LEARNING
OBJECTIVE
Mengetahui gangguan infeksius organ reproduksi
ruminansia jantan meliputi
etiologi, gejala klinis, diagnosa, terapi, pencegahan.
PEMBAHASAN
1. Gangguan
Reproduksi Ruminansia Jantan
1. Orchitis
a.
Etiologi
Orchitis adalah radang pada testis. Disebabkan oleh
bakteri Brucella. Brucella spesies bakteri kecil (0,6 × 0,6 sampai 1,5 µm), non-motil, gram
negative, aerobic, non-hemolitik, capnophilik dan katalase positif. Semua
spesies Brucella urease kecuali B.ovis.
Pada isolasi primer, koloni B. abortus, B. melitensis dan B. suis muncul
dalam bentuk smooth dan kecil, berkilau, kebiruan, dan tembus cahaya setelah
inkubasi untuk 3-5 hari. Kontrasnya, isolate primer B. ovis dan B. canis
selalu muncul dalam bentuk rough. Koloni rough ini tumpul, kekuningan, opaque
dan rapuh (Quinn, 2002)
b.
Patogenesis
Brucella abortus mempunyai predileksi di testis dan
glandula aksesoria genital jantan, limfoglandula. Setelah terjadi invasi
bakteri dalam tubuh, lokalisasi awal bakteri terjadi di limfoglandula dan
menyebar ke jaringan limfoid lain, meliputi limpa dan limfoglandula iliaca. B.
abortus difagosit oleh makrofag dan neutofil dalam upaya untuk mengeleminasi
organism. Namun, bakteri tersebut mampu bertahan dan bereplikasi. Fagositosis
bermigrasi melalui simtem limfatik menuju ke nodus limfatikus dimana infeksi Brucella menyebabkan sel lisis dan nodus
limfatikus hemoragi 2-3 minggu setelah terekpose. Karena terjadi kelukaan pada
pembuluh darah, beberapa bakteri masuk ke peredaran darah dan terjadi
bakteremia yang menyebarkan secara pathogen ke seluruh tubuh (Smith, 2009).
Terdapat
3 bentuk orchitis :
1) Orchitis
intratubuler : sel epitel tubulus seminiferus rusak dan diganti sel radang
2) Orchitis
interstitial : infiltrasi sel radang diantara tubulus seminiferus, dipisahkan
jaringan sehingga testis kenyal
3) Orchitis
nekrotik : spesifik pada penderita brucellosis, testis mengalami nekrosis,
mengalami sedikit pengapuran (Smith,
2009).
c.
Gejala
klinis
Gejala klinis
orchitis biasanya lebih sering bersifat unilateral daripada bilateral dan dapat
menyerang epididymis. Pada fase akut, testis yang terinfeksi akan mengalami
radang dengan gejala hyperaemia, peningkatan suhu, dan pembengkakan. Testis
akan tampak membesar hingga 2-3 kali ukuran normal, demam, sakit saat
dipalpasi, libido turun, pada kasus kronis testis mengecil, konsistensi keras.
Fibrotic, abses, dan melekat ke skrotum. Infeksi dapat bersifat purulent dengan
abses di parenkim testis atau nekrotik jika keseluruhan parenkim sudah hampir
rusak (Noakes, 2001). Peningkatan suhu testis, kongesti, dan gangguan sirkulasi
dapat menyebabkan ischemia dan infark
Semakin parah menyebabkan kemajiran (Smith, 2009).
d.
Diagnosa
Diagnosa dapat dilakukan dengan memperhatikan gejala
klinis, melakukan biopsi terhadap testis, uji serologis, pemeriksaan pada
sperma. Dapat juga dilakukan pemeriksaan
biakan kuman.Uji serologis dapat dilakukan dengan uji aglutinasi serum (SAT
Serum Aglutination Test) dan CFT (Complement Fixation Test) (Subronto, 2003).
e.
Pengobatan
, pencegahan, dan penanangan
Terapi tidak berhasil karena mikroorganisme
intraseluler di dalam nodus limfatikus dan organ reproduksi. Brucella sp. Merupakan bakteri
fakultatif intraseluler yang dapat bertahan hidup dan berkembang biak di dalam
sel sel sistem makrofag. Kegagalan terapi dianggap bukan karena tidak ada
pembentukan pertahanan antimikroba tapi lebih kepada ketidakmampuan obat untuk
menembus membrane sel barier (Smith, 2009).
2.
