Wednesday, 4 June 2014

BLOK 18 UP 2


LEARNING OBJECTIVE
1.      Faktor-faktor dan penyebab distokia pada anjing
2.      Tanda-tanda / gejala distokia
3.      Mekanisme / Patogenesis distokia
4.      Penanganan distokia


PEMBAHASAN
1.    Faktor-faktor dan penyebab distokia pada anjing
A. Sebab Langsung
a)   Maternal
1.   Kegagalan untuk mendorong keluar , penyebabnya antaranya :
·   Inersia uterina primer : gangguan myometrium, infeksi uterus, oligoamnion, kelahiran prematur.
·   Inersia uterina sekunder : sebagai konsekuensi dari penyebab distokia lain.
·   Kerusakan uterus dan torsi uterus.
·   Ketidakmampuan untuk mengejan (abdominal) : karena umur, kesakitan dan kelemahan.

2.   Obstruksi saluran peranakan , penyebab diantaranya :
·   Tulang pelvis : fraktur, ras, diet, belum dewasa, neoplasia, penyakit dan kecil.
·   Vulva : cacat kongenital, fibrosis dan belum dewasa.
·   Vagina : cacat kongenital, fibrosis, prolaps, neoplasia, abses perivagina dan himen
·   Cervix : cacat kongenital, fibrosis dan kegagalan untuk dilatasi.
·   Uterus : torsi, deviasi, herniasi, adesi dan stenosis

b)  Fetal
1.   Ukuran fetus . Jika berat badan dan ukuran besar ajan meningkatkan kejadian distokia.
2.   Jenis kelamin fetus . Jantan berat badannya lebih beratdan masa kebuntingannya lebih lama  dibanding betina .
3.   Kondisi fetus. Yang dimaksud yaitu fetus masih hidup atau mati. Kematian fetus pada akhir kebuntingan atau awal kelahiran sebabkan distokia. Misalnya fetus mengalami hipoksia kronis , fetus gagal melepaskan hormone-hormanya dengan cukup ( ACTH dan kortisol ) , fetus tidak dapat mengambil postur kelahiran normal sehingga maldiposisi dan servik gagal dilatasi sempurna sehingga fetus tdiak bisa keluar.
4.   Maldisposisi fetal :
·   Malpresentasi (transversal, lateral, vertikal).
·   Malposisi (dorso pubis, dorso ilial dextra, dorso ilial sinistra, cephaloilial dextra, cephaloilial sinistra)
·   Malpostur (carpal flexi unilateral atau bilateral, shoulder flexi unilateral atau bilateral, head neck flexi, deviation head, dog sitting, hock flexi, breech postur, unilateral hip flexi)  (Jackson P, 2007).

B.  Sebab Dasar
a)   Herediter
Dapat dibagi atas faktor-faktor yang terdapat pada induk yang berdisposisi terhadap distokia atau faktor-faktor tersembunyi seperti gen yang terdapat pada induk atau pejantan yang dapat menghasilkan fetus defektif.
b)   Manajemen Pakan
c)   Infeksi atau Penyakit
Setiap infeksi atau penyakit mempengaruhi uterus bunting dan isinya dapat menyebabkan abortus, uterus tidak bertonus, kematian fetus dan metritis septik pada kebuntingan. Pada infeksi yang parah, dinding uterus dapat kehilangan kesanggupan berkontraksi, suatu kondisi yang menyebabkan cervix tidak dapat berdilatasi sempurna atau dapat juga terjadi torsi uteri. Dalam hal ini, tahap kedua partus akan tertunda secara abnormal. Hidrops alantois dan oedema fetus dapat menyebabkan distokia.
d)  Traumatik
Hernia ventralis dan ruptura tendo prepubis menyebabkan distokia karena ketidaksanggupan kontraksi abdominal yang ditimbulkannya sehingga induk tidak dapat mendorong fetus keluar. Torsi uteri dapat disebabkan karena selip, jatuh atau terguling secara tiba-tiba pada kebuntingan tua (Noakes.2001).



