LEARNING
OBJECTIVE
1. Faktor-faktor
dan penyebab distokia pada anjing
2. Tanda-tanda
/ gejala distokia
3. Mekanisme
/ Patogenesis distokia
4. Penanganan
distokia
PEMBAHASAN
1. Faktor-faktor
dan penyebab distokia pada anjing
A. Sebab
Langsung
a) Maternal
1.
Kegagalan
untuk mendorong keluar ,
penyebabnya antaranya :
· Inersia
uterina primer : gangguan myometrium, infeksi uterus, oligoamnion, kelahiran
prematur.
· Inersia
uterina sekunder : sebagai konsekuensi dari penyebab distokia lain.
· Kerusakan
uterus dan torsi uterus.
· Ketidakmampuan
untuk mengejan (abdominal) : karena umur, kesakitan dan kelemahan.
2. Obstruksi saluran
peranakan ,
penyebab diantaranya :
· Tulang
pelvis : fraktur, ras, diet, belum dewasa, neoplasia, penyakit dan kecil.
· Vulva
: cacat kongenital, fibrosis dan
belum dewasa.
· Vagina
: cacat kongenital, fibrosis, prolaps, neoplasia, abses perivagina dan himen
· Cervix
: cacat kongenital, fibrosis dan kegagalan
untuk dilatasi.
· Uterus
: torsi, deviasi, herniasi, adesi
dan stenosis
b) Fetal
1. Ukuran fetus .
Jika berat badan dan ukuran besar ajan meningkatkan kejadian distokia.
2. Jenis kelamin fetus
. Jantan berat badannya lebih beratdan masa kebuntingannya lebih lama dibanding betina .
3. Kondisi fetus. Yang
dimaksud yaitu fetus masih hidup atau mati. Kematian fetus pada akhir
kebuntingan atau awal kelahiran sebabkan distokia. Misalnya fetus mengalami
hipoksia kronis , fetus gagal melepaskan hormone-hormanya dengan cukup ( ACTH
dan kortisol ) , fetus tidak dapat mengambil postur kelahiran normal sehingga
maldiposisi dan servik gagal dilatasi sempurna sehingga fetus tdiak bisa
keluar.
4. Maldisposisi fetal
:
· Malpresentasi
(transversal, lateral, vertikal).
· Malposisi
(dorso pubis, dorso ilial dextra, dorso ilial sinistra, cephaloilial dextra,
cephaloilial sinistra)
· Malpostur
(carpal flexi unilateral atau bilateral, shoulder flexi unilateral atau
bilateral, head neck flexi, deviation head, dog sitting, hock flexi, breech
postur, unilateral hip flexi) (Jackson P, 2007).
B. Sebab Dasar
a) Herediter
Dapat dibagi atas
faktor-faktor yang terdapat pada induk yang berdisposisi terhadap distokia atau
faktor-faktor tersembunyi seperti gen yang terdapat pada induk atau pejantan
yang dapat menghasilkan fetus defektif.
b) Manajemen
Pakan
c) Infeksi
atau Penyakit
Setiap infeksi atau penyakit mempengaruhi
uterus bunting dan isinya dapat menyebabkan abortus, uterus tidak bertonus,
kematian fetus dan metritis septik pada kebuntingan. Pada infeksi yang parah,
dinding uterus dapat kehilangan kesanggupan berkontraksi, suatu kondisi yang
menyebabkan cervix tidak dapat berdilatasi sempurna atau dapat juga terjadi
torsi uteri. Dalam hal ini, tahap kedua partus akan tertunda secara abnormal.
Hidrops alantois dan oedema fetus dapat menyebabkan distokia.
d) Traumatik
Hernia ventralis dan
ruptura tendo prepubis menyebabkan distokia karena ketidaksanggupan kontraksi
abdominal yang ditimbulkannya sehingga induk tidak dapat mendorong fetus
keluar. Torsi uteri dapat disebabkan karena selip, jatuh atau terguling secara
tiba-tiba pada kebuntingan tua (Noakes.2001).
