A.
Merumuskan
Sasaran / Tujuan Belajar / Learning Objectives
1.
Mampu mengetahui tentang penyakit saluran respirasi
pada ayam (etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis dan pengobatan).
2.
Mampu
mengetahui pencegahan dan pengendalian pada penyakit saluran respirasi ayam.
B.
Belajar
Mandiri (Mengumpulkan Informasi)
1.
Penyakit Saluran Respirasi Ayam
a.
Virus
1) Newcastle
Disease
a) Etiologi
Disebabkan oleh virus familia Paramyxoviridae,
Genus Avian Paramyxovirus type 1 (APMV1). Termasuk kelompok virus ssRNA
polaritas negatif. Virus beramplop, berbentuk pleumorfik biasanya berbentuk
bulat dengan diameter 100-500 nm. Namun, adapula yang berbentuk filament
(Yuniati, 2012).
Sifat virus ND relatif tahan terhadap pemanasan. Dapat bertahan selama
berbulan – bulan di temperatur kamar bahkan dapat bertahan selama 1 tahun pada
temperatur 4°C, menggumpalkan
butir darah merah, di bawah sinar ultra violet akan mati dalam dua detik, mudah
mati dalam keadaan sekitar yang tidak stabil dan rentan terhadap zat-zat kimia,
seperti : kaporit, besi, klor dan lain-lain. Desinfektan yang peka untuk ND,
antara lain NaOH 2%, Formalin (1 – 2%),
Phenol-lisol 3%, alkohol 95 dan 70%, fumigasi dengan Kalium permanganat (PK) 1
: 5000. Cemaran virus di kandang berasal dari hewan yang
terinfeksi ND melalui feses, leleran dari hidung dan mulut yang jatuh ke lantai
kandang (Quinn, 2007).
Pada amplop virus ini terdapat protein penting, yaitu hemaglutinin –
neuraminidase (HN), protein fusi (F), dan lipid membran. Pada kapsid terdiri
atas protein matriks. Diantara kapsid dan amplop terdapat nukeloprotein (NF).
Protein fusi memicu adanya fusi antara amplop virus dengan membran sel
terinfeksi. Protein HN berfungsi untuk perlekatan virus pada sel inang
(Yuniati, 2012).
Berdasarkan virulensi, ND dibedakan atas :
Galur
velogenik : adalah galur virus yang paling ganas, ditandai dengan penyakit yang
bersifat akut. Dengan angka sakit dan angka kematian hewan yang tinggi dapat
mencapai 100%.
Galur mesogenik
: adalah galur virus dengan virulensi yang sedang, ditandai dengan gejala
klinis yang menciri serta angka sakit dan angka kematian antara 40% – 50%.
Galur
lentogenik : gejala penyakitnya lebih ringan dibandingkan dengan galur
mesogenik, gejala penyakit sangat sedikit sampai bersifat sub-klinis terutama
pada hewan dewasa (Yuniati, 2012).
b) Patogenesis
Virus ND ditularkan secara inhalasi melalui pernafasan sewaktu ayam
menghirup udara yang telah tercemari virus. Penularan penyakit ND secara
aerosol dapat terjadi meskipun jaraknya cukup jauh, yakni 64 meter dari sumber
infeksi. Penularan secara kontak langsung terjadi dari ayam sakit ke ayam peka
disekitarnya dalam 1 kandang. Meskipun sangat jarang, penularan penyakit juga
dapat terjadi melalui telur akibat kulit telur terkontaminasi oleh feses yang
telah mengandung virus ND. Penularan
secara oral pada unggas terjadi karena pakan unggas dan air minum telah
tercemari oleh leleran hidung dan leleran mulut dari ayam terinfeksi. Masa
inkubasi virus ND velogenik adalah 2-6 hari (Yuniati, 2012).
