya
Pada ternak terdapat tiga bentuk penyakit anthrax, yaitu perakut, akut dan kronis. Kondisi perakut mempunyai gejala penyakit yang sangat mendadak dan segera terjadi kematian karena perdarahan di otak. Gejala tersebut berupa sesak napas, gemetar kemudian ternak rebah. Pada beberapa kasus ternak menunjukkan gejala kejang-kejang. Kematian dapat terjadi hanya dalam waktu 2 - 6 jam saja.
Pada kondisi akut, mula-mula terjadi panas tubuh yang meningkat (demam), kemudian penderita menjadi gelisah, depresi dengan pernafasan susah. Gejala ini diikuti dengan jantung cepat dan lemah, kejang dan penderita segera mati. Selama penyakit berlangsung, demamnya mencapai 41,5°C. Produksi susu berkurang dan susu yang dihasilkan berwarna sangat kuning atau kemerahan. Pembengkakan pada tenggorok dan lidah adalah salah satu gejala umum yang tampak.
Pada bentuk perakut kematian dapat mencapai 100% sedangkan dalam bentuk yang akut kematian dapat mencapai 90% meski telah dilakukan pengobatan. Sedangkan anthrax bentuk kronis umumnya terdapat pada babi, tetapi juga terdapat pada ternak lainnya. Gejalanya ditandai dengan adanya lepuh lokal terbatas pada lidah dan tenggorokan (Carter, 2004 ; Subronto, 2003).
2)   Berdasarkan Jalur Masuknya
Bentuk antraks pada manusia ada 3 jenis yaitu antraks kulit, antraks usus dan antraks pernafasan. Antraks kulit terjadi karena endospora yang menembus kulit yang terkelupas, bentuk usus karena menelan infective material dari bakteri seperti makan daging hewan yang mati karena antraks, sedangkan bentuk pernafasan jarang, hal ini karena inhalasi spora. Gejala antraks kulit adalah adanya benjolan kecil, gatal, membesar, lepuh diikuti bagian lainnya dan membentuk cincin dengan tepi kemerahan dengan pusat jaringan mati berwarna hitam, jika tidak diobati dapat menyebar melalui aliran darah dan membuat kematian (angka kematian 20%). Antraks usus ditandai dengan rasa sakit perut hebat (mual, muntah, mencret darah dan nafsu makan turun), demam karena septicaemia (angka kematian 50%). Pada antraks pernafasan terlihat gejala influenza, tetapi tiba-tiba menunjukkan gejala berat dengan kesulitan bernafas, demam tinggi dan shock, kemudian mati setelah 3-5 hari (angka kematian 100%) (Carter, 2004 ; Subronto, 2003).

d.   Diagnosa
1)   Perubahan Pasca Mati
Bangkai ternak yang mati karena anthrax dilarang keras untuk diseksi. Bangkai tersebut cepat membusuk karena sepsis dan sangat menggembung. Kekakuan bangkai (rigormortis) biasanya tidak ada atau tidak sempurna. Darah yang berwarna hitam seperti aspal mungkin keluar dari lubang hidung dan dubur yang bengkak dan lekas membusuk. Selaput lendir kebiruan, sering terdapat penyembulan rektum disertai perdarahan (Subronto, 2003).
2)   Laboratorium
Diagnosis secara laboratorium dilakukan dengan berbagai metode/uji :
a)    Mikroskopis, dengan pewarnaan metilen blue polichromatic, gram atau wright
b)    Kultural bakteriologik pada media agar darah dan kaldu protein
c)     Uji ascoli
d)    Identifikasi B.anthracis dengan media gula-gula
e)     Uji biologik menggunakan hewan percobaan
f)     Uji serologi dengan PCR (Polymerasi Chain Reaction) dan ELISA
Sampel yang diambil adalah serum darah vena, swab darah vena, usap ulcus swab, dahak dan tanah tempat hewan mati dikubur (Quiin, 2007).
Tabel 1. daftar hasil uji biokimia Bacillus sp.
No
Spesies
BS
Mo
Lec
Glu
Lac
Man
Mal
Suc
G6%
Sta
Nit
AnO2
GL
1
B.anthracis
ON
+
+
+
+
­–
+
+
2
B.cereus
ON
+
+
+
+
+/–
+/–
+/–
+/–
++
+
3
B.megaterium
ON
+/–
+
±
+
±
+
+/–
+
+
4
B.licheniformis
ON
+/–
+
+
+
+
+
+
+
+
5
B.subtulis
ON
+/–
+
+
±
+
+
+/–
+
6
B.pumilus
ON
+
+
+
+
+
7
B.thuringiensis
ON
+
+
+
+
+
+
8
B.polimixa
OS
+
+
+
±
+
+
+/–
+
+
+
9
B.circulans
OS
+
+
+
+
+
+
+/–
+
+/–
+/–
10
B.stearothermophilus
OS
+
+
±
+
+
+
+/–
11
B.coagulans
ON
+
+
+/–
+
12
B.alvei
ON
+
+
+
+
+/–
+
+
13
B.firmus
ON
+
+
±
+
+
+
+/–
+/–
+
14
B.laterosporus
ON
+
+
+
+
+
+
BS=bentuk spora, O=Oval, N=sel tidak mengembang, S=sel mengembang, Mo=Motility, Lec=Lechitinase, Glu=Glukose, Lac= Lactose, Man=Mannitol, Mal=Maltose, Suc=Sucrose, G6%=Kaldu NaCl 6%, Sta=Starch, Nit=reduksi Nitrate, AnO2=pertumbuhan pada agar nutrient anaerob, GL=Globule lipid (Soemarno, 2000).