2. Tanda-tanda
/ gejala distokia
a)
Kontraksi lemah
dan tidak teratur sesudah kelahiran fetus pertama (>4-6 jam tanpa ekspulsi
fetus ).
b)
Keluar leleran
vulva berwarna hijau (berasal dari plasenta yang terpisah pada kelahiran fetus
pertama) tapi fetus tidak segera keluar.
c)
Setelah 2-3 jam
keluar leleran fetal tidak keluar fetusnya.
d) Kegagalan kelahiran 24-36 jam setelah suhu induk di
bawah 37,1oC (Jackson P, 2007).
Tabel
1. Indikasi dan tanda-tanda distokia
Indikasi
|
Tanda-tanda
|
1)
Perpanjangan
masa kebuntingan
2)
Obstruksi
pelvis
3)
Kontraksi
yang kuat
4)
Kontraksi
yang lemah dan tidak teratur
5)
Keluarnya
leleran vulva berwarna hijau (berasal dari plasenta yang mulai terpisah pada
kelahiran fetus pertama)
6)
Setelah
2-3 jam keluarnya cairan fetal
7)
Adanya
bukti yang jelas penyebab distokia
8)
Kegagalan
kelahiran 24-36 jam sesudah temperature rectal drop dibawah 37,10C
9)
Induk
yang kesakitan
10) Abnormalitas dari hasil pemeriksaan radiografi
11) Adanya riwayat distokia sebelumnya
12) Anjing yang sakit dan lemah
|
> 70-72 hari dari hari pertama perkawinan
> 60 hari dari diestrus
Kemungkinan ras
Lesi yang besar atau fraktur sebelumnya
> 45-60 menit tanpa ekspulsi anak
> 4-6 jam tanpa pengeluaran anak
Tidak ada fetus yang keluar
Tidak ada tanda-tanda kelahiran
Fraktur pelvis dan tertahannya fetus pada saluran
peranakan dan sebagian dapat terlihat
Tidak ada kelahiran
Gagal untuk mengeluarkan anak
Malposisi
Fetus terlalu besar (anak tunggal)
|
(Junaidi, 2006).
3. Mekanisme
/ Patogenesis distokia
Berdasarkan skema tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
fetus yang hidup dalam kandungan memiliki peranan yang sangat penting saat
partus dalam inisiasi partus pada induk, pada saat kelahiran terjadi
peningkatan corticotropin releasing hormone sehingga akan menstimulasi hormon
adrenocorticotopin menghasilkan cortisol mengakibatkan plepasan prostaglandin
sehingga corpus luteum mengalami regresi corpus luteum, akibatnya akan
mengalami peningkatan kontraksi uterus dan pelepasan oksitoksin. Keadaan ini
dapat diterjadi pada fetus yang masih hidup, pada kejadian fetus yang mati
proses tersebut tidak akan terjadi dan akan mengalami perpanjangan masa
kebuntingan (Archibald, 1984).
Kematian fetus didalam kandungan sebelum masa kelahiran
akan menyebabkan perpanjangan masa kebuntingan dan tidak adanya proses inisiasi
partus, dan dapat juga menyebabkan kematian fetus secara mumifikasi atau
maserasi (Archibald, 1984).
Mumifikasi, dapat terjadi apabila kematian fetus tersebut
terjadi adanya pelepasan plasenta dengan fetus secara aseptis, pelepasan
plasenta tersebut terjadi apabila tidak adanya kontaminasi dari bakteri
sehingga apabila tidak segera ditangani maka fetus akan mengalami mumifikasi
yang ditandai dengan penghitaman pada fetus dan fetus akan mengalami pengecilan
dan bagian fetus bulu,kulit daging dan tulang masih sempurna
(Archibald, 1984).
Maserasi, dapat terjadi apabila terjadinya pelepasan
plasenta dengan fetus secara sepsis, plepesan plasenta tersebut disertai dengan
adanya bakteri yang akhirnya akan memproduksi keton, keton tersebut akhirnya
akan memasuki aliran darah sehingga disebut dengan ketonemia atau biasa dikenal
dengan toxemia yang terjadi pada induk anjing. Maserasi ini ditandai dengan
adanya sisa penulangan dan rambut dari fetus namun untuk daging dan kulit sudah
tidak ada. Mumifikasi dan maserasi apabila tidak ditangani dengan cepat akan
mengakibatkan piometra pada induk anjing yang terjadi pada beberapa bulan kemudian
(Archibald,
1984).