Epididymitis
a. Etiologi
Epididymitis
dapat terjadi akibat infeksi primer atau menyebar dari orchitis. Brucella ovis menyebabkan epididymitis
dengan obstruksi epididymis dan pembentukan granuloma yang ditularkan melalui
kawin alami. Selain itu, penyakit ini juga disebabkan oleh Actinobacillus seminis, Haemophilus sommis, dan Histophilus ovis (Noakes, 2001). Rute infeksi dapat melalui sirkulasi
darah, melalui kawin alami, atau dari saluran urogenital (Smith, 2009).
b. Patogenesis
Ditandai dengan
bakteremia, sering dengan reaksi sitemik, dan organism bisa diisolasi dari
organ internal hewan terinfeksi. Penyakit sistemik bukan merupakan penyakit
alami dan penyakit klinis mengakibatkan lokalisasi dan inflamasi di epididimis.
Inflamasi pada daerah tersebut menyebabkan sperma stasis dan pengeluaran darah
yang diikuti imunologi yang rekasinya biasanya siakhir dan unilateral menyebabkan
spermatocele dan menurunkan fertilitas. Tidak semua domba jantan teraba lesi
pada epididimis, infeksi juga dapat mencapai ampula dan vesikula seminalis.
Dalam kasus tersebut organisme
berada di dalam ejakulasi (Smith, 2009).
c. Gejala Klinis
Gejala umum epididimitis
sama dengan orchitis, yaitu demam, pembengkakan, dan sakit. Inflamasi
epididimis menyebabkan obstuksi, hilangnya fungsi normal. Epididimitis
unilateral menyebabkan fertilitas menurun, sedangkankan obstuksi bilateral
menyebabkan steril. Epididimitis yang disebebkan oleh B. ovis akan terjadi obstuksi epididimal dan pembentukan granuloma
(Noakes, 2001).
d. Diagnosa
Semen
examination, meliputi kultur ejakulat, dan tes serologi digunakan dalam suspek
individual dan dalam kelompok kambing. Complement fixation atau test serologi
yang lain seperti agar gel imunodifusi, ELISA (Smith, 2009).
e. Terapi dan Pencegahan
Terapi bisa
menggunakan antibiotik, tetapi bila penyebab adalah Brucella, maka terapi tidak akan berhasil. Pencegahan penyebaran
infeksi antara domba jantan dan deteksi serta pemusnahan domba terinfeksi.
Vaksinasi untuk membatasi penyakit pada daerah dengan kejadian infeksi tinggi
(Smith, 2009).
3.
Vesiculitis
seminalis
a. Etiologi
Muncul sering
pada bull muda dan domba, tapi jarang pada hewan spesies lain. Dapat menjadi
penyebab infertilitas dan kualitas buruk semen. Infeksi dapat akut atau kronis
tergantung dari kekuatan hewan dan durasi penyakit. Disebabkan Mycoplasma bovigenitalium, lokasi primer
ada di preputium dan orifisium urethralis. Agen penyakit lain adalah Actinomyces pyogenes, E.coli, Actinobacillus actinoides, Corynebacterium
renale, Pseudomonas aerugenosa, Staphylococci dan Streptococci, Brucella abortus, Mycobacterium bovis, M.
paratuberculosis, Candida guiliermondii, Chlamidia sp., dan Ureaplasma spp. Pada domba dan babi, Brucella ovis dan B. suis, yang menjadi penyebab vesiculitis (Quinn, 2002).
b. Gejala Klinis
Glandula yang
terserang membengkak, lebih keras, dan adesi
dengan organ sekeliling, meliputi rectum dan jaringan adipose pelvis.
Gejala klinis pada fase akut, peritonitis local dapat terjadi di kaudal abdomen
yang menimbulkan gejala yang berkaitan. Sapi akan malas bergerak yang dapat
mempengaruhi daerah inflamasi seperti mounting.
Lama kelamaan hewan akan infertil. Terkadang, abses yang terdapat pada glandula
yang terinfeksi dapat pecah dan menyebabkan peritonitis atau fistulate ke
rectum. Infeksi dapat bersifat unilateral maupun bilateral. Infeksi akan
mengakibatkan penurunan kualitas semen dengan penurunan motilitas, peningkatan
pH, konsentrasi fruktosa turun, dan adanya leukosit PMN. Pada kasus parah,
semen dapat bersifat purulent (Noakes, 2001).
c. Diagnosa
Diagnosis
dilakukan dengan palpasi per rectal dengan ciri-ciri glandula bengkak, tegang,
dan terasa nyeri pada fase akut, atau mengekrut dan fibrotic pada fase kronis.
