Mengetahui dan memahami penyakit infeksius pada organ
reproduksi betina meliputi etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa,
terapi dan pencegahan.
PEMBAHASAN
1.
Vaginitis
Vaginitis merupakan peradangan pada
vagina, biasanya sebagai penjalaran dari metritis dan pneumovagina atau
dapat disebabkan oleh tindakan penanganan masalah reproduksi yang tidak tepat seperti
tarikan paksa/ fetotomi
(Subronto, 2004).
Etiologi
:
Penyebab vaginitis lainnya seperti viral IBR-IPV dan penyakit-penyakit kelamin.
Tanda-tanda vaginitis bervariasi, mulai dari leleran lender keruh dan hiperemi
mukosa vagina sampai nekrosis mukosa vagina disertai pengejanan terus-menerus
dan septicemia (Subronto,
2004).
Patogenesis
:
Peregangan dari vulva ataupun laserasi pada daerah perineum, letak anus dan
vulva yang terlalu sejajar, atropi bibir vulva akibat
pneumovagina akan mempermudah kontaminasi vagina oleh feses, urin, dan udara
luar yang membawa agen infeksi. Vaginitis juga dapat terjadi setelah koitus
walaupun sifatnya ringan, vaginitis juga dapat terjadi akibat perlakuan vagina
dengan zat-zat yang mengiritasi dan pemeriksaan vagina yang tidak mengikuti
kaidah sanitasi (Subronto,
1995).
Gejala
Klinis : Tanda-tanda vaginitis bervariasi, mulai dari leleran
lendir keruh dan hiperemia mukosa (mukosa kemerahan) vagina sampai nekrosis
mukosa (kematian jaringan mukosa) vagina disertai pengejanan terus - menerus
dan septikemia
(Hardjopranjoto, 1995).
Diagnosa
:
dilakukan dengan melihat
gejala klinis, kemudian dengan palpasi perektal, dan pemeriksaan vagina dengan
vaginoskop (Hardjopranjoto, 1995).
Terapi
:
Penanganan kasus vaginitis ini ditujukan untuk menghilangkan iritasi,
menghentikan pengejanan dengan anastesi epidural, koreksi operatif dari defek
vulva dan urovagina serta pengobatan antibiotik sistemik. irigasi larutan antiseptis seperti lugol, povidon
iodine. Pemberian antibiotik dapat dilakukan dengan preparasi penicillin bubuk
500.000 IU dalam 100 ml aquades dimasukan ke dalam vagina mengguanakan cateter
(Hardjopranjoto,
1995)..
2.
Cervicitis
Etiologi
: Servisitis
adalah peradangan serviks. Servisitis biasanya menyertai metritis atau akibat
infeksi kronis yang berhubungan dengan pneumovagina
dan urovagina. Servisitis juga dapat
terjadi akibat pemasukkan instrument yang kurang tepat ke dalam serviks.
Gejala
Klinis :
Gejala
klinis servisitis dapat dilihat dengan spikulum vagina, berupa pembengkakan dan
edema os eksterna serviks, hiperemi mukosa, dan adanya eksudat purulen dalam
serviks dan vagina. Iritasi kronis dan keras pada serviks oleh zat kimia
kaustik atau bakteria
akan mengakibatkan fibrosis dan stenosis serviks dan menyebabkan infertilitas
pada sapi yang tidak bunting dan distokia obstruksi berat pada saat beranak.
Terapi
: Penanganan
servisitis harus ditujukan untuk penyingkiran penyebab iritasi. Kesembuhan
spontan mungkin dapat terjadi setelah beberapa saat istirahat kelamin. Kasus
servicitis
yang berhubungan dengan metritis biasanya responsif terhadap pengobatan
primernya, sedangkan oleh pneumovagina
dan urovagina perlu ditangani dengan
tindakan operasi, episioplasty atau urethropasty (Hardjopranjoto, 1995 ; Subronto, 2004).
3.
Endometritis
Etiologi : Merupakan peradangan
pada endometrium (dinding rahim). Uterus (rahim) sapi biasanya terkontaminasi dengan berbagai mikroorganisme
(bakteri) selama masa puerpurium. Endometritis terjadi karena kelanjutan dari kelahiran
yang tidak normal, seperti abortus, retensi sekundinarum, kelahiran prematur,
kelahiran kembar, keahiran yang sukar (distokia), perlukaan yang disebabkan
oleh alat-alat yang dipergunakan untuk pertolongan pada kelahiran yang sukar
(Hardjopranjoto,1995).
