LEARNING
OBJECTIVE
1. Mengetahui
tentang trichinosis berdasarkan etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa,
terapi dan pencegahan
PEMBAHASAN
1. Trichinosis
a. Etiologi
Trichinosis
disebabkan oleh cacing nematoda, Trichinella spiralis dan beberapa
spesies lain dari Trichinella. Cacing dewasanya hidup parasitik pada
mukosa usus halus (duodenum/jejunum) atau menembus kripta-kripta usus dari
definitif hostnya (babi, tikus, manusia). Larva yang dikeluarkan cacing betina
setelah kopulasi, dapat ditemukan berada dalam otot lurik dan membentuk kista.
Larva kista dapat bertahan hidup selama 10 tahun dan menimbulkan Trichinosis
dalam manusia bila dimakan (Sandjaja, 2007).
Trichinella
spiralis jantan memiliki panjang 1,4 - 1,6 milimeter diameter
0,04 mm, bagian anterior lebih ramping dan berisi stichosome oesophagus, ujung
posterior lebih tumpul dan mempunyai 2 conical papillae, dan cacing jantan
jarang dapat ditemukan karena biasanya mati sesudah kopulasi. Trichinella
spiralis betina memiliki panjang 3-4 milimeter, diameter 0,06 milimeter
dengan bagian anterior lebih ramping dibanding posterior, vulva terletak 1/5
bagian anterior tubuh, betina yang gravid nampak mengandung larva dalam
uterusnya, cacing betina berumur lebih panjang daripada yang jantan (5-7 minggu) (Levine, 1994).
Larva
Trichinella spiralis memiliki ukuran panjang 100 mikron, mempunyai pencernakan
sama dengan cacing dewasa, tinggal melingkar di dalam kista dalam otot lurik, arah kista biasanya sejajar dengan
serat longitudinal otot, dan terutama pada otot-otot yang aktivitasnya tinggi atau kadar glikogennya rendah seperti: otot diagfragma,
m.deltoideus, m.gastrocnemius, m.pectoralis major, m.intercostalis. Kista terbentuk dari hasil reaksi
jaringan hospes
terhadap parasit, di
dalam kista larva tumbuh terus dan mengadakan deferensiasi sexual, larviposisi
selama 4-16 minggu sebanyak 1500 larva. Pada manusia larva dalam kista ukurannya dapat menjadi 10×
semula (kurang lebih 1 mm). Dalam satu kista umumnya berisi satu larva, otot
yang mengandung kista berisi larva hidup ini infektif untuk hospes lain yang
memakannya, satu siklus hidup dapat terjadi dalam tubuh satu hospes. Sedangkan untuk melanjutkan dan
melengkapi siklus hidupnya membutuhkan paling sedikit dua hospes (Sandjaja, 2007).
b. Patogenesis
Siklus hidupnya langsung, cacing dewasa dan larva
infektif hidup dalam hospes yang sama dengan tidak adanya stadium hidup bebas.
Setelah ingesta kista yang berisi larva dari daging misalnya, dinding kista
akan dihancurkan oleh asam lambung, dan larva bebas. Larva tersebut tumbuh dengan
cepat dan dewasa dalam waktu 2-3 hari. Jantan akan mati beberapa hari setelah
kopulasi. Betina akan mempenetrasi mukosa usus halus dan sampai pada ruang
limfa vili, kemudian akan menetap selama 6 minggu dan memproduksi sejumlah
besar larva pada 2 minggu pertama. Larva masuk ke saluran limfa dan bergerak ke
duktus thoracicus. Setelah 8-25 hari, larva akan masuk ke aliran darah,
kemudian keluar dari kapiler dan mempenetrasi sarkolema otot lurik, yang kaya
akan suplai darah. Pada fase penetrasi tersebut, akan muncul gejala myositis
berat, nyeri otot, dan eosinofilia (pada manusia). Larva tumbuh dengan cepat,
dalam 30 hari mencapai panjang 1 mm. Dinding kista berkembang di sekeliling
larva selama 3 bulan. Kista berukuran panjang 0,4-0,6 mm, lebar 0,25 mm. Kista
biasanya terkalsifikasi pada bulan ke 6-8, tetapi larva dapat hidup selama
beberapa tahun (sampai 11 tahun pada babi) (Griffiths, 1978).
c.
Gejala Klinis
1) Tahap/
Fase invasi/ inkubasi:
Berlangsung selama 5-7 hari. Excystasi
larva yang tertelan kemudian keluar dari kistanya menyebabkan iritasi dan
keradangan pada dinding mukosa
duodenum dan jejunum di tempat larva yang baru mengalami existasi tadi menembus
dinding usus. Gejala yang timbul adalah nausea, formiting colic, dysentry dan
keringat dingin jadi mirip dengan gejala keracunan makanan (Sandjaja, 2007).