Pengobatan
dapat dilakukan dengan penyuntikan antibiotika atau sulfonamid untukpenyebab
bakteriologis.Istirahat kelamin (sexual rest) dengan tidak digunakan
sebagai pemacek atau dikoleksi semennya untuk beberapa lama perlu diberikan
kepada pejantan penderita (Noakes, 2001).
d. Pencegahan
dan pengendalian
Dapat
dilakukan dengan menjaga sanitasi kandang,
kebersihan alat dan bahan yang digunakan, kualitas air minum, nutrisi
seimbang, desinfeksi kandang, pencegahan penularan agen penyakit saat
pengkoleksian semen dan inseminasi buatan
(Noakes,
2001).
4.
Balanitis
dan Postitis
a. Etiologi
Balanitis merupakan radang pada
glans penis.Postitis merupakan radang pada preputium.Penyakit ini disebabkan
oleh virus IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis) atau IPV (Infectious
Pustular Vulvovaginitis).Virion beramplop berdiameter 120-200 nm. Kapsid ikosaheral dengan 162
kapsomer.Genom DNA dibungkus oleh inti fibrosa serupa kumparan yang berbentuk
busur dan tampak dikelilingi oleh serabut berpangkal pada bagian dalam dari
kapsid yang mengelilinginya dan melewati lubang dari busur (Fenner, 1993).
b. Patogenesis
Pada
keadaan yang berat balanopostitis dapat diikuti oleh perlekatan antara
penisdengan preputium sehingga berakibat ereksi tidak sempurna khususnya pada
sapi pejantan muda.Infeksi yang terjadi pada penis dan preputium dapat
disebabkan oleh trauma dan gangguan mekanis lainnya. Pada kebanyakan kasus
prognosa balanopostitisadalah fausta, akan tetapi kesembuhan secara
sempurna tidak mungkin terjadi. Kerusakan yang berat menyebabkan sikatrik pada
lapisan mukosa preputium maupun penis.Perlekatan penis dengan preputium yang
ditimbulkan oleh keadaan ini barakibat pada hilangnya kemampuan pejantan untuk
berkopulasi.Pada kejadian kasus yang berat preputium disayat sehingga nanah dan
urin yang menumpuk dapat dikeluarkan
(Smith,
2009).
c. Gejala Klinis
Terdapat cairan mukopurulen dari
preputium. Dua sampai tiga hari pasca penularan timbul banyak lepuh (pustule)
berwarna putih keabu-abuan di permukaan penis. Permukaan tersebut akan
mengelupas, mengalami erosi, kemudian menghilang. Kesembuhan terjadi setelah
5-6 hari pasca penularan (Noakes,
2001).
Secara mikroskopis, lepuh yang
ditimbulkan menghasilkan reruntuhan dari lapisan epitel dari permukaan penis
dan preputium, serta akumulasi dari sel-sel radang dengan kumpulan partikel
virus (inclusion body) dari jaringan di sekitarnya.Pada infeksi kronis, lepuh
jarang ditemukan (Noakes,
2001).
Infeksi penis oleh kuman campylobacter tidak
mengakibatkan perubahan yang spesifik pada mukosanya.Sedangkan infeksi
trichomonas fetus pada hewan jantan dapat menimbulkan abses ringan pada epitel
mukosa penis.Balanopostitis akibat penyakit tuberkulosa bersifat spesifik
karena adanya tuberkel-tuberkel yang berdiameter 1-2 mm, berwarna cokelat
kemerahandi dalam lapisan epitel dan subkutan yang mengelilingi permukaan glans
penis (Noakes, 2001).
Dari lepuh yang serupa pernah dapat diisolasi Corinebacterium renale. Dua bentuk balanopostitis
ulcerative sudah lama dikenal pada domba-domba di Australia. Bentuk eksternal
biasanya terjadi lebih dahulu dan selanjutnya bentuk-bentuk ini akan
menyebabkan penyempitan pada mulut preputium. Bentuk eksternal biasanya lebih
ringan dan terjadi pada ujung penis dan di sekitar lubang preputium.Bentuk
interna dari balanopostitis adalah bila bagian yang terkena terjadi pada
permukaan dalam preputium dan seluruh permukaan penis. Pada kasus ini diameter
serta panjang penis dan preputium dapat bertambah,dan mulut preputium dapat
mengalami luka bernanah disertai adanyakumpulan yang terdiri dari jaringan
nekrotik, nanah, sperma, urine dan kotoran yang menumpuk dalam rongga preputium (Hardjopranjoto, 1995).
