Wednesday, 12 March 2014

BLOK 16 UP 4



LEARNING OBJECTIVE
Mengetahui gangguan infeksius organ reproduksi ruminansia jantan meliputi etiologi, gejala klinis, diagnosa, terapi, pencegahan.

PEMBAHASAN
1.    Gangguan Reproduksi Ruminansia Jantan
1.      Orchitis
a.      Etiologi
Orchitis adalah radang pada testis. Disebabkan oleh bakteri Brucella. Brucella spesies bakteri kecil (0,6 × 0,6 sampai 1,5 µm), non-motil, gram negative, aerobic, non-hemolitik, capnophilik dan katalase positif. Semua spesies Brucella urease kecuali B.ovis.  Pada isolasi primer, koloni B. abortus, B. melitensis dan B. suis muncul dalam bentuk smooth dan kecil, berkilau, kebiruan, dan tembus cahaya setelah inkubasi untuk 3-5 hari. Kontrasnya, isolate primer B. ovis dan B. canis selalu muncul dalam bentuk rough. Koloni rough ini tumpul, kekuningan, opaque dan rapuh (Quinn, 2002)
b.      Patogenesis
Brucella abortus mempunyai predileksi di testis dan glandula aksesoria genital jantan, limfoglandula. Setelah terjadi invasi bakteri dalam tubuh, lokalisasi awal bakteri terjadi di limfoglandula dan menyebar ke jaringan limfoid lain, meliputi limpa dan limfoglandula iliaca. B. abortus difagosit oleh makrofag dan neutofil dalam upaya untuk mengeleminasi organism. Namun, bakteri tersebut mampu bertahan dan bereplikasi. Fagositosis bermigrasi melalui simtem limfatik menuju ke nodus limfatikus dimana infeksi Brucella menyebabkan sel lisis dan nodus limfatikus hemoragi 2-3 minggu setelah terekpose. Karena terjadi kelukaan pada pembuluh darah, beberapa bakteri masuk ke peredaran darah dan terjadi bakteremia yang menyebarkan secara pathogen ke seluruh tubuh (Smith, 2009).
Terdapat 3 bentuk orchitis :
1)   Orchitis intratubuler : sel epitel tubulus seminiferus rusak dan diganti sel radang
2)   Orchitis interstitial : infiltrasi sel radang diantara tubulus seminiferus, dipisahkan jaringan sehingga testis kenyal
3)   Orchitis nekrotik : spesifik pada penderita brucellosis, testis mengalami nekrosis, mengalami sedikit pengapuran (Smith, 2009).

