A.
Merumuskan
Sasaran / Tujuan Belajar / Learning Objectives
1.
Mengetahui jenis vaksin.
2.
Mengetahui program vaksinasi pada ayam
komersial.
3.
Mengetahui evaluasi vaksinasi pada ayam.
4.
Mengetahui akibat kesalahan aplikasi dan
jadwal vaksinasi.
B.
Belajar
Mandiri (Mengumpulkan Informasi)
1.
Jenis
Vaksin
a.
Live
attenuated vaccine
Live vaccine mengandung
virus hidup, bakteri atau parasit. Vaccine
ini dilemahkan dalam beberapa cara (dibuat pada media
kultur atau dimanipulasi genetiknya) untuk memastikan
bahwa mereka tidak menginduksi penyakit yang signifikan ketika diberikan. Namun terkadang dapat ditemukan secara alami strain lemah dalam
populasi unggas. Kadang-kadang
patogen terkait, bahkan dari spesies lain, dapat digunakan untuk vaksinasi. Namun, lebih sering mereka tumbuh
melalui beberapa generasi dalam sebuah budaya sistem buatan (seperti kultur
sel, embrio, atau media buatan) sehingga mereka menjadi kurang beradaptasi
untuk tumbuh di host target. Vaksin
hidup menyebabkan infeksi dengan organisme hidup, yang kemudian dapat
menginduksi respon kekebalan.
Vaksin ini memiliki beberapa
kelebihan antara lain tidak memerlukan adjuvant. Onset respon imun cepat. Lebih
murah. Bisa diberikan secara masal. Rute pemberian bisa bervariasi. Menstimulasi
imunitas seluler dan humoral. Jika booster
diperlukan, intervalnya bisa panjang karena telah ada memori imunologikal.
Beberapa kekurangan vaksin ini
antara lain dapat menimbulkan reaksi yang merugikan, termasuk imunosupresi. Tidak
tahan jika disimpan dalam waktu lama. Memerlukan refrigerasi untuk menjaga
viabilitas (Daly, 2008 ; Quinn, 2007).
b.
Killed
vaccine
Vaksin tidak mengandung
organisme hidup. Agen infeksius dimatikan tanpa mengubah
imunogenitas yang substansial. Untuk
memproduksi yang patogen harus ditumbuhkan dalam jumlah besar di laboratorium
kemudian dinonaktifkan, biasanya dengan perlakuan kimia. Oleh karena tidak
megandung organisme hidup, vaksin harus diberikan setiap individu dengan
injeksi. Biasanya merangsang
sistem kekebalan tubuh secara lokal di tempat suntikan. Vaksin ini memerlukan senyawa yang disebut 'adjuvant' dan dua jenis yang paling
umum adalah minyak mineral dan aluminium hidroksida. Berbasis minyak sebagai emulsi, baik
minyak dalam air atau air dalam minyak.
Kelebihan dari vaksin ini antara lain dapat
menginduksi level antibodi yang tinggi di sirkulasi. Lebih stabil pada
temperatur lingkungan. Lebih aman karena tidak dapat kembali menjadi virulen. Lebih
tahan disimpan dalam waktu lama.
Kekurangan dari vaksin ini adalah mudah
berubah imunogenitasnya oleh bahan-bahan kimia. Onset respon imun lebih lambat.
Aplikasi secara individual. Memerlukan adjuvant untuk meningkatkan imunogenitas.
Kurang efektif dalam menstimulasi imunitas seluler dan imunitas mukosal. Karena
tidak bisa bereplikasi, diperlukan masa antigenik yang lebih besar dan perlu
booster. Harganya lebih mahal (Daly, 2008 ; Quinn,
2007).
c.
