LAPORAN PEMERIKSAAN PENYAKIT ORGANIK HEWAN BESAR
BAB
I
PENDAHULUAN
Strongiliosis merupakan
penyakit infeksius pada ternak ruminansia yang disebabkan oleh cacing Strongyloides sp. dan penyakit ini
ditandai dengan timbulnya enteritis yang disertai dengan gejala diare. Gejala
klinis yang timbul adalah rambut kusam, nafsu makan dan minum menurun, selaput
lendir pucat, dan terjadi diare pada sapi, serta adanya asites pada bagian
abdomen. Hasil penegakan diagnosa dikukuhkan dengan ditemukanya telur cacing
strongyl pada pemeriksaan feses di laboratorium Parasitologi. Penanganan
pertama yang telah dilakukan pada pemeriksaan sebelumnya (22/2/13) adalah
dengan pemberian obat cacing golongan Benzimidazole secara peroral. Pemberian
ini untuk membunuh cacing yang ada di dalam tubuh. Diberikan pula ekstrak
hepatik, serta dengan pemberian depenhidramin HCl yang bergfungsi sebagai
antihistamin dan sedatif. Pada pemeriksaan kedua (27/2/13) diberikan terapi
dengan injeksi Vitamin B kompleks dan Vitamin ADE Vorte secara IM.
Kata kunci : Strongyliosis, Sapi Diare, Benzimidazole, Depenhidramin HCl, Vitamin
B Complex, Vitamin ADE Vorte
BAB
II
RIWAYAT
KASUS
A.
Ambulatoir
No. : 12
Tanggal : 27 Februari 2013
Nama
pemilik : Koperasi Warga Mulya
Alamat : Cemoroharjo, Candibinangun, Pakem, Sleman,
Yogyakarta
Mahasiswa : Ardhie
Macam
Hewan : Sapi
Nama
Hewan : Nikita
Signalemen
Breed : PFH (Peranakan Frisian
Holstein)
Sex : Betina
Age : + 9 Bulan
Spesific patern : Warna tubuh putih dan hitam
Anamnesa
Nafsu makan
turun, pada hari Jumat (22/2/13) sudah dilakukan pemeriksaan, sapi mengalami
diare serta mengindikasikan cacingan dan sudah diberi obat cacing, vitamin B
kompleks dan ekstrak hepatic. Hari ini Rabu (27/2/13) sudah ada perbaikan
kedaan, anus kotor dan feses cukup padat.
Status
Presens
1. Keadaan
umum : Ekspresi muka sayu dan terlihat lesu, kondisi badan
kurus
2. Frekuensi
nafas : 25×/mnt. Frek. Pulsus: 64×/mnt. Panas badan: 39 oC
3. Kulit
dan rambut : Kotor, rontok, pada kulit kaki kiri belakang ada
miasis
4. Selaput
lendir : konjuctiva pucat dan cermin hidung basah
5. Kelenjar
limfe : Lgl normal, tidak
ada pembengkakan.
6. Pernafasan : Normal,
thoracoabdominal, vesikuler.
7. Peredaran
darah : Normal,dapat dibedakan sistole dan diastole.
8. Pencernaan : Gerak rumen 10×/ 5 menit.
9. Kelamin, Perkencingan : Vulva
pucat, urinasi normal.
10. Saraf : Semua reflek perifer normal dan tidak ada perubahan.
11. Anggota
gerak : Tidak ada
perubahan, Dapat berdiri dengan 4 kaki
12. Lain
– lain Berat badan :
150
kg.
13. Pemeriksaan Laboratorium :
a.
Pemeriksaan
Feses :
1) Pemeriksaan
Fisik
Konsistensi : lembek
Warna :
coklat kehitaman
2) Pemeriksaan
Kimiawi
Pemeriksaan natif : negative (-)
Pemeriksaan apung : negative (-)
3) Pemeriksaan Parasit
Hasil pemeriksaan parasit yang dilakukan oleh Laboratorium
Parasitologi FKH UGM (23/2/13)
menyatakan
bahwa sapi terkena Strongyloides sp. (+++).
b.