2) Tahap/
Fase laviposition dan migrasi larva:
Adanya larva yang lahir, migrasi dan
infiltrasi larva ke dalam otot menimbulkan gejala- gejala nyeri otot,
menunjukkan adanya keradangan otot. Sering didapatkan kesukaran bernafas,
mengunyah, menelan dan berbicara dan paralysa spastic dari otot. Ini terjadi
kurang lebih setelah hari ketujuh sampai kesepuluh, sampai terjadinya kista.
Gejala gejala lain yang dapat timbul seperti: Suhu badan yang meningkat dan
remitten, timbulnya rash pada kulit dan urticaria, nyeri otot dan pembengkakan
kelenjar parotis, mirip gejala parotitis, Oedema palpebra. Pada pemeriksaan
darah menujukkan adanya leucositosis dengan hiper eosinophilia (Griffiths, 1978 ; Sandjaja, 2007).
3) Tahap/
Fase Encystasi
a) Fase
kritis dari penyakit bisa menunjukkan oedema toxic atau dehidrasi yang extrim.
Pada kasus yang jelas mula-mula menunjukkan gejala pulsasi nadi yang cepat dan
kuat lalu mendadak turun dan penderita nampak cyanosis.
b) Dengan
terbentuknya kista, larva dapat bertahan hidup sampai bertahun-tahun. Bila
terjadi penyembuhan akan terjadi pengapuran dalam lapisan otot atau di tempat
terbentuknya kista.
c) Kista
yang terbentuk di otak dapat menimbulkan gejala neurologis. Walaupun demikian beberapa kasus tak dijumpai
gejala-gejala seperti di atas
(Sandjaja,
2007).
d. Diagnosa
1) Anamnesa yang menunjang diagnosa biasanya
adalah adanya riwayat memakan daging babi yang tak dimasak dengan baik.
2) Gejala
klinis berupa nyeri otot, bengkak otot serta skin rash
3) Menemukan larva pada biopsi atau
autopsi otot, diafragma, leher atau lidah menggunakan
trichinoscopy (squashing otot untuk melihat larva dengan mikroskop)
4) Pemeriksaan faeces, dan ditemukannya cacing dewasa
atau larva (sangat jarang terjadi). Cacing dewasa jarang diketemukan di feces.
5) Beberapa
pemeriksaan pembantu, yang dapat menunjang diagnosis adalah:
a) Pemeriksaan
darah: hypereosinophilia (15-50% atau lebih) Sentrifuse 15 cc darah + 3% asam
aceton untuk melihat larva
b) pemeriksaan
serologis menggunakan
antigen dan antibodi monoklonal ekskretoris
c) pemeriksaan
radiologis, mungkin didapatkan pengapuran kista pada jaringan otot. (Soedarto, 2003).
UJI
STANDAR EMAS
Diagnosis
trichinosis dapat ditetapkan apabila dapat ditemukan cacing dewasa atau larva
cacing dewasa ata larva cacing. Cacing dewasa atau larva cacing mungkin
dijumpai pada tinja penderita atau waktu mengalami diare. Pada pemeriksaan
hematologis, eosinofilia darah, tepi minimal mencapai 20%. Pemeriksaan
radiologi dapat juga membantu menunjukkan adanya kista pada jaringan atau organ
penderita (Makimian, 1996).
Infeksi
dapat dideteksi dalam diafragma, otot leher atau lidah menggunakan
trichinoscopy (menekan otot untuk melihat larva dengan mikroskop). Antibodi
dapat dideteksi dalam serum atau di jus daging dengan metode ELISA, menggunakan
ekskretoris antigen dan antibodi monoklonal. Antigen hadir dalam darah selama
1-4 minggu dan 10-14 minggu setelah infeksi. Reaksi rantai yang Polimerase
(Amplifikasi Acak Polimorfisme DNA-PCD) telah digunakan.
Uji sensitivitas dan spesifisitas digunakan untuk
mengukur kemampuan suatu pengujian untuk membedakan ada atau tidaknya penyakit
pada seekor hewan. Prinsip pengukuran sensitifitas dan spesifitas adalah hewan
yang benar-benar sakit diuji dan hewan yang benar-benar bebas diuji, namun
sering mengalami kesulitan mana hewan yang sakit ataupun bebas.
Gold standard adalah sensitivitas dan spesifisitas yang
bernilai 100%, hal ini sulit dijalankan, tidak praktis, dan sering kali lama,
sehingga menggunakan perhitungan prevalensi yang didapatkan/ yang tampak dengan
asumsi mendapatkan asumsi yang sebenarnya. Negatif palsu dipengaruhi oleh
toleransi dari masing-masing individual, adanya malfungsi sistem imun karena
agen infeksi lain yang tidak diuji, tahap penyakit terlalu dini sehingga belum
dihasilkan imunoglobulin yang diinginkan, variasiariasi imunologis antar
individu yang berbeda-beda, dan alat dan bahan yang digunakan tidak sesuai.