Recombinan
vaccine
Vaksin rekombinan sebenarnya sebuah
sub-set kategori 'vaksin hidup'. Mereka diciptakan sebagai campuran dari dua
organisme yang berbeda dengan buatan berarti. Asam
nukleat dari satu organisme artifisial dicangkokkan ke dalam asam nukleat lain
sedemikian cara itu, ketika organisme pembawa mengalikan dalam tubuh juga
mengungkapkan protein untuk menginduksi kekebalan terhadap yang kedua (tanpa
menginduksi infeksi pada Pengembangan organisme) kedua jenis vaksin ini sangat
kompleks karena diperlukan untuk memastikan bahwa modifikasi tidak merusak
kemampuan carrier organisme untuk menginfeksi dan berkembang biak. Selain antigen dipilih untuk yang
kedua organisme harus menjadi protein yang benar (dalam struktur dan
konformasi) untuk mencapai perlindungan. Untuk
beberapa infeksi maka perlu untuk memberikan kekebalan terhadap beberapa antigen
untuk keberhasilan kekebalan penuh. Pada
prinsipnya, vaksin rekombinan berbagi fitur yang sama seperti vaksin hidup
lainnya, mereka dapat berisi sejumlah kecil organisme, kadang-kadang mereka
dapat menyebar dan diterapkan oleh rute massa. Namun fitur vaksin rekombinan
tertentu akan sangat tergantung pada sifat organisme pembawa. Vaksin-vaksin ini diproduksi dengan
memasukkan DNA untuk antigen yang merangsang respon penyakit terhadap penyakit
ke dalam vektor (atau carrier), seperti virus berbahaya, yang kemudian
digunakan sebagai vaksin hidup (Daly, 2008).
d.
Asam
nukleat vaccine
Ini adalah pendekatan yang relatif baru
di mana asam nukleat (DNA) patogen disuntikkan ke dalam unggas sasaran. Vaksin ini mengandung DNA
dimurnikan untuk antigen yang merangsang respon kekebalan terhadap penyakit (Daly, 2008).
2.
Program
Vaksinasi pada Ayam Komersial
a.
Layer
Umur
|
Vaksin
|
Jenis
|
Aplikasi
|
1 hari
|
ND-IB
|
Live
|
Eye drops
|
3 hari
|
Cocci vaccine
|
Live
|
Spray feed
|
1 minggu
|
ND
|
Killed
|
Sub cutan
|
2 minggu
|
IBD
|
Live
|
Drinking water
|
3 minggu
|
ND-IB
|
Live
|
Drinking water
|
23 hari
|
IBD
|
Live
|
Drinking water
|
5 minggu
|
AI
ND
|
Killed
Live
|
Sub cutan
Drinking water
|
6 minggu
|
ILT Vaccine
|
Live
|
Eye drops
|
7 minggu
|
Coryza I
Fowl Pox
|
Killed
Live
|
Intra muscular
Wing web
|
10 minggu
|
ND-IB
|
Live
|
Drinking water
|
14 minggu
|
AI
|
Killed
|
Intra muscular
|
15 minggu
|
ND
|
Live
|
Drinking water
|
16 minggu
|
Coryza II
|
Killed
|
Intra muscular
|
17 minggu
|
ND-EDS-IB
|
Killed
|
Intra muscular
|
b.
Broiler
Hari
|
Vaksin
|
Jenias
|
Aplikasi
|
1
|
ND-IB
|
Live
|
Eye
Drops
|
7
|
ND
|
Kill
|
Sub
Cutans
|
12
|
IBD
|
Live
|
Drinking
Water
|
19
|
ND
|
Live
|
Drinking
Water
|
Beberapa
Rute Pemberian Vaksin pada Ayam
§ Eye
drop
Vaksin
dengan rute mukosa mata menyebabkan timbulnya imunitas lokal dan general karena
adanya kelenjar Harderian di mata. Uptake vaksin melalui duktus sekretorial
dari kelenjar Harderian. Sumber utama IgA dalam air mata berasal dari kelenjar
Harderian dan dapat mempengaruhi respon imun humoral pada mukosa lain. Ini
merupakan cara paling efektif untuk administrasi vaksin respiratori hidup.
Vaksin mengalir dari mata ke rongga nasal melalui duktus.
§ Wing
web dan feather follicle
Metode
ini sering juga disebut transkutaneus. Dahulu digunakan untuk administrasi
vaksin hidup yang mana jika vaksin diadministrasikan secara lebih invasif akan
menjadi lebih patogenik. Namun sekarang digunakan untuk vaksinasi fowlpox,
terutama karena kulit merupakan tempat multiplikasi dari vaksin virus hidup
ini.
§ Spray
Vaksin
dengan merupakan metode efektif administrasi vaksin untuk penyakit respiratori
seperti Infectious Bronchitis, Newcastle Disease atau TRT. Teknik ini didesain
agar vaksin dapat mencapai kelenjar Harderian di mata, mencapai mukosa rongga
hidung dan saluran respiratori atas.