c.       Gejala klinis
Gejala klinis orchitis biasanya lebih sering bersifat unilateral daripada bilateral dan dapat menyerang epididymis. Pada fase akut, testis yang terinfeksi akan mengalami radang dengan gejala hyperaemia, peningkatan suhu, dan pembengkakan. Testis akan tampak membesar hingga 2-3 kali ukuran normal, demam, sakit saat dipalpasi, libido turun, pada kasus kronis testis mengecil, konsistensi keras. Fibrotic, abses, dan melekat ke skrotum. Infeksi dapat bersifat purulent dengan abses di parenkim testis atau nekrotik jika keseluruhan parenkim sudah hampir rusak (Noakes, 2001). Peningkatan suhu testis, kongesti, dan gangguan sirkulasi dapat menyebabkan ischemia dan infark  Semakin parah menyebabkan kemajiran (Smith, 2009).
d.      Diagnosa
Diagnosa dapat dilakukan dengan memperhatikan gejala klinis, melakukan biopsi terhadap testis, uji serologis, pemeriksaan pada sperma. Dapat juga dilakukan pemeriksaan biakan kuman.Uji serologis dapat dilakukan dengan uji aglutinasi serum (SAT Serum Aglutination Test) dan CFT (Complement Fixation Test) (Subronto, 2003).
e.       Pengobatan , pencegahan, dan penanangan
Terapi tidak berhasil karena mikroorganisme intraseluler di dalam nodus limfatikus dan organ reproduksi. Brucella sp. Merupakan bakteri fakultatif intraseluler yang dapat bertahan hidup dan berkembang biak di dalam sel sel sistem makrofag. Kegagalan terapi dianggap bukan karena tidak ada pembentukan pertahanan antimikroba tapi lebih kepada ketidakmampuan obat untuk menembus membrane sel barier (Smith, 2009).
2.      Epididymitis
a.      Etiologi
Epididymitis dapat terjadi akibat infeksi primer atau menyebar dari orchitis. Brucella ovis menyebabkan epididymitis dengan obstruksi epididymis dan pembentukan granuloma yang ditularkan melalui kawin alami. Selain itu, penyakit ini juga disebabkan oleh Actinobacillus seminis, Haemophilus sommis, dan Histophilus ovis (Noakes, 2001). Rute infeksi dapat melalui sirkulasi darah, melalui kawin alami, atau dari saluran urogenital (Smith, 2009).
b.      Patogenesis
Ditandai dengan bakteremia, sering dengan reaksi sitemik, dan organism bisa diisolasi dari organ internal hewan terinfeksi. Penyakit sistemik bukan merupakan penyakit alami dan penyakit klinis mengakibatkan lokalisasi dan inflamasi di epididimis. Inflamasi pada daerah tersebut menyebabkan sperma stasis dan pengeluaran darah yang diikuti imunologi yang rekasinya biasanya siakhir dan unilateral menyebabkan spermatocele dan menurunkan fertilitas. Tidak semua domba jantan teraba lesi pada epididimis, infeksi juga dapat mencapai ampula dan vesikula seminalis. Dalam kasus tersebut organisme berada di dalam ejakulasi (Smith, 2009).
c.       Gejala Klinis
Gejala umum epididimitis sama dengan orchitis, yaitu demam, pembengkakan, dan sakit. Inflamasi epididimis menyebabkan obstuksi, hilangnya fungsi normal. Epididimitis unilateral menyebabkan fertilitas menurun, sedangkankan obstuksi bilateral menyebabkan steril. Epididimitis yang disebebkan oleh B. ovis akan terjadi obstuksi epididimal dan pembentukan granuloma (Noakes, 2001).
d.      Diagnosa
Semen examination, meliputi kultur ejakulat, dan tes serologi digunakan dalam suspek individual dan dalam kelompok kambing. Complement fixation atau test serologi yang lain seperti agar gel imunodifusi, ELISA (Smith, 2009).


e.       Terapi dan Pencegahan
Terapi bisa menggunakan antibiotik, tetapi bila penyebab adalah Brucella, maka terapi tidak akan berhasil. Pencegahan penyebaran infeksi antara domba jantan dan deteksi serta pemusnahan domba terinfeksi. Vaksinasi untuk membatasi penyakit pada daerah dengan kejadian infeksi tinggi (Smith, 2009).

3.      Vesiculitis seminalis
a.      Etiologi
Muncul sering pada bull muda dan domba, tapi jarang pada hewan spesies lain. Dapat menjadi penyebab infertilitas dan kualitas buruk semen. Infeksi dapat akut atau kronis tergantung dari kekuatan hewan dan durasi penyakit. Disebabkan Mycoplasma bovigenitalium, lokasi primer ada di preputium dan orifisium urethralis. Agen penyakit lain adalah Actinomyces pyogenes, E.coli, Actinobacillus actinoides, Corynebacterium renale, Pseudomonas aerugenosa, Staphylococci dan Streptococci, Brucella abortus, Mycobacterium bovis, M. paratuberculosis, Candida guiliermondii, Chlamidia sp., dan Ureaplasma spp. Pada domba dan babi, Brucella ovis dan B. suis, yang menjadi penyebab vesiculitis (Quinn, 2002).
b.      Gejala Klinis
Glandula yang terserang membengkak, lebih keras, dan adesi  dengan organ sekeliling, meliputi rectum dan jaringan adipose pelvis. Gejala klinis pada fase akut, peritonitis local dapat terjadi di kaudal abdomen yang menimbulkan gejala yang berkaitan. Sapi akan malas bergerak yang dapat mempengaruhi daerah inflamasi seperti mounting. Lama kelamaan hewan akan infertil. Terkadang, abses yang terdapat pada glandula yang terinfeksi dapat pecah dan menyebabkan peritonitis atau fistulate ke rectum. Infeksi dapat bersifat unilateral maupun bilateral. Infeksi akan mengakibatkan penurunan kualitas semen dengan penurunan motilitas, peningkatan pH, konsentrasi fruktosa turun, dan adanya leukosit PMN. Pada kasus parah, semen dapat bersifat purulent (Noakes, 2001).
c.       Diagnosa
Diagnosis dilakukan dengan palpasi per rectal dengan ciri-ciri glandula bengkak, tegang, dan terasa nyeri pada fase akut, atau mengekrut dan fibrotic pada fase kronis.
Pengobatan dapat dilakukan dengan penyuntikan antibiotika atau sulfonamid untukpenyebab bakteriologis.Istirahat kelamin (sexual rest) dengan tidak digunakan sebagai pemacek atau dikoleksi semennya untuk beberapa lama perlu diberikan kepada pejantan penderita (Noakes, 2001).
d.      Pencegahan dan pengendalian
Dapat dilakukan dengan menjaga sanitasi kandang,  kebersihan alat dan bahan yang digunakan, kualitas air minum, nutrisi seimbang, desinfeksi kandang, pencegahan penularan agen penyakit saat pengkoleksian semen dan inseminasi buatan (Noakes, 2001).