Virus bereplikasi pada epitel mukosa saluran pernafasan bagian atas
dan saluran pencernaan. Selanjutnya penyebaran virus ND melalui aliran darah yang disebut
dengan viremia primer. Selanjutnya virus menyebar melalui aliran darah menuju
ke ginjal dan sumsum tulang yang menyebabkan viremia skunder, kemudian menuju
organ predileksi seperti usus, paru – paru, dan sistem syaraf pusat. Hal ini menyebabkan infeksi pada organ paru-paru,
usus dan sistem saraf pusat. Sulit bernafas timbul karena penyumbatan paru-paru
dan kerusakan pada pusat pernafasan di otak (Yuniati, 2012).
c) Gejala Klinis
Secara
umum penyakit diawali dengan anoreksia, terjadi peningkatan suhu tubuh sampai
43°C. gejala klinis ditandai dengan hewana tampak lesu, muncul rasa haus yang
sangat, diare, bersin – bersin, bulu kering dan kusam. Pada ayam petelur
ditandai dengan penurunan produksi telur yang terjadi selama 8 minggu. Bentuk
telur yang dikeluarkan selama fase ini ukurannya lebih kecil, dengan kerabang
lembek seta albumin yang cair. Pada ayam, virus ND strain lentogenik biasanya
bersifat sub-klinis sampai menimbulkan penyakit pernafasan ringan. Seperti
batuk – batuk, megap – megap dan bersih, disertai dengan sekresi leleran dari
hidung. Kematian unggas umumnya sangat rendah (Yuniati, 2012).
Virus
strain mesogenik menimbulkan penyakit pernafasan akut dan penyakit syaraf
tetapi angka kematiannya rendah. Gejala klinis yang lain pada ayam ditandai
dengan penurunan nafsu makan, jengger dan pial sianosis, dan pembengkakan di
daerah kepala. Infeksi oleh virus ND lentogenik dan mesogenik dapat bersifat
lebih parah apabila disertai dengan infeksi skunder oleh agen penyakit lain
(Yuniati, 2012).
Virus
ND strain velogenik menimbulkan penyakit parah yang fatal pada ayam dengan
angka kematian mencapai 100%, gejala klinis bervariasi dari gejala lesu dan
tidak ada nafsu makan, bulu kusam, konjuntiva merah dan odema. Selain itu dapat
pula terjadi diare cair yang berwarna kehijauan atau keputihan. Gejala
pernafasan akibat penyakit ND diantaranya adalah sianosis dan pembengkakan
jaringan di daerah leher dan kepala. Penyakit ND juga ditandai dengan gejala
syaraf yang meliputi tremor, spasmus, paresis, ataxia, dan paralisis dari sayap
dan kaki. Gejala yang khas yakni tortikolis dan gerakan berputar – putar
(Yuniati, 2012).
Beberapa
perubahan yang sifatnya patognomonis ditemukan pada bebagai organ seperti
perdarahan, ptechiae sampai eximose pada laryng, trachea, oesophagus,
proventrikulus, ventrikulus dan seca tonsil. eksudat dan peradangan
pada saluran pernapasan serta nekrosis pada usus (Calnek, 2003).
d) Diagnosis
Gejala
penyakit ini tidak spesifik sehingga harus dipastikan dengan isolasi virus dan
serologi. Virus dapat diisolasi dari limpa, otak atau paru-paru melalui
inokulasi alantois dari telur berembrio umur 10 hari, virus dibedakan dengan
yang lainnya dengan menggunakan uji penghambatan-jerapan darah dan penghambatan
hemaglutinasi. Penentuan virulensi sangat diperlukan untuk isolat lapangan.
Sebagai tambahan atas indeks kerusakan syaraf dan rataan waktu kematian dari
embrio ayam, juga dipakai pembentukan plak dalam keadaan ada atau tidak adanya
tripsin pada sel ayam. Uji penghambatan-hemaglutinasi digunakan dalam diagnosis
dan pemantauan penyakit Newcastle kronis di negara tempat bentuk penyakit ini
merupakan endemis (Yuniati,
2012).