2.    Tanda-tanda / gejala distokia
a)   Kontraksi lemah dan tidak teratur sesudah kelahiran fetus pertama (>4-6 jam tanpa ekspulsi fetus ).
b)   Keluar leleran vulva berwarna hijau (berasal dari plasenta yang terpisah pada kelahiran fetus pertama) tapi fetus tidak segera keluar.
c)   Setelah 2-3 jam keluar leleran fetal tidak keluar fetusnya.
d)  Kegagalan kelahiran 24-36 jam setelah suhu induk di bawah 37,1oC (Jackson P, 2007).

Tabel 1. Indikasi dan tanda-tanda distokia
Indikasi
Tanda-tanda
1)      Perpanjangan masa kebuntingan

2)      Obstruksi pelvis

3)      Kontraksi yang kuat
4)      Kontraksi yang lemah dan tidak teratur
5)      Keluarnya leleran vulva berwarna hijau (berasal dari plasenta yang mulai terpisah pada kelahiran fetus pertama)
6)      Setelah 2-3 jam keluarnya cairan fetal
7)      Adanya bukti yang jelas penyebab distokia
8)      Kegagalan kelahiran 24-36 jam sesudah temperature rectal drop dibawah 37,10C
9)      Induk yang kesakitan
10)  Abnormalitas dari hasil pemeriksaan radiografi
11)  Adanya riwayat distokia sebelumnya
12)  Anjing yang sakit dan lemah
> 70-72 hari dari hari pertama perkawinan
> 60 hari dari diestrus
Kemungkinan ras
Lesi yang besar atau fraktur sebelumnya
> 45-60 menit tanpa ekspulsi anak
> 4-6 jam tanpa pengeluaran anak
Tidak ada fetus yang keluar


Tidak ada tanda-tanda kelahiran
Fraktur pelvis dan tertahannya fetus pada saluran peranakan dan sebagian dapat terlihat
Tidak ada kelahiran
Gagal untuk mengeluarkan anak
Malposisi
Fetus terlalu besar (anak tunggal)

(Junaidi, 2006).

3.    Mekanisme / Patogenesis distokia


Berdasarkan skema tersebut maka dapat disimpulkan bahwa fetus yang hidup dalam kandungan memiliki peranan yang sangat penting saat partus dalam inisiasi partus pada induk, pada saat kelahiran terjadi peningkatan corticotropin releasing hormone sehingga akan menstimulasi hormon adrenocorticotopin menghasilkan cortisol mengakibatkan plepasan prostaglandin sehingga corpus luteum mengalami regresi corpus luteum, akibatnya akan mengalami peningkatan kontraksi uterus dan pelepasan oksitoksin. Keadaan ini dapat diterjadi pada fetus yang masih hidup, pada kejadian fetus yang mati proses tersebut tidak akan terjadi dan akan mengalami perpanjangan masa kebuntingan (Archibald, 1984).
Kematian fetus didalam kandungan sebelum masa kelahiran akan menyebabkan perpanjangan masa kebuntingan dan tidak adanya proses inisiasi partus, dan dapat juga menyebabkan kematian fetus secara mumifikasi atau maserasi (Archibald, 1984).
Mumifikasi, dapat terjadi apabila kematian fetus tersebut terjadi adanya pelepasan plasenta dengan fetus secara aseptis, pelepasan plasenta tersebut terjadi apabila tidak adanya kontaminasi dari bakteri sehingga apabila tidak segera ditangani maka fetus akan mengalami mumifikasi yang ditandai dengan penghitaman pada fetus dan fetus akan mengalami pengecilan dan bagian fetus bulu,kulit daging dan tulang masih sempurna (Archibald, 1984).
Maserasi, dapat terjadi apabila terjadinya pelepasan plasenta dengan fetus secara sepsis, plepesan plasenta tersebut disertai dengan adanya bakteri yang akhirnya akan memproduksi keton, keton tersebut akhirnya akan memasuki aliran darah sehingga disebut dengan ketonemia atau biasa dikenal dengan toxemia yang terjadi pada induk anjing. Maserasi ini ditandai dengan adanya sisa penulangan dan rambut dari fetus namun untuk daging dan kulit sudah tidak ada. Mumifikasi dan maserasi apabila tidak ditangani dengan cepat akan mengakibatkan piometra pada induk anjing yang terjadi pada beberapa bulan kemudian (Archibald, 1984).