§ Drinking
water
Rute
administrasi drinking water digunakan terutama untuk vaksin seperti IBD dan AE
dimana organ targetnya adalah saluran pencernaan. Drinking water juga digunakan
untuk vaksin sistem respiratori karena cekungan khoanal ada di langit-langit
mulut sehingga dapat mengkontaminasi rongga hidung (Babu, 2002 ; Kreager,
2005).
3.
Evaluasi
Vaksinasi pada Ayam
Evaluasi vaksinasi dapat dilakukan
dengan :
a. Pemeriksaan serum (HI, ELISA) atau uji tantang 3-4 minggu setelah
vaksinasi.
b. Titer antibodi dimonitor dengan random sample 20-25 ekor untuk
tiap kandang atau flock.
c. Evalualuasi titer antibodi kegunaannya sangat terbatas karena
tidak dapat memberi gambaran mengenai kekebalan lokal (Babu, 2002).
Ada beberapa pengelompokkan penyebab
kegagalan vaksinasi, yaitu :
a. Kegagalan mekanis karena kekeliruan penyimpanan, pencampuran, dan
penggunaannya.
b. Ayam sedang dalam masa
inkubasi penyakit yang akan divaksinasi.
c. Vaksin tidak mengandung strain atau serotype agen penyakit yang
dibutuhkan untuk merangsang sistem kekbalan. Dalam kasus ini, agen
penyakit yang terdapat di lapangan tidak cocok dengan yang ada di vaksin.
d. Adanya variasi respon kekebalan dalam populasi ayam karena stress.
Stres dapat menekan respon kekebalan ayam. Stres dapat berupa lingkungan yang
ekstrim, nutrisi, parasit atau penyakit lainnya.
e. Tingginya antibodi asal induk mengganggu terbentuknya sel tanggap
kebal.
f. Ayam mengalami immunosuprseif karena infeksi IBD, Marek’s atau
karena mengonsumsi pakan yang mengandung mikotoksin dalam kadar tinggi. Ayam
yang mengalami imunosupresif tidak dapat menghasilkan sel tanggap kebal secara
efektif (Babu, 2002).
Evaluasi pertama yang
harus dilihat adalah kapan outbreak tersebut terjadi. Apabila outbreak
terjadi pada < 3 minggu post vaksinasi, hal ini berarti antibodi yang
dihasilkan oleh vaksin belum terbentuk secara optimal dan terjadi infeksi dari
lapangan. Atau ada kemungkinan pada saat dilakukan vaksinasi, di dalam tubuh
ayam sedang terjadi masa inkubasi penyakit. Masa inkubasi penyakit yaitu masa
dimana bibit penyakit menginfeksi sampai menimbulkan gejala klinis sehingga
ayam seolah-olah sehat namun selang beberapa hari ayam menunjukkan gejala
klinis korisa. Outbreak yang terjadi pada > 3 minggu post vaksinasi, maka kita
perlu mengevaluasi faktor penyebab kegagalan tersebut meliputi: Materi, Metode,
Mileu/ lingkungan, dan Manusia (4M) (Kreager, 2005).
a. Materi (Vaksin dan ayam)
1)
Vaksin
Vaksin
berkualitas merupakan syarat mutlak untuk keberhasilan vaksinasi karena
berpengaruh langsung terhadap potensi virus vaksin. Produksi Medivac Coryza
mengacu pada standar nasional yaitu Farma-kope Obat Hewan Indonesia (FOHI) dan
juga standar internasional seperti United State Pharmacopoeia, British
Pharmacopoeia dan European Pharmacopoeia. Sebelum dipasarkan, vaksin
tersebut harus melalui tahapan quality control (QC), baik uji potensi
maupun keamanannya. Dalam mengevaluasi
kualitas vaksin perlu diperhatikan pula tanggal kadaluwarsa dan bentuk fisik
sediaan vaksin. Vaksin yang baik belum kadaluwarsa, masih tersegel serta tidak
ada perubahan bentuk fisik sediaan. Vaksin inaktif bentuk suspensi (Medivac Coryza B/Medivac Coryza T) yang pernah membeku
dapat teridentifikasi dengan kecepatan adjuvant mengendap dalam waktu
kurang dari 5 menit. Sedangkan pada vaksin inaktif bentuk emulsi relatif sulit
dibedakan secara fisik. Vaksin yang sudah kadaluwarsa dan pernah membeku jangan
digunakan karena sudah terjadi penurunan bahkan kerusakan potensi vaksin.