d. Diagnosa
Diagnosa
dilakukan berdasarkan gejala klinis yang terjadi (Subronto, 2003).
e. Terapi
Dilakukan pencucian penis dan preputium secara berkala
dengan cairan antiseptic ringan 2-3 kali sehari. Pemberian antibiotik secara
lokal umumnya memberikan kesembuhan karena balanopostitis seringkali
disebabkan oleh infeksi lebih dari satu mikroorganisme (Noakes, 2001).
f. Pencegahan
dan pengendalian
Dapat
dilakukan dengan menjaga sanitasi kandang, kebersihan alat dan bahan yang
digunakan, kualitas air minum, nutrisi
seimbang, desinfeksi kandang, pencegahan penularan agen penyakit saat
pengkoleksian semen dan inseminasi buatan
(Noakes,
2001).
Agen
Infeksi:
A. Brucella abortus
Patogenesis
Penularan
brucellosis terjadi melalui saluran makanan, saluran kelamin, selaput lendir
atau kulit yang luka dan IB. Infeksi sering terjadi karena ingesti kotoran dari
alat kelamin hewan yang mengalami abortus yang mengkontaminasi makanan dan air.
Penularan dapat pula terjadi melalui selaput lendir mata dan intrauterin
setelah inseminasi dengan semen yang tertular (Anonim, 2007).
Infeksi Brucella sp. bersifat
fakultatif intraseluler yang bersifat kronis. Pada ternak terinfeksi akan
terbentuk reaksi tanggap kebal humoral secara persisten atau bertahan lama
dengan terbentuknya antibodi di dalam serum (Anonim, 2007).
Gejala Klinis
1.
Sapi à gejala klinik
yang mencolok terjadi abortus, terutama pada usia kebuntingan lanjut (5-8
bulan). Umumnya sapi hanya mengalami keguguran sekali saja pada kebuntingan
yang berurutan. Meskipun demikian induk sapi yang mengalami keguguran tersebut
masih membawa B. abortus sampai 2
tahun. Sapi yang terinfeksi secara kronik dapat mengalami higroma (pembesaran
kantong persendian karena berisi cairan bening atau fibrinopurulen).
Gejala
klinis brucellosis pada sapi dipengaruhi oleh umur sapi yang terinfeksi, jumlah
kuman dan tingkat virulensinya. Anak sapi yang lahir dari induk yang terinfeksi
akan terus menyimpan bibit penyakit sampai mencapai usia dewasa. Pada sapi
jantan brucellosis dapat menyebabkan peradangan testis (orchitis).
Pada
hewan jantan, infeksi akan diikuti oleh orkhitis yang kronis dan perlekatan
antara tunika vaginalis testis, sel mani abnormal dan fibriosis yang kronis
dari jaringan interstitial. Terjadi pengumpulan makrofag dan limfosit pada
jaringan testis. Ampula dan vas deferent, terjadi nekrosa jaringan ikatnya
(Hardjopranjoto, 1995).
Setelah
orkhitis dapat melanjut ke epididimitis serta gangguan pada kelenjar vesikula
seminalis dan ampula. Brucellosis juga menyebabkan abses serta nekrosis pada
scrotum dan glandula accesoria. Sehingga semen yang diambil dari pejantan
mungkin mengandung bakteri Brucella
abortus.
2.
Babi à menimbulkan
arthritis, osteomielitis, bursitis dan spondilitis. Kadang-kadang ditemukan
pula posterior paralisis yang disebabkan oleh nekrosis discus intervetebrales.
Pada babi jantan dapat ditemukan orchitis tetapi B. suis tidak ditemukan pada semen atau urine. Dibandingkan dengan
sapi abortus relatif jarang terjadi pada babi.
3.
Anjing à B. canis merupakan penyebab utama
sterilitas pada pejantan dan abortus pada induk, terutama terjadi di kennel
(pembiak) anjing di Amerika. Anjing yang menerita brucellosis akut mengalami
kebengkaan kelenjar limfe prefemuralis dan submandibularis. Pada anjing jantan
brucellosis menyebabkan orchitis sehingga testis terlihat membengkak beberapa
lama kemudian diikuti atropi, testis terlihat mengecil karena sel pembentuk
spermatozoa mengalami kerusakan.
Diagnosa
Uji serologis yang dapat dilakukan
adalah menggunakan Rose Bengal Presipitation Test (RBT), Semen Agglutination
Test (SAT), Complement Fixation Test (CFT) dan Enzymelinked Immunosorbent assay
(ELISA) (Siregar, 2000).