4.    Penanganan distokia
Penanganan:
1.   Manipulatif
a)   Repulsi , yaitu mendorong fetus sepanjang saluran peranakan kea rah dalam uterus.
b)   Mutasi , yaitu cara penanggulangan distokia dimana fetus dikembalikan ke presentasi , posisi dan postur yang noemal melalui repulse, rotasi versi dan pembentukan atau perentangan ekstremitas.
c)   Ekstensi , yaitu pembetulan letak bagian-bagian fetus yang mengalami fleksi.
d)  Rotasi , yaitu memutar tubuh fetus sepanjang sumbu longitudinal ( ke kanan atau kiri ). Posisi dorso-ilial atau dorso pubis sering terjadi pada tortio uterus 90 – 180 derajat.
e)   Versio , yaitu memutar fetus ke depan atau ke belakang ( Manan,2001 ; Smith, 2002) .

2.   Terapi Obat
        Oksitosin (dosis anjing 2-5IU; kucing 2-5IU) melalui injeksi intramuskular. Setelah injeksi, ditinggalkan dengan tenang selama 10-15 menit. Oksitoksin dosis besar yang berlebihan menyebabkan spasmus uterus dan kadang-kadang gejala mengkhawatirkan dari induk. Jika dosis tunggal oksitoksin gagal untuk menghasilkan efek yang diinginkan, dosis selanjutnya dapat diberikan setelah 20-30 menit. Jika tidak ada respon terhadap semua oksitoksin dalam 30 menit dan fetus selanjutnya masih ada di dalam uterus, kemungkinan besar diperlukan intervensi operasi ( Smith,2002 ).

3.   Episiotomi
Yaitu penyobekan pada dinding vagina untuk mempermudah pengeluaran fetus. Tekniknya yaitu incisi dilakukan memanjang dari dorsal komissura vulva sampai ke permulaan vagina, melewati tuberkulum uretra. Incisi kulit dapat dengan pisau, dilanjutkan dengan gunting untuk mengiris bagian otot dan mukosa. Untuk melakukan penutupan kembali irisan episiotomi, jahit mulai dari mukosa, dari arah vestibulum ventral ke dorsal komissura vulva. Dengan pola sederhana menerus, benang cat gut chromic. Lalu jahit bagian otot dan subkutan dengan pola sederhana tunggal atau menerus. Terakhir, jahit kulit dengan katun atau nylon dengan pola sederhana tunggal (Slatter.2002).
4.   Fetotomi
        Adalah memotong fetus yang tidak bisa dikeluarkan, menjadi potongan-potongan kecil yang lebih mudah dikeluarkan melalui saluran peranakan. Indikasi dilakukannya fetotomi antara lain penanganan distokia yang disebabkan maldisposisi yang tidak dapat dikoreksi dengan cara manipulatif, penanganan distokia yang disebabkan disproporsi fetopelvis dengan fetus mati dan tidak dapat dikeluarkan dengan tarikan dan penanganan distokia yang disebabkan oleh fetus terjepit selama pengeluaran fetus. Fetotomi dilakukan dengan mempertimbangakan presentasi, posisi dan postur fetus. Ada 2 teknik fetotomi yaitu :
a)   Dalam fetotomi perkutan digunakan embrio tubuler , yang melalui gergaji kawat dilewatkan. Gergaji kawat untuk memotong fetus sedangkan embriotom melindungi jaringan maternal dari kerusakan.
b)   Dalam fetotomi subkutan bagian-bagian tubuh fetus dibedah keluar dari dalam kulitnya  hingga mengurangi  bagian terbesar fetus .
        Perawatan induk pasca fetotomi yaitu vagina dan uterus harus diperiksa secara manual untuk mengetahui kerusakan jaringan lunak. Lalu pemberian antibiotik  local dan parenteral . Analgesi dan toksemia guna terapi non-steriodal dan anti inflamasi (Jackson, 2007).

