Tuesday, 18 March 2014

BLOK 16 UP 5



Mengetahui dan memahami penyakit infeksius pada organ reproduksi betina meliputi etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, terapi dan pencegahan.


PEMBAHASAN
1.    Vaginitis
Vaginitis merupakan peradangan pada vagina, biasanya sebagai penjalaran dari metritis dan pneumovagina atau dapat disebabkan oleh tindakan penanganan masalah reproduksi yang tidak tepat seperti tarikan paksa/ fetotomi (Subronto, 2004).
Etiologi : Penyebab vaginitis lainnya seperti viral IBR-IPV dan penyakit-penyakit kelamin. Tanda-tanda vaginitis bervariasi, mulai dari leleran lender keruh dan hiperemi mukosa vagina sampai nekrosis mukosa vagina disertai pengejanan terus-menerus dan septicemia (Subronto, 2004).
Patogenesis : Peregangan dari vulva ataupun laserasi pada daerah perineum, letak anus dan vulva yang terlalu sejajar, atropi bibir vulva akibat pneumovagina akan mempermudah kontaminasi vagina oleh feses, urin, dan udara luar yang membawa agen infeksi. Vaginitis juga dapat terjadi setelah koitus walaupun sifatnya ringan, vaginitis juga dapat terjadi akibat perlakuan vagina dengan zat-zat yang mengiritasi dan pemeriksaan vagina yang tidak mengikuti kaidah sanitasi (Subronto, 1995).
Gejala Klinis : Tanda-tanda vaginitis bervariasi, mulai dari leleran lendir keruh dan hiperemia mukosa (mukosa kemerahan) vagina sampai nekrosis mukosa (kematian jaringan mukosa) vagina disertai pengejanan terus - menerus dan septikemia (Hardjopranjoto, 1995).
Diagnosa : dilakukan dengan melihat gejala klinis, kemudian dengan palpasi perektal, dan pemeriksaan vagina dengan vaginoskop (Hardjopranjoto, 1995).
Terapi : Penanganan kasus vaginitis ini ditujukan untuk menghilangkan iritasi, menghentikan pengejanan dengan anastesi epidural, koreksi operatif dari defek vulva dan urovagina serta pengobatan antibiotik sistemik. irigasi larutan antiseptis seperti lugol, povidon iodine. Pemberian antibiotik dapat dilakukan dengan preparasi penicillin bubuk 500.000 IU dalam 100 ml aquades dimasukan ke dalam vagina mengguanakan cateter (Hardjopranjoto, 1995)..

2.      Cervicitis
Etiologi : Servisitis adalah peradangan serviks. Servisitis biasanya menyertai metritis atau akibat infeksi kronis yang berhubungan dengan pneumovagina dan urovagina. Servisitis juga dapat terjadi akibat pemasukkan instrument yang kurang tepat ke dalam serviks.
Gejala Klinis : Gejala klinis servisitis dapat dilihat dengan spikulum vagina, berupa pembengkakan dan edema os eksterna serviks, hiperemi mukosa, dan adanya eksudat purulen dalam serviks dan vagina. Iritasi kronis dan keras pada serviks oleh zat kimia kaustik atau bakteria akan mengakibatkan fibrosis dan stenosis serviks dan menyebabkan infertilitas pada sapi yang tidak bunting dan distokia obstruksi berat pada saat beranak.
Terapi : Penanganan servisitis harus ditujukan untuk penyingkiran penyebab iritasi. Kesembuhan spontan mungkin dapat terjadi setelah beberapa saat istirahat kelamin. Kasus servicitis yang berhubungan dengan metritis biasanya responsif terhadap pengobatan primernya, sedangkan oleh pneumovagina dan urovagina perlu ditangani dengan tindakan operasi, episioplasty atau urethropasty (Hardjopranjoto, 1995 ; Subronto, 2004).