4.      Balanitis dan Postitis
a.      Etiologi
            Balanitis merupakan radang pada glans penis.Postitis merupakan radang pada preputium.Penyakit ini disebabkan oleh virus IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis) atau IPV (Infectious Pustular Vulvovaginitis).Virion beramplop berdiameter 120-200 nm. Kapsid ikosaheral dengan 162 kapsomer.Genom DNA dibungkus oleh inti fibrosa serupa kumparan yang berbentuk busur dan tampak dikelilingi oleh serabut berpangkal pada bagian dalam dari kapsid yang mengelilinginya dan melewati lubang dari busur (Fenner, 1993).
b.      Patogenesis
Pada keadaan yang berat balanopostitis dapat diikuti oleh perlekatan antara penisdengan preputium sehingga berakibat ereksi tidak sempurna khususnya pada sapi pejantan muda.Infeksi yang terjadi pada penis dan preputium dapat disebabkan oleh trauma dan gangguan mekanis lainnya. Pada kebanyakan kasus prognosa balanopostitisadalah fausta, akan tetapi kesembuhan secara sempurna tidak mungkin terjadi. Kerusakan yang berat menyebabkan sikatrik pada lapisan mukosa preputium maupun penis.Perlekatan penis dengan preputium yang ditimbulkan oleh keadaan ini barakibat pada hilangnya kemampuan pejantan untuk berkopulasi.Pada kejadian kasus yang berat preputium disayat sehingga nanah dan urin yang menumpuk dapat dikeluarkan (Smith, 2009).

c.       Gejala Klinis
            Terdapat cairan mukopurulen dari preputium. Dua sampai tiga hari pasca penularan timbul banyak lepuh (pustule) berwarna putih keabu-abuan di permukaan penis. Permukaan tersebut akan mengelupas, mengalami erosi, kemudian menghilang. Kesembuhan terjadi setelah 5-6 hari pasca penularan (Noakes, 2001).
            Secara mikroskopis, lepuh yang ditimbulkan menghasilkan reruntuhan dari lapisan epitel dari permukaan penis dan preputium, serta akumulasi dari sel-sel radang dengan kumpulan partikel virus (inclusion body) dari jaringan di sekitarnya.Pada infeksi kronis, lepuh jarang ditemukan (Noakes, 2001).
Infeksi penis oleh kuman campylobacter tidak mengakibatkan perubahan yang spesifik pada mukosanya.Sedangkan infeksi trichomonas fetus pada hewan jantan dapat menimbulkan abses ringan pada epitel mukosa penis.Balanopostitis akibat penyakit tuberkulosa bersifat spesifik karena adanya tuberkel-tuberkel yang berdiameter 1-2 mm, berwarna cokelat kemerahandi dalam lapisan epitel dan subkutan yang mengelilingi permukaan glans penis (Noakes, 2001).
Dari lepuh yang serupa pernah dapat diisolasi Corinebacterium renale. Dua bentuk balanopostitis ulcerative sudah lama dikenal pada domba-domba di Australia. Bentuk eksternal biasanya terjadi lebih dahulu dan selanjutnya bentuk-bentuk ini akan menyebabkan penyempitan pada mulut preputium. Bentuk eksternal biasanya lebih ringan dan terjadi pada ujung penis dan di sekitar lubang preputium.Bentuk interna dari balanopostitis adalah bila bagian yang terkena terjadi pada permukaan dalam preputium dan seluruh permukaan penis. Pada kasus ini diameter serta panjang penis dan preputium dapat bertambah,dan mulut preputium dapat mengalami luka bernanah disertai adanyakumpulan yang terdiri dari jaringan nekrotik, nanah, sperma, urine dan kotoran yang menumpuk dalam rongga preputium (Hardjopranjoto, 1995).
d.      Diagnosa
            Diagnosa dilakukan berdasarkan gejala klinis yang terjadi (Subronto, 2003).
e.       Terapi
            Dilakukan pencucian penis dan preputium secara berkala dengan cairan antiseptic ringan 2-3 kali sehari. Pemberian antibiotik secara lokal umumnya memberikan kesembuhan karena balanopostitis seringkali disebabkan oleh infeksi lebih dari satu mikroorganisme (Noakes, 2001).
f.       Pencegahan dan pengendalian
Dapat dilakukan dengan menjaga sanitasi kandang, kebersihan alat dan bahan yang digunakan,  kualitas air minum, nutrisi seimbang, desinfeksi kandang, pencegahan penularan agen penyakit saat pengkoleksian semen dan inseminasi buatan (Noakes, 2001).