e.    Differensial Diagnosa
1)   IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis)
Etiologi : Bovine Herpes-virus tipe 1, termasuk famili Herpetoviridae memiliki ds DNA. Virus berreaksi silang dengan virus equine rhinopneumonitis, genus Herpes-virus, mungkin juga dengan antibody coryza contagiosa bovis (MCF) dan pseudorabies.Terdapat subtype 1.1, 1.2a dan 1.2b. subtipe 1.1 menyebabkan penyakit pernafasan, subtipe 1.2a dan 1.2b menyebabkan penyakit respirasi ringan, IBP, IPV, subtipe1.1 menyebabkan aborsi begitu juga subtipe 1.2b namun jarang dan virulensinya rendah (Quinn, 2007).
Patogenesis : virus masuk secara parentral/aerosol ® menginvasi vili permukaan pencernaan ® masuk peredaran darah ® viremia ® bersarang di organ tergantung manifestasinya. Bentuk manifestasinya dapat berupa bentuk respiratorik, konjungtival genital dan keluron, ensefalitik (syaraf) dan neonatal (Quinn, 2007).
Gejala klinis
Bentuk respiratorik : Masa inkubasi 3-7 hari menyerang sapi umur 6 bulan atau lebih, gejala pernafasan ringan sampai bronchopneumonia, bila terjadi infeksi sekunder, gejala paru-paru dengan suhu tubuh naik (42oC), hewan lesu, hipersalivasi, lakrimasi, busung pada konjungtiva, radang hidung, sinus, tenggorokan. Kelenjar limfe retropharyngeal, bronchial, mediastinal bengkak dan hiperemi. Secara mikroskopik terlihat pembengkakan  sel saluran pernafasan. Mukosa hidung kadang hiperemi sehingga dapat digunakan sebagai diagnosa “red nose”. Dalam keadaan berat ingus dapat bersifat fibrinomukoid / purulen kental dan terjadi nekrosis pada mukosanya. Dengan adanya banyak ingus hewan tampak dyspnoe. Bentuk ini juga dapat menyebabkan abortus pada trisemester akhir (Subronto, 2003).
Bentuk Konjungtival : Sering disebut “winter pink eye”. Gejalanya seperti edema kornea dan konjungtiva yang mengandung eksudat serous-mukopurulen. Penyakit keratokonjungtivitis menular merupakan bentuk ini (Subronto, 2003).
Bentuk ensefalik (syaraf) : Menyerang sapi umur 2-3 bulan. Virus menyerang otak sehingga terjadi meningoensefalitis dengan tanda hiperestesi, eksitasi dan inkoordinasi.
Bentuk genital dan keluron : Virus menyerang mukosa vagina dan vulva dikenal dengan infectious pustular vulvovaginitis (IPV) dan infeksi pada hewan jantan disebut balanopostitis, keluar leleran purulen dari preputium, selain itu penis nampak hiperemi dan terdapat nekrotik area dan hemoragi. Infeksi akut terjadi 1-3 hari setelah kopulasi gejalanya tampak pustulae, pustulae kemudian pecah dan membentuk bercak nekrotik. Pada hewan betina tewrdapat leleran nanah dari vulva dan terjadi endometritis/abortus pada trisemester akhir, virus banyak ditemukan pada hati dan ginjal janin yang digugurkan. Hati nampak terjadi radang nekrotik dan jaringan mengalami autolisis.
Bentuk neonatal : Gejala pada pedhet seperti demam, anoreksia, depresi, dyspnoe, eksudat serous dari mata dan diare persisten. Pada lambung muka dan kerongkongan terdapat jejas nekrosis Kasus ini biasanya membuat kematian (Subronto, 2003).