3.    Endometritis
Etiologi : Merupakan peradangan pada endometrium (dinding rahim). Uterus (rahim)  sapi biasanya terkontaminasi dengan berbagai mikroorganisme (bakteri) selama masa puerpurium. Endometritis terjadi karena kelanjutan dari kelahiran yang tidak normal, seperti abortus, retensi sekundinarum, kelahiran prematur, kelahiran kembar, keahiran yang sukar (distokia), perlukaan yang disebabkan oleh alat-alat yang dipergunakan untuk pertolongan pada kelahiran yang sukar (Hardjopranjoto,1995). Endometritis dapat terjadi juga pada induk sapi setelah perkawinan alami dengan pejantan yang menderita penyakit menular kelamin seperti brucelosis, trichomoniasis, vibriosis, dll. Pada pelaksanaan inseminasi buatan yang dilakukan intra uterine pada sapi betina, mempunyai resiko untuk terjadinya endometritis, karena adanya bakteri yang terbawa oleh alat insaminasi atau dalam semen masih tercemar oleh kuman kemudian dapat menulari uterus. Streptococcus, Staphylococcus, E.coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Corynobacterium pyogenes adalah bakteri nonspesifik yang terdapat secara non pathogen di mana-mana dan sering menginfeksi uterus. Berat tidaknya endometritis yang diserita tergantung pada keganasan bakteri yang menularinya, banyaknya bakteri, dan ketahanan tubuh penderita (Hardjopranjoto,1995).
Patogenesis : Agen infeksi biasanya masuk ke dalam uterus melalui vagina pada saat coitus, inseminasi buatan, partus, dan atau postpartus, walaupun memugkinkan juga pada suatu keadaan agen infeksi berasal dari sirkulasi. Pada kebanyakan kasus, agen infeksi tersebut berasal dari kontaminasi uterus postpartus tetapi biasanya flora tersebut akan segera dihilangkan (Noakes, 2001).
Flora tersebut akan tetap tinggal di uterus, sehingga menyebabkan peradangan pada endometrium. Tingkat kontaminasi bakteri pada uterus sangat menentukan terjadi endometritis atau tidak. Patogenesis penyakit ini sangat berhubungan dengan faktor-faktor yang berkaitan dengan kemampuan tubuh hospes untuk mengeliminasi flora tersebut, daripada faktor dari bakteri-bakteri sendiri (Noakes, 2001).
Gejalan Klinis : leleran berwarna jernih keputihan sampai purulen (kekuningan) yang berlebihan, uterus mengalami pembesaran (peningkatan ukuran). Penderita bisa nampak sehat, walaupun dengan leleran vulva purulen dan dalam uterusnya tertimbun cairan. Pengaruh endometritis terhadap fertilitas (pembuahan) adalah dalam jangka pendek, menurunkan kesuburan, Calving Interval dan S/C naik, sedangkan jangka panjang menyebabkan sterilitas (kemajiran) karena terjadi perubahan saluran reproduksi. Faktor predisposisi (pendukung) terjadinya endometritis adalah distokia, retensi plasenta, musim, kelahiran kembar, infeksi bakteri serta penyakit metabolit (Noakes, 2001).
Diagnosa : Kejadian endometritis dapat didiagnosa dengan adanya purulen dari vagina yang diketahui lewat palpasi rektal. Yang harus diperhatikan pada saat palpasi dan pemeriksaan vaginal meliputi ukuran uterus, ketebalan dinding uterus dan keberadaan cairan beserta warna, bau dan konsistensinya. Sejarah tentang trauma kelahiran, distokia, retensi plasenta atau vagina purulenta saat periode postpartus dapat membantu diagnosa endometritis. Pengamatan oleh inseminator untuk memastikan adanya pus, mengindikasikan keradangan pada uterus (Noakes, 2001).
Diagnosa lebih lanjut seperti pemeriksaan vaginal dan biopsi mungkin diperlukan. Pemeriksaan mikroskopis dari jaringan biopsi akan tampak adanya peradangan  akut atau kronik pada dinding uterus. Pemeriksaan biopsi uterin dapat untuk memastikan terjadinya endometritis dan adanya organisme di dalam uterus. Tampak daerah keradangan menunjukkan terutama neutrofil granulocyte dan dikelilingi jaringan nekrosis dengan koloni coccus (Noakes, 2001).
Prognosa : Endometritis dianggap menyebabkan subfertil dan infertilitas. Infertilitas yang terjadi dapat berupa matinya embrio yang masih muda karena pengaruh mikroorganisme sendiri atau terganggunya perlekatan embrio pada dinding uterus (kegagalan implantasi) (Hardjopranjoto, 1995).
Terapi : Antibiotik lokal atau sistemik Oksitetrasiklin 500-1500 mg dengan pemakaian maksimal 3-6 gr Intra Uterine. Neomisin 500-1000 mg. Terapi hormon yaitu Prostaglandin secara parenteral atau analog dan estrogen. Penanganannya dengan injeksi antibiotik, hormon (PGF2α) dan irigasi atau pemasukan antiseptik intra uterina (Hardjopranjoto, 1995).