Pencegahan
            Manajemen perkawinan, diantaranya umur perkawinan yaitu  anjing jantan mampu kawin sejak      sekitar waktu pubertas saat berusia 6 bulan dan jika anjing tersebut digunakan sebagai pembiak, penting      untuk tidak             menekan tanda-tanda libido potensial selama kehidupan anak. Pemilihan pejantan: perbedaan      ukuran antar jenis kelamin yang terlalu jauh sebaiknya dihindari. Waktu dan frekuensi perkawinan: harus      dilihat recording serta siklus estrus betina (Jackson.2007).

Sectio Caesaria



Metode:
a)   Pra Operasi
Persiapan hewan dengan pengosangan colon dan vesica urinaria. Pembersihan dan pencucian daerah abdomen caudal. Sebelum dilakukan keduanya, hewan diberi premedikasi, secepatnya hewan tersebut diletakkan di meja operasi. Infus dengan larutan elektrolit sehingga efek obat lebih cepat terdistribusi. Persiapan terakhir adalah anasthesi (Archibald.1984).

b)   Pre Medikasi
     Atrophin sulfat (1/150 gram) atau morphin sulfat (1/8) - ½ gr) diberikan secara s.c 30 menit sebelum operasi dengan dosis sekecil mungkiin karena merupakan memliki efek depressan pada fetus. 15 menit setelah pemberian premedikasi, induk lebih mudah ditangani, setelah 30 menit diberikan anasthesia berupa eter dengan metode inhalasi (Archibald.1984).

c)   Anestesi Umum
Anastesi umum jarang dipergunakan untuk operasi caesar karena dapat menyebabkan pembiusan pada puppies. Biasanya menggunakan propofol atau isofluran. Penggunaan secara intravena tidak membahayakan bagi induk, namun menyebabkan fetal acidosis dan hipoksia.
Preparat barbiturat secara intravena relatif aman digunakan,seperti lidokaine 0,25-0,5 mg/kg BB atau diazepam0,1-0,4 mg/kg BB. Anastesi ketamin 4-6 mg/kg BB dikombinasikan dengan diasepam 0,2-0,4 mg/kg BB atau midazolam 0,1-0,3 mg/kg BB secara intravena merupakan teknik induksi yang cepat untuk suport kardiovaskular apabila terjadi kondisi yang kritis. Jika bradikardia muncul, atropin 0,02-0,04 mg/kgBB intravena atau intramuskular menjadi anti kolinergik yang bagus karena glikorolat tidak menembus barier plasenta, dan induksi ophioid bradikardia mungkin terjadi pada fetus. Xilazin tidak direkomendasikan untuk sectio caesaria karena menyebabkan mortalitas tinggi pada hewan kecil. Xilazin dapat mengakibatkan fetal bradikardia, hipertensi, dan hipoksemia setelah 20 menit pemberian (Slatter.2002).

d)  Teknik Operasi
·  Incisi pada ventral midline seriing digunakan untuk sectio caesaria karena bermanfaat untuk meningkatkan visualisasi dan memudahkan akses ke uterus. Incisi dimulai dari Incisi di bawah umbilikus hingga daerah pubis.
·  Uterus dibuka pada permukaan ventral korpus uteri atau pada sambungan korpus dan salah satu kornu uteri. Perawatan yang hati-hati harus dilakukan ketika pembukaan uterus sehingga fetus yang ada dibawahnya tidak tanpa sengaja terinsisi. Fetus pertama ditarik dari uterus di dalam amnionnya setelah memasuki kantung korioalantoisnya. Amnion kemudian diambil dari kepala dan tubuh fetus.
·  Korda umbilicus dijepit dan dipotong 2 cm dari pusar dengan forcep arteri dan fetus dipegang oleh seorang asisten untuk perawatan selanjutnya dan resussitasi. Lendir digoyangkan perlahan dari dalam mulut atau dihilangkan dengan sedotan. Fetus dikeringkan dengan handuk – aktivitas ini dapat menstimulasi respirasi dan pergerakan dan dengan segera, pada fetus yang sehat, jeritan terdengar. Tiupan perlahan ke dalam mulut, yang meningkatkan kadar karbon dioksida di dalam udara yang dihirup, juga memberikan aksi stimulasi. Pada kasus yang sulit, terapi obat dapat diperlkukan; 1-5 mg doxapram hidroklorida dapat ditempatkan dibawah lidah dari masing-masing fetus untuk menstimulasi pernapasan.
·  Tindakan dilakukan untuk mengambil masing-masing plasenta dari masing-masing fetus dengan hati-hati, tetapi jika kesulitan dialami atau perdarahan segar terpicu, plasenta harus ditinggalkan in situ untuk didorong mundur untuk dikeluarkan kemudian – kemungkinan dibantu secara postoperative dengan terapi ekbolik. Fetus berikutnya didorong perlahan dari masing-masing kornu uteri sepanjang menuju insisi uterus darimana mereka diambil. Pada sebagian besar kasus, semua fetus dapat dikeluarkan dari insisi uterus tunggal.
·  Sebelum uterus ditutup, uterus harus diperiksa untuk memastikan bahwa tidak ada anak yang tertinggal. Keseluruhan saluran genital harus diperiksa, termasuk korpus uteri kaudal dan vagina intrapelvis. Jahitan Lembert terbalik dengan bahan benang jahit yang dapat terserap digunakan untuk menutup uterus, memastikan bahwa tidak ada sedikitpun bagian plasenta yang membahyakan tepi luka. Abdomen ditutup dengan cara biasa dan lapisan kawat kecil dapat dilekatkan pada luka kulit untuk melindunginya dari kontak langsung dengan anak-anaknya.