Agen Infeksi:
A.  Brucella abortus
Patogenesis
Penularan brucellosis terjadi melalui saluran makanan, saluran kelamin, selaput lendir atau kulit yang luka dan IB. Infeksi sering terjadi karena ingesti kotoran dari alat kelamin hewan yang mengalami abortus yang mengkontaminasi makanan dan air. Penularan dapat pula terjadi melalui selaput lendir mata dan intrauterin setelah inseminasi dengan semen yang tertular (Anonim, 2007).
Infeksi Brucella sp. bersifat fakultatif intraseluler yang bersifat kronis. Pada ternak terinfeksi akan terbentuk reaksi tanggap kebal humoral secara persisten atau bertahan lama dengan terbentuknya antibodi di dalam serum (Anonim, 2007).
Gejala Klinis
1.         Sapi à gejala klinik yang mencolok terjadi abortus, terutama pada usia kebuntingan lanjut (5-8 bulan). Umumnya sapi hanya mengalami keguguran sekali saja pada kebuntingan yang berurutan. Meskipun demikian induk sapi yang mengalami keguguran tersebut masih membawa B. abortus sampai 2 tahun. Sapi yang terinfeksi secara kronik dapat mengalami higroma (pembesaran kantong persendian karena berisi cairan bening atau fibrinopurulen).
Gejala klinis brucellosis pada sapi dipengaruhi oleh umur sapi yang terinfeksi, jumlah kuman dan tingkat virulensinya. Anak sapi yang lahir dari induk yang terinfeksi akan terus menyimpan bibit penyakit sampai mencapai usia dewasa. Pada sapi jantan brucellosis dapat menyebabkan peradangan testis (orchitis).
Pada hewan jantan, infeksi akan diikuti oleh orkhitis yang kronis dan perlekatan antara tunika vaginalis testis, sel mani abnormal dan fibriosis yang kronis dari jaringan interstitial. Terjadi pengumpulan makrofag dan limfosit pada jaringan testis. Ampula dan vas deferent, terjadi nekrosa jaringan ikatnya (Hardjopranjoto, 1995).
Setelah orkhitis dapat melanjut ke epididimitis serta gangguan pada kelenjar vesikula seminalis dan ampula. Brucellosis juga menyebabkan abses serta nekrosis pada scrotum dan glandula accesoria. Sehingga semen yang diambil dari pejantan mungkin mengandung bakteri Brucella abortus.
2.         Babi à menimbulkan arthritis, osteomielitis, bursitis dan spondilitis. Kadang-kadang ditemukan pula posterior paralisis yang disebabkan oleh nekrosis discus intervetebrales. Pada babi jantan dapat ditemukan orchitis tetapi B. suis tidak ditemukan pada semen atau urine. Dibandingkan dengan sapi abortus relatif jarang terjadi pada babi.
3.         Anjing à B. canis merupakan penyebab utama sterilitas pada pejantan dan abortus pada induk, terutama terjadi di kennel (pembiak) anjing di Amerika. Anjing yang menerita brucellosis akut mengalami kebengkaan kelenjar limfe prefemuralis dan submandibularis. Pada anjing jantan brucellosis menyebabkan orchitis sehingga testis terlihat membengkak beberapa lama kemudian diikuti atropi, testis terlihat mengecil karena sel pembentuk spermatozoa mengalami kerusakan.
Diagnosa
Uji serologis yang dapat dilakukan adalah menggunakan Rose Bengal Presipitation Test (RBT), Semen Agglutination Test (SAT), Complement Fixation Test (CFT) dan Enzymelinked Immunosorbent assay (ELISA) (Siregar, 2000).
Kendala dalam uji serologis ini adalah munculnya reaksi positif palsu, reaksi silang dengan antibodi yang ditimbulkan oleh bakteri lain seperti Yersinia enterocolitica, E. coli, Vibrio cholerae (Siregar, 2000).
Penilaian uji serologis Brucellosis akan sulit dilakukan tanpa ada pengetahuan mengenai respon antibodinya. Antibodi adalah serum protein yang dihasilkan oleh sel limfosit sebagai respons terhadap infeksi atau vaksinasi. Pada hewan ruminansia, serum protein yang disebut immunoglobulin diklasifikasikan menjadi IgG1, IgG2, IgM dam IgA. Fungsi immunoglobulin adalah menginaktifkan dan mengeleminasi antigen dengan jalan mengikatnya, sehingga mengakibatkan aglutinasi, antigen lebih peka terhadap fagositosis dan merupakan awal reaksi dari ikatan komplemen, sehingga menyebabkan sel menghancurkan diri (lysis) (Anonim, 2000).
Negatif palsu dapat terjadi karena beberapa alasan :
1.      Pada masa inkubasi.
2.      Infeksi laten pada anak sapi, sapi dara dan sapi bunting.
3.      Segera sebelum dan setelah keguguran atau kelahiran, biasanya reaksi tertunda 2-4 minggu.
4.      Infeksi kronis.
5.      Kesalahan petugas dalam pemberian label sample atau sample tertukar sewaktu pemeriksaan dilaboratorium
(Anonim, 2007).
Positif palsu dapat terjadi karena beberapa alasan :
1.      Adanya titer antibody yang persisten setelah vaksinasi dan ini sering terjadi dilapangan. Sebaiknya anak sapi yang divaksin S19 pada umur 3 dan 9 bulan sebaiknya tidak diambil sampelnya pada umur dibawah 20 bulan.
2.      Adanya reaksi silang (cross reaction) dengan bakteri lain seperti Yersinia enterocolitica serotipe IX dan beberapa species Salmonella dan Pasteurella.
3.      Beberapa hewan menghasilkan abnormal serum globulin yang dapat menimbulkan reaksi aglutinasi.
4.      Menggunakan alat suntik untuk vaksinasi S19 dengan vaksinasi lain atau untuk keperluan pengobatan. Alat suntik yang mengandung S19 sulit disterilkan pada kondisi lapangan.
(Anonim, 2007).
Penanganan dan Pencegahan
Pada hewan khususnya sapi kasus brucellosis umumnya tidak berespon baik terhadap pengobatan. Oleh karena itu tindakan yang dilakukan didasarkan pada tinggi rendahnya prevalensi penyakit di suatu daerah. Pada daerah dengan prevalensi < 2% dilakukan tindakan pengujian dan pemotongan (test and slaughter) sedang daerah dengan prevalensi > 2% dilakukan vaksinasi menggunakan vaksi B. abortus strain 19 (Anonim, 2007).
Usaha pencegahan dan pengendalian terhadap Brucellosis sapi pada umumnya terfokus pada pemberantasan penyakit dengan mengendalikan populasi sapi bebas dari agen penyakit.. Pada prinsipnya vaksinasi sapi betina muda dengan vaksin inaktif (strain 19) perlu dilakukan pada wilayah dengan prevalensi Brucellosis tinggi, dengan tujuan sementara untuk menurunkan jumlah keguguran. Fetus dan placenta yang digugurkan harus dikubur atau dibakar dan tempat yang terkontaminasi harus didesinfeksi dengan 4% larutan kresol atau desinfektan sejenis (Anonim, 2007).