2)   Bovine Viral Diarrhea (BVD)
Etiologi : pestivirus dari keluarga Togaviridae, Virus ini berkapsul labil, positif sense, ss RNA dan tempat replikasinya di sitoplasma. Virus ini memiliki 2 genotipe yaitu BVDV 1 dan BVDV 2 serta memiliki 2 biotipe yaitu cytophatic dan non-cytophatic (Quinn, 2007).
Patogenesis : Infeksi via oronasal ® replikasi di mukosanya ® viremia ®menyebar ke tubuh, bebas di serum dan kontak dengan leukosit sehingga mambuat B dan T limfosit turun ® immunosupresif efek ® terjadi pada pedhet bentuk respiratori dan enteric disease. Jika terjadi penyebaran transplasenta pada usia kebuntingan 90 hari maka dapat terjadi aborsi, mummifikasi, abnormalitas congenital di CNS terkadang cerebelar hypoplasia. Pada infeksi kebuntingan 120 hari terjadi immunotolerant pada fetus sehingga menjadikan infeksinya persisten (non-cytophatic) namun setelah usia 2 tahun dapat bermutasi menjadi biotipe cytophatic atau recombinasi dengan asam nukleat dari sel hospes atau non-cytophatic biotipe lainnya menghasilkan bentuk penyakit mucosal (Quinn, 2007).
Gejala klinis :
-  Kebanyakan bentuk subklinis
-  Infeksi akut sapi dewasa menyebabkan diare dan agalactia
-  Terjadi demam, depresi, diare, innapetence, enteritis tinggi, pneumonia
-  Bentuk perakut terjadi demam, diare, dehidrasi, ulcer pada mukosa mulut, interdigiti dan corona band
-  Trombocytopenia karena diare berdarah, epistaxis dan petechiae di mulut, konjungtiva dan sclera
-  Pada bentuk mucosal menyerang usia 6-18 minggu dan kematian terjadi setelah 2-3 minggu post infeksi dengan gejala depresi, demam, diare profus, leleran pada nasal, salivasi.
-  Dapat berkombinasi dengan infeksi RSV, IBR, PI3 sehingga tampak gejala pneumonia (Quinn, 2007 ; Subronto, 2003).

3)   Malignant Catrrahal Fever (MCF)
Etiologi : Agen penyebab penyakit ini digolongkan menjadi dua macam, yaitu :
a)    Acelaphine herpes virus 1 (ALV-1)
b)   Ovine herpes virus 2 (OHV-2) (Quinn, 2007).
Patogenesis : virus dapat masuk melalui peroral, pernafasan dan dapat menular melalui transplasenta. Penyakit ini bersifat akut dan fatal pada sapi dan kerbau, terutama pada sapi Bali.Gejala yang sangat menyolok adalah keluarnya ingus yang hebat dari hidung  disertai demam yang tinggi, radang mukopurelen pada selaput epitel pernapasan maupun selaput mata dan encephalitis. Penyakit ingusan ini dapat menyerang ternak segala umur, namun kebanyakan yang terserang berumur 4 – 6 tahun.. Angka kematian akibat penyakit ingusan sangat tinggi (95 %) (Quinn, 2007).
Gejala Klinis
-  Periode inkubasi 3-4 minggu
-  Demam tinggi (40 – 41º C).
-  Keluarnya cairan dari hidung dan mata semula encer yang akhirnya menjadi kental dan  mukopurulen. 
-  Peradangan mulut dan erosi permukaan lidah, sehingga air liur menetes.
-  Moncong kering dan pecah pecah terisi eksudat (nanah).
-  Hidung tersumbat kerak sehingga kesulitan bernapas.
-  Kondisi badan menurun, lemah dan lama kelamaan menjadi kurus.
-  Kornea mata keruh dan keputihan,  dalam keadaan yang serius dapat terjadi kebutaan.
-  Kadang kadang dapat terjadi dermatitis (radang kulit) dengan adanya penebalan dan pengelupasan kulit.
-  Kelenjar limfe luar tubuh membengkak.
-  Kadang kadang terjadi sembelit yang diikuti diare/ mencret.
-  Gejala kelainan syaraf timbul akibat peradangan otak.
-  Otot otot menjadi gemetar, berjalan sempoyongan,  torticolis dan bersifat agresif.
-  Terjadi hemoragi, hiperaemia dan erosi pada saluran pernafasan
-  Kematian terjadi biasanya antara 4 - 13 hari setelah timbul tanda tanda penyakit (Quinn, 2007 ; Subronto, 2003).