Kendala dalam uji serologis ini
adalah munculnya reaksi positif palsu, reaksi silang dengan antibodi yang
ditimbulkan oleh bakteri lain seperti Yersinia enterocolitica, E. coli, Vibrio
cholerae (Siregar, 2000).
Penilaian uji serologis Brucellosis
akan sulit dilakukan tanpa ada pengetahuan mengenai respon antibodinya.
Antibodi adalah serum protein yang dihasilkan oleh sel limfosit sebagai respons
terhadap infeksi atau vaksinasi. Pada hewan ruminansia, serum protein yang
disebut immunoglobulin diklasifikasikan menjadi IgG1, IgG2, IgM dam IgA. Fungsi
immunoglobulin adalah menginaktifkan dan mengeleminasi antigen dengan jalan
mengikatnya, sehingga mengakibatkan aglutinasi, antigen lebih peka terhadap
fagositosis dan merupakan awal reaksi dari ikatan komplemen, sehingga
menyebabkan sel menghancurkan diri (lysis) (Anonim, 2000).
Negatif palsu dapat terjadi karena
beberapa alasan :
1. Pada masa inkubasi.
2. Infeksi laten pada anak sapi, sapi
dara dan sapi bunting.
3. Segera sebelum dan setelah keguguran
atau kelahiran, biasanya reaksi tertunda 2-4 minggu.
4. Infeksi kronis.
5. Kesalahan petugas dalam pemberian
label sample atau sample tertukar sewaktu pemeriksaan dilaboratorium
(Anonim, 2007).
Positif palsu dapat terjadi karena
beberapa alasan :
1. Adanya titer antibody yang persisten
setelah vaksinasi dan ini sering terjadi dilapangan. Sebaiknya anak sapi yang
divaksin S19 pada umur 3 dan 9 bulan sebaiknya tidak diambil sampelnya pada
umur dibawah 20 bulan.
2. Adanya reaksi silang (cross
reaction) dengan bakteri lain seperti Yersinia enterocolitica serotipe IX dan
beberapa species Salmonella dan Pasteurella.
3. Beberapa hewan menghasilkan abnormal
serum globulin yang dapat menimbulkan reaksi aglutinasi.
4. Menggunakan alat suntik untuk
vaksinasi S19 dengan vaksinasi lain atau untuk keperluan pengobatan. Alat
suntik yang mengandung S19 sulit disterilkan pada kondisi lapangan.
(Anonim, 2007).
Penanganan dan Pencegahan
Pada
hewan khususnya sapi kasus brucellosis umumnya tidak berespon baik terhadap
pengobatan. Oleh karena itu tindakan yang dilakukan didasarkan pada tinggi
rendahnya prevalensi penyakit di suatu daerah. Pada daerah dengan prevalensi
< 2% dilakukan tindakan pengujian dan pemotongan (test and slaughter) sedang
daerah dengan prevalensi > 2% dilakukan vaksinasi menggunakan vaksi B. abortus strain 19 (Anonim, 2007).
Usaha pencegahan dan pengendalian
terhadap Brucellosis sapi pada umumnya terfokus pada pemberantasan penyakit
dengan mengendalikan populasi sapi bebas dari agen penyakit.. Pada prinsipnya
vaksinasi sapi betina muda dengan vaksin inaktif (strain 19) perlu dilakukan
pada wilayah dengan prevalensi Brucellosis tinggi, dengan tujuan sementara
untuk menurunkan jumlah keguguran. Fetus dan placenta yang
digugurkan harus dikubur atau dibakar dan tempat yang terkontaminasi harus
didesinfeksi dengan 4% larutan kresol atau desinfektan sejenis (Anonim, 2007).
B. IBR
Penyakit
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh virus yang dapat menyerang alat pernafasan bagian atas dan alat reproduksi
ternak sapi. Biasanya penyakit ini menyerang ternak sapi yang ditandai
dengan gejala demam tinggi ± 42°C, nafsu makan menurun dan dijumpai leleran
hidung, hipersalivasi, produksi air susu menurun disertai dengan kekurusan
(Kurniadhi, 2003).