Endometritis dapat terjadi juga pada induk sapi setelah perkawinan alami
dengan pejantan yang menderita penyakit menular kelamin seperti brucelosis,
trichomoniasis, vibriosis, dll. Pada pelaksanaan inseminasi buatan yang
dilakukan intra uterine pada sapi betina, mempunyai resiko untuk terjadinya
endometritis, karena adanya bakteri yang terbawa oleh alat insaminasi atau
dalam semen masih tercemar oleh kuman kemudian dapat menulari uterus. Streptococcus, Staphylococcus, E.coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Corynobacterium pyogenes adalah bakteri
nonspesifik yang terdapat secara non pathogen di mana-mana dan sering
menginfeksi uterus. Berat tidaknya endometritis yang diserita tergantung pada
keganasan bakteri yang menularinya, banyaknya bakteri, dan ketahanan tubuh
penderita (Hardjopranjoto,1995).
Patogenesis
: Agen infeksi biasanya masuk
ke dalam uterus melalui vagina pada saat coitus, inseminasi buatan, partus, dan
atau postpartus, walaupun memugkinkan juga pada suatu keadaan agen infeksi
berasal dari sirkulasi. Pada kebanyakan kasus, agen infeksi tersebut berasal
dari kontaminasi uterus postpartus tetapi biasanya flora tersebut akan segera
dihilangkan (Noakes, 2001).
Flora
tersebut akan tetap tinggal di uterus, sehingga menyebabkan peradangan pada
endometrium. Tingkat kontaminasi bakteri pada uterus sangat menentukan terjadi
endometritis atau tidak. Patogenesis penyakit ini sangat berhubungan dengan
faktor-faktor yang berkaitan dengan kemampuan tubuh hospes untuk mengeliminasi
flora tersebut, daripada faktor dari bakteri-bakteri sendiri
(Noakes, 2001).
Gejalan
Klinis : leleran berwarna jernih keputihan sampai purulen
(kekuningan) yang berlebihan, uterus mengalami pembesaran
(peningkatan ukuran). Penderita bisa nampak sehat, walaupun dengan leleran
vulva purulen dan dalam uterusnya tertimbun cairan. Pengaruh endometritis
terhadap fertilitas (pembuahan) adalah dalam jangka pendek,
menurunkan kesuburan, Calving Interval dan S/C naik, sedangkan jangka
panjang menyebabkan sterilitas (kemajiran) karena terjadi perubahan
saluran reproduksi. Faktor predisposisi (pendukung) terjadinya endometritis
adalah distokia, retensi plasenta, musim, kelahiran kembar,
infeksi bakteri serta penyakit metabolit (Noakes, 2001).
Diagnosa
: Kejadian endometritis dapat didiagnosa dengan adanya purulen dari vagina yang
diketahui lewat palpasi rektal. Yang harus diperhatikan pada saat palpasi dan
pemeriksaan vaginal meliputi ukuran uterus, ketebalan dinding uterus dan
keberadaan cairan beserta warna, bau dan konsistensinya. Sejarah tentang trauma
kelahiran, distokia, retensi plasenta atau vagina purulenta saat periode
postpartus dapat membantu diagnosa endometritis. Pengamatan oleh inseminator
untuk memastikan adanya pus, mengindikasikan keradangan pada uterus (Noakes, 2001).
Diagnosa lebih lanjut seperti
pemeriksaan vaginal dan biopsi mungkin diperlukan. Pemeriksaan mikroskopis dari
jaringan biopsi akan tampak adanya peradangan
akut atau kronik pada dinding uterus. Pemeriksaan biopsi uterin dapat
untuk memastikan terjadinya endometritis dan adanya organisme di dalam uterus.
Tampak daerah keradangan menunjukkan terutama neutrofil granulocyte dan dikelilingi
jaringan nekrosis dengan koloni coccus (Noakes, 2001).
Prognosa
: Endometritis dianggap menyebabkan subfertil dan infertilitas. Infertilitas
yang terjadi dapat berupa matinya embrio yang masih muda karena pengaruh
mikroorganisme sendiri atau terganggunya perlekatan embrio pada dinding uterus
(kegagalan implantasi) (Hardjopranjoto, 1995).