Pemeriksaan
Darah :
Hematokrit : 25
%
|
Limfosit
: 65 %
|
Hemoglobin : 9,8 g %
|
Monosit
: 2 %
|
Eritrosit
: 6,32jt/mm³
|
Eisinofil : 9 %
|
Leukosit :
10,500 he/ mm³
|
Fibrinogen : 300 mg %
|
Neutrofil :
24 %
|
Protein Total : 7,0 g %
|
Diagnosa
Diagnosa diambil berdasarkan anamnesa, pemeriksaan kondisi
umum, gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah dan feses. Diagnosa yang dapat diambil adalah Strongiliosis atau infeksi cacing Strongyloides sp.
Prognosis
Fausta
Tata
Laksana / Terapi
Pada
praktikum yang kami lakukan terapinya dengan Injeksi Vitamin B compleks 10% 10 cc
dan Vitamin ADE Vorte 10 cc
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan Pustaka
1.
Strongyloides
sp.
Etiologi
Dari hasil pemeriksaan yang telah kami lakukan, dapat
diketahui bahwa pedet terdiagnosa Strongiliosis yang disebabkan oleh infeksi cacing dengan
klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Ordo : Rhabditida
Family : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
Species : Trichostrongylus axei (Levine, 1994).
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Ordo : Rhabditida
Family : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
Species : Trichostrongylus axei (Levine, 1994).
Cacing ini
disebut cacing benang. Cacing dewasa dapat bersifat parasit maupun bebas.
Bentuk parasitik panjangnya 2-9 mm dan langsing yang dapat ditemukan hanya
cacing betina yang bersifat partenogenetik. Mereka mempunyai esofagus sangat
panjang dan berbentuk hampir silindris, vulva pada bagian pertengahan tubuh
posterior, ekor pendek berbentuk kerucut, uterus amfidelf (dengan cabang ke
depan maupun ke belakang) dan telur telah berembrio (Levine, 1994).
Bentuk
bebas dapat ditemukan adanya cacing jantan dan betina, mereka sangat kecil dan
relatif kuat, dengan esofagus rabditiform. Ekor cacing jantan pendek dan
berbentuk kerucut, sepasang spikulum pendek sama besar dan sebuah gubernakulum.
Ujung posterior cacing betina meruncing ke ujung, vulva terletak dekat pertengahan
tubuh, uterus amfidelf. Telurnya sedikit serta telah berembrio waktu
dikeluarkan (Levine, 1994).
Siklus
hidupnya ada 2, yaitu fase parasitik dan fase hidup bebas dan ada 2 kemungkinan
jalur yang dilalui fase hidup bebas. Cacing betina parasitik menghasilkan telur
berembrio atau larva yang keluar bersama tinja. Larva stadium pertama
rabditiform dan makan mikroorganisme dalam tinja. Mereka berkembang menjadi
larva stadium kedua, lalu menjadi larva stadium ketiga dalam 2 tipe. Beberapa
larva stadium ketiga memiliki esofagus filariform (silindris). Mereka
menginfeksi hospes dengan menembus kulit atau tertelan. Apabila mereka telah
memasuki kulit, mereka pergi ke kapiler dan terbawa oleh darah ke paru-paru,
kemudian merusak dinding kapiler, masuk ke dalam saluran udara, dan berimigrasi
ke trakea dan turun ke esofagus menuju usus halus, mereka tumbuh menjadi larva
stadium keempat dan menjadi dewasa. Apabila mereka tertelan, larva berkembang
dalam usus halus tanpa bermigrasi. Ini disebut siklus hidup tipe homogonik
(Levine, 1994).
Beberapa
larva stadium ketiga memiliki esofagus rabditiform. Larva memiliki siklus hidup
tipe heterogenik. Mereka makan dan tumbuh menjadi larva stadium keempat. Larva
ini tumbuh dan menjadi cacing jantan dan betina dewasa yang hidup bebas.