2)
Ayam
Kondisi ayam akan berpengaruh terhadap
kemampuan pembentukan titer antibodi. Hanya ayam yang sehat yang boleh
divaksinasi. Untuk itu diperlukan ketelitian dari peternak untuk melakukan
pengecekan terhadap kesehatan ayam. Secara sepintas, pemeriksaan kesehatan
dapat dilihat dari adanya gangguan pernapasan, pencernaan, syaraf maupun
konsumsi pakannya. Terdapat
beberapa faktor immunosupressant yang dapat menekan sistem kekebalan
tubuh yaitu stres dan penyakit seperti CRD, gumboro, mikotoksin, dll yang dapat
mempengaruhi keoptimalan dalam pembentukan titer antibodi. immnunosupressant
akan mempengaruhi kelenjar adrenal untuk memproduksi hormon kortikosteroid.
Hormon inilah yang akan menghambat kerja organ limfoid (pembentuk kekebalan
tubuh) sehingga antibodi yang dihasilkan menjadi tidak optimal. Apabila ayam dalam kondisi sakit, harus dilakukan
pengobatan terlebih dahulu untuk mengurangi derajat keparahannya, kemudian baru
divaksin. Guna meningkatkan daya tahan tubuh ayam di berikan multivitamin
seperti Vita Stress sebelum dan
sesudah vaksinasi.
b. Metode
§
Penyimpanan vaksin tidak
sesuai (tidak pada suhu 2-8° C) atau beku
§
Terkena sinar matahari
langsung
§
Tercemar bahan-bahan kimia
seperti desinfektan, kaporit, detergent
§
Tercemar logam-logam berat
seperti Zn (seng), Pb (timbal) dan Hg (air raksa)
§
Vaksin inaktif tidak habis
dalam waktu 24 jam setelah segel dibuka dan dikeluarkan dari kulkas/marina
cooler
§
Setelah dikeluarkan dari
kulkas/ marina cooler dan digunakan, vaksin dimasukkan kembali ke
kulkas.
§
Vaksin inaktif yang baru
dikeluarkan dari kulkas tidak boleh langsung disuntikkan ke ayam. Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan range suhu antara tubuh ayam dengan suhu vaksin
yang cukup jauh sehingga dapat menyebabkan stres. Untuk meningkatkan suhu
vaksin maka sebelum digunakan, vaksin harus terlebih dahulu digenggam-genggam
dengan telapak tangan. Vaksin
inaktif harus sering dikocok selama pelaksanaan vaksinasi agar bakteri dan adjuvant
dapat tercampur secara homogen. Pengocokan yang kurang akan mengakibatkan
sebagian ayam hanya mendapatkan adjuvantnya saja dan dengan kata lain
ayam tidak mendapatkan 1 dosis vaksin penuh.
c. Mileu
Mileu merupakan segala sesuatu yang terkait antara lingkungan dengan
peternakan. Hal-hal yang dapat memicu
tingginya bibit penyakit di lapangan antara lain :
§ Penumpukan feses di kandang
§ Tempat pakan dan minum yang jarang dibersihkan
§ Penyemprotan kandang yang tidak intensif
§ Tidak dilakukan penyemprotan terhadap orang-orang yang akan masuk
kandang
§ Lalu lintas orang/kendaraan yang keluar masuk kandang tidak
terkontrol
§ Hewan liar/serangga/rodentia yang berperan dalam menularkan bibit
penyakit tidak terkendali
§ Pemeliharaan serta managemen yang semrawut antara ayam dewasa
dengan ayam kecil
§ Tidak menerapkan sistem “all in all out” terutama pada ayam
petelur
d. Manusia
Semua orang
yang terkait dengan peternakan tersebut memiliki andil yang besar dalam
mencegah terjadinya outbreak penyakit. Rendahnya pengetahuan dan kemampuan terutama
dalam penanganan dan aplikasi vaksin merupakan titik awal dari berhasil atau
tidaknya vaksinasi. Dengan demikian skill dan pengetahuan peternak
maupun karyawan perlu ditingkatkan.
Peningkatan pengetahuan dapat dilakukan salah
satunya dengan mengikuti kegiatan seminar, pendidikan dan pelatihan yang
diadakan oleh instansi-instansi terkait. Pelatihan dan pembinaan juga dapat
dilakukan secara langsung di lapangan (Wood, 1998).