4. Penanganan
distokia
Penanganan:
1.
Manipulatif
a) Repulsi
, yaitu mendorong fetus sepanjang saluran peranakan kea rah dalam uterus.
b) Mutasi
, yaitu cara penanggulangan distokia dimana fetus dikembalikan ke presentasi ,
posisi dan postur yang noemal melalui repulse, rotasi versi dan pembentukan
atau perentangan ekstremitas.
c) Ekstensi
, yaitu pembetulan letak bagian-bagian fetus yang mengalami fleksi.
d) Rotasi
, yaitu memutar tubuh fetus sepanjang sumbu longitudinal ( ke kanan atau kiri
). Posisi dorso-ilial atau dorso pubis sering terjadi pada tortio uterus 90 –
180 derajat.
e) Versio
, yaitu memutar fetus ke depan atau ke belakang ( Manan,2001 ; Smith, 2002) .
2.
Terapi Obat
Oksitosin (dosis anjing 2-5IU; kucing 2-5IU) melalui
injeksi intramuskular. Setelah injeksi, ditinggalkan dengan tenang selama 10-15
menit. Oksitoksin dosis besar yang berlebihan menyebabkan spasmus uterus dan
kadang-kadang gejala mengkhawatirkan dari induk. Jika dosis tunggal oksitoksin
gagal untuk menghasilkan efek yang diinginkan, dosis selanjutnya dapat
diberikan setelah 20-30 menit. Jika tidak ada respon terhadap semua oksitoksin
dalam 30 menit dan fetus selanjutnya masih ada di dalam uterus, kemungkinan
besar diperlukan intervensi operasi ( Smith,2002 ).
3. Episiotomi
Yaitu penyobekan
pada dinding vagina untuk mempermudah pengeluaran fetus. Tekniknya yaitu incisi
dilakukan memanjang dari dorsal komissura vulva sampai ke permulaan vagina,
melewati tuberkulum uretra. Incisi kulit dapat dengan pisau, dilanjutkan dengan
gunting untuk mengiris bagian otot dan mukosa. Untuk melakukan
penutupan kembali irisan episiotomi, jahit mulai dari mukosa, dari arah
vestibulum ventral ke dorsal komissura vulva. Dengan pola sederhana menerus,
benang cat gut chromic. Lalu jahit bagian otot dan subkutan dengan pola
sederhana tunggal atau menerus. Terakhir, jahit kulit dengan katun atau nylon
dengan pola sederhana tunggal (Slatter.2002).
4.
Fetotomi
Adalah
memotong fetus yang tidak bisa dikeluarkan, menjadi potongan-potongan kecil
yang lebih mudah dikeluarkan melalui saluran peranakan. Indikasi dilakukannya
fetotomi antara lain penanganan distokia yang disebabkan maldisposisi yang
tidak dapat dikoreksi dengan cara manipulatif, penanganan distokia yang
disebabkan disproporsi fetopelvis dengan fetus mati dan tidak dapat dikeluarkan
dengan tarikan dan penanganan distokia yang disebabkan oleh fetus terjepit
selama pengeluaran fetus. Fetotomi dilakukan dengan mempertimbangakan
presentasi, posisi dan postur fetus. Ada 2 teknik fetotomi yaitu :
a) Dalam
fetotomi perkutan digunakan embrio tubuler , yang melalui gergaji kawat
dilewatkan. Gergaji kawat untuk memotong fetus sedangkan embriotom melindungi
jaringan maternal dari kerusakan.
b) Dalam
fetotomi subkutan bagian-bagian tubuh fetus dibedah keluar dari dalam
kulitnya hingga mengurangi bagian terbesar fetus .
Perawatan
induk pasca fetotomi yaitu vagina dan uterus harus diperiksa secara manual
untuk mengetahui kerusakan jaringan lunak. Lalu pemberian antibiotik local dan parenteral . Analgesi dan toksemia
guna terapi non-steriodal dan anti inflamasi (Jackson, 2007).