Positif palsu dipengaruhi oleh vaksinasi yang menghasilkan antibodi sehingga
ikut terhitung, reaksi silang antara antibodi yang dihasilkan dengan antigen,
antibodi perolehan dari kolostrum dan plasenta, dan alat dan bahan yang
digunakan tidak sesuai.
1.
Sensitivitas:
a.
Proporsi hewan sakit yang bereaksi
positif
b.
100 ekor sapi terinfeksi Trichinella
spiralis
95 ekor (+) pada
CFT
5 ekor (–) pada CFT
c.
sensitivitas CFT = 95/100 = 95 %
d.
5 ekor negatif : negatif palsu
2.
Spesifitas:
a.
Proporsi hewan tidak sakit yang bereaksi
negative
b.
100 ekor sapi tidak terinfeksi Trichinella
spiralis
98 ekor (-) pada
CFT
2 ekor (+) pada CFT
c.
spesifisitas CFT = 98/100 = 98 %
d.
2 ekor positif : positif palsu
Tabel
2x2
|
|
Penyakit
|
|
|
|
|
( + )
|
( - )
|
|
Pengujian
|
( + )
|
A
|
b
|
a+b
|
( - )
|
C
|
d
|
c+d
|
|
|
|
a+c
|
b+d
|
n=a+b+c+d
|
a = positif
benar b = positif palsu
c = negatif
palsu d = negatif benar
Sensitivitas
= a/(a+c) x 100 %
Spesifisitas
= d/(b+d) x 100 %
Nilai duga (predictive value) bergantung
pada:
1.
Sensitivitas
2.
Spesifisitas
3.
Prevalensi
penyakit dari populasi yang dites
Sensitivitas tinggi → negative palsu rendah → nilai
duga negative tinggi.
Spesifisitas tinggi → positif palsu rendah → nilai
duga positif tinggi
Jika prevalensi rendah maka kasus dengan positif
benar juga sedikit → nilai duga positif rendah (Syahril, 2005).
e. Terapi
1)
Pada babi tidak ada pengobatan, daging terinfeksi
larva diafkir
2) Pada manusia
a)
Thiabendazole 25 mg/kg berat badan yang diberikan
dua kali sehari selama 5 – 10 hari, dapat memberikan efek samping mual – mual,
muntah, dan dema
b)
Albendazole atau
Mebendazole 200 mg/kg berat badan diberikan 3 kali sehari, diberikan selama
minimal 10 hari
c) Pemberian
Kortikosteroid pada kasus yang berat, digunakan untuk mengurangi gejala
inflamasi apabila jantung dan SSP yang terserang (Soedarto, 2003).
f. Pencegahan
1) Makanan sisa
abattoir yang akan diberikan babi dimasak lebih dahulu
2) Bahan makanan
mengandung daging babi seperti sausage babi dan sate babi perlu dimasak sampai
matang untuk membunuh larva cacing yang berada di dalam daging
3)
Pada manusia memasak semua daging yang akan dikonsumsi
sampai 77 0C dan pembekuan daging -15°C selama 20 hari, -23°C selama 10 hari, -
30°C
selama 6 hari
4) Daging disimpan
dalam suhu –25°C selama 10–20 hari menyebabkan larva cacing mati
5) Sanitasi pada
pemeliharaan babi yang baik dan hewan liar
6) Kandang babi yang
dibangun dirancang agar mencegah tikus masuk bangunan
a) Ventilasi udara atau
pipa air ditutupi dengan kawat strimin
b) Penyimpanan pakan
pada tempat yang tertutup
c)
Kandang babi jauh dari tempat pembuangan sampah
d)
Hindarkan babi kontak dengan hewan liar lain, hal
ini penting untuk pencegahan penularan baik dari dan ke binatang liar, potensi
reservoir infeksi
e) Jangan biarkan babi
untuk makan mentah bangkai hewan lainnya termasuk tikus, yang mungkin
terinfeksi dengan Trichinosis (Soedarto, 2003).
DAFTAR
PUSTAKA
Griffiths, H. 1978. A Handbook of Veterinary Parasitology
Domestic Animals of North America. Minnesota: University of Minnesota Press
Levine, N. 1994. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press
Sandjaja, B. 2007. Helmintologi Kedokteran. Jakarta : Prestasi Pusaka.
Soedarto. 2003. Zoonosis Kedokteran. Surabaya : Airlangga
University Press.
Syahril. Diagnostic & Screening. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/ 2027/1/anak-syahril.pdf [diakses
tanggal 13 Mei 2014]
No comments:
Post a Comment