Monday, 24 March 2014

BLOK 16 UP 6




LEARNING OBJECTIVE
Mengetahui penyebab, mekanisme, cara pemeriksaan, penanganan dan pencegahan serta dampak kerugian dari repeat breeding!


PEMBAHASAN
REPEAT BREEDING
1.    Faktor – Faktor Penyebab Terjadinya Repeat Breeding
REPEAT BREEDING
INSEMINASI BUATAN
KUALITAS SEMEN
TEHNIK INSEMINASI
Deteksi birahi
Waktu inseminasi

 
LINGKUNGAN
KELEMBABAN TINGGI
TEMPERATURE TINGGI
nutrisi & perkandangan
 
UTERUS
INFEKSI
PERUBAHAN BIOKIMIA
 
GENETIK
HEREDITAS
DEFEK KROMOSOM
inbreeding
 
KEGAGALAN FERTILISASI DAN KEMATIAN EMBRIO
 
FUNGSI OVARIUM
DELAYED OVULATION
DEFISIENSI PROGESTERON
 
\





                                       














 REPEAT BREEDING                    
                           Diagram penyebab repeat breeding ( Sumber: Hafez.E.S.E, 1993)        

Repeat breeding adalah sapi betina yang mempunyai siklus dan periode birahi yang normal yang sudah dikawinkan 3 kali atau lebih dengan pejantan fertil atau diinseminasi dengan semen pejantan fertil tetapi tetap belum bunting (Toelihere, 1981).
Repeat breeding sering terjadi pada perkawinan inseminasi buatan daripada perkawinan alami. Selain itu, lebih sering terjadi pada induk yang berumur tua dan telah beberapa kali melahirkan. Secara umum, repeat breeding disebabkan oleh kegagalan pembuahan (Subronto, 2004). Kegagalan pembuahan disebabkan oleh :
a.    Kelainan anatomi saluran reproduksi
Yang lebih sering terjadi adanya penyumbatan pada tuba falopii menyebabkan sel telur tidak sampai ke tempat pembuahan yaitu sepertiga bagian atas dari tuba falopii sehingga pembuahan tidak terjadi (Hardjopranjoto, 1995).
b.   Kelainan ovulasi
Kelainan ovulasi dapat menyebabkan sel telur cacat atau belum cukup dewasa sehingga tidak mampu dibuahi oleh sel sperma. Selain itu, gagalnya folikel de Graff untuk pecah karena ada gangguan sekresi FSH dan LH, sista folikel, sista luteal, sista korpora luteal, dan delayed ovulation (Hardjopranjoto, 1995).
Sista folikuler. Merupakan sekumpulan folikel yang tidak mengalami ovulasi disebabkan karena rendahnya hormon LH. Jumlah sista bisa satu atau lebih pada salah satu ovarium atau keduanya. Gejala sista folikuler adalah estrus terus menerus (nimfomania) jika sistanya banyak atau anestrus jika sistanya sedikit dan sifatnya anovulotorik. Pada pemeriksaan per rektal terhadap ovarium akan teraba permukaan halus, diameter > 2,5 cm, dinding tipis dan jika ditekan ada fluktuasi. Terapinya dapat dilakukan dengan cara enukleasi dan pemberian hormone LH atau HCG secara intramuskuler sebanyak 200 IU (Subronto, 2007).
 Sista luteal Terbentuk karena folikel mengalami luteinisasi akibat peningkatan LTH secara mendadak. Kejadian sista luteal biasanya tunggal pada ovarium dan sering terjadi pada sapi perah yang produksinya tinggi. Gejala sista luteal adalah tidak menunjukkan estrus (anestrus) dan sifatnya anvulatorik (tidak mampu berovulasi). Pada pemeriksaan per rektal terhadap ovarium teraba diameter > 2,5 cm, permukaan antara ovarium dan luteal berbatas jelas, dindingnya tebal dan jika ditekan terasa kenyal. Terapinya dengan pemberian PGF2α atau dengan cara enukleasi terhadap sista luteal. Dua sampai lima hari setelah pengobatan sapi akan birahi (Smith, 2009).
Sista korpora luteal. Sista yang terbentuk dari folikel yang telah berovulasi kemudian mengalami luteinisasi sebagian sehingga ada bagian tengah yang berongga dan berisi cairan, biasanya tunggal pada salah satu ovarium. Pada dasarnya kondisi ini mempunyai siklus normal, estrus dan ovulasi serta fertilisasi dapat terjadi namun kondisi konsepsi tidak dapat dipertahankan karena progesteron dalam darah rendah. Manifestasi dari sista korpora luteal ditandai dengan adanya kawin berulang. Pada palpasi per rektal ovarium teraba kenyal jika ditekan, diameter besar > 2,5 cm dan berdinding tebal. Terapinya dengan PGF2α jika tidak terjadi kebuntingan (Hardjopranjoto, 1995).
Ovulasi tertunda merupakan salah satu penyebab infertilitas. Kejadian ini dapat menyebabkan perkawinan atau IB tidak tepat waktu sehingga fertilisasi tidak terjadi dan akhirnya kegagalan kebuntingan. Penyebab ovulasi tertunda bisa karena rendahnya kadar LH dalam darah atau karena diperpanjangnya masa folikuler. Gejala yang tampak pada kasus ini adalah terjadinya kawin berulang. Terapi dapat dilakukan dengan injesi GnRH (100-250 mikrogram Gonadorelin) saat IB (Smith, 2009).
c.    Sel telur yang abnormal
Beberapa bentuk abnormal dari sel telur adalah degenerasi sel telur, zona pellusida yang rusak, sel telur yang muda, sel telur oval, sel telur berukuran lebih kecil atau besar, dan lain-lain (Hardjopranjoto, 1995).
d.   Sel sperma yang abnormal
Sel sperma yang mempunyai bentuk yang abnormal menyebabkan kehilangan kemampuan untuk membuahi sel telur yang disebabkan adanya mikroorganisme atau adanya radang pada saluran reproduksi, sel sperma terlalu tua akibat terlalu lama menunggu sel telur sehingga pembuahan tidak terjadi, serta perlakuan yang salah terhadap sel sperma (Hardjopranjoto, 1995).
e.    Kesalahan pengelolaan reproduksi
Salah satu kesalahan pengelolaan reproduksi dapat berbentuk kurang teliti dalam deteksi birahi, inseminasi buatan yang dilakukan kurang baik, kurangnya kandungan pakan yang dibutuhkan, dan kesalahan dalam perlakuan terhadap sel sperma (Hardjopranjoto, 1995).