4)   Septichaemia Epizootica (SE) atau Penyakit Ngorok, Septicemia  Hemorrhagica,  Hemorrhagic Septicemia, Barbone.
Etiologi : Penyakit SE disebabkan oleh kuman Pasteurella multocida.
Patogenesis : Infeksi berlangsung melalui saluran pencernaan dan pernapasan.
Gejala Klinis
-  Kondisi tubuh lesu dan lemah.
-  Suhu tubuh meningkat dengan cepat diatas 41 º C.
-  Tubuh gemetar, mata sayu dan berair.
-  Selaput lendir mata hiperemik.
-  Nafsu makan, memamah biak, gerak rumen dan usus menurun sampai hilang disertai konstipasi.
-  Pada bentuk busung, terjadi busung  pada kepala, tenggorokan, leher bagian bawah, gelambir dan kadang kadang pada kaki muka.  Derajad kematian bentuk ini dapat mencapai 90 % dan berlangsung cepat (3 hari – 1 minggu).  Sebelum mati, hewan terlihat mengalami gangguan pernapasan, sesak napas (dyspneu), suara ngorok dengan gigi  gemeretak.   
-  Pada bentuk pektoral, tanda tanda brhoncopnemoni lebih menonjol.  Mula mula bentuk kering dan nyeri diikuti keluarnya ingus, pernapasan cepat dan susah.  Pada bentuk ini proses penyakit berlangsung lebih lama (1 – 3 minggu).
-  Penyakit yang berjalan kronis, hewan menjadi kurus dan sering batuk, nafsu makan terganggu dan terus  menerus mengeluarkan air mata, suhu badan normal tetapi terjadi mencret bercampur darah (Subronto, 2003).

f.     Terapi
1)   Pemberian antibiotika berspektrum luas.
a)    Procain penisilin G, dosis untuk ruminansia besar (sapi, kerbau): 6.000 – 20.000 IU/kg BB, sedang untuk ruminansia kecil (kambing, domba) : 20.000 – 40.000 IU/kg berat badan.
b)   Streptomycin, dosis untuk ruminansia besar: 5 – 10 mg/kg BB, sedang untuk ruminansia kecil : 50 – 100 mg/kg BB.
c)    Kombinasi antara Procain Penisilin G dengan Streptomycin.
d)   Penisilin 10.000 unit/kg BB 2 kali sehari selama 3-5 hari
e)    Oksitetrasiklin , untuk ruminansia besar: 50 mg/10 Kg BB, sedang untuk ruminansia kecil: 50 mg/5 Kg BB.
2)   Pemberian antiserum yang tinggi titernya (100 – 150 ml) (Smith, 2009).
g.    Pencegahan
1)    Di daerah endemik
a)    vaksinasi berkala pada sapi dan kambing, domba, vaksinasi dilakukan 1 bulan sebelum antisipasi outbreak. Spora pada vaksin hidup diconvert menjadi noncapsulated avirulen vegetatif organisme.
b)   Chemoprophylaxis, seperti long acting penisilin.
c)    Vaksin mati untuk vaksinasi pada manusia (Subronto, 2003).
2)   Di daerah non endemik
a)    Isolasi hewan, desinfeksi produk hewan, pakan, segala hal yang kontak dengan hewan.
b)   Desinfeksi pakaian, sepatu dengan foot bath yang larutannya mengandung 5% formalin/3% peracetic acid.
c)    Barang yang kontak dengan karkas dibakar disemprot dengan formalin 10%.
d)   Insektisida di sekitar karkas untuk mencegah penyebaran melalui lalat.
e)    Isolasi hewan yang suspect selama 2 minggu (Subronto, 2003).

C.   Sumber Informasi (Daftar Pustaka)
Carter, G. R., and Wise, D. J. 2004. Essential of Veterinary Bacteriology And Mycology 6th ed. Iowa : Iowa State Press
Quinn, P.J. 2007. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Iowa : Blackwell
Smith, Bradford P., 2009. Large Animal Internal Medicine Fourth Edition. Philadelphia : Mosby Elsevier
Soemarno, 2000. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Klinik. Yogyakarta : Akademi Analisis Kesehatan
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mammalia I). Yogyakarta :  Gadjah Mada University Press

No comments:

Post a Comment