B.  IBR
Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang dapat menyerang alat pernafasan bagian atas dan alat reproduksi ternak sapi.  Biasanya penyakit ini menyerang ternak sapi yang ditandai dengan gejala demam tinggi ± 42°C, nafsu makan menurun dan dijumpai leleran hidung, hipersalivasi, produksi air susu menurun disertai dengan kekurusan (Kurniadhi, 2003).
Infectious Bovine Rhinotracheitis disebabkan oleh Bovine herpesvirus-1 (BHV-1) dengan gangguan pernafasan, gejala syaraf dan gangguan reproduksi merupakan gejala klinis yang utama. Sindrom berupa demam, vulvovaginitis, repeat breeders, balanoposthitis, metritis terdapat pada gangguan reproduksi, bahkan dapat menjadi abortus dan kematian pada anak sapi. Penularan IBR terjadi karena kontak langsung, terutama pada kelompok ternak yang dikandangkan terlalu padat, sedangkan, penularan bentuk veneral terjadi pada waktu perkawinan  atau inseminasi buatan (IB) (Sudarisman, 2007).
Kontaminasi pada semen merupakan hal yang sangat potensial dalam pengembangan usaha peternakan, karena virus IBR dapat menyebar lewat kegiatan inseminasi buatan dan menyebabkan berbagai gangguan pada saluran reproduksi betina termasuk di dalamnya endometritis, infertilitas dan keguguran (Anonim, 2008).
Masa inkubasinya adalah 4-6 hari, tetapi pada infeksi buatan masa ini lebih pendek. Penyakit ini bermanifestasi dalam 3 bentuk : 1) Bentuk respirasi, 2) Bentuk alan kelamin dan 3) Bentuk konjunktivitis. Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan awal terhadap sapi-sapi impor dari daerah atau negara lain yang tertular penyakit ini serta perlu benar-benar bebas dari caplak dan bebas antibodi terhadap virus IBR. Sedangkan pengobatan penderita IBR umumnya hanya bersifat simptomatik (Anonim, 2008).
Sudarisman (2007) mengemukakan bahwa keberhasilan pengawasan penyakit pada lembaga-lembaga pembibitan ternak akan dapat dicapai melalui beberapa tahapan seperti berikut:
1.    Menghindarkan faktor resiko yang ada pada inseminasi buatan. Memisahkan hewan yang serologik positif dan yang negatif. Hambat impor hewan yang serologik positif, embrio dan semen yang telah terkontaminasi virus BHV-1 untuk tujuan pembibitan ternak ataupun program inseminasi buatan.
2.    Mempertahankan kelompok ternak yang bebas BHV-1, melakukan uji serologik dan isolasi virus dua kali setahun pada ternak-ternak yang ada pada pusat pembibitan dan pusat inseminasi buatan terhadap adanya virus BHV-1. Keluarkan hewan yang positif BHV-1 berdasarkan isolasi virus dan kelompok hewan yang serologik positif dapat dilakukan vaksinasi, terutama dengan vaksin yang mati guna mencegah infeksi laten. Hindarkan penggunaan vaksin hidup. Penggunaannya dapat dilakukan bila ada outbreak pada beberapa kelompok hewan serta pengawasan hewan yang telah divaksinasi harus lebih ketat.
3.    Tidak mentolerir adanya pejantan yang serologic positif terhadap BHV-1 pada Balai Inseminasi Buatan (BIB). Hal ini merupakan jaminan terhadap produksi semen beku yang dihasilkan. Reputasi BIB sangat tergantung dari bebasnya pejantan dari penyakit menular.
Alternatif lain dalam program pemberantasan penyakit adalah mengontrol terjadinya infeksi dengan  mengembangkan pengebalan ternak akibat infeksi alamataupun akibat vaksinasi.Berdasarkan akan efektifitas dari imunisasi aktif setelah terinfeksi secara alami, kini vaksin digunakan untuk melakukan program kontrol penyakit IBR. Vaksin yang digunakan dapat dalam bentuk “modified live virus vaccines”dan “inactivated vaccines”. Kedua vaksin ternyata sama-sama menghasilkan antibodi humoral. Beberapa kelemahan terjadi dalam penggunaan vaksin IBR (Sudarisman, 2003).
Vaksin yang diberikan secara intranasal akan menghasilkan interferon lokal dan antibodi lokal. Sub unit vaksin kini juga telah banyak digunakan akan tetapi beberapa laporan menunjukkan bahwa subunit vaksin tidak dapat mencegah infeksi klinis akibat IBR. Beberapa vaksin hidup berdampak pada terjadinya keguguran/abortus dan dapat mengakibatkan endometritis. Untuk menghindari hal tersebut, beberapa negara menggunakan vaksin hidup intranasal dan ini masih ada yang melaporkan kemungkinan menjadi ganas kembali. Vaksin inactive/mati banyak yang melaporkan derajat kekebalannya tidak tinggi kecuali dengan penggunaan adjuvant yang baik (Sudarisman, 2003).
C.  BVD
Virus ini merupakan RNA virus kecil beramplop yang diklasifikasikan sebagai Pestiviruses. Ada dua spesies berbeda dari virus BVD/MD yang telah ditemukan; BVD-1 dan BVD-2. Penyakit yang disebabkan oleh BVD-1 cenderung tidak parah, sedangkan infeksi BVD-2 biasanya menyebabkan outbreaks penyakit yang lebih parah menyebabkan diare haemorrhagic akut serta kematian (Anonim, 2008).
BVD virus memiliki 2 biotipe; non-cytopathogenic dan cytopathogenic. Biotipe non-cytopathogenic adalah yang biasa ditemukan dalam suatu populasi sapi dan yang menyebabkan terjadinya peningkatan, dengan mutasi ataupun rekombinan, menjadi biotipe cytopathogenic (Anonim, 2009).

