Monday, 12 May 2014

BLOK 17 UP 6



LEARNING OBJECTIVE
1.      Mengetahui tentang trichinosis berdasarkan etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, terapi dan pencegahan


PEMBAHASAN
1.    Trichinosis
a.    Etiologi
Trichinosis disebabkan oleh cacing nematoda, Trichinella spiralis dan beberapa spesies lain dari Trichinella. Cacing dewasanya hidup parasitik pada mukosa usus halus (duodenum/jejunum) atau menembus kripta-kripta usus dari definitif hostnya (babi, tikus, manusia). Larva yang dikeluarkan cacing betina setelah kopulasi, dapat ditemukan berada dalam otot lurik dan membentuk kista. Larva kista dapat bertahan hidup selama 10 tahun dan menimbulkan Trichinosis dalam manusia bila dimakan (Sandjaja, 2007).
Trichinella spiralis jantan memiliki panjang 1,4 - 1,6 milimeter diameter 0,04 mm, bagian anterior lebih ramping dan berisi stichosome oesophagus, ujung posterior lebih tumpul dan mempunyai 2 conical papillae, dan cacing jantan jarang dapat ditemukan karena biasanya mati sesudah kopulasi. Trichinella spiralis betina memiliki panjang 3-4 milimeter, diameter 0,06 milimeter dengan bagian anterior lebih ramping dibanding posterior, vulva terletak 1/5 bagian anterior tubuh, betina yang gravid nampak mengandung larva dalam uterusnya, cacing betina berumur lebih panjang daripada yang jantan (5-7 minggu) (Levine, 1994).
Larva Trichinella spiralis memiliki ukuran panjang 100 mikron, mempunyai pencernakan sama dengan cacing dewasa, tinggal melingkar di dalam kista dalam otot lurik, arah kista biasanya sejajar dengan serat longitudinal otot, dan terutama pada otot-otot yang aktivitasnya tinggi atau kadar glikogennya rendah seperti: otot diagfragma, m.deltoideus, m.gastrocnemius, m.pectoralis major, m.intercostalis. Kista terbentuk dari hasil reaksi jaringan hospes terhadap parasit, di dalam kista larva tumbuh terus dan mengadakan deferensiasi sexual, larviposisi selama 4-16 minggu sebanyak 1500 larva. Pada manusia larva dalam kista ukurannya dapat menjadi 10× semula (kurang lebih 1 mm). Dalam satu kista umumnya berisi satu larva, otot yang mengandung kista berisi larva hidup ini infektif untuk hospes lain yang memakannya, satu siklus hidup dapat terjadi dalam tubuh satu hospes. Sedangkan untuk melanjutkan dan melengkapi siklus hidupnya membutuhkan paling sedikit dua hospes (Sandjaja, 2007).


b.   Patogenesis

 Siklus hidupnya langsung, cacing dewasa dan larva infektif hidup dalam hospes yang sama dengan tidak adanya stadium hidup bebas. Setelah ingesta kista yang berisi larva dari daging misalnya, dinding kista akan dihancurkan oleh asam lambung, dan larva bebas. Larva tersebut tumbuh dengan cepat dan dewasa dalam waktu 2-3 hari. Jantan akan mati beberapa hari setelah kopulasi. Betina akan mempenetrasi mukosa usus halus dan sampai pada ruang limfa vili, kemudian akan menetap selama 6 minggu dan memproduksi sejumlah besar larva pada 2 minggu pertama. Larva masuk ke saluran limfa dan bergerak ke duktus thoracicus. Setelah 8-25 hari, larva akan masuk ke aliran darah, kemudian keluar dari kapiler dan mempenetrasi sarkolema otot lurik, yang kaya akan suplai darah. Pada fase penetrasi tersebut, akan muncul gejala myositis berat, nyeri otot, dan eosinofilia (pada manusia). Larva tumbuh dengan cepat, dalam 30 hari mencapai panjang 1 mm. Dinding kista berkembang di sekeliling larva selama 3 bulan. Kista berukuran panjang 0,4-0,6 mm, lebar 0,25 mm. Kista biasanya terkalsifikasi pada bulan ke 6-8, tetapi larva dapat hidup selama beberapa tahun (sampai 11 tahun pada babi) (Griffiths, 1978).