Terapi
:
Antibiotik lokal atau sistemik Oksitetrasiklin 500-1500 mg dengan pemakaian
maksimal 3-6 gr Intra Uterine. Neomisin 500-1000 mg. Terapi hormon yaitu
Prostaglandin secara parenteral atau analog dan estrogen. Penanganannya dengan injeksi
antibiotik, hormon (PGF2α) dan irigasi atau pemasukan antiseptik intra uterina (Hardjopranjoto,
1995).
4.
Metritis
Metritis adalah peradangan yang terjadi
pada beberapa lapisan uterus yang biasanya menyerang endometrium hingga
miometrium. Metritis erat hubunganya dengan inersia uterina, retensi plasenta,
dan berkembang dalam waktu 2 minggu setelah kelahiran. Metritis juga dapat
bersifat akut yang biasanya menimbulkan berbagai gejala klinis yang jelas atau
disebut juga sebagai metritis klinis. Metritis yang bersifat kronis biasanya
disertai dengan pembentukan jaringan ikat pada endometrium sehingga tidak
fungsional lagi metritis ini sering disebut dengan metritis sklerotik (Hardjopranjoto,
1995).
Etiologi
: Metritis dapat terjadi karena penanganan kelahiran yang tidak steril,
laserasi akibat distokia, kurangnya nutrisi sehingga terjadi gangguan hormonal
yang menyebabkan system kekebalan pada uterus terganggu. Dapat juga disebabkan
oleh kontaminasi bakteri mial coliform,
Actinomyces pyogens, Pseudomonas aeroginosa, Streptococcus sp, Staphylococcus
sp (Quinn, 2001).
Patogenesis
: Infeksi microbial yang ditandai dengan terjadinya keradangan, akan dibarengi dengan
terjadinya vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vascular, pergerakan protein
serum menuju lumen uterus dan produksi cairan uterus. Efek ini adalah karena
aktivasi mast cell, basofil dan eosinofil yang melepaskan molekul vasoactive.
Selama terjadinya infeksi pada uterus ini, physical clearance dari mikroorganisme
akibat gerakan cairan keradangan dari cervix dan vulva merupakan mekanisme yang
penting guna menurunkan kejadian infeksinya. Saluran reproduksi juga mensekresi
protein yang berperan dalam penekanan pertumbuhan bakteri. Hal ini meliputi lactoferrin
yang teridentifikasi, ditemukan dalam cairan uterus pada sapi (Noakes, 2001).
Gejala
Klinis : Secara klinis gejala metritis bervariasi tergantung dari jumlah dan virulensi
mikroorganisme penyebabnya. Penderita mungkin menunjukkan gejala septikemia,
termasuk depresi, anoreksia, tidak mampu berdiri, dan penurunan produksi susu.
Leleran vulva bervariasi dari lender putih keruh sampai leleran melimpah
berwarna merah hitam dan berbau busuk. Palpasi lewat rectum menunjukkan uterus
membesar dan atoni (Noakes, 2001).
Diagnosa
:
Diagnosis dapat dilakukan dengan melihat leleran dari vulva. Normal lochia
coklat kemerahan sampai putih dan tidak berbau busuk. Sementara jika terjadi
infeksi maka lelerannya akan berbau busuk dan berair. Gejala klinis yang tampak
seperti depresi, anoreksia, dehidrasi, dan penurunan produksi susu. Beberapa
hewan, khususnya sapi ptotng biasanya terjadi perubahan pada uterus tetapi
tidak menunjukkan gejala septicaemia
Palpasi rectal akan menunjukkan adanya
cairan yang mengisis uterus dengan tonus rumen yang lemah (Noakes, 2001).
Terapi
:
Pada metritis puerpuralis
sebelum dilakukan terapi, terlebih dahulu dilakukan pengeluaran plasenta yang
masih retensi. Pemberian injeksi intravena hormone oksitosin 10 ml. dan untuk
mensesitifsasi uterus terlebih dahulu diberi hormone esterogen dalam bentuk
stilbestrol sebanyak 10-15 mg, pemberian kedua hormone ini bertujuan untuk
memicu involusi uterus. Untuk mengatasi bakteri yang tersisa dilakukan
pemberian infuse 1 juta penicillin dan 1 gram streptomycin dalam 40 ml larutan
fisiologis secara intra uterine terapi ini dilakukan 7-14 hari post partus
hingga leleran lochia kembali normal (Noakes, 2001).
5.