Gejala Klinis:
Secara khas hewan yang terinfeksi mengalami kenaikan temperatur, diare dan penurunan produksi susu. Gejala ini pada umumnya hanya muncul beberapa hari dan seringkali tidak begitu tinggi sehingga tidak teramati. Yang lebih penting barangkali adalah periode immunosupresi yang mengikuti infeksi virus BVD. Ini memudahkan infeksi oleh pathogen lain yang menyebabkan insiden kejadian penyakit yang lebih tinggi, misalnya diare pada anak sapi atau radang paru paru (pneumonia) ataupun mastitis pada sapi perah (Anonim, 2008).
Efek BVD-MD pada organ reproduksi sangat bervariasi :
1.    Veneral Infection sapi betina dan sapi dara dapat terinfeksi oleh sapi jantan yang menderita infeksi persisten melalui udara atau perkawinan alam. Hewan akan gagal untuk meningkatkan antibody terhadap virus dan menyebabkan rata-rata S/C menjadi 2,3.
2.    Transplacental Infection. Efek yang nyata pada organ reproduksi merupakan hasil dari infeksi secara transplacental. Jika sapi yang hamil terinfeksi oleh virus BVD-MD terdapat kemungkinan yang cukup besar bahwa fetus akan terinfeksi, hal ini dapat menyebabkan aborsi, kelahiran lemah dan fetus yang berukuran dibawah normal atau malformasi congenital, anak pedet yang sehat juga dapat dilahirkan (Arthur, 2001).
Patogenesis:.
Infeksi pada hewan dewasa tidak akan menyebabkan imunotoleran, gejala klinis yang menciri adalah adanya periode demam yang disertai leucopenia viremia yang berlangsung selama lebih dari 15 hari. Pada sekelompok hewan yang peka, akan ditemukan gejala diare dengan morbiditas yang tinggi tetapi rata-rata mortalitasnya rendah, leleran dari mata dan hidung dan ulcer di mulut. Pada sapi perah yang terinfeksi akan mengalami penurunan produksi. Virus bersifat imunosupresif, sehingga menyebabkan hospes menjadi rentan terhadap infeksi penyakit yang lain.
Gejala klinis yang ringan dari penyakit ini akan menimbulkan efek yang besar pada fungsi reproduksi sejak timbulnya gejala berupa demam ringan dan adanya lesi pada mulut yang umumnya tidak terdeteksi.
Sapi jantan yang mengalami infeksi kronis/ persisten akan mengekskresiksn virus dalam semen yang dihasilkan. Pada pengamatan selanjutnya virus akan disebarkan setelah terjadi viremia, dimana glandula vesikuler dan prostate merupakan tempat virus ini melakukan replikasi.
Mucosal disease biasanya terlihat pada hewan muda (6-24 bulan). Penyakit ini dicirikan dengan adanya anorexia, diare berair, lelerahn hidung, ulcerasi pada mulut dan lameness. Tetapi efek pada hewan yang terinfeksi mortalitasnya tinggi (Anonim, 2008).