Pencegahan
Manajemen perkawinan, diantaranya
umur perkawinan yaitu anjing jantan mampu
kawin sejak sekitar waktu pubertas saat berusia 6 bulan dan jika anjing tersebut
digunakan sebagai pembiak, penting untuk tidak menekan tanda-tanda libido potensial
selama kehidupan anak. Pemilihan pejantan:
perbedaan ukuran antar jenis kelamin yang terlalu
jauh sebaiknya dihindari. Waktu
dan frekuensi perkawinan: harus dilihat recording serta
siklus estrus betina (Jackson.2007).
Sectio Caesaria
Metode:
a) Pra Operasi
Persiapan hewan dengan pengosangan colon dan
vesica urinaria. Pembersihan dan pencucian daerah abdomen caudal. Sebelum
dilakukan keduanya, hewan diberi premedikasi, secepatnya hewan tersebut diletakkan
di meja operasi. Infus dengan larutan elektrolit sehingga efek obat lebih cepat
terdistribusi. Persiapan terakhir adalah anasthesi (Archibald.1984).
b) Pre Medikasi
Atrophin
sulfat (1/150 gram) atau morphin sulfat (1/8) - ½ gr) diberikan secara s.c 30
menit sebelum operasi dengan dosis sekecil mungkiin karena merupakan memliki
efek depressan pada fetus. 15 menit setelah pemberian premedikasi, induk lebih
mudah ditangani, setelah 30 menit diberikan anasthesia berupa eter dengan
metode inhalasi (Archibald.1984).
c) Anestesi Umum
Anastesi umum
jarang dipergunakan untuk operasi caesar karena dapat menyebabkan pembiusan
pada puppies. Biasanya menggunakan propofol atau isofluran. Penggunaan secara
intravena tidak membahayakan bagi induk, namun menyebabkan fetal acidosis dan
hipoksia.
Preparat
barbiturat secara intravena relatif aman digunakan,seperti lidokaine 0,25-0,5
mg/kg BB atau diazepam0,1-0,4 mg/kg BB. Anastesi ketamin 4-6 mg/kg BB
dikombinasikan dengan diasepam 0,2-0,4 mg/kg BB atau midazolam 0,1-0,3 mg/kg BB
secara intravena merupakan teknik induksi yang cepat untuk suport
kardiovaskular apabila terjadi kondisi yang kritis. Jika bradikardia muncul,
atropin 0,02-0,04 mg/kgBB intravena atau intramuskular menjadi anti kolinergik
yang bagus karena glikorolat tidak menembus barier plasenta, dan induksi
ophioid bradikardia mungkin terjadi pada fetus. Xilazin tidak direkomendasikan
untuk sectio caesaria karena menyebabkan mortalitas tinggi pada hewan kecil.
Xilazin dapat mengakibatkan fetal bradikardia, hipertensi, dan hipoksemia
setelah 20 menit pemberian (Slatter.2002).
d) Teknik
Operasi
· Incisi
pada ventral midline seriing digunakan untuk sectio caesaria karena bermanfaat
untuk meningkatkan visualisasi dan memudahkan akses ke uterus. Incisi dimulai
dari Incisi di bawah umbilikus
hingga daerah pubis.
· Uterus
dibuka pada permukaan ventral korpus uteri atau pada sambungan korpus dan salah
satu kornu uteri. Perawatan yang hati-hati harus dilakukan ketika pembukaan
uterus sehingga fetus yang ada dibawahnya tidak tanpa sengaja terinsisi. Fetus
pertama ditarik dari uterus di dalam amnionnya setelah memasuki kantung
korioalantoisnya. Amnion kemudian diambil dari kepala dan tubuh fetus.
· Korda
umbilicus dijepit dan dipotong 2 cm dari pusar dengan forcep arteri dan fetus
dipegang oleh seorang asisten untuk perawatan selanjutnya dan resussitasi.
Lendir digoyangkan perlahan dari dalam mulut atau dihilangkan dengan sedotan.
Fetus dikeringkan dengan handuk – aktivitas ini dapat menstimulasi respirasi
dan pergerakan dan dengan segera, pada fetus yang sehat, jeritan terdengar.
Tiupan perlahan ke dalam mulut, yang meningkatkan kadar karbon dioksida di
dalam udara yang dihirup, juga memberikan aksi stimulasi. Pada kasus yang
sulit, terapi obat dapat diperlkukan; 1-5 mg doxapram hidroklorida dapat
ditempatkan dibawah lidah dari masing-masing fetus untuk menstimulasi
pernapasan.
