Wednesday, 5 March 2014

Laporan POB Blok 16



LAPORAN PEMERIKSAAN PENYAKIT ORGANIK HEWAN BESAR

BAB I
PENDAHULUAN
Strongiliosis merupakan penyakit infeksius pada ternak ruminansia yang disebabkan oleh cacing Strongyloides sp. dan penyakit ini ditandai dengan timbulnya enteritis yang disertai dengan gejala diare. Gejala klinis yang timbul adalah rambut kusam, nafsu makan dan minum menurun, selaput lendir pucat, dan terjadi diare pada sapi, serta adanya asites pada bagian abdomen. Hasil penegakan diagnosa dikukuhkan dengan ditemukanya telur cacing strongyl pada pemeriksaan feses di laboratorium Parasitologi. Penanganan pertama yang telah dilakukan pada pemeriksaan sebelumnya (22/2/13) adalah dengan pemberian obat cacing golongan Benzimidazole secara peroral. Pemberian ini untuk membunuh cacing yang ada di dalam tubuh. Diberikan pula ekstrak hepatik, serta dengan pemberian depenhidramin HCl yang bergfungsi sebagai antihistamin dan sedatif. Pada pemeriksaan kedua (27/2/13) diberikan terapi dengan injeksi Vitamin B kompleks dan Vitamin ADE Vorte secara IM.
Kata kunci : Strongyliosis, Sapi Diare, Benzimidazole, Depenhidramin HCl, Vitamin B Complex, Vitamin ADE Vorte
 
BAB II
RIWAYAT KASUS
A.    Ambulatoir
No.                        : 12
Tanggal                  : 27 Februari 2013
Nama pemilik        : Koperasi Warga Mulya
Alamat                  : Cemoroharjo, Candibinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta
Mahasiswa            : Ardhie
Macam Hewan      : Sapi
Nama Hewan        : Nikita
Signalemen           
Breed                : PFH (Peranakan Frisian Holstein)
Sex                    : Betina
Age                   : + 9 Bulan
Spesific patern : Warna tubuh putih dan hitam
Anamnesa
Nafsu makan turun, pada hari Jumat (22/2/13) sudah dilakukan pemeriksaan, sapi mengalami diare serta mengindikasikan cacingan dan sudah diberi obat cacing, vitamin B kompleks dan ekstrak hepatic. Hari ini Rabu (27/2/13) sudah ada perbaikan kedaan, anus kotor dan feses cukup padat.
Status Presens
1.      Keadaan umum               : Ekspresi muka sayu dan terlihat lesu, kondisi badan kurus
2.      Frekuensi nafas               : 2/mnt.       Frek. Pulsus: 64×/mnt.         Panas badan: 39 oC
3.      Kulit dan rambut             : Kotor, rontok, pada kulit kaki kiri belakang ada miasis
4.      Selaput lendir                  : konjuctiva pucat dan cermin hidung basah
5.      Kelenjar limfe                 : Lgl normal, tidak ada pembengkakan.
6.      Pernafasan                       : Normal, thoracoabdominal, vesikuler.
7.      Peredaran darah              : Normal,dapat dibedakan sistole dan diastole.
8.      Pencernaan                      : Gerak rumen 10×/ 5 menit.
9.      Kelamin, Perkencingan   : Vulva pucat, urinasi normal.
10.  Saraf                                : Semua reflek perifer normal dan tidak ada perubahan.
11.  Anggota gerak                : Tidak ada perubahan, Dapat berdiri dengan 4 kaki
12.  Lain – lain                         Berat badan                       : 150 kg.
13.  Pemeriksaan Laboratorium :
a.       Pemeriksaan Feses  :
1)      Pemeriksaan Fisik
Konsistensi      : lembek
Warna              : coklat kehitaman
2)      Pemeriksaan Kimiawi
Pemeriksaan natif        : negative (-)
Pemeriksaan apung      : negative (-)
3)      Pemeriksaan Parasit
Hasil pemeriksaan parasit yang dilakukan oleh Laboratorium Parasitologi FKH UGM (23/2/13) menyatakan bahwa sapi terkena Strongyloides sp.  (+++).
b.      Pemeriksaan Darah :
Hematokrit   : 25  %
Limfosit              : 65 %
Hemoglobin  : 9,8 g %
Monosit              : 2 %
Eritrosit        : 6,32jt/mm³
      Eisinofil             : 9 %
Leukosit       : 10,500 he/ mm³
      Fibrinogen        : 300 mg %
Neutrofil      : 24 %
      Protein Total    : 7,0 g %
Diagnosa
Diagnosa diambil berdasarkan anamnesa, pemeriksaan kondisi umum, gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah dan feses. Diagnosa yang dapat diambil adalah Strongiliosis atau infeksi cacing Strongyloides sp.
Prognosis
Fausta
Tata Laksana / Terapi
Pada praktikum yang kami lakukan terapinya dengan Injeksi Vitamin B compleks 10% 10 cc dan Vitamin ADE Vorte 10 cc