4.    Metritis
Metritis adalah peradangan yang terjadi pada beberapa lapisan uterus yang biasanya menyerang endometrium hingga miometrium. Metritis erat hubunganya dengan inersia uterina, retensi plasenta, dan berkembang dalam waktu 2 minggu setelah kelahiran. Metritis juga dapat bersifat akut yang biasanya menimbulkan berbagai gejala klinis yang jelas atau disebut juga sebagai metritis klinis. Metritis yang bersifat kronis biasanya disertai dengan pembentukan jaringan ikat pada endometrium sehingga tidak fungsional lagi metritis ini sering disebut dengan metritis sklerotik (Hardjopranjoto, 1995).
Etiologi : Metritis dapat terjadi karena penanganan kelahiran yang tidak steril, laserasi akibat distokia, kurangnya nutrisi sehingga terjadi gangguan hormonal yang menyebabkan system kekebalan pada uterus terganggu. Dapat juga disebabkan oleh kontaminasi bakteri mial coliform, Actinomyces pyogens, Pseudomonas aeroginosa, Streptococcus sp, Staphylococcus sp (Quinn, 2001).
Patogenesis : Infeksi microbial yang ditandai dengan terjadinya keradangan, akan dibarengi dengan terjadinya vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vascular, pergerakan protein serum menuju lumen uterus dan produksi cairan uterus. Efek ini adalah karena aktivasi mast cell, basofil dan eosinofil yang melepaskan molekul vasoactive. Selama terjadinya infeksi pada uterus ini, physical clearance dari mikroorganisme akibat gerakan cairan keradangan dari cervix dan vulva merupakan mekanisme yang penting guna menurunkan kejadian infeksinya. Saluran reproduksi juga mensekresi protein yang berperan dalam penekanan pertumbuhan bakteri. Hal ini meliputi lactoferrin yang teridentifikasi, ditemukan dalam cairan uterus pada sapi (Noakes, 2001).
Gejala Klinis :  Secara klinis gejala metritis bervariasi  tergantung dari jumlah dan virulensi mikroorganisme penyebabnya. Penderita mungkin menunjukkan gejala septikemia, termasuk depresi, anoreksia, tidak mampu berdiri, dan penurunan produksi susu. Leleran vulva bervariasi dari lender putih keruh sampai leleran melimpah berwarna merah hitam dan berbau busuk. Palpasi lewat rectum menunjukkan uterus membesar dan atoni (Noakes, 2001).
Diagnosa : Diagnosis dapat dilakukan dengan melihat leleran dari vulva. Normal lochia coklat kemerahan sampai putih dan tidak berbau busuk. Sementara jika terjadi infeksi maka lelerannya akan berbau busuk dan berair. Gejala klinis yang tampak seperti depresi, anoreksia, dehidrasi, dan penurunan produksi susu. Beberapa hewan, khususnya sapi ptotng biasanya terjadi perubahan pada uterus tetapi tidak menunjukkan gejala septicaemia
Palpasi rectal akan menunjukkan adanya cairan yang mengisis uterus dengan tonus rumen yang lemah (Noakes, 2001).
Terapi : Pada metritis puerpuralis sebelum dilakukan terapi, terlebih dahulu dilakukan pengeluaran plasenta yang masih retensi. Pemberian injeksi intravena hormone oksitosin 10 ml. dan untuk mensesitifsasi uterus terlebih dahulu diberi hormone esterogen dalam bentuk stilbestrol sebanyak 10-15 mg, pemberian kedua hormone ini bertujuan untuk memicu involusi uterus. Untuk mengatasi bakteri yang tersisa dilakukan pemberian infuse 1 juta penicillin dan 1 gram streptomycin dalam 40 ml larutan fisiologis secara intra uterine terapi ini dilakukan 7-14 hari post partus hingga leleran lochia kembali normal (Noakes, 2001).