2) Infectious
Laryngotracheitis
a)
Etiologi
Disebabkan
oleh virus dari familia Herpesviridae,
subfamilia Alphaherpesvirinae, genus Varicellovirus, spesiesnya adalah Gallid herpesvirus. Termasuk virus dsDNA
dan beramplop, berdiameter 80 – 100 nm. Nukleokapsid virus tersusun atas 162
kapsomer berbentuk icosahedral yang dikelilingi oleh amplop. Partikel lengkap
virus berdiameter 195-250 nm. Pada permukaan amplop terdapat penonjolan
glikoprotein. Virus penyakit ILT peka terhadap pelarut kloroform dan pH yang
bersifat ekstrim, misalnya pH diatas atau dibawah 7. Virus ILT tetap infektif
selama beberapa bulan pada suhu penyimpanan 40C dalam larutan
gliserol dan nutrient broth. Virus ILT dapat diinaktivasi dengan cepat pada
pemanasan 550C selama 15 menit atau 380C selama 48 menit
(Yuniati, 2012).
b)
Patogenesis
Ayam dapat tertular
oleh virus ILT melalui saluran pernafasan atas dan mata. Selain itu, penularan
ILT juga terjadi secara per-oral, tetapi hal ini hanya terjadi apabila virus
telah menginfeksi epitel nasal. Sumber penularan virus adalah eksudat bersin
yang berasal dari hidung, oofaring, atau trakea unggas sakit yang menulari
unggas lainnya. Secara tidak langsung penularan penyakit ILT terjadi melalui
cemaran. Setelah virus menginfeksi saluran pernafasan atas, terjadi replikasi
virus secara besar – besaran pada jaringan trakea. Selanjutnya virus dikeluarkan
melalui leleran hidung 6-8 hari pasca infeksi. Eksudat yang berasal dari ayam
yang sakit tersebut kemudian bercampur dengan pakan maupun debu serta mencemari
alas kandang. Cemaran virus ini bersirkulasi lama dan mencemari kandang. Ayam
yang telah sembuh sering kali bersifat sebagai carrier (Yuniati, 2012).
c)
Gejala
klinis
Bentuk perakut
ditandai dengan kejadian penyakit yang berlangsung sangat cepat. Beberapa
unggas mati secara mendadak tanpa didahului dengan gejala klinis. Kondisi ayam
masih terlihat bagus namun tiba-tiba mati secara mendadak akibatnya tersumbat
saluran pernafasan (Yuniati, 2012).
Gejala
klinis subakut ditandai dengan gejala yang berlangsung lebih lambat
dibandingkan bentuk perakut dan berlangsung beberapa hari. Kasus ILT yang parah
pada ayam ditandai dengan diangkatnya leher yang disertai dengan kepala yang
dijulurkan pada saat ayam mengambil nafas. Pada saat ayam batuk terlihat
kepalanya bergetar hebat untuk mengeluarkan gumpalan lender yang bercampur
dengan darah. Gumpalan darah dapat dijumpai pada paruh, pada bulu di beberapa
bagian tubuh dan sering dijumpai pada alas kandang, serta peralatan pakan dan
di tempat air minumnya (Yuniati, 2012).
ILT
kronis ditandai dengan batuk – batuk yang sifatnya ringan, bersin – bersin,
disertai dengan keluarnya ingus dan air mata. Gejala lain yang terlihat adalah
gangguan respirasi seperti sesak nafas, megap – megap, batuk yang hebat dan
unggas terlihat lesu akibat kesulitan bernafas. (Yuniati, 2012).
d) Perubahan patologis
Pada
ILT perakut ditandai dengan beberapa perubahan saluran respirasi bagian atas,
di daerah trachea dan laring bersifat ringan ditandai dengan mucus berlendir
yang berlebihan, sinusistis dan trakheitis berlendir. Pada kasus yang berat
perubahan anatomi dari ayam yang terserang ILT ditandai dengan nekrosis dan
perdarahan pada trachea. Perdarahan pada trakea menyebabkan terjadinya gumpalan
darah yang bercampur lendir atau jaringan nekrotik yang dapat menyumbat saluran
pernafasan. Peradangan terjadi mulai dari bronchi sampai paru – paru dan air
sac (Yuniati, 2012).
Hasil
postmortem subakut dijumpai beberapa lesi dan eksudat mukoid dengan atau tanpa
disertai perdarahan pada trachea. Membrana dipteritik caseosa dapat dijumpai
pada daerah laring dan mukosa trachea bagian atas. Kejadian oklusi laring juga
ditemukan pada kasus ILT kronis (Yuniati, 2012).