2.    Mekanisme Repeat Breeding





3.    Cara Pemeriksaan Repeat Breeding
Diagnosa pada hewan betina yang menderita kawin berulang dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan klinis pada alat kelamin betina (pemeriksaan eksplorasi rektal, dengan alat endoskop, palpasi servik dan vagina), pemeriksaan pada biopsi cairan uterus dan vagina, pemeriksaan hormon, pemeriksaan sitologi dan laparotomi (Hardjopranjoto, 1995).
Kemungkinan diagnosa yang tepat hanya dapat terjadi sesudah melewati beberapa minggu dari saat inseminasi dan kemungkinan tersebut meninggi danegan bertambahnya waktu. Suatu diagnosa palpasi rektal yang positif mungkin hanya berlaku pada saat itu karena banyak faktor, terutama penyakit-penyakit yang menyebabkan abortus, dapat menginterupsi jalannya kebuntingan yang normal. Jadi, ukuran terakhir yang pasti mengenai keberhasilan inseminasi hanyalah kelahiran anak yang sehat (Hardjopranjoto, 1995).

4.    Penanganan dan Pencegahan Repeat Breeding
Terapi
Terapi pada sapi yang menderita kawin berulang bertujuan untuk meningkatkan angka kebuntingan. Induk yang menderita penyakit karena adanya kuman pada saluran alat kelamin maka dilakukan pengobatan dengan memberikan larutan antibiotika yang sesuai dan diistirahatkan sampai sembuh, baru dilakukan perkawinan dengan inseminasi buatan. Bila karena indikasi ketidakseimbangan hormon reproduksi dapat ditingkatkan dengan pemberian GnRH dengan dosis 100-250 mikrogram pada saat inseminasi (Hardjopranjoto, 1995). Bila ovulasi tertunda dapat diterapi dengan LH (500 IU). Peningkatan kualitas pakan dan manajemen peternakan, serta pengelolaan reproduksi yang baik (Arthur, 2001).
Pencegahan
a.    Analisis recording meliputi human, bull/semen, lingkungan dan faktor sapi.
b.    Catatan performa reproduksi ternak dianalisis secara teratur dan kecelakaan repeat breeding dapat terdeteksi.
c.    Faktor manajemen meliputi peningkatan efisiensi dan akurasi deteksi estrus, menggunakan  inseminasi waktu tetap, dan inseminasi berkala.
d.   Faktor sapi meliputi
1)   Kasus individual harus diperiksa dengan ultrasonografi saluran reproduksi dan sitologi uterin untuk akurasi diagnosa.
2)   Eliminasi penyebab individual.
3)   Menentukan penyebab infeksi uterine dan membuat alur pencegahan
4)   Identifikasi awal dan perawatan infeksi uterine
e.    Faktor semen/bull dengan cara
1)   Menggunakan semen dari bull fertilitas tinggi
2)   Menggunakan double dosis
3)   Menggunakan inseminasi cornu uteri
4)   Melaksanakan BSE
f.     Faktor lingkungan
1)   Menggunakan sistem pendinginan selama musim panas
2)   Menurunkan insiden infeksi uterine dengan meningkatkan kondisi partus
(Subronto, 2007)

 
5.    Dampak Kerugian Repeat Breeding
Dampak dari repeat breeding adalah efisiensi pemeliharaan ternak yang rendah, hal ini dapat dikarenakan:
-          Biaya pemeliharaan induk sapi lebih mahal
-          Biaya terapi dan penanganan cukup merugikan
-          Calving interval lebih panjang
-          S/C lebih tinggi
-          Calving rate rendah
-          NR rendah
-          ZBanyak indukan yang umurnya belum terlalu tua harus diafkir  


DAFTAR PUSTAKA
Arthur. 2001. Veterinary Reproduction And Obstetrics 8th edition. Philadelphia : W.B. Saunders
Hafez, E.S.E, 1993, Reproduction Failure in Females, 6 th Edition, LEA And Febiger, Philadelphia, pp: 267, 271.
Hardjopranjoto,S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Surabaya : Airlangga University Press
Smith, B. P. 2009. Large Animal Internal Medicine 4th edition. New York : Mosby Elsevier
Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Toelihere, M.R. 1981. Ilmu Kemajiran Pada Ternak Sapi Edisi Pertama. Bandung : Penerbit Angkasa



No comments:

Post a Comment