BAB III
PEMBAHASAN
A.      Tinjauan Pustaka
1.    Strongyloides sp.
Etiologi
Dari hasil pemeriksaan yang telah kami lakukan, dapat diketahui bahwa pedet terdiagnosa Strongiliosis yang disebabkan oleh infeksi cacing dengan klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum   : Nematoda
Class       : Secernentea
Ordo       : Rhabditida
Family    : Strongyloididae
Genus     : Strongyloides
Species   :
Trichostrongylus axei (Levine, 1994).
Cacing ini disebut cacing benang. Cacing dewasa dapat bersifat parasit maupun bebas. Bentuk parasitik panjangnya 2-9 mm dan langsing yang dapat ditemukan hanya cacing betina yang bersifat partenogenetik. Mereka mempunyai esofagus sangat panjang dan berbentuk hampir silindris, vulva pada bagian pertengahan tubuh posterior, ekor pendek berbentuk kerucut, uterus amfidelf (dengan cabang ke depan maupun ke belakang) dan telur telah berembrio (Levine, 1994).
Bentuk bebas dapat ditemukan adanya cacing jantan dan betina, mereka sangat kecil dan relatif kuat, dengan esofagus rabditiform. Ekor cacing jantan pendek dan berbentuk kerucut, sepasang spikulum pendek sama besar dan sebuah gubernakulum. Ujung posterior cacing betina meruncing ke ujung, vulva terletak dekat pertengahan tubuh, uterus amfidelf. Telurnya sedikit serta telah berembrio waktu dikeluarkan (Levine, 1994).
Siklus hidupnya ada 2, yaitu fase parasitik dan fase hidup bebas dan ada 2 kemungkinan jalur yang dilalui fase hidup bebas. Cacing betina parasitik menghasilkan telur berembrio atau larva yang keluar bersama tinja. Larva stadium pertama rabditiform dan makan mikroorganisme dalam tinja. Mereka berkembang menjadi larva stadium kedua, lalu menjadi larva stadium ketiga dalam 2 tipe. Beberapa larva stadium ketiga memiliki esofagus filariform (silindris). Mereka menginfeksi hospes dengan menembus kulit atau tertelan. Apabila mereka telah memasuki kulit, mereka pergi ke kapiler dan terbawa oleh darah ke paru-paru, kemudian merusak dinding kapiler, masuk ke dalam saluran udara, dan berimigrasi ke trakea dan turun ke esofagus menuju usus halus, mereka tumbuh menjadi larva stadium keempat dan menjadi dewasa. Apabila mereka tertelan, larva berkembang dalam usus halus tanpa bermigrasi. Ini disebut siklus hidup tipe homogonik (Levine, 1994).
Beberapa larva stadium ketiga memiliki esofagus rabditiform. Larva memiliki siklus hidup tipe heterogenik. Mereka makan dan tumbuh menjadi larva stadium keempat. Larva ini tumbuh dan menjadi cacing jantan dan betina dewasa yang hidup bebas. Setelah  kawin, cacing betina meletakkan telur yang menghasilkan larva rabditiform stadium pertama. Larva ini makan dan tumbuh menjadi larva stadium kedua, lalu tumbuh menjadi larva stadium ketiga filariform yang menginfeksi hospes (Levine, 1994).
Patogenesis
Semua spesies strongyloides hidup di usus halus. Cacing dewasa bertelur yang sudah mengandung embrio, dan tidak jarang langsung menetas di usus halus. Larva yang dibebaskan bersama tinja, tidak jarang juga ditemukan di kelenjar susu dan cacing dewasa yang siap bertelur sudah dapat ditemukan saat anak berumur 1 minggu. Kalau infeksi lewat kulit, larva terbawa aliran darah dan sampai di paru-paru, untuk selanjutnya menuju pangkal tenggorok dan tekak, akhirnya ke lambung dan usus. Infeksi melalui kulit dapat menyebabkan dermatitis dan kalau di daerah penis mengakibatkan balanopostitis (Subronto, 2004).