Perubahan
patologi anatomi pada kasus ILT kronis tidaklah begitu menciri. Namun dapat
ditemukan beberapa lesi antara lain konjungtivitis, sinusitis dan trakheitis
pada daerah mukosa (Yuniati, 2012).
Hasil
pemeriksaan histopatologi ditemukan adanya perubahan pada mukosa trachea
seperti hilangnya sel goblet dan infiltrasi sel – sel radang. Selanjutnya,
sejalan dengan perkembangan infeksi terjadi pembesaran sel – sel bersilia,
hilangnya silia dan oedema. Adanya sel besar berinti banyak terbentuk dari sel
– sel limfosit, histiosit dan sel plasma yang ditemukan pada sel mukosa dan
submukosa trachea. Pada tahap lanjut terjadi deskuamasi dari mukosa trachea.
Benda inklusi intranuklear ditemukan pada sel epitel trachea 3 hari pasca
infeksi. Benda inklusi ini hanya ditemukan pada awal infeksi dan menghilang
pada infeksi melanjut (Yuniati, 2012).
e)
Diagnosa
Laboratorium :
sampel isolat virus pada unggas hidup dapat diambil dari swab trachea, sedangkan pada unggas yang telah dinekropsi
sampel isolate diambil dari jaringan takhea yang mengalami lesi. Hasil
pemeriksaan preparat histopatologi ditemukannya inklusi intranuklear yang
bersifat eosinofilik di saluran rspirasi dan epitel konjungtiva bersifat lesi
patognomonik. Badan inklusi diamati pada preparat yang dicat dengan pengecatan
Giemsa atau HE. Isolasi penyakit virus ILT dapat dilakukan pada TAB umur 11
hari diinokulasi di cairan korioallantois. Inokulasi tersebut menghasilkan
bentukan pox pada selaput korioallantois. Selain itu, diagnosa dapat
menggunakan media kultur sel yang berasal dari embrio ayam. Kultur sel yang
dapat digunakan antara lain chicken
embrio liver (CEL), chicken embrio
lung, dan chicken kidney (CK).
Kultur sel ini mengahsilkan bentuk sinsitia berupa cell cytopathic effect (CPE) dari biakan sel yang diinfeksi virus
4-6 jam pasca inokulasi. Sinsitium ditemukan 12 jam pasca infeksi (Yuniati,
2012).
3) Egg
Drop Syndrome
a)
Etiologi
Berasal dari family Adenoviridae
genus Atadenovirus. Itik dan Angsa
sebagai reservoir penyakit EDS. Dikenal pula dengan nama Duck Adenovirus – 1
(dV-1), Egg Drop Syndrome Virus, Egg Drop Syndrome 76 virus, dan Adenovirus 127
(Yuniati, 2012).
Termasuk kelompok virus DNA yang tidak beramplop dengan genom dsLinier
berbentuk icosahedral dan berdiameter 70-90nm. Genom Adenovirus terdiri 252
kapsomer dengan 2 serat yang mencuat dari tiap vertiksnya. Secara molekuler
dengan menggunakan sosodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis
ditemukan bahwa adenovirus tersusun atas 10 macam protein dengan berat molekul
berkisar antara 6,5 kDa – 126 kDa. Semua kelompok Adenoviruspeka terhadap
pelarut lemak, resisten terhadap sodium dioksicolat, tripsin, 2% phenol dan
alcohol 50%, pH 3 – 9. Tetapi dapat diinaktifkan dengan formalin dengan
konsentrasi 1 : 1000. Adenovirus umumnya bersifat sangat peka terhadap
pemanasan. Namun, ada beberapa strain dapat bertahan pada suhu 60°C selama 10
menit. Juga pada sushu 30°C selama 30 menit. Adenovirus mempunyai sifat dapat mengaglutinasi
sel darah merah unggas tetapi tidak dapat mengaglutinai sel darah merah mamalia
(Yuniati, 2012).
