LEARNING
OBJECTIVE
Mengetahui penyebab, mekanisme, cara pemeriksaan,
penanganan dan pencegahan serta dampak kerugian dari repeat breeding!
PEMBAHASAN
REPEAT
BREEDING
1. Faktor
– Faktor Penyebab Terjadinya Repeat Breeding
|
|
|
|
|
|
|
REPEAT BREEDING
Diagram penyebab repeat breeding ( Sumber: Hafez.E.S.E, 1993)
Repeat breeding
adalah sapi betina yang mempunyai siklus dan periode birahi yang normal yang
sudah dikawinkan 3
kali atau lebih dengan pejantan fertil atau diinseminasi dengan semen pejantan
fertil tetapi tetap belum bunting (Toelihere, 1981).
Repeat breeding sering terjadi pada perkawinan inseminasi
buatan daripada perkawinan alami. Selain itu, lebih sering terjadi pada induk
yang berumur tua dan telah beberapa kali melahirkan. Secara umum, repeat breeding disebabkan oleh kegagalan
pembuahan (Subronto, 2004). Kegagalan pembuahan disebabkan oleh :
a. Kelainan anatomi saluran reproduksi
Yang
lebih sering terjadi adanya penyumbatan pada tuba falopii menyebabkan sel telur
tidak sampai ke tempat pembuahan yaitu sepertiga bagian atas dari tuba falopii
sehingga pembuahan tidak terjadi (Hardjopranjoto,
1995).
b. Kelainan ovulasi
Kelainan
ovulasi dapat menyebabkan sel telur cacat atau belum cukup dewasa sehingga
tidak mampu dibuahi oleh sel sperma. Selain itu, gagalnya folikel de Graff
untuk pecah karena ada gangguan sekresi FSH dan LH, sista folikel, sista
luteal, sista korpora luteal, dan delayed
ovulation (Hardjopranjoto,
1995).
Sista
folikuler. Merupakan sekumpulan folikel yang tidak mengalami
ovulasi disebabkan karena rendahnya hormon LH. Jumlah sista bisa satu atau
lebih pada salah satu ovarium atau keduanya. Gejala sista folikuler adalah
estrus terus menerus (nimfomania) jika sistanya banyak atau anestrus jika
sistanya sedikit dan sifatnya anovulotorik. Pada pemeriksaan per rektal terhadap ovarium akan teraba
permukaan halus, diameter > 2,5 cm, dinding tipis dan jika ditekan ada
fluktuasi. Terapinya dapat dilakukan dengan cara enukleasi dan pemberian
hormone LH atau HCG secara intramuskuler sebanyak 200 IU (Subronto, 2007).
Sista luteal Terbentuk
karena folikel mengalami luteinisasi akibat peningkatan LTH secara mendadak.
Kejadian sista luteal biasanya tunggal pada ovarium dan sering terjadi pada
sapi perah yang produksinya tinggi. Gejala sista luteal adalah tidak
menunjukkan estrus (anestrus) dan sifatnya anvulatorik (tidak mampu
berovulasi). Pada pemeriksaan per rektal
terhadap ovarium teraba diameter > 2,5 cm, permukaan antara ovarium dan
luteal berbatas jelas, dindingnya tebal dan jika ditekan terasa kenyal.
Terapinya dengan pemberian PGF2α atau dengan cara enukleasi terhadap sista
luteal. Dua sampai lima hari setelah pengobatan sapi akan birahi (Smith, 2009).
Sista
korpora luteal. Sista yang terbentuk dari folikel yang
telah berovulasi kemudian mengalami luteinisasi sebagian sehingga ada bagian
tengah yang berongga dan berisi cairan, biasanya tunggal pada salah satu
ovarium. Pada dasarnya kondisi ini mempunyai siklus normal, estrus dan ovulasi
serta fertilisasi dapat terjadi namun kondisi konsepsi tidak dapat dipertahankan
karena progesteron dalam darah rendah. Manifestasi dari sista korpora luteal
ditandai dengan adanya kawin berulang. Pada palpasi per rektal ovarium teraba kenyal jika
ditekan, diameter besar > 2,5 cm dan berdinding tebal. Terapinya dengan
PGF2α jika tidak terjadi kebuntingan (Hardjopranjoto, 1995).
Ovulasi
tertunda merupakan salah satu penyebab infertilitas.
Kejadian ini dapat menyebabkan
perkawinan atau IB tidak tepat waktu sehingga fertilisasi tidak terjadi dan
akhirnya kegagalan kebuntingan. Penyebab ovulasi tertunda bisa karena rendahnya
kadar LH dalam darah atau karena diperpanjangnya masa folikuler. Gejala yang
tampak pada kasus ini adalah terjadinya kawin berulang. Terapi dapat dilakukan
dengan injesi GnRH (100-250 mikrogram Gonadorelin) saat IB (Smith, 2009).
c. Sel telur yang abnormal
Beberapa
bentuk abnormal dari sel telur adalah degenerasi sel telur, zona pellusida yang
rusak, sel telur yang muda, sel telur oval, sel telur berukuran lebih kecil
atau besar, dan lain-lain (Hardjopranjoto,
1995).
d. Sel sperma yang abnormal
Sel
sperma yang mempunyai bentuk yang abnormal menyebabkan kehilangan kemampuan
untuk membuahi sel telur yang disebabkan adanya mikroorganisme atau adanya
radang pada saluran reproduksi, sel sperma terlalu tua akibat terlalu lama
menunggu sel telur sehingga pembuahan tidak terjadi, serta perlakuan yang salah
terhadap sel sperma (Hardjopranjoto,
1995).
e. Kesalahan pengelolaan reproduksi
Salah
satu kesalahan pengelolaan reproduksi dapat berbentuk kurang teliti dalam
deteksi birahi, inseminasi buatan yang dilakukan kurang baik, kurangnya
kandungan pakan yang dibutuhkan, dan kesalahan dalam perlakuan terhadap sel
sperma (Hardjopranjoto, 1995).