Periode prepaten cacing kurang lebih 10 hari. Pada individu muda, misalnya pedet < 6 bulan, infeksi cacing ini dapat menyebabkan kematian mendadak, tanpa terdiagnosis. Dibutuhkan waktu < 2 hari oleh larva infektif untuk berkembang di bawah kondisi optimum di dalam siklus hidup homogenik, dan kemungkinan dibutuhkan satu hari lebih lama pada siklus heterogenik (Levine, 1994 ; Subronto, 2004).
Gejala klinis
Diare sering teramati, disertai kepucatan, batuk-batuk, dermatitis, radang paru-paru dan radang usus. Kelemahan pada domba menyebabkan penderita tidak mampu berjalan, pincang dan mudah mengalami footrot. Sering terlihat rambutnya rontok, pada kulit terdapat lesi dan tampak kotor. Didapatkan pula lesi pada mata yaitu penebalan di daerah mata. Konjungtiva berwarna merah muda; hidung basah, lembab, hangat; vulva berwarna merah muda. Refleks pupil normal, aktivitas otot dan saraf baik. Feses yang dikeluarkan konsentrasinya lunak (Subronto, 2004 ; Smith 2002).
   Diagnosis
Berdasarkan gejala klinis dan dari pemeriksaan umum dan khusus. Dilakukan juga pemeriksaan feses dan pemeriksaan darah untuk mendukung hasil diagnosis. Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode natif, metode sentrifuse, metode Parfitt and Banks, atau metode McMaster. Pada pemeriksaan feses dapat ditemukan adanya telur strongyl. Dari pemeriksaan darah terjadi penurunan kadar hematokrit, hal ini mengindikasikan terjadinya anemia. Anemia normositik normokromik dapat terjadi karena radang kronis. Pemeriksaan sel darah putih, terjadi neutropenia yang kemungkinan terjadi karena distribusi cacing Strongyl pada tubuh sapi, sehingga jaringan membutuhkan neutrofil untuk memfagositosis parasit. Jumlah limfosit pada pemeriksaan menunjukkan limfositosis dan eosinofilia. Pemeriksaan protein menunjukkan sapi mengalami dehidrasi (Smith, 2002).
   Terapi
Ivermectin merupakan terapi pilihan utama untuk stongyloides, oleh karena efektivitasnya yang tinggi (mencapai hampir 100%) serta pemberiannya cukup dosis tunggal, baik untuk kasus tanpa atau pun dengan komplikasi dengan efek samping yang sedikit. Dosis ivermectin 0,2 mg/ kg bb/ hari, di berikan dalam dosis tunggal. Angka kesembuhan 98,7%. Sebagai terapi alternative adalah albendazole dan Thabendazole, sedangkan di Indonesia sediaan yang ada pada umumnya adalah albendazole. Dosis albendazole 25 mg/ kg bb/ hari. Beberapa pilihan terapi untuk mengobati infeksi strongyloides:
a.    Diethylcarbamazine 100 mg / kg secara oral, sekali
b.    Ivermectin 0,2 mg / kg secara oral
c.    Mebendazole 20 mg / kg secara oral, setiap hari selama 3-14 hari
d.   Fendbendazole 50 mg / kg secara oral setiap hari selama 5 hari untuk tumefasciens strongyloides pada kucing.
e.    Thiabendazole 125 mg per kucing setiap hari selama 3 hari untuk tumefasciens strongyloides pada kucing (Subronto, 2004).