· Tindakan
dilakukan untuk mengambil masing-masing plasenta dari masing-masing fetus
dengan hati-hati, tetapi jika kesulitan dialami atau perdarahan segar terpicu,
plasenta harus ditinggalkan in situ untuk didorong mundur untuk dikeluarkan
kemudian – kemungkinan dibantu secara postoperative dengan terapi ekbolik.
Fetus berikutnya didorong perlahan dari masing-masing kornu uteri sepanjang
menuju insisi uterus darimana mereka diambil. Pada sebagian besar kasus, semua
fetus dapat dikeluarkan dari insisi uterus tunggal.
· Sebelum
uterus ditutup, uterus harus diperiksa untuk memastikan bahwa tidak ada anak
yang tertinggal. Keseluruhan saluran genital harus diperiksa, termasuk korpus
uteri kaudal dan vagina intrapelvis. Jahitan Lembert terbalik dengan bahan
benang jahit yang dapat terserap digunakan untuk menutup uterus, memastikan
bahwa tidak ada sedikitpun bagian plasenta yang membahyakan tepi luka. Abdomen
ditutup dengan cara biasa dan lapisan kawat kecil dapat dilekatkan pada luka
kulit untuk melindunginya dari kontak langsung dengan anak-anaknya.
e) Post
Operasi
Tujuh
hari setelah pembedahan mortalitas pada induk dapat mencapai 1%. 5 dari 9
kematian (56%) akibat pneumonia yang berhubungan dengan pasif regurgitasi dan aspirasi, dapat dibantu
dengan kontrol endotrakheal itubation setelah dianastesi.
Puppies segera
dibersihkan dengan handuk yang hangat diberikan pemanas atau hair drayer untuk
menghangatkan. Pemberian handuk dan menggosk-gosokkannya ke seluruh tubuh
puppies berfungsi untuk menstimulasi pernafasan. Hidung dan mulut dibersihkan.
Pada kitten dan puppies swap menggunakan kapas dapat digunakan untuk
membersihkan cairan pada hidung dan mulut. Apabila neonatus memiliki heart rate
normal (120-150 detak permenit) tapi apneic, stimulasi taktil, dan pemberian
oksigen menggunakan masker dapat menjadi alternatif . Apabila nafas mulai
normal neonatus dipindahkan ke dalam inkubator. Kemudian fetus didekatkan dengan
induk agar mendapatkan kolostrum.
Jika tidak dapat diberikan kolostrum buatan. Adapun
cara yaitu pembuatan klostrum buatan dengan bahan :
- Susu
skim 12 sendok makan ( bahan dsar kolostrum ).
- Garam
dapur 1 sendok makan ( elektrolit pengganti NaCL ).
- MgSO4
( laksansia ).
- Kuning
telur 1-2 butir ( sumber lemak, protein dan imunoglobin ).
- Madu
( sumber vitamin dan tenaga ).
- Antibiotik
( antibakteri ).
- Air
hangat dan gula jawa ( pelarut ).
Cara pembuatannya panaskan air
dalam keadaan mendidih lalu tuangkan pada wadah yang telah dicampur semua bahan
diatas, aduk rata dan siap di berikan pada fetus yang baru lahir
(
Manan,2001
; Slatter,
2002 ).
DAFTAR
PUSTAKA
Archibald,
G.H. 1984. Canine Surgery 3nd edition. Saunders. Elseviers.
Jackson.,
P. G. 2007. Handbook Obstetric Veteriner,
2nd edition. Saunders. Elsevier.
Junaidi,
Aris. 2006. Reproduksi dan Obstetri pada
Anjing. Yogyakarta : UGM press
Manan,
Djema’at. 2001. Ilmu Kebidanan Pada
Ternak. Banda Aceh : FKH University Syiah Kuala.
Noakes,
DE., Parkinson, TJ & England, CW. 2001. Arthur’s
Veterinary Reproduction and Obstetric 8thedition. UK : WB Saunders.
Slatter,
D. 2002. Text Book of Small Animal
Surgery 2nd edition. United States of America: WB saunder.
Smith,
B. P. 2002. Large Animal Internal
Medicine. Third ed. Mosby, USA
No comments:
Post a Comment