b)
Patogenesis
Secara
horizontal penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dari unggas yang
terinfeksi kepada unggas yang sehat dalam satu kelompok. Penularan penyakit EDS
dapat terjadi secara peroral melalui respirasi dengan cara menghirup cemaran
bercampur debu, air minum atau kontamiansi feses. Proses penularan penyakit EDS
76 dengan cara horizontal mengakibatkan penyakitnya bersifat endemik dan sulit
untuk diberantas. Eksudat yang berasal dari cairan oviduk seringkali mencemari
feses yang berakibat bertahannya virus penyakit EDS 76 di kandang dan
selanjutnya berpotensi sebagai sumber penularan penyakit. Pola penyebaran
penyakit di pasar unggas karena agen penyebabnya bersirkulasi secara terus –
menerus di area tersebut. Masa inkubasi penyakit EDS berlangsung singkat, yaitu
3-4 hari (Yuniati, 2012).
c)
Gejala
Klinis
Pada yama
broiler penyakit EDS 76 juga ditemukan pada
umur 5-6 minggu tetapi sifat penyakitnya adalah subklinis. Beberapa ciri
khas dari ayam yang terinfeksi oleh penyakit EDS 76 diantaranya telur yang
dihasilkan mempunyai kerabang normal maupun tidak normal yang terjadi selama
fase pertumbuhan virus EDS di dalam kelenjar oviduk. Bentuk telur juga tidak
teratur dengan ukuran yang bervariasi, ada yang sedang, kecil, bahkan sangat
kecil dibandingkan dengan ukuran telur normal. Kualitas kerabang telur sangat
jelek disebabkan terjadinya gangguan pembentukan kalsium di oviduk. Telur yang
dihasilkan dari ayam terinfeksi EDS 76 menjadi sangat mudah pecah akibat
kualitas kerabang yang jelek (Yuniati, 2012).
d) Diagnosa
Sampel uji
diambil dari organ saluran reproduksi unggas terutama di daerah oviduk. Isolasi
virus dilakukan pada TAB umur 9 hari melalui ruang allantois dan selanjutnya
diinkubasikan telur pada suhu 37°C. Penanenan sebagai sumber antigen dilakukan
pada hari ketiga atau keempat setelah inokulasi. Antigen selanjutnya diuji
dengan teknik HA dan HI (Yuniati, 2012).
b.
Bakteri
1) Infectious
Coryza
a)
Etiologi
Penyakit
ini disebabkan oleh Avibacterium
paragallinarum, yang merupakan bakteri gram-negatif, berbetuk coccobasil,
tercat polar, non-motil, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Avibacterium
paragallinarum terdiri atas sejumlah strain dengan
antigenisitas yang berbeda dan paling sedikit 3 serotipe, yaitu A, B, dan C
telah dikarakterisasi secara terperinci (Tabbu, 2000).
b)
Patogenesis
Di
samping ayam, penyakit ini juga telah ditularkan pada burung merak, ayam mutiara,
dan burung puyuh. Penularan hanya terjadi secara horizontal. Ayam yang menderita infeksi kronis
atau carrier merupakan sumber utama penularan penyakit. Infeksius coryza
terutama ditemukan pada saat pergantian musim atau berhubungan dengan adanya berbagai
jenis stres, misalnya akibat cuaca, lingkungan kandang, nutrisi, perlakuan
vaksinasi dan penyakit imunosupresif. Penularan secara langsung dapat terjadi
melalui kontak antar ayam sakit atau carrier dengan ayam lain yang peka.
Penularan dapat juga terjadi secara tidak langsung melalui pakan, peralatan
atau pekerja kandang yang tercemar bakteri penyebab infectious coryza (Tabbu, 2000).
c)
Gejala Klinis
Terjadi
pada semua umur. Masa inkubasi pendek 24-26
jam.
Gejala awal, bersin, adanya eksudat di rongga hidung, dan berbau busuk.
Pembengkakaan pial. Ngorok. Terganggu makan & minumnya. Produksi menurun.