2.
Mekanisme Repeat Breeding
3.
Cara Pemeriksaan Repeat Breeding
Diagnosa pada hewan
betina yang menderita kawin berulang dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan
klinis pada alat kelamin betina (pemeriksaan eksplorasi rektal, dengan alat
endoskop, palpasi servik dan vagina), pemeriksaan pada biopsi cairan uterus dan
vagina, pemeriksaan hormon, pemeriksaan sitologi dan laparotomi
(Hardjopranjoto, 1995).
Kemungkinan diagnosa yang tepat hanya
dapat terjadi sesudah melewati beberapa minggu dari saat inseminasi dan
kemungkinan tersebut meninggi danegan bertambahnya waktu. Suatu diagnosa
palpasi rektal yang positif mungkin hanya berlaku pada saat itu karena banyak
faktor, terutama penyakit-penyakit yang menyebabkan abortus, dapat
menginterupsi jalannya kebuntingan yang normal. Jadi, ukuran terakhir yang
pasti mengenai keberhasilan inseminasi hanyalah kelahiran anak yang sehat (Hardjopranjoto, 1995).
4.
Penanganan dan Pencegahan Repeat Breeding
Terapi
Terapi pada sapi yang
menderita kawin berulang bertujuan untuk meningkatkan angka kebuntingan. Induk
yang menderita penyakit karena adanya kuman pada saluran alat kelamin maka
dilakukan pengobatan dengan memberikan larutan antibiotika yang sesuai dan
diistirahatkan sampai sembuh, baru dilakukan perkawinan dengan inseminasi
buatan. Bila karena indikasi ketidakseimbangan hormon reproduksi dapat
ditingkatkan dengan pemberian GnRH dengan dosis 100-250 mikrogram pada saat
inseminasi (Hardjopranjoto, 1995). Bila ovulasi tertunda dapat diterapi dengan
LH (500 IU).
Peningkatan kualitas pakan dan manajemen peternakan, serta pengelolaan
reproduksi yang baik (Arthur, 2001).
Pencegahan
a. Analisis
recording meliputi human, bull/semen, lingkungan dan faktor sapi.
b. Catatan
performa reproduksi ternak dianalisis secara teratur dan kecelakaan repeat
breeding dapat terdeteksi.
c. Faktor
manajemen meliputi peningkatan efisiensi dan akurasi deteksi estrus,
menggunakan inseminasi waktu tetap, dan inseminasi berkala.
d. Faktor
sapi meliputi
1) Kasus
individual harus diperiksa dengan ultrasonografi saluran reproduksi dan
sitologi uterin untuk akurasi diagnosa.
2) Eliminasi
penyebab individual.
3) Menentukan
penyebab infeksi uterine dan membuat alur pencegahan
4) Identifikasi
awal dan perawatan infeksi uterine
e. Faktor
semen/bull dengan cara
1) Menggunakan
semen dari bull fertilitas tinggi
2) Menggunakan
double dosis
3) Menggunakan
inseminasi cornu uteri
4) Melaksanakan
BSE
f. Faktor
lingkungan
1) Menggunakan
sistem
pendinginan selama musim panas
2) Menurunkan
insiden infeksi uterine dengan meningkatkan kondisi partus
(Subronto, 2007)
5.
Dampak Kerugian Repeat Breeding
Dampak dari repeat breeding adalah efisiensi pemeliharaan
ternak yang rendah, hal ini dapat dikarenakan:
-
Biaya
pemeliharaan induk sapi lebih mahal
-
Biaya
terapi dan penanganan cukup merugikan
-
Calving
interval lebih panjang
-
S/C
lebih tinggi
-
Calving
rate rendah
-
NR
rendah
-
ZBanyak indukan yang umurnya belum terlalu tua harus diafkir
DAFTAR
PUSTAKA
Arthur. 2001. Veterinary Reproduction
And Obstetrics 8th edition. Philadelphia : W.B. Saunders
Hafez, E.S.E, 1993, Reproduction
Failure in Females, 6 th Edition, LEA And Febiger, Philadelphia, pp: 267,
271.
Hardjopranjoto,S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Surabaya : Airlangga University Press
Smith,
B. P. 2009. Large Animal Internal
Medicine 4th edition. New York : Mosby Elsevier
Subronto. 2007. Ilmu
Penyakit Ternak II. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Toelihere, M.R. 1981. Ilmu
Kemajiran Pada Ternak Sapi Edisi Pertama. Bandung : Penerbit
Angkasa
No comments:
Post a Comment