Setelah kawin, cacing betina meletakkan telur
yang menghasilkan larva rabditiform stadium pertama. Larva ini makan dan tumbuh
menjadi larva stadium kedua, lalu tumbuh menjadi larva stadium ketiga
filariform yang menginfeksi hospes (Levine, 1994).
Patogenesis
Semua
spesies strongyloides hidup di usus halus. Cacing dewasa bertelur yang sudah
mengandung embrio, dan tidak jarang langsung menetas di usus halus. Larva yang
dibebaskan bersama tinja, tidak jarang juga ditemukan di kelenjar susu dan
cacing dewasa yang siap bertelur sudah dapat ditemukan saat anak berumur 1
minggu. Kalau infeksi lewat kulit, larva terbawa aliran darah dan sampai di
paru-paru, untuk selanjutnya menuju pangkal tenggorok dan tekak, akhirnya ke
lambung dan usus. Infeksi melalui kulit dapat menyebabkan dermatitis dan kalau
di daerah penis mengakibatkan balanopostitis (Subronto, 2004).
Periode
prepaten cacing kurang lebih 10 hari. Pada individu muda, misalnya pedet < 6
bulan, infeksi cacing ini dapat menyebabkan kematian mendadak, tanpa
terdiagnosis. Dibutuhkan waktu < 2 hari oleh larva infektif untuk berkembang
di bawah kondisi optimum di dalam siklus hidup homogenik, dan kemungkinan
dibutuhkan satu hari lebih lama pada siklus heterogenik (Levine, 1994 ; Subronto, 2004).
Gejala
klinis
Diare sering teramati, disertai kepucatan,
batuk-batuk, dermatitis, radang paru-paru dan radang usus. Kelemahan pada domba
menyebabkan penderita tidak mampu berjalan, pincang dan mudah mengalami
footrot. Sering terlihat rambutnya rontok, pada kulit terdapat lesi dan tampak
kotor. Didapatkan pula lesi pada mata yaitu penebalan di daerah mata.
Konjungtiva berwarna merah muda; hidung basah, lembab, hangat; vulva berwarna
merah muda. Refleks pupil normal, aktivitas otot dan saraf baik. Feses yang
dikeluarkan konsentrasinya lunak (Subronto, 2004 ; Smith
2002).
Diagnosis
Berdasarkan
gejala klinis dan dari pemeriksaan umum dan khusus. Dilakukan juga pemeriksaan
feses dan pemeriksaan darah untuk mendukung hasil diagnosis. Pemeriksaan feses
dapat dilakukan dengan metode natif, metode sentrifuse, metode Parfitt and
Banks, atau metode McMaster. Pada pemeriksaan feses dapat ditemukan adanya
telur strongyl. Dari pemeriksaan darah terjadi penurunan kadar hematokrit, hal
ini mengindikasikan terjadinya anemia. Anemia normositik normokromik dapat
terjadi karena radang kronis. Pemeriksaan sel darah putih, terjadi neutropenia
yang kemungkinan terjadi karena distribusi cacing Strongyl pada tubuh sapi,
sehingga jaringan membutuhkan neutrofil untuk memfagositosis parasit. Jumlah
limfosit pada pemeriksaan menunjukkan limfositosis dan eosinofilia. Pemeriksaan
protein menunjukkan sapi mengalami dehidrasi (Smith, 2002).
Terapi
Ivermectin
merupakan terapi pilihan utama untuk stongyloides, oleh karena efektivitasnya
yang tinggi (mencapai hampir 100%) serta pemberiannya cukup dosis tunggal, baik
untuk kasus tanpa atau pun dengan komplikasi dengan efek samping yang sedikit.
Dosis ivermectin 0,2 mg/ kg bb/ hari, di berikan dalam dosis tunggal. Angka
kesembuhan 98,7%. Sebagai terapi alternative adalah albendazole dan
Thabendazole, sedangkan di Indonesia sediaan yang ada pada umumnya adalah
albendazole. Dosis albendazole 25 mg/ kg bb/ hari. Beberapa pilihan terapi
untuk mengobati infeksi strongyloides:
a.