e)   Post Operasi
Tujuh hari setelah pembedahan mortalitas pada induk dapat mencapai 1%. 5 dari 9 kematian (56%) akibat pneumonia yang berhubungan dengan  pasif regurgitasi dan aspirasi, dapat dibantu dengan kontrol endotrakheal itubation setelah dianastesi.
Puppies segera dibersihkan dengan handuk yang hangat diberikan pemanas atau hair drayer untuk menghangatkan. Pemberian handuk dan menggosk-gosokkannya ke seluruh tubuh puppies berfungsi untuk menstimulasi pernafasan. Hidung dan mulut dibersihkan. Pada kitten dan puppies swap menggunakan kapas dapat digunakan untuk membersihkan cairan pada hidung dan mulut. Apabila neonatus memiliki heart rate normal (120-150 detak permenit) tapi apneic, stimulasi taktil, dan pemberian oksigen menggunakan masker dapat menjadi alternatif . Apabila nafas mulai normal neonatus dipindahkan ke dalam inkubator. Kemudian fetus didekatkan dengan induk agar mendapatkan kolostrum. Jika tidak dapat diberikan kolostrum buatan. Adapun cara yaitu pembuatan klostrum buatan dengan bahan :
-      Susu skim 12 sendok makan ( bahan dsar kolostrum ).
-      Garam dapur 1 sendok makan ( elektrolit pengganti NaCL ).
-      MgSO4 ( laksansia ).
-      Kuning telur 1-2 butir ( sumber lemak, protein dan imunoglobin ).
-      Madu ( sumber vitamin dan tenaga ).
-      Antibiotik ( antibakteri ).
-      Air hangat dan gula jawa ( pelarut ).
Cara pembuatannya panaskan air dalam keadaan mendidih lalu tuangkan pada wadah yang telah dicampur semua bahan diatas, aduk rata dan siap di berikan pada fetus yang baru lahir
 ( Manan,2001  ; Slatter, 2002 ).


DAFTAR PUSTAKA
Archibald, G.H. 1984. Canine Surgery 3nd  edition. Saunders. Elseviers.
Jackson., P. G. 2007. Handbook Obstetric Veteriner, 2nd edition. Saunders. Elsevier.
Junaidi, Aris. 2006. Reproduksi dan Obstetri pada Anjing. Yogyakarta : UGM press
Manan, Djema’at. 2001. Ilmu Kebidanan Pada Ternak. Banda Aceh : FKH University Syiah Kuala.
Noakes, DE., Parkinson, TJ & England, CW. 2001. Arthur’s Veterinary Reproduction and Obstetric 8thedition. UK : WB Saunders.
Slatter, D. 2002. Text Book of Small Animal Surgery 2nd edition. United States of America: WB saunder.
Smith, B. P. 2002. Large Animal Internal Medicine. Third ed. Mosby, USA

No comments:

Post a Comment