Infectious
Bovine Rhinotracheitis disebabkan oleh Bovine herpesvirus-1 (BHV-1) dengan
gangguan pernafasan, gejala syaraf dan gangguan reproduksi merupakan gejala
klinis yang utama. Sindrom berupa demam, vulvovaginitis, repeat breeders,
balanoposthitis, metritis terdapat pada gangguan reproduksi, bahkan dapat menjadi
abortus dan kematian pada anak sapi. Penularan IBR terjadi karena kontak
langsung, terutama pada kelompok ternak yang dikandangkan terlalu padat,
sedangkan, penularan bentuk veneral terjadi pada waktu perkawinan atau inseminasi buatan (IB) (Sudarisman,
2007).
Kontaminasi
pada semen merupakan hal yang sangat potensial dalam pengembangan usaha
peternakan, karena virus IBR dapat menyebar lewat kegiatan inseminasi buatan
dan menyebabkan berbagai gangguan pada saluran reproduksi betina termasuk di
dalamnya endometritis, infertilitas dan keguguran (Anonim, 2008).
Masa
inkubasinya adalah 4-6 hari, tetapi pada infeksi buatan masa ini lebih pendek.
Penyakit ini bermanifestasi dalam 3 bentuk : 1) Bentuk respirasi, 2) Bentuk
alan kelamin dan 3) Bentuk konjunktivitis. Pencegahan dilakukan dengan
pemeriksaan awal terhadap sapi-sapi impor dari daerah atau negara lain yang
tertular penyakit ini serta perlu benar-benar bebas dari caplak dan bebas
antibodi terhadap virus IBR. Sedangkan pengobatan penderita IBR umumnya hanya
bersifat simptomatik (Anonim, 2008).
Sudarisman
(2007) mengemukakan bahwa keberhasilan pengawasan penyakit pada lembaga-lembaga
pembibitan ternak akan dapat dicapai melalui beberapa tahapan seperti berikut:
1.
Menghindarkan faktor resiko yang ada
pada inseminasi buatan. Memisahkan hewan yang serologik positif dan yang
negatif. Hambat impor hewan yang serologik positif, embrio dan semen yang telah
terkontaminasi virus BHV-1 untuk tujuan pembibitan ternak ataupun program
inseminasi buatan.
2.
Mempertahankan kelompok ternak yang
bebas BHV-1, melakukan uji serologik dan isolasi virus dua kali setahun pada
ternak-ternak yang ada pada pusat pembibitan dan pusat inseminasi buatan
terhadap adanya virus BHV-1. Keluarkan hewan yang positif BHV-1 berdasarkan
isolasi virus dan kelompok hewan yang serologik positif dapat dilakukan
vaksinasi, terutama dengan vaksin yang mati guna mencegah infeksi laten.
Hindarkan penggunaan vaksin hidup. Penggunaannya dapat dilakukan bila ada outbreak
pada beberapa kelompok hewan serta pengawasan hewan yang telah divaksinasi
harus lebih ketat.
3.
Tidak mentolerir adanya pejantan yang
serologic positif terhadap BHV-1 pada Balai Inseminasi Buatan (BIB). Hal ini
merupakan jaminan terhadap produksi semen beku yang dihasilkan. Reputasi BIB
sangat tergantung dari bebasnya pejantan dari penyakit menular.
Alternatif
lain dalam program pemberantasan penyakit adalah mengontrol terjadinya infeksi
dengan mengembangkan pengebalan ternak
akibat infeksi alamataupun akibat vaksinasi.Berdasarkan akan efektifitas dari
imunisasi aktif setelah terinfeksi secara alami, kini vaksin digunakan untuk
melakukan program kontrol penyakit IBR. Vaksin yang digunakan dapat dalam
bentuk “modified live virus vaccines”dan “inactivated vaccines”. Kedua vaksin
ternyata sama-sama menghasilkan antibodi humoral. Beberapa kelemahan terjadi
dalam penggunaan vaksin IBR (Sudarisman, 2003).
Vaksin
yang diberikan secara intranasal akan menghasilkan interferon lokal dan
antibodi lokal. Sub unit vaksin kini juga telah banyak digunakan akan tetapi
beberapa laporan menunjukkan bahwa subunit vaksin tidak dapat mencegah infeksi
klinis akibat IBR. Beberapa vaksin hidup berdampak pada terjadinya
keguguran/abortus dan dapat mengakibatkan endometritis. Untuk menghindari hal
tersebut, beberapa negara menggunakan vaksin hidup intranasal dan ini masih ada
yang melaporkan kemungkinan menjadi ganas kembali. Vaksin inactive/mati banyak
yang melaporkan derajat kekebalannya tidak tinggi kecuali dengan penggunaan adjuvant
yang baik (Sudarisman, 2003).