c.    Gejala Klinis
1)   Tahap/ Fase invasi/ inkubasi:
          Berlangsung selama 5-7 hari. Excystasi larva yang tertelan kemudian keluar dari kistanya menyebabkan iritasi dan keradangan pada dinding mukosa duodenum dan jejunum di tempat larva yang baru mengalami existasi tadi menembus dinding usus. Gejala yang timbul adalah nausea, formiting colic, dysentry dan keringat dingin jadi mirip dengan gejala keracunan makanan (Sandjaja, 2007).
2)   Tahap/ Fase laviposition dan migrasi larva:
          Adanya larva yang lahir, migrasi dan infiltrasi larva ke dalam otot menimbulkan gejala- gejala nyeri otot, menunjukkan adanya keradangan otot. Sering didapatkan kesukaran bernafas, mengunyah, menelan dan berbicara dan paralysa spastic dari otot. Ini terjadi kurang lebih setelah hari ketujuh sampai kesepuluh, sampai terjadinya kista. Gejala gejala lain yang dapat timbul seperti: Suhu badan yang meningkat dan remitten, timbulnya rash pada kulit dan urticaria, nyeri otot dan pembengkakan kelenjar parotis, mirip gejala parotitis, Oedema palpebra. Pada pemeriksaan darah menujukkan adanya leucositosis dengan hiper eosinophilia (Griffiths, 1978 ; Sandjaja, 2007).
3)   Tahap/ Fase Encystasi
a)    Fase kritis dari penyakit bisa menunjukkan oedema toxic atau dehidrasi yang extrim. Pada kasus yang jelas mula-mula menunjukkan gejala pulsasi nadi yang cepat dan kuat lalu mendadak turun dan penderita nampak cyanosis.
b)   Dengan terbentuknya kista, larva dapat bertahan hidup sampai bertahun-tahun. Bila terjadi penyembuhan akan terjadi pengapuran dalam lapisan otot atau di tempat terbentuknya kista.
c)    Kista yang terbentuk di otak dapat menimbulkan gejala neurologis. Walaupun demikian beberapa kasus tak dijumpai gejala-gejala seperti di atas (Sandjaja, 2007).

d.   Diagnosa
1)   Anamnesa yang menunjang diagnosa biasanya adalah adanya riwayat memakan daging babi yang tak dimasak dengan baik.
2)   Gejala klinis berupa nyeri otot, bengkak otot serta skin rash
3)   Menemukan larva pada biopsi atau autopsi otot, diafragma, leher atau lidah menggunakan trichinoscopy (squashing otot untuk melihat larva dengan mikroskop)
4)   Pemeriksaan faeces, dan ditemukannya cacing dewasa atau larva (sangat jarang terjadi). Cacing dewasa jarang diketemukan di feces.
5)   Beberapa pemeriksaan pembantu, yang dapat menunjang diagnosis adalah:
a)    Pemeriksaan darah: hypereosinophilia (15-50% atau lebih) Sentrifuse 15 cc darah + 3% asam aceton untuk melihat larva
b)   pemeriksaan serologis menggunakan antigen dan antibodi monoklonal ekskretoris
c)    pemeriksaan radiologis, mungkin didapatkan pengapuran kista pada jaringan otot.  (Soedarto, 2003).


UJI STANDAR EMAS
            Diagnosis trichinosis dapat ditetapkan apabila dapat ditemukan cacing dewasa atau larva cacing dewasa ata larva cacing. Cacing dewasa atau larva cacing mungkin dijumpai pada tinja penderita atau waktu mengalami diare. Pada pemeriksaan hematologis, eosinofilia darah, tepi minimal mencapai 20%. Pemeriksaan radiologi dapat juga membantu menunjukkan adanya kista pada jaringan atau organ penderita (Makimian, 1996).
            Infeksi dapat dideteksi dalam diafragma, otot leher atau lidah menggunakan trichinoscopy (menekan otot untuk melihat larva dengan mikroskop). Antibodi dapat dideteksi dalam serum atau di jus daging dengan metode ELISA, menggunakan ekskretoris antigen dan antibodi monoklonal. Antigen hadir dalam darah selama 1-4 minggu dan 10-14 minggu setelah infeksi. Reaksi rantai yang Polimerase (Amplifikasi Acak Polimorfisme DNA-PCD) telah digunakan.
            Uji sensitivitas dan spesifisitas digunakan untuk mengukur kemampuan suatu pengujian untuk membedakan ada atau tidaknya penyakit pada seekor hewan. Prinsip pengukuran sensitifitas dan spesifitas adalah hewan yang benar-benar sakit diuji dan hewan yang benar-benar bebas diuji, namun sering mengalami kesulitan mana hewan yang sakit ataupun bebas.
            Gold standard adalah sensitivitas dan spesifisitas yang bernilai 100%, hal ini sulit dijalankan, tidak praktis, dan sering kali lama, sehingga menggunakan perhitungan prevalensi yang didapatkan/ yang tampak dengan asumsi mendapatkan asumsi yang sebenarnya. Negatif palsu dipengaruhi oleh toleransi dari masing-masing individual, adanya malfungsi sistem imun karena agen infeksi lain yang tidak diuji, tahap penyakit terlalu dini sehingga belum dihasilkan imunoglobulin yang diinginkan, variasiariasi imunologis antar individu yang berbeda-beda, dan alat dan bahan yang digunakan tidak sesuai. Positif palsu dipengaruhi oleh vaksinasi yang menghasilkan antibodi sehingga ikut terhitung, reaksi silang antara antibodi yang dihasilkan dengan antigen, antibodi perolehan dari kolostrum dan plasenta, dan alat dan bahan yang digunakan tidak sesuai.
1.         Sensitivitas:
a.       Proporsi hewan sakit yang bereaksi positif
b.      100 ekor sapi terinfeksi Trichinella spiralis
           95 ekor (+) pada CFT
           5 ekor (–) pada CFT
c.       sensitivitas CFT = 95/100 = 95 %
d.      5 ekor negatif : negatif palsu
2.         Spesifitas:
a.       Proporsi hewan tidak sakit yang bereaksi negative
b.      100 ekor sapi tidak terinfeksi Trichinella spiralis
           98 ekor (-) pada CFT
           2 ekor (+) pada CFT
c.       spesifisitas CFT = 98/100 = 98 %
d.      2 ekor positif : positif palsu