Diethylcarbamazine 100 mg / kg secara
oral, sekali
b.
Ivermectin 0,2 mg / kg secara oral
c.
Mebendazole 20 mg / kg secara oral, setiap
hari selama 3-14 hari
d. Fendbendazole
50 mg / kg secara oral setiap hari selama 5 hari untuk tumefasciens
strongyloides pada kucing.
e.
Thiabendazole 125 mg per kucing setiap
hari selama 3 hari untuk tumefasciens strongyloides pada kucing (Subronto, 2004).
2.
Obat yang Dapat Digunakan untuk Terapi
a.
Vitamin B kompleks
1)
Setiap
ml mengandung:
·
Vitamin
B1 ………………………………………………………… 2 mg
·
Vitamin
B2 ………………………………………………………… 2 mg
·
Vitamin
B6 ………………………………………………………… 2 mg
·
Nicotinamide
……………………………………………...………. 20 mg
·
Pathenol
…………………………………………………..……..… 10 mg
·
Procaine
HCl …………………………………………...…………. 20 mg
2)
Vitamin
B complex mempunyai fungsi sebagai :
·
Mengatasi
kelesuan dan gangguan metabolisme
·
Menambah
nafsu makan, memperbaiki kondisi tubuh, meningkatkan daya tahan tubuh
·
Memperbaiki
pertumbuhan
·
Memelihara
fungsi normal pada sistem syaraf
·
Suplemen
vitamin setelah pengobatan antibiotic
·
Terutama
diperlukan pada semua keadaan akibat defisiensi vitamin B – complex
b.
Delladryl (Dipenhidramin HCl)
·
Isi : Setiap mg mengandung dipenhidramin HCL 10 mg
·
Dosis : Hewan kecil (anjing, kucing) 0,1 ml/kgBB. Hewan besar (kuda,
sapi) 1,0 ml/20
kg BB
·
Indikasi : Pengobatan reaksi alergi seperti urtikaria, reaksi anafilatik, dermatitis
alergi, rhinitis alergi, pruritis, gatal-gatal pada peradangan pada peradangan
dan asma bronkial. Pencegahan dan pengobatan mabuk dan sebagai antiemetik pada hewan kecil. Sebagai
terapi tambahan untuk laminitis aseptik pada sapi.
c.
Verm-O (Benzimidazole)
Verm-O Bolus merupakan antiparasit yang merupakan
kelas Benzimidazole. Dalam 1 bolus Verm-O mengandung 900 mg Oxfendazole. Obat
ini dapat diberikan sebagai terapi dan prophylaksis infestasi cacing pada sapi,
kerbau, kuda, domba, kambing, dan babi karena nematoda (Haemonchus spp., Trichostrongylus spp., Oesophagostomum spp., Chabertia
spp., Ostertagia spp., Cooperia spp., Neoascaris spp., Bunostomum spp.,
Parascaris spp., Strongylus spp.), cacing paru (Dictyocaulus spp.), dan cacing pita (Moniezia spp.).
Pada sapi dosis yang
diberikan adalah 1 bolus/200kg dan diberikan secara peroral, karena sapi yang
diperiksa memiliki berat 100 kg maka diberikan ½ bolus.
B.
Pembahasan Hasil Praktikum
Pemeriksaan sapi dilakukan pada hari Rabu, 27 Februari 2013. Sapi betina breed PFH, umur kurang lebih 9 bulan dengan warna dominan hitam
putih.
Berat badan pedet kurang lebih 150
kg. Sapi tersebut terlihat kurus, dari anamnesa diketahui bahwa nafsu makan turun. Feses terlihat padat. Pada
hari Jumat (21/2/13) telah diperiksa mengalami diare dan telah diberikan obat
cacing, Vitamin B kompleks dan ekstrak hepatik. Anus kotor dan feses mengering.