Mengalami diare. Morbiditas tinggi, mortalitas rendah (Tabbu, 2000).
d)
Perubahan Patologi
Terjadi
keradangan kataralis akut pada membrane mukosa kavum nasi & sinus,
konjungtivitis kataralis, serta edema subkutan (Tabbu, 2000).
e)
Diagnosa
Diagnosa
dapat diteguhkan berdasarkan gejala klinis yang terlihat, perubahan patologik
oleh snot (in vivo) inokulasi pada ayam, dan eksudat pada ayam. Uji serologis
juga bisa dilakukan untuk meneguhkan diagnosa (Tabbu, 2000).
f)
Pengobatan
Terapi dengan antibiotik, antibakteri, obat kombinasi
(flumekuin maupun kuinolon), serta multivitamin (Tabbu, 2000).
2) Fowl
Cholera
a) Etiologi
Disebabkan Pasturella
multocida, Gram (-), non motil, non spora, coccus. Dapat tumbuh aerod
maupun anaerob. Terdapat 3 macam koloni:
halus dan terkapsulasi (sangat virulen), mukoid (moderat virulen), kasar dan
terkapsulasi (kurang virulen). Inaktivasi:
larutan 1% fenol, formalin, NaOH, beta-propiolakton (Quinn, 2007).
b) Patogenesis
P.multocida masuk
melalui mukus membrane pharynx atau saluran pernapasan atas ® memiliki 4
faktor virulensi ® fimbriae: membantu kolonisasi ® kapsul:
menghambat penghancuran complement-mediated
dari serum ® endotoksin: toksis terhadap endothelial sel ®
leukotoksin: cytolisisn yang berefek pada leukosit dan trombosit (konsentrasi
rendah) dan menyebabkan sitolisis (konsentrasi tinggi).
c) Gejala Klinis
Bentuk
akut: hanya teramati beberapa jam sebelum kematian ® sejumlah
ayam akan tampak lesu, ddemam, penurunan nafsu makan dan minum, ayam mengantuk
dengan bulu berdiri, leleran mukoid dari mulut yang menggantung. Diare (awal
encer + kekuningan, kemudian kehijauan + bercampur mukus), Ngorok basah
(eksudat cair pada saluran pernapasan bagian atas).
Bentuk
kronis: ditemukan jika ayam bertahan selama fase akut ®
pembengkakan pada pial, persendian kaki, persendian sayap, telapak kaki dan
bursa sternalis. Sinus infraorbitalis membengkak karena adanya timbunan eksudat
kaseus. Ngorok basah dan dypsnoe.
d)
Perubahan
patologis
Makroskopik: perdarahan ptheciae dan ekimose pada berbagai jaringan
(subepikardial, paru, jaringan lemak abdominalis, mukosa usus),
hidroperikardium dan asites, hati bengkak (pucat dan nekrosis multifokal).
Mikroskopik: kerusakan
endotel pembuluh darah. Infiltrasi heterofil pada paru-paru.
e) Diagnosa
Gejala klinis, pemeriksaan patologis, pengecatan
Gram. Isolasi dan identifikasi bakteri (isolat: sumsum tulang, darah, hati).
f)
Pengobatan : antibiotik, pemberian
multivitamin (Calnek, 2003 ; Tabbu, 2000).
3) Chronic
Respiratory Disease
a)
Etiologi
Mycoplasmosis atau Cronic
Respiratory Disease (CRD) merupakan suatu penyakit saluran pernafasan menular
pada ayam yang disebabkan oleh Mycoplasma gallinarum. Penyakit ini
bersifat akut pada ayam-ayam muda sedangkan pada ayam dewasa bersifat laten dan
kronis
(Calnek, 2003).
Pertumbuhan koloni Mycoplasma
gallisepticum agak lambat berkisar 4-7 hari, pada suhu 370
C dengan PH 7,8, namum pewarnaan Giemsa dari sedimen yang
disentrifugasi memperlihatkan karakteristik Mycoplasma gallisepticum berbentuk pleomorfik dan subkultur pada media padat
menghasilkan koloni-koloni cocoid dengan ukuran 0,25-0,50 mikron, bersifat Gram
negatif. Bentuk koloninya jernih dengan yang menebal dibagian tengahnya dan
kalau dilihat dibawah mikroskop menyerupai bentuk-bentuk mata sapi, organisme
ini dapat hidup secara aerob dan gakultatif anaerob (Quinn, 2007).
Mycoplasma gallisepticum mampu memfermentasi glukosa, organisme ini juga mampu
menghemadsorbsi butir eritrosit ayam. Untuk menentukan spesies-spesies
Mycoplasma dapat diidentifikasikan dengan cara biokimia dan serologi. Antigen
CF dari Mycoplasma adalah glikolipid. Antigen untuk tes ELISA adalah protein. Beberapa
spesiel mempunyai lebih dari 1 serotipe. Mycoplasma
gallisepticum dapat hidup pada feses ayam
selama 1-3 hari pada suhu 200 0C, pada kuning telur selama 18
minggu dengan suhu 30 oC atau 6 minggu pada suhu 200 C.
kuman ini tetap efektif pada chorio allantois selama 4 hari pada suhu 370 C.
Tetap hidup dalam kaldu biakan selama 2-4 tahun jika disimpan pada suhu
30 0C (Quinn, 2007).
b)
Patogenesis
Mycoplasma
gallinarum patogen memilliki bentuk seperti botol atau filament serta
memiliki kutup (polartip) yang special, yang menghubungkan secara adhesi dengan
sel inangnya. Struktur ini merupakan kelompok yang kompleks dari protein
interaktif, adhesin dan protein ini kaya akan proline yang mempengaruhi
pembungkusan dan penyatuan protein-protein dimana hal itu penting untuk proses
adhesi terhadap sel. Mycoplasma gallinarum menempel pada permukaan sel
yang bersilia dan yang non silia melalui sel mukosa juga dan glikolipid sulfa
(Calnek, 2003).
c)
Gejala
Klinis
Gejala-gejala
klinis dari penyakit ini ditandai dengan keluarnya eksudat dari hidung yang
mula-mula berwarna kuning dan encer (sereous), tetapi lama-lama berubah menjadi
kental dan bernanah dengan bau yang khas (mukopurulent). Bagian paruh disekitar
hidung kotor atau berkerak oleh sisa pakan yang menempel pada eksudat. Sinus
infraorbitalis membengkak, yang ditandai dengan pembengkakan sekitar mata dan
muka. Kadang-kadang suara ngorok terdengar dan ayam
penderita agak sulit bernafas. Penurunan nafsu makan dan diare sering terjadi,
sehingga pertumbuhan ayam menjadi terhambat dan kerdil (Calnek, 2003).
d) Pengobatan
Banyak strain Mycoplasma
seperti juga Mycoplasma gallinarum resisten terhadap cephalosporin dan
Vancomisin. Antibiotik
yang dapat diberikan adalah golongan macrolide seperti spiramycin maupun
antibotik tetracsiklin (Calnek, 2003).
c.
Fungi
1) Aspergillosis
a) Etiologi
Penyakit
ini disebabkan oleh jamur Aspergillus niger dan Aspergillus fumigatus. Wabah yang
hebat terjadi pada penetasan yang bisa menimbulkan kematian dengan angka
mortalitas hingga 15% pada anak ayam 2 minggu awal pemeliharaan. Pada ayam yang
masih hidup penyakit menyebabkan pertumbuhan terganggu dan terjadi asites
komplek. Aspergillus fumigatus tumbuh pada bahan-bahan organik yang
sedang membusuk dalam kandang ayam atau mesin penetas. Bisa tumbuh pula pada
litter dan pakan ayam, pada komponen tanaman gramineae (padi-padian),
seperti pada batang/daun padi, tebu, jagung dan alng-alang. Kondisi aerobik, kelembaban dan
suhu yang optimal di daerah tropis menyebabkan jamur akan tumbuh baik. Angin pada saat musim
pancaroba bisa membawa spora jamur ke areal peternakan (Calnek, 2003).
Jamur Aspergillus
sp. ini mempunyai kepala konidium yang khas, yaitu memperlihatkan struktur
yang halus. Jamur ini tumbuh pada suhu kamar, mempunyai masa inkubasi 2-5 hari
dan pertama yang terbentuk adalah filamen-filamen putih, kemudian berubah
menjadi biru kehijauan serta menghasilkan spora. Aspergillus menghasilkan beberapa jenis toksin