Pyometra
Piometra
pada sapi didefinisikan sebagai pengumpulan sejumlah eksudat purulen dalam
lumen uterus dan adanya persistensi korpus luteum pada salah satu
ovariumnya
Etiologi
:
Piometra
berkembang pada sapi yang mengalami ovulasi sebelum organisme yang menginfeksi
uterus dalam periode pasca beranak dieleminasi oleh mekanisme pertahanan
normal. Korpus luteum mengalami persistensi mungkin karena adanya isi uterus
abnormal, menyebabkan hambatan pembebasan prostalglandin dari endometrium, atau
menahan prostaglandin dalam lumen uterus. Uterus ada dalam pengaruh
progesterone yang cukup lama, sehingga aktivitas fagositik dari neutrofil uterus
akan ditekan dan akibatnya infeksi bakteri tetap ada dalam uterus
(Noakes, 2001).
Patogenesis
: Pyometra adalah hasil dari pengaruh hormonal yang menurunkan ketahanan
tubuh normal terhadap infeksi. Progesteron juga menghambat respon sel darah putih terhadap
infeksi bakteri menyebabkan hanya sedikit leukosit-leukosit yang tiba
di dalam mucossa saluran genital dan menyebabkan infeksi uterus mudah terjadi.
Bakteri yang secara normal ada dalam uterus maupun yang berasal dari luar tubuh
kemudian pindah dari vagina ke uterus melalui aliran darah berkembang biak
diantara glandula uterina dan lumen. Jika bakteri tersebut sangat virulen, sel
darah putih (leukosit) tidak bisa membunuhnya. Leukosit akan mati dan
terakumulasi sebagai nanah / pus. Nanah dan
sekresi kelenjar uterin yang
tertimbun di dalam uterus tidak dapat dikeluarkan karena kadar progesteron yang
tinggi mengakibatkan negatif feedback (efek negatif) pada kelenjar pituitaria
anterior sehingga kadar esterogen rendah dan kontraksi uterus berkurang. Hal
ini dibuktikan dengan ditemukannya korpus luteum dan kista-kista folikel pada
ovarium hewan yang menderita pyometra (Noakes, 2001).
Gejala
Klinis : Umumnya
gejala yang tampak adalah adanya leleran vagina purulen
(kekuningan), anestrus, karena
adanya korpus luteum persisten. Pembesaran uterus dibedakan dari kebuntingan
muda dengan sifat cairan dalam uterus dan ketebalan dinding uterus. Cairan fetus lebih pekat dari endometritis
dan dinding uterus lebih tebal (Noakes, 2001).
Diagnosa
:
Pada pemeriksaan fisik, sapi
yang mengalami pyometra akan menunjukkan pembesaran perut yang simetris. Hal
ini terjadi karena nanah yang tertimbun dalam uterus akan mengisi kedua kornu.
Badan kelihatan kurus dengan bulu yang kusam. Pada saat sapi berbaring, akan
keluar kotoran berupa nanah dari lubang vagina. Hasil eksplorasi rektal
menunjukkan bahwa penyebab pembesaran perut yang simetris pada pyometra adalah
karena nanah mengisi kedua kornu uterus. Mukosa uterus terasa lebih tebal dari
normal, dan jika uterus ditekan akan berfluktuasi karena ada tekanan balik dari
cairan dalam uterus. Tidak ditemukannya karunkula, arteri uterina mediana tidak
teraba dan tidak ditemukannya fetus dalam uterus (Hardjopranjoto, 1995).
Terapi
: Pemberian
Oxytocin bertujuan untuk menimbulkan kontraksi uterus sehingga cairan di uterus
bergerak keluar. Lalu Prostaglandin menyebabkan luteolisis, kontraksi
miometrium, relaksasi servix, dan pengeluaran eksudat uterus. Setelah itu baru
diberikan antibiotik (Hardjopranjoto, 1995).
Pemberian
preparat estrogen atau sintesisnya bertujuan untuk mendorong terjadinya
kontraksi uterus dan pembukaan cerviks. Untuk itu diberikan Dietil stilbestrol
(larutan dalam minyak mengandung 10 mg/ml). Pada hewan besar seperti sapi
diberikan 50-100mg secara intramuskuler diulang 4 hari sekali. Obat lain yang
dapat dipakai adalah Hypophysin yang didalamnya mengandung oksitosin, diberikan
sebanyak 60-100 IU atau 3-5 ml secara intramuskuler atau subcutan. Pengobatan
ini mengakibatkan kontraksi dinding uterus dan membuka cerviks diikuti
keluarnya nanah dan terjadi involusi uterus (Hardjopranjoto, 1995).