2.      Obat yang Dapat Digunakan untuk Terapi
a.    Vitamin B kompleks
1)   Setiap ml mengandung:
·      Vitamin B1 ………………………………………………………… 2 mg
·      Vitamin B2 ………………………………………………………… 2 mg
·      Vitamin B6 ………………………………………………………… 2 mg
·      Nicotinamide ……………………………………………...……….  20 mg
·      Pathenol …………………………………………………..……..…  10 mg
·      Procaine HCl …………………………………………...………….  20 mg


2)   Vitamin B complex mempunyai fungsi sebagai :
·      Mengatasi kelesuan dan gangguan metabolisme
·      Menambah nafsu makan, memperbaiki kondisi tubuh, meningkatkan daya tahan tubuh
·      Memperbaiki pertumbuhan
·      Memelihara fungsi normal pada sistem syaraf
·      Suplemen vitamin setelah pengobatan antibiotic
·      Terutama diperlukan pada semua keadaan akibat defisiensi vitamin B – complex

b.   Delladryl (Dipenhidramin HCl)
·      Isi           : Setiap mg mengandung dipenhidramin HCL 10 mg
·      Dosis      : Hewan kecil (anjing, kucing) 0,1 ml/kgBB. Hewan besar (kuda,
                      sapi) 1,0 ml/20 kg BB
·      Indikasi  : Pengobatan reaksi alergi seperti urtikaria, reaksi anafilatik, dermatitis alergi, rhinitis alergi, pruritis, gatal-gatal pada peradangan pada peradangan dan asma bronkial. Pencegahan dan pengobatan mabuk dan sebagai antiemetik pada hewan kecil. Sebagai terapi tambahan untuk laminitis aseptik pada sapi.

c.    Verm-O (Benzimidazole)
 Verm-O Bolus merupakan antiparasit yang merupakan kelas Benzimidazole. Dalam 1 bolus Verm-O mengandung 900 mg Oxfendazole. Obat ini dapat diberikan sebagai terapi dan prophylaksis infestasi cacing pada sapi, kerbau, kuda, domba, kambing, dan babi karena nematoda (Haemonchus spp., Trichostrongylus spp., Oesophagostomum spp., Chabertia spp., Ostertagia spp., Cooperia spp., Neoascaris spp., Bunostomum spp., Parascaris spp., Strongylus spp.), cacing paru (Dictyocaulus spp.), dan cacing pita (Moniezia spp.).
Pada sapi dosis yang diberikan adalah 1 bolus/200kg dan diberikan secara peroral, karena sapi yang diperiksa memiliki berat 100 kg maka diberikan ½ bolus.


B.       Pembahasan Hasil Praktikum
Pemeriksaan sapi dilakukan pada hari Rabu, 27 Februari 2013. Sapi betina breed PFH, umur kurang lebih 9 bulan dengan warna dominan hitam putih. Berat badan pedet kurang lebih 150 kg. Sapi tersebut terlihat kurus, dari anamnesa diketahui bahwa nafsu makan turun. Feses terlihat padat. Pada hari Jumat (21/2/13) telah diperiksa mengalami diare dan telah diberikan obat cacing, Vitamin B kompleks dan ekstrak hepatik. Anus kotor dan feses mengering.
Dari hasil inspeksi dilihat keadaaan pedet kurus dan ekspresi mukanya lesu. Lalu dilakukan penghitungan frekuensi nafas, pulsus dan suhu. Frekuensi nafas dapat dihitung dengan memperhatikan gerak rongga dada pada saat hewan istirahat, frekuensi  nafas pedet 25 kali/menit. Menurut Surono (1975), frekuensi nafas normal sapi adalah 24-42×/menit, sehingga bisa dikatakan bahwa frekuensi pernafasan sapi tersebut normal. Untuk mendapatkan frekuensi pulsus diraba pada a. coccygea di sebelah ventral dari pangkal ekor. Frekuensi pulsus pedet 64×/menit. Menurut Surono (1975), frekuensi pulsus sapi normal adalah 54-84 kali/menit, sehingga bisa dikatakan pulsusnya normal. Pengukuran suhu tubuh dilakukan dengan meletakkan termometer pada anus sapi, suhu tubuh pedet 39oC , ini menunjukkan bahwa sapi tersebut masih dalam keadaan normal, karena kisaran suhu sapi normal menurut Surono (1975) adalah 37,6 – 39,20C.
Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan kulit dan rambut. Pada pemeriksaan ini terlihat saat bagian punggung sapi diusap dengan arah yang berlawanan dari rambut diketahui bahwa rambut pedet mengalami kerontokan dan kusam. Dan terlihat adanya miasis pada kulit di kaki kiri bagian belakang. Berdasarkan literatur gejala yang nampak pada kasus cacingan biasanya adalah rambut rontok, lesi pada kulit dan tampak rontok, hal ini dapat mengarahkan bahwa sapi mungkin terkena infestasi cacing.
Pemeriksaan selaput lendir dilakukan dengan memeriksan konjungtiva mata dan cuping hidung pedet. Konjungtiva mata pedet berwarna pink pucat  dan cuping hidungnya basah. Berdasarkan (Subronto, 2004) gejala yang nampak pada sapi normal sesuai dengan literatur tersebut, yaitu konjungtiva merah muda, dan cermin hidung basah. Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan kelenjar-kelenjar limfe. Pada pemeriksaan kelenjar-kelenjar limfe diketahui bahwa limfoglandula pada sapi normal,dan tidak ada perubahan apapun pada limfoglandula. Hal ini menunjukkan bahwa pedet tidak terinfeksi bakteri atau virus yang biasanya dapat menyebabkan pembengkakan pada kelenjar-kelenjar limfe.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan saluran pernafasan. Pemeriksaan paru-paru dilakukan dengan auskultasi. Pada pemeriksaan ini diketahui pedet mengeluarkan suara vesikuler dengan tipe gerakan pernapasan thoracoabdominal.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan peredaran darah. Pemeriksaan dilakukan di daerah pekak jantung dengan cara auskultasi pada ronggo intercostare ke-5 dan ke-3 pada dada sebelah kiri kira-kira setinggi persendian siku (Subronto, 2004). Saat diauskultasi suara sistole dan diastole dapat dibedakan (ritmis). Hal ini menunjukkan bahwa jantung, terutama katup jantung, tidak mengalami gangguan sehingga jantung terdengar ritmis, selain itu tidak terdengar suara-suara abnormal saat auskultasi. Dari pemeriksaan ini dibandingkan dengan literatur (Subronto, 2004) diketahui bahwa fungsi jantung normal.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan saluran pencernaan. Hal yang dilakukan pertama adalah menghitung tonus rumen, caranya adalah dengan menekan daerah lekuk paralumbar sebelah kiri dengan kepalan tinju. Didapatkan tonus rumen pedet 10 kali/ 5 menit (normal: 5-10 kali/5 menit). Setelah itu dilakukan auskultasi pada dinding perut untuk mengetahui gerakan peristaltik usus. Gerakan peristaltik usus sedikit meningkat, namun tidak terdengar adanya suara lain selain gerakan usus. Anus pedet terlihat cukup bersih, hal ini menandakan bahwa pedet tidak mengalami diare. Namun feses pedet terlihat lembek. Berdasarkan Subronto (2004), tonus rumen pedet termasuk normal, dan tidak terdengar suara apapun selain gerakan usus menandakan bahwa di usus tidak ada akumulasi gas. Berdasarkan Smith (2002), pada kasus cacingan konsentrasi feses lunak. Hal ini semakin mengarahkan bahwa pedet terinfeksi cacing, terutama cacing Strongyloides.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kelamin dan perkencingan (urogenital), yaitu bersih, mukosa pink pucat, tidak ada leleran dan urinasi normal dan dapat disimpulkan bahwa kelamin dan perkencingan tidak ada perubahan. Selanjutnya diilakukan pemeriksaan saraf. Reflek palpebra dengan cara menggerakkan tangan ke arah mata pedet, pedet menggerakan kelopak matanya. Pada pemeriksaan anggota gerak, dari hasil inspeksi terlihat pedet berdiri tegak dengan keempat kakinya.