Dari hasil inspeksi dilihat keadaaan
pedet kurus dan ekspresi mukanya lesu. Lalu dilakukan penghitungan frekuensi
nafas, pulsus dan suhu. Frekuensi nafas dapat dihitung dengan memperhatikan
gerak rongga dada pada saat hewan istirahat, frekuensi nafas pedet 25 kali/menit. Menurut Surono (1975), frekuensi nafas
normal sapi adalah 24-42×/menit, sehingga bisa dikatakan bahwa
frekuensi pernafasan sapi tersebut normal. Untuk mendapatkan
frekuensi pulsus diraba pada a. coccygea di sebelah ventral dari pangkal ekor.
Frekuensi pulsus pedet 64×/menit. Menurut Surono (1975), frekuensi pulsus
sapi normal adalah 54-84 kali/menit, sehingga bisa dikatakan pulsusnya normal.
Pengukuran suhu tubuh dilakukan dengan meletakkan termometer pada anus sapi, suhu tubuh pedet 39oC
, ini menunjukkan bahwa sapi
tersebut masih dalam keadaan normal, karena kisaran suhu sapi normal menurut
Surono (1975) adalah 37,6 – 39,20C.
Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan kulit dan
rambut. Pada pemeriksaan ini terlihat saat bagian punggung sapi diusap dengan arah yang berlawanan
dari rambut diketahui bahwa rambut pedet mengalami kerontokan dan kusam. Dan terlihat adanya miasis pada kulit di kaki kiri
bagian belakang. Berdasarkan literatur gejala yang nampak
pada kasus cacingan biasanya adalah rambut rontok, lesi pada kulit dan tampak
rontok, hal ini dapat mengarahkan bahwa sapi mungkin terkena infestasi cacing.
Pemeriksaan selaput lendir dilakukan
dengan memeriksan konjungtiva mata dan cuping hidung pedet. Konjungtiva mata
pedet berwarna pink pucat dan cuping hidungnya basah. Berdasarkan (Subronto, 2004) gejala yang nampak pada sapi normal sesuai
dengan literatur tersebut, yaitu konjungtiva merah muda, dan
cermin hidung basah. Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan
kelenjar-kelenjar limfe. Pada pemeriksaan kelenjar-kelenjar limfe diketahui
bahwa limfoglandula pada sapi normal,dan tidak ada perubahan apapun pada
limfoglandula. Hal ini menunjukkan bahwa pedet tidak
terinfeksi bakteri atau virus yang biasanya dapat menyebabkan pembengkakan pada
kelenjar-kelenjar limfe.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan saluran
pernafasan. Pemeriksaan paru-paru dilakukan dengan auskultasi. Pada pemeriksaan
ini diketahui pedet mengeluarkan suara vesikuler dengan tipe gerakan pernapasan
thoracoabdominal.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan peredaran darah.
Pemeriksaan dilakukan di daerah pekak jantung dengan cara auskultasi pada
ronggo intercostare ke-5 dan ke-3 pada dada sebelah kiri kira-kira setinggi
persendian siku (Subronto, 2004). Saat diauskultasi suara sistole dan diastole
dapat dibedakan (ritmis). Hal ini menunjukkan bahwa jantung, terutama katup
jantung, tidak mengalami gangguan sehingga jantung terdengar ritmis, selain itu
tidak terdengar suara-suara abnormal saat auskultasi. Dari pemeriksaan ini
dibandingkan dengan literatur (Subronto, 2004) diketahui bahwa fungsi jantung
normal.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan saluran
pencernaan. Hal yang dilakukan pertama adalah menghitung tonus rumen, caranya
adalah dengan menekan daerah lekuk paralumbar sebelah kiri dengan kepalan
tinju. Didapatkan tonus rumen pedet 10 kali/ 5 menit (normal: 5-10 kali/5 menit). Setelah
itu dilakukan auskultasi pada dinding perut untuk mengetahui gerakan
peristaltik usus. Gerakan peristaltik usus sedikit meningkat, namun tidak
terdengar adanya suara lain selain gerakan usus. Anus pedet terlihat cukup bersih, hal ini menandakan bahwa
pedet tidak mengalami diare. Namun feses pedet terlihat lembek. Berdasarkan
Subronto (2004), tonus rumen pedet termasuk normal, dan tidak terdengar suara
apapun selain gerakan usus menandakan bahwa di usus tidak ada akumulasi gas.