5.    Pyometra
Piometra pada sapi didefinisikan sebagai pengumpulan sejumlah eksudat purulen dalam lumen uterus dan adanya persistensi korpus luteum pada salah satu ovariumnya
Etiologi : Piometra berkembang pada sapi yang mengalami ovulasi sebelum organisme yang menginfeksi uterus dalam periode pasca beranak dieleminasi oleh mekanisme pertahanan normal. Korpus luteum mengalami persistensi mungkin karena adanya isi uterus abnormal, menyebabkan hambatan pembebasan prostalglandin dari endometrium, atau menahan prostaglandin dalam lumen uterus. Uterus ada dalam pengaruh progesterone yang cukup lama, sehingga aktivitas fagositik dari neutrofil uterus akan ditekan dan akibatnya infeksi bakteri tetap ada dalam uterus (Noakes, 2001).
Patogenesis :  Pyometra adalah hasil dari pengaruh hormonal yang menurunkan ketahanan tubuh normal terhadap infeksi. Progesteron juga menghambat respon sel darah putih terhadap infeksi bakteri menyebabkan hanya sedikit leukosit-leukosit yang tiba di dalam mucossa saluran genital dan menyebabkan infeksi uterus mudah terjadi. Bakteri yang secara normal ada dalam uterus maupun yang berasal dari luar tubuh kemudian pindah dari vagina ke uterus melalui aliran darah berkembang biak diantara glandula uterina dan lumen. Jika bakteri tersebut sangat virulen, sel darah putih (leukosit) tidak bisa membunuhnya. Leukosit akan mati dan terakumulasi sebagai nanah / pus. Nanah dan sekresi kelenjar uterin yang tertimbun di dalam uterus tidak dapat dikeluarkan karena kadar progesteron yang tinggi mengakibatkan negatif feedback (efek negatif) pada kelenjar pituitaria anterior sehingga kadar esterogen rendah dan kontraksi uterus berkurang. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya korpus luteum dan kista-kista folikel pada ovarium hewan yang menderita pyometra (Noakes, 2001).
Gejala Klinis : Umumnya gejala yang tampak adalah adanya leleran vagina purulen (kekuningan), anestrus, karena adanya korpus luteum persisten. Pembesaran uterus dibedakan dari kebuntingan muda dengan sifat cairan dalam uterus dan ketebalan dinding uterus.  Cairan fetus lebih pekat dari endometritis dan dinding uterus lebih tebal (Noakes, 2001).
Diagnosa : Pada pemeriksaan fisik, sapi yang mengalami pyometra akan menunjukkan pembesaran perut yang simetris. Hal ini terjadi karena nanah yang tertimbun dalam uterus akan mengisi kedua kornu. Badan kelihatan kurus dengan bulu yang kusam. Pada saat sapi berbaring, akan keluar kotoran berupa nanah dari lubang vagina. Hasil eksplorasi rektal menunjukkan bahwa penyebab pembesaran perut yang simetris pada pyometra adalah karena nanah mengisi kedua kornu uterus. Mukosa uterus terasa lebih tebal dari normal, dan jika uterus ditekan akan berfluktuasi karena ada tekanan balik dari cairan dalam uterus. Tidak ditemukannya karunkula, arteri uterina mediana tidak teraba dan tidak ditemukannya fetus dalam uterus (Hardjopranjoto, 1995).
Terapi : Pemberian Oxytocin bertujuan untuk menimbulkan kontraksi uterus sehingga cairan di uterus bergerak keluar. Lalu Prostaglandin menyebabkan luteolisis, kontraksi miometrium, relaksasi servix, dan pengeluaran eksudat uterus. Setelah itu baru diberikan antibiotik (Hardjopranjoto, 1995).
Pemberian preparat estrogen atau sintesisnya bertujuan untuk mendorong terjadinya kontraksi uterus dan pembukaan cerviks. Untuk itu diberikan Dietil stilbestrol (larutan dalam minyak mengandung 10 mg/ml). Pada hewan besar seperti sapi diberikan 50-100mg secara intramuskuler diulang 4 hari sekali. Obat lain yang dapat dipakai adalah Hypophysin yang didalamnya mengandung oksitosin, diberikan sebanyak 60-100 IU atau 3-5 ml secara intramuskuler atau subcutan. Pengobatan ini mengakibatkan kontraksi dinding uterus dan membuka cerviks diikuti keluarnya nanah dan terjadi involusi uterus (Hardjopranjoto, 1995).
Irigasi ke dalam saluran uterus dapat dilakukan dengan larutan yodium 1-2%, kadang-kadang dapat memberikan hasil yang cukup baik dalam usaha mengeluarkan nanah dari uterus. Stimulasi pada uterus dapat dilakukan dengan cairan antiseptik seperti larutan lugol sebanyak 2,5 ml yang dicampur ke dalam 250 ml aquades. Larutan ini diberikan untuk irigasi dalam uterus (Hardjopranjoto, 1995).
Beberapa macam antibiotika dapat dipakai sebagai obat pilihan untuk membunuh bakteri penyebab endometritis kronis disertai pyometra. Pemberian setiap hari secara intrauterin penisilin bersama streptomisin, dengan dosis Penisilin G 1000 000 IU dan Dehidrostreptomisin 1000 mg dilarutkan dalm 40 ml aquades, diulangi selama beberapa hari, atau Oksitetrasiklin (teramisin) dengan dosis 100 mg dilarutkan ke dalam 50-100 ml NaCl fisiologis, dapat dilakukan dengan cara dimasukkan ke dalam uterus melalui kateter. Obat yang lain adalah Nitrofurosone atau Furosin dapat diberikan larutan 0,2 % sebanyak 20-60 ml ke dalam rongga uterus (Hardjopranjoto, 1995).