Dari hasil pemeriksaan darah di laboratorium diketahui:
Tes
Unit
Hasil Lab
Literatur
(Schalm’s, 2010)
Interpretasi
Hematokrit (PCV)
%
25
21 – 30
Normal
Hemoglobin
g/dl
4,8
8,4 – 12
Rendah
Eritrosit
X 106/µl
6,32
4,9 – 7,5
Normal
MCV
Fl
-
36 – 50
-
MCH
Pg
-
14 – 19
-
MCHC
g/dl / %
-
38 – 43
-
Leukosit
X 103/µl
10,5
5,1 – 13,3
Normal
Protein total
%
7,0
2-20
Normal
Fibrinogen
g/dl
mg%
-
300
7,56
300-700
-
Normal
Neutrofil segment
%
24
14-45
Normal
Monosit
%
2
45-75
Monopenia
Eosinofil
%
9
2-7
Eosinofilia

Dari hasil pemeriksaan darah dapat terlihat bahwa kadar Hb turun (anemia), Monosit turun (Monopenia) dan Eosinofil naik (Eosinofilia). Menurut Schalm (2010), leukosit digolongkan sebagai granulosit (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan agranulosit (monosit dan limfosit). Pemeriksaan deferensial leukosit meliputi neutrofil, limfosit, monosit, basofil dan eosinofil. Jumlah leukosit yang menyimpang dari keadaan normal mempunyai arti klinik penting untuk evaluasi proses penyakit, Infeksi kronis pada cacing akan menyebabkan meningkatnya penggunaan sel monist yang berlebihan oleh jaringan untuk proses fagositosis  tanpa diimbangi oleh pemasukan ke dalam sirkulasi yang cukup sehingga mengalami anemia (Schlam, 2010).
Pemeriksaan sel darah putih, terjadi monopenia yang kemungkinan terjadi karena distribusi cacing Strongyl pada tubuh sapi, sehingga jaringan membutuhkan monosit untuk memfagositosis parasit. Terlihat pula kadar Eosinofil yang naik, dari Subronto (2004) mengatakan bahwa apabila dalam tubuh hewan  Berdasarkan pemeriksaan darah diatas maka dapat disimpulkan bahwa sapi menderita radang dikarenakan manifestasi cacing.
Selain itu dilakukan juga pemeriksaan feses dengan metode sentrifuse Pada pemeriksaan feses dapat ditemukan telur strongyl. Apabila ditemukan dalam jumlah > 1000 epg, maka hewan terkena infeksi serius dan perlu pengobatan Diagnosa banding perlu diadakan karena banyak penyakit atau keadaan yang dapat menyerupai enteritis yang disebabkan oleh parasit, sehingga dapat mengaburkan diagnosa yang ada dengan uji lab yang telah dilakukan. Jika dari pemeriksaan lab ditemukan hasil negatif pada pemeriksaan feses maka dapat dipastikan bahwa enteritis tersebut diakibatkan oleh bakteri atau virus (Levine,1994).
Prognosa terhadap kasus strogyliosis adalah fausta-infausta.  Fausta jika kejadian cepat ditangani dan masih meunjukan kemajuan dan infausta jika penanganan yang lambat dan pengobatan sudah dilakukan tetapi tidak menunjukkan perubahan ke arah kondisi yang membaik (Levine,1994). Untuk kejadian strongiliasis pada sapi ini adalah fausta karena masih dalam kondisi yang dapat dikendalikan dan menunjukan perubahan yang baik.
Umumnya terapi menggunakan Albendazole 10 mg/kg BB pada sapi. Strategi penggunaan anthelmintika adalah dasar dari program pengontrolan, bertujuan untuk mengeliminasi parasit dan mencegah telur dikeluarkan karena dapat mengkontaminasi rumput. Manajemen merumput harus menghindari daerah beresiko tinggi selama periode transmisi, memperbaiki system drainase untuk mengurangi habitat dari siput.
Pada kejadian ini telah diberikan pengobatan kausatif dengan obat cacing golongan Benzomedazol yang berfungsi untuk membunuh cacing nematode, trematoda, dan cestoda dengan menganggu sistem saraf dari cacing. Kemudian diberikan pengobatan suportif dengan injeksi Vitamin B complex untuk meningkatkan aktifitas otot, kemudian  Duradil yang didalamnya mengadung Depenhidramin HCl untuk mencegah adanya histamine sehingga efek inflamasi tidak berlebihan dan tidak menimbulkan nekrosis yang buruk. Serta diberikan pula ekstrak hepatic. Pada pemeriksaan berikutnya keadaan sudah membaik, tidak perlu diberikan obat cacing kembali. Jadi hanya diberikan Vitamin B compleks dan Vitamin ADE Vorte.
Saran untuk pemilik hewan adalah agar manajemen pakan dan sanitasi harap diperhatikan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.      KESIMPULAN
     Dari hasil anamnesa, pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan sampel ke laboratorium terkait, dapat disimpulkan bahwa sapi tersebut terinfestasi parasit Strongyloides sp., Pengobatan yang dapat dilakukan adalah secara kausatif yaitu pemberian obat cacing golongan benzimidazol, Kemudian diberikan pengobatan suportif dengan injeksi Vitamin B complex dan vitamin ADE Vorte. Pencegahan atas penyakit ini diantaranya dengan manajemen lingkungan, pakan dan perkandangan

B.       SARAN
 Saran untuk peternak harus memperhatikan sanitasi kandang, membuang kotoran sapi tiap hari agar tidak menjadi sumber penyakit, menyediakan minum adlibitum agar sapi tidak mengalamai dehidrasi, memberikan makanan yang sesuai agar sapi mempunyai bobot tubuh yang optimal, pemberian suplemen vitamin dan obat cacing yang rutin juga diperlukan untuk menjaga daya tahan tubuh. Selalu konsultasikan kesehatan ternak kepada dokter hewan dan konsultasikan juga mengenai managemen dan sanitasi lingkungan, pakan dan perkandangan.













BAB V
 DAFTAR PUSTAKA

Levine, N.D.1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Smith, B. P. 2002. Large Animal Internal Medicine. New York : Mosby
Subronto. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Weiss. D.J.2010. Schalm’s Veterinary Hematology. Philadelphia : Wiley-Blackwell

No comments:

Post a Comment