Berdasarkan Smith
(2002),
pada kasus cacingan konsentrasi feses lunak. Hal ini semakin mengarahkan bahwa
pedet terinfeksi cacing, terutama cacing Strongyloides.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kelamin
dan perkencingan (urogenital), yaitu bersih, mukosa pink
pucat, tidak ada leleran dan urinasi normal dan dapat disimpulkan bahwa kelamin
dan perkencingan tidak ada perubahan.
Selanjutnya diilakukan pemeriksaan saraf. Reflek palpebra dengan cara
menggerakkan tangan ke arah mata pedet, pedet menggerakan kelopak matanya. Pada
pemeriksaan anggota gerak, dari hasil inspeksi terlihat pedet berdiri tegak
dengan keempat kakinya.
Dari
hasil pemeriksaan darah di laboratorium diketahui:
Tes
|
Unit
|
Hasil Lab
|
Literatur
(Schalm’s, 2010)
|
Interpretasi
|
Hematokrit (PCV)
|
%
|
25
|
21 – 30
|
Normal
|
Hemoglobin
|
g/dl
|
4,8
|
8,4 – 12
|
Rendah
|
Eritrosit
|
X 106/µl
|
6,32
|
4,9 – 7,5
|
Normal
|
MCV
|
Fl
|
-
|
36 – 50
|
-
|
MCH
|
Pg
|
-
|
14 – 19
|
-
|
MCHC
|
g/dl / %
|
-
|
38 – 43
|
-
|
Leukosit
|
X 103/µl
|
10,5
|
5,1 – 13,3
|
Normal
|
Protein total
|
%
|
7,0
|
2-20
|
Normal
|
Fibrinogen
|
g/dl
mg%
|
-
300
|
7,56
300-700
|
-
Normal
|
Neutrofil segment
|
%
|
24
|
14-45
|
Normal
|
Monosit
|
%
|
2
|
45-75
|
Monopenia
|
Eosinofil
|
%
|
9
|
2-7
|
Eosinofilia
|
Dari hasil pemeriksaan darah dapat terlihat bahwa kadar Hb turun
(anemia), Monosit turun (Monopenia) dan Eosinofil naik (Eosinofilia). Menurut
Schalm (2010),
leukosit digolongkan sebagai granulosit (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan
agranulosit (monosit dan limfosit). Pemeriksaan deferensial leukosit meliputi
neutrofil, limfosit, monosit, basofil dan eosinofil. Jumlah leukosit yang
menyimpang dari keadaan normal mempunyai arti klinik penting untuk evaluasi
proses penyakit,
Infeksi kronis pada cacing akan
menyebabkan meningkatnya penggunaan sel monist yang berlebihan oleh jaringan
untuk proses fagositosis tanpa diimbangi
oleh pemasukan ke dalam sirkulasi yang cukup sehingga mengalami anemia (Schlam, 2010).
Pemeriksaan sel darah
putih, terjadi monopenia
yang kemungkinan terjadi karena distribusi cacing Strongyl pada tubuh sapi,
sehingga jaringan membutuhkan monosit
untuk memfagositosis parasit. Terlihat
pula kadar Eosinofil yang naik, dari Subronto (2004) mengatakan bahwa apabila
dalam tubuh hewan Berdasarkan
pemeriksaan darah diatas maka dapat disimpulkan bahwa sapi menderita radang
dikarenakan manifestasi cacing.