4.
Kesalahan
Aplikasi dan Jadwal Vaksinasi
Kesalahan dalam pemilihan vaksin dan juga waktu
pelaksanaan vaksinasi dapat memberikan efek negatif terhadap ayam. Waktu
pemberian vaksin pada umur DOC berbeda-beda di tingkat peternak. Ada yang
memberikannya pada umur 1-2 hari dan ada juga yang memberikan pada umur 3-4
hari untuk kali pertamnya. Vaksin yang diberikan untuk kali pertama hendaknya
vaksin yang inaktif bukan yang aktif apalagi bertipe ganas. Akibat yang timbul
dari kesalahan vaksinasi adalah tidak mau makan, minum dan daya kekebalan tubuh
menurun dan tak jarang akan timbul penyakit yang lebih ganas. Adapun akibat fatal yang mungkin terjadi antara lain ayam menjadi
stres sehingga kematian tinggi pasca penyuntikan, leher terpuntir, terjadinya
abses (kebengkakan) pada leher atau kelumpuhan kaki
Cara mengatasi terjadinya kesalahan vaksin yaitu :
§
memilih jenis vaksin yang tepat
§
memilih waktu pelaksanaan
vaksinasi yang tepat
§
ingat, hanya ayam yang sehat yang
boleh divaksin (Jordan, 2008).
Kesalahan dan Penanganan akibat
salah vaksin
a. Salah
rute
Menyebabkan tidak terbentuknya antibody
yang sesuai target (antibody rendah).
Misalnya vaksin yang seharusnya diaplikasikan dengan rute injeksi
subcutan namun diberikan dengan rute spray maka dosis yang masuk tidak sesuai
karena bisa terbuang di lingkungan dan vaksin killed tidak dapat menembus
mukosa sehingga harus dilakukan pengulangan vaksinasi dengan rute yang benar
(Wood, 1998).
b. Salah
dosis
Bila dosis yang diberikan kurang maka
titer antibody yang terbentuk tidak sesuai target sehingga perlu dilakukan
vaksinasi ulang. Bila kelebihan dosis maka titer yang dihasilkan akan cept naik
dan cepat turunnya. Pada vaksin live perlu dilakukan pengulangan pada minggu ke
6 dimana titer antibody sudah menurun (Wood, 1998).
c. Salah
waktu
Pemberian vaksin live yang tidak tepat
waktunya misal lebih cepat dari jadwal tidak memberikan dampak buruk, dan
pemberian jadwal vaksin berikutnya (booster) juga lebih cepat dari jadwal yang
seharusnya. Bila pemberian vaksn killed dilakukan sebelum terbentuk limfosit T,
maka kerja vaksin tidak maksimal (tidak mencapai titer target). Vaksin juga tidak dapat diberikan pada saat
masa inkubasi penyakit, karena akan menaikkan titer antigen (Wood, 1998).
d. Salah
perlakuan
Salah perlakuan dapat memberikan dampak
bagi unggas. Misalnya vaksin terkena matahari pada saat pencampuran, maka
vaksin tidak bekerja maksimal pada unggas, sehingga perlu dilakukan vaksin
ulang. Suhu penyimpanan yang tidak sesuai atau perubahan suhu yang mendadak
menyebabkan daya poten vaksin menurun (Wood, 1998).
C.
Sumber Informasi
(Daftar Pustaka)
Babu, U., M. Scott, M.J.
Myers. 2002. Veterinary Immunology and
Immunopathology 91 (2003) 39–44 : Effects of live attenuated and killed vaccine
on T-lymphocyte mediated immunity in laying hens. Philadelphia : Elseviers
Daly, Russ.
2008. Understanding Vaccines, Waht They Are, How they Work. Washington :
National Institutes of Health
Jordan, F. 2008. Poultry Disease.
Philadelphia : Saunders-Elsevier
Kreager,
K. 2005. Vaccination Programs and Techniques.
Paris : Fort Dodge
Animal Health
Quinn, P.J., Markey, B.K., Carter, M.E.,
Donnelly, W.J.C., Leonard, F.C. 2007. Veterinary
Microbiology and Microbial Disease. Iowa : Blackwell Science
Wood, J. 1998. Guidelines for the Establishment and Operation of Poultry Farms in South
Australia. Sydney : South Australian Farmers Federation
No comments:
Post a Comment