C. BVD
Virus
ini merupakan RNA virus kecil beramplop yang diklasifikasikan sebagai
Pestiviruses. Ada dua spesies berbeda dari virus BVD/MD yang telah ditemukan;
BVD-1 dan BVD-2. Penyakit yang disebabkan oleh BVD-1 cenderung tidak parah,
sedangkan infeksi BVD-2 biasanya menyebabkan outbreaks penyakit yang lebih
parah menyebabkan diare haemorrhagic akut serta kematian (Anonim, 2008).
BVD
virus memiliki 2 biotipe; non-cytopathogenic dan cytopathogenic. Biotipe
non-cytopathogenic adalah yang biasa ditemukan dalam suatu populasi sapi dan
yang menyebabkan terjadinya peningkatan, dengan mutasi ataupun rekombinan,
menjadi biotipe cytopathogenic (Anonim, 2009).
Gejala Klinis:
Secara
khas hewan yang terinfeksi mengalami kenaikan temperatur, diare dan penurunan
produksi susu. Gejala ini pada umumnya hanya muncul beberapa hari dan
seringkali tidak begitu tinggi sehingga tidak teramati. Yang lebih penting
barangkali adalah periode immunosupresi yang mengikuti infeksi virus BVD. Ini memudahkan
infeksi oleh pathogen lain yang menyebabkan insiden kejadian penyakit yang
lebih tinggi, misalnya diare pada anak sapi atau radang paru paru (pneumonia)
ataupun mastitis pada sapi perah (Anonim, 2008).
Efek
BVD-MD pada organ reproduksi sangat bervariasi :
1.
Veneral Infection sapi betina dan sapi
dara dapat terinfeksi oleh sapi jantan yang menderita infeksi persisten melalui
udara atau perkawinan alam. Hewan akan gagal untuk meningkatkan antibody
terhadap virus dan menyebabkan rata-rata S/C menjadi 2,3.
2.
Transplacental Infection. Efek yang
nyata pada organ reproduksi merupakan hasil dari infeksi secara transplacental.
Jika sapi yang hamil terinfeksi oleh virus BVD-MD terdapat kemungkinan yang
cukup besar bahwa fetus akan terinfeksi, hal ini dapat menyebabkan aborsi,
kelahiran lemah dan fetus yang berukuran dibawah normal atau malformasi
congenital, anak pedet yang sehat juga dapat dilahirkan (Arthur, 2001).
Patogenesis:.
Infeksi
pada hewan dewasa tidak akan menyebabkan imunotoleran, gejala klinis yang
menciri adalah adanya periode demam yang disertai leucopenia viremia yang
berlangsung selama lebih dari 15 hari. Pada sekelompok hewan yang peka, akan
ditemukan gejala diare dengan morbiditas yang tinggi tetapi rata-rata
mortalitasnya rendah, leleran dari mata dan hidung dan ulcer di mulut. Pada
sapi perah yang terinfeksi akan mengalami penurunan produksi. Virus bersifat
imunosupresif, sehingga menyebabkan hospes menjadi rentan terhadap infeksi
penyakit yang lain.
Gejala
klinis yang ringan dari penyakit ini akan menimbulkan efek yang besar pada
fungsi reproduksi sejak timbulnya gejala berupa demam ringan dan adanya lesi
pada mulut yang umumnya tidak terdeteksi.
Sapi
jantan yang mengalami infeksi kronis/ persisten akan mengekskresiksn virus
dalam semen yang dihasilkan. Pada pengamatan selanjutnya virus akan disebarkan
setelah terjadi viremia, dimana glandula vesikuler dan prostate merupakan
tempat virus ini melakukan replikasi.
Mucosal
disease biasanya terlihat pada hewan muda (6-24 bulan). Penyakit ini dicirikan
dengan adanya anorexia, diare berair, lelerahn hidung, ulcerasi pada mulut dan
lameness. Tetapi efek pada hewan yang terinfeksi mortalitasnya tinggi (Anonim,
2008).
Diagnosis:
Pemeriksaan
antigen atau antibodi spesifik dalam darah atau susu serta isolasi virus dari
jaringan. Konfirmasi hasil diagnosa BVD pada kasus akut tergantung pada adanya
demonstrasi seroconversion di dalam sampel serum. Konfirmasi BVD sebagai penyebab
aborsi adalah lebih sulit. Demonstrasi seroconversion maternal maupun fetal
serta isolasi virus dari jaringan fetus dapat menjadi bukti yang sempurna.