Irigasi ke dalam saluran uterus dapat dilakukan dengan larutan yodium
1-2%, kadang-kadang dapat memberikan hasil yang cukup baik dalam usaha
mengeluarkan nanah dari uterus. Stimulasi pada uterus dapat dilakukan dengan
cairan antiseptik seperti larutan lugol sebanyak 2,5 ml yang dicampur ke dalam
250 ml aquades. Larutan ini diberikan untuk irigasi dalam uterus (Hardjopranjoto,
1995).
Beberapa
macam antibiotika dapat dipakai sebagai obat pilihan untuk membunuh bakteri
penyebab endometritis kronis disertai pyometra. Pemberian setiap hari secara
intrauterin penisilin bersama streptomisin, dengan dosis Penisilin G 1000 000
IU dan Dehidrostreptomisin 1000 mg dilarutkan dalm 40 ml aquades, diulangi
selama beberapa hari, atau Oksitetrasiklin (teramisin) dengan dosis 100 mg
dilarutkan ke dalam 50-100 ml NaCl fisiologis, dapat dilakukan dengan cara
dimasukkan ke dalam uterus melalui kateter. Obat yang lain adalah Nitrofurosone
atau Furosin dapat diberikan larutan 0,2 % sebanyak 20-60 ml ke dalam rongga
uterus (Hardjopranjoto,
1995).
6. Salphingitis
Etiologi
: Merupakan
radang pada oviduk. biasanya merupakan kelanjutan dari oophoritis atau dari endometritis kronis,
metritis, pyometra.
Patogenesis : kasus abortus, retensi plasenta,
distokia yang
penanganannya
kurang steril dan manajemen pasca tindakan yang kurang baik menyebabkan infeksi, terjadi metritis, ada penimbunan pus dan terjadi aliran pus ke arah
anterior sehingga terjadi
infeksi pada oviduk menyebabkan
salphingitis (unilateral/bilateral).
Gejala
Klinis :
Gejala
klinis yang terjadi akibat radang ini adalah tidak terjadinya kebuntingan. Terjadinya
adhesi dinding oviduk menyebabkan
penyumbatan sehingga terjadi
akumulasi cairan (hidrosalping).
Terjadi
kerusakan epitel-epitel oviduk dan penyumbatan oviduk akan menghalangi sperma dan ovum sehingga fertilisasi tidak
terjadi.
Diagnosa : Pada pemeriksaan perektal jika
hanya mengalami salphingitis saja sangat sulit dilakukan, karena oviduk yang
sangat kecil. Namun jika diikuti dengan hidrosalphing ataupun pyosalphing maka
memudahkan dalam pemeriksaan perektal (Hardjopranjoto, 1995 ; Subronto, 2004).
7.
Oophoritis
Etiologi
: Bisa
disebabkan karena trauma akibat enukleasi corpus luteum manual yang salah,
akibat brucelosis, tuberculosis dan juga bisa karena perluasan infeksi dari
oviduk dan uterus.
Gejala Klinis
: Gejala
klinis yang terjadi akibat radang ini adalah tidak terjadinya estrus. Oophoritis bisa menyebabkan
terjadinya adhesi atau
perlekatan baik ovarium-oviduk maupun ovarum-uterus. Selain itu juga
menyebabkan tidak terjadinya pertumbuhan folikel.
Diagnosa
: Pada
pemeriksaan perektal ovarium mengalami adhesi, ovarium teraba tidak adanya
folikel yang tumbuh, sapi dapat mengalami kesakitan saat dipalpasi, dan bisa
juga ditemukan salphingitis (Arthur,
2001 ;
Hardjopranjoto, 1995).
DAFTAR
PUSTAKA
Hardjopranjoto, H. S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak.
Surabaya : Airlangga
University Press
Noakes. 2001. Arthur’s Veterinary Reproduction and Obstetrics 8th edition.
Philadelphia : Saunders
Elsevier
Quinn, P.J., 2001. Veterinary Microbiology and Microbial
Disease. Philadelphia : Blackwell
Smith, B. P. 2009. Large Animal Internal Medicine 4th edition. New York : Mosby Elsevier
Subronto. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
No comments:
Post a Comment