Diagnosis:
Pemeriksaan antigen atau antibodi spesifik dalam darah atau susu serta isolasi virus dari jaringan. Konfirmasi hasil diagnosa BVD pada kasus akut tergantung pada adanya demonstrasi seroconversion di dalam sampel serum. Konfirmasi BVD sebagai penyebab aborsi adalah lebih sulit. Demonstrasi seroconversion maternal maupun fetal serta isolasi virus dari jaringan fetus dapat menjadi bukti yang sempurna.
Pengujian lebih lanjut dari hewan yang seronegative ( hewan PI tidak menghasilkan antibodi dalam merespon baik infeksi ataupun vaksinasi) atau mempunyai titer antibodi yang rendah terhadap adanya virus.
Diagnosis dapat dilihat dari gejala klinis yang terlihat. Fetus yang dikeluarkan juga akan menujukan lesi yang menciri pada kasus ini. Virus dapat di isolasi dari fetus, yaitu pada jaringan limfoit seperti lien. Identifikasi monocytocemical protein virus BVD pada jaringan fetus, khususnya ginjal, paru-paru atau jaringan limfoid kadang-kadang dapat terdeteksi.
Kenaikan substansi neutralizing antibody pada sekelompok ternak yang mengalami aborsi dan menunjukan antibodi dalam serum pada pedet yang baru saja dilahirkan atau cairan thorak fetus yang diaborsikan dapat digunakan sebagai bahan diagnosis infeksi. Pad kasus pedet yang dapat dilahirkan, serum harus diambil setelah pedet mengkonsumsi colostrum (Arthur, 2001).