Pengujian
lebih lanjut dari hewan yang seronegative ( hewan PI tidak menghasilkan
antibodi dalam merespon baik infeksi ataupun vaksinasi) atau mempunyai titer
antibodi yang rendah terhadap adanya virus.
Diagnosis
dapat dilihat dari gejala klinis yang terlihat. Fetus yang dikeluarkan juga
akan menujukan lesi yang menciri pada kasus ini. Virus dapat di isolasi dari
fetus, yaitu pada jaringan limfoit seperti lien. Identifikasi monocytocemical
protein virus BVD pada jaringan fetus, khususnya ginjal, paru-paru atau
jaringan limfoid kadang-kadang dapat terdeteksi.
Kenaikan
substansi neutralizing antibody pada sekelompok ternak yang mengalami aborsi
dan menunjukan antibodi dalam serum pada pedet yang baru saja dilahirkan atau
cairan thorak fetus yang diaborsikan dapat digunakan sebagai bahan diagnosis
infeksi. Pad kasus pedet yang dapat dilahirkan, serum harus diambil setelah
pedet mengkonsumsi colostrum (Arthur, 2001).
Managemen:
Untuk mengontrol BVD melalui vaksin. Ini pada umumnya memberi hewan yang tidak divaksin sebanyak 2 dosis inisial vaksin. Hewan yang sebelmunya telah divaksin haruslah menerima dosis booster vaksin tunggal setiap tahunnya.
1. Mencegah
penyebaran dari hewan yang terinfeksi:
·
Hanya membawa masuk hewan-hewan dari
peternakan yang tidak terinefksi BVD. Hanya membawa hewan dari peternakan yang
punya program vaksinasi yang efektif.
·
Menghindari pembelian hewan-hewan dari
kandang –kandang penjualan.
·
Pengujian hewan baru untuk infeksi
persisten.
·
Pengisolasian hewan baru selama ± 30
hari sebelum diijinkan untuk kontak dengan ternak di dalam peternakan.
2. Meningkatkan
keresistenan dari peternakan terhadap BVD dengan cara :
·
Memberi vaksin secara langsung oleh
dokter hewan dan label produknya.
·
Ternak/ sapi yang aru lahir diberi
mengkonsumsi kolostrum secara maksimum
·
Kurangi stress pada sapi yang bisa
disebabkan oleh penyakit-penyakit lain, kekurangan nutrisi, ketidaknyamanan
tempat tinggalnya dan kualitas air yang jelek.
3. Mengurangi
penyebaran BVD :
·
Cegah kontaminasi pupuk kandang terhadap
bulu, makanan dan air.
·
Tempat tinggal bayi sapi dibuat
sendiri-sendiri.
·
Isolasi hewan sakit.
·
Vaksinasi untuk BV merupakan komponen
penting dari sebuah program pencegahan BVD (Anonim, 2008).
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.
2000. Pedoman Surveilans dan Monitoring Brucellosis pada sapi dan kerbau.
Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Produksi Peternakan. Departemen
Pertanian. Jakarta
Anonim.
2007. www.vet-klinik.com/Peternakan/Brucellosis-pada-sapi.html
Anonim.
2008. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhino Tracheitis pada Sapi dan Kerbau di Indonesia
http://peternakan.Iitbang. deptan.go.id.
Arthur’s. 2001. Veterinary
Reproduction And Obstetrics 8Th Edition. W.B Saunders. China.
Fenner, J. Frank. 1993. Virologi Veteriner. New York : Academic Press
Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Surabaya : Airlangga University
Press
Kurniadhi.
P. 2003. Teknik pembuatan biakan sel Primer Ginjal Janin Sapi Untuk Menumbuhkan
Virus Infectious Bovine Rhinotracheitis. Bogor
Noakes.
2001. Arthur’s Veterinary Reproduction
and Obstetrics 8th edition. Philadelphia : Saunders Elsevier, USA
Quinn,
P.J., 2001. Veterinary Microbiology and
Microbial Disease. Philadelphia
: Blackwell
Smith,
B. P. 2009. Large Animal Internal
Medicine 4th edition. New York : Mosby Elsevier
Siregar
EA. 2000. Pendekatan Epidemilogik Pengendalian brucellosis Untuk Meningkatkan
Populasi Sapi di Indonesia. Bogor
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Sudarisman,
2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi di Lembaga
Pembibitan Ternak di Indonesia. Wartazoa Vol. 13 No. 3 Th. 2003.
Sudarisman,
2007. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR)
pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. Wartazoa Vol. 17 No. 1 Th. 2007
No comments:
Post a Comment