Tabel 2x2


Penyakit



( + )
( - )

Pengujian
( + )
A
b
a+b
( - )
C
d
c+d


a+c
b+d
n=a+b+c+d

a = positif benar      b = positif palsu
c = negatif palsu     d = negatif benar
Sensitivitas = a/(a+c) x 100 %
Spesifisitas = d/(b+d) x 100 %
Nilai duga (predictive value) bergantung pada:
1.      Sensitivitas
2.      Spesifisitas
3.      Prevalensi penyakit dari populasi yang dites
Sensitivitas tinggi → negative palsu rendah → nilai duga negative tinggi.
Spesifisitas tinggi → positif palsu rendah → nilai duga positif tinggi
Jika prevalensi rendah maka kasus dengan positif benar juga sedikit → nilai duga positif rendah (Syahril, 2005).

e.    Terapi
1)      Pada babi tidak ada pengobatan, daging terinfeksi larva diafkir 
2)      Pada manusia
a)    Thiabendazole 25 mg/kg berat badan yang diberikan dua kali sehari selama 5 – 10 hari, dapat memberikan efek samping mual – mual, muntah, dan dema
b)    Albendazole atau Mebendazole 200 mg/kg berat badan diberikan 3 kali sehari, diberikan selama minimal 10 hari
c)    Pemberian Kortikosteroid pada kasus yang berat, digunakan untuk mengurangi gejala inflamasi apabila jantung dan SSP yang terserang (Soedarto, 2003).

f.     Pencegahan
1)   Makanan sisa abattoir yang akan diberikan babi dimasak lebih dahulu 
2)   Bahan makanan mengandung daging babi seperti sausage babi dan sate babi perlu dimasak sampai matang untuk membunuh larva cacing yang berada di dalam daging 
3)   Pada manusia memasak semua daging yang akan dikonsumsi sampai 77 0C dan pembekuan daging  -15°C selama 20 hari, -23°C selama 10 hari, - 30°C selama 6 hari
4)   Daging disimpan dalam suhu –25°C selama 10–20 hari menyebabkan larva cacing mati
5)   Sanitasi pada pemeliharaan babi yang baik dan hewan liar
6)   Kandang babi yang dibangun dirancang agar mencegah tikus masuk bangunan
a)    Ventilasi udara atau pipa air ditutupi dengan kawat strimin
b)   Penyimpanan pakan pada tempat yang tertutup
c)    Kandang babi jauh dari tempat pembuangan sampah
d)   Hindarkan babi kontak dengan hewan liar lain, hal ini penting untuk pencegahan penularan baik dari dan ke binatang liar, potensi reservoir infeksi 
e)    Jangan biarkan babi untuk makan mentah bangkai hewan lainnya termasuk tikus, yang mungkin terinfeksi dengan Trichinosis (Soedarto, 2003).
DAFTAR PUSTAKA
Griffiths, H. 1978. A Handbook of Veterinary Parasitology Domestic Animals of North America. Minnesota: University of Minnesota Press
Levine, N. 1994. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Sandjaja, B. 2007. Helmintologi Kedokteran. Jakarta : Prestasi Pusaka.
Soedarto. 2003.  Zoonosis Kedokteran. Surabaya : Airlangga University Press.
Syahril. Diagnostic & Screening. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/  2027/1/anak-syahril.pdf [diakses tanggal 13 Mei 2014]


No comments:

Post a Comment