6.      Salphingitis
Etiologi : Merupakan radang pada oviduk. biasanya merupakan kelanjutan dari oophoritis atau dari endometritis kronis, metritis, pyometra.
Patogenesis : kasus abortus, retensi plasenta, distokia yang penanganannya kurang steril dan manajemen pasca tindakan yang kurang baik menyebabkan infeksi, terjadi metritis, ada penimbunan pus dan terjadi aliran pus ke arah anterior sehingga terjadi infeksi pada oviduk menyebabkan salphingitis (unilateral/bilateral).
Gejala Klinis : Gejala klinis yang terjadi akibat radang ini adalah tidak terjadinya kebuntingan.  Terjadinya adhesi dinding oviduk menyebabkan penyumbatan sehingga terjadi akumulasi cairan (hidrosalping). Terjadi kerusakan epitel-epitel oviduk dan penyumbatan oviduk akan menghalangi sperma dan ovum sehingga fertilisasi tidak terjadi.
Diagnosa : Pada pemeriksaan perektal jika hanya mengalami salphingitis saja sangat sulit dilakukan, karena oviduk yang sangat kecil. Namun jika diikuti dengan hidrosalphing ataupun pyosalphing maka memudahkan dalam pemeriksaan perektal (Hardjopranjoto, 1995 ; Subronto, 2004).

7.    Oophoritis
Etiologi : Bisa disebabkan karena trauma akibat enukleasi corpus luteum manual yang salah, akibat brucelosis, tuberculosis dan juga bisa karena perluasan infeksi dari oviduk dan uterus.
Gejala Klinis : Gejala klinis yang terjadi akibat radang ini adalah tidak terjadinya estrus. Oophoritis bisa menyebabkan terjadinya adhesi atau perlekatan baik ovarium-oviduk maupun ovarum-uterus. Selain itu juga menyebabkan tidak terjadinya pertumbuhan folikel.
Diagnosa : Pada pemeriksaan perektal ovarium mengalami adhesi, ovarium teraba tidak adanya folikel yang tumbuh, sapi dapat mengalami kesakitan saat dipalpasi, dan bisa juga ditemukan salphingitis (Arthur, 2001 ; Hardjopranjoto, 1995).

DAFTAR PUSTAKA
Hardjopranjoto, H. S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Surabaya : Airlangga University Press
Noakes. 2001. Arthur’s Veterinary Reproduction and Obstetrics 8th edition. Philadelphia : Saunders Elsevier
Quinn, P.J., 2001. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Philadelphia : Blackwell
Smith, B. P. 2009. Large Animal Internal Medicine 4th edition. New York : Mosby Elsevier
Subronto. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press



No comments:

Post a Comment