Selain itu dilakukan
juga pemeriksaan feses dengan metode sentrifuse Pada pemeriksaan feses dapat
ditemukan telur strongyl. Apabila ditemukan dalam jumlah > 1000
epg, maka hewan terkena infeksi serius dan perlu pengobatan Diagnosa banding
perlu diadakan karena banyak penyakit atau keadaan yang dapat menyerupai
enteritis yang disebabkan oleh parasit, sehingga dapat mengaburkan diagnosa
yang ada dengan uji lab yang telah dilakukan. Jika dari pemeriksaan lab
ditemukan hasil negatif pada pemeriksaan feses maka dapat dipastikan bahwa
enteritis tersebut diakibatkan oleh bakteri atau virus (Levine,1994).
Prognosa terhadap kasus
strogyliosis adalah fausta-infausta.
Fausta jika kejadian cepat ditangani dan masih meunjukan kemajuan dan
infausta jika penanganan yang lambat dan pengobatan sudah dilakukan tetapi
tidak menunjukkan perubahan ke arah kondisi yang membaik (Levine,1994). Untuk
kejadian strongiliasis pada sapi ini adalah fausta karena masih dalam kondisi
yang dapat dikendalikan dan menunjukan perubahan yang baik.
Umumnya terapi
menggunakan Albendazole 10 mg/kg BB pada sapi. Strategi penggunaan
anthelmintika adalah dasar dari program pengontrolan, bertujuan untuk
mengeliminasi parasit dan mencegah telur dikeluarkan karena dapat
mengkontaminasi rumput. Manajemen merumput harus menghindari daerah beresiko
tinggi selama periode transmisi, memperbaiki system drainase untuk mengurangi
habitat dari siput.
Pada kejadian ini telah diberikan pengobatan kausatif dengan obat cacing golongan Benzomedazol
yang berfungsi untuk membunuh cacing nematode, trematoda, dan cestoda dengan
menganggu sistem saraf dari cacing. Kemudian diberikan pengobatan suportif dengan
injeksi Vitamin B complex untuk meningkatkan aktifitas otot, kemudian Duradil yang didalamnya mengadung
Depenhidramin HCl untuk mencegah adanya histamine sehingga efek inflamasi tidak
berlebihan dan tidak menimbulkan nekrosis yang buruk. Serta diberikan pula ekstrak hepatic. Pada
pemeriksaan berikutnya keadaan sudah membaik, tidak perlu diberikan obat cacing
kembali. Jadi hanya diberikan Vitamin B compleks dan Vitamin ADE Vorte.
Saran untuk pemilik hewan adalah agar manajemen pakan dan sanitasi harap diperhatikan.
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
KESIMPULAN
Dari hasil anamnesa, pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan sampel ke laboratorium
terkait, dapat disimpulkan bahwa sapi tersebut terinfestasi parasit Strongyloides
sp., Pengobatan yang dapat dilakukan adalah secara kausatif
yaitu pemberian obat cacing golongan benzimidazol, Kemudian
diberikan pengobatan suportif dengan injeksi Vitamin B complex dan vitamin ADE Vorte. Pencegahan atas penyakit ini diantaranya dengan manajemen lingkungan,
pakan dan perkandangan
B.
SARAN
Saran untuk peternak harus memperhatikan sanitasi
kandang, membuang kotoran sapi tiap hari agar tidak menjadi sumber penyakit,
menyediakan minum adlibitum agar sapi tidak mengalamai dehidrasi, memberikan makanan
yang sesuai agar sapi mempunyai bobot tubuh yang optimal, pemberian suplemen
vitamin dan obat cacing yang rutin juga diperlukan untuk menjaga daya tahan
tubuh. Selalu konsultasikan kesehatan ternak kepada dokter hewan dan
konsultasikan juga mengenai managemen dan sanitasi lingkungan, pakan dan
perkandangan.
BAB
V
DAFTAR PUSTAKA
Levine, N.D.1994. Buku
Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Smith,
B. P. 2002. Large Animal Internal
Medicine. New York : Mosby
Subronto. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press
Weiss.
D.J.2010. Schalm’s Veterinary Hematology.
Philadelphia : Wiley-Blackwell
No comments:
Post a Comment