Managemen:
Untuk mengontrol BVD melalui vaksin. Ini pada umumnya memberi hewan yang tidak divaksin sebanyak 2 dosis inisial vaksin. Hewan yang sebelmunya telah divaksin haruslah menerima dosis booster vaksin tunggal setiap tahunnya.
1.      Mencegah penyebaran dari hewan yang terinfeksi:
·         Hanya membawa masuk hewan-hewan dari peternakan yang tidak terinefksi BVD. Hanya membawa hewan dari peternakan yang punya program vaksinasi yang efektif.
·         Menghindari pembelian hewan-hewan dari kandang –kandang penjualan.
·         Pengujian hewan baru untuk infeksi persisten.
·         Pengisolasian hewan baru selama ± 30 hari sebelum diijinkan untuk kontak dengan ternak di dalam peternakan.
2.      Meningkatkan keresistenan dari peternakan terhadap BVD dengan cara :
·         Memberi vaksin secara langsung oleh dokter hewan dan label produknya.
·         Ternak/ sapi yang aru lahir diberi mengkonsumsi kolostrum secara maksimum
·         Kurangi stress pada sapi yang bisa disebabkan oleh penyakit-penyakit lain, kekurangan nutrisi, ketidaknyamanan tempat tinggalnya dan kualitas air yang jelek.
3.      Mengurangi penyebaran BVD :
·         Cegah kontaminasi pupuk kandang terhadap bulu, makanan dan air.
·         Tempat tinggal bayi sapi dibuat sendiri-sendiri.
·         Isolasi hewan sakit.
·         Vaksinasi untuk BV merupakan komponen penting dari sebuah program pencegahan BVD (Anonim, 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Pedoman Surveilans dan Monitoring Brucellosis pada sapi dan kerbau. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta
Anonim. 2008. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhino Tracheitis  pada Sapi dan Kerbau di Indonesia http://peternakan.Iitbang. deptan.go.id.
Arthur’s. 2001. Veterinary Reproduction And Obstetrics 8Th Edition. W.B Saunders. China.
Fenner, J. Frank. 1993. Virologi Veteriner. New York : Academic Press
Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Surabaya : Airlangga University Press
Kurniadhi. P. 2003. Teknik pembuatan biakan sel Primer Ginjal Janin Sapi Untuk Menumbuhkan Virus Infectious Bovine Rhinotracheitis. Bogor
Noakes. 2001. Arthur’s Veterinary Reproduction and Obstetrics 8th edition. Philadelphia : Saunders Elsevier, USA
Quinn, P.J., 2001. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Philadelphia : Blackwell
Smith, B. P. 2009. Large Animal Internal Medicine 4th edition. New York : Mosby Elsevier
Siregar EA. 2000. Pendekatan Epidemilogik Pengendalian brucellosis Untuk Meningkatkan Populasi Sapi di Indonesia. Bogor
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Sudarisman, 2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi di Lembaga Pembibitan Ternak di Indonesia. Wartazoa Vol. 13 No. 3 Th. 2003.
Sudarisman, 2007. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. Wartazoa Vol. 17 No. 1 Th. 2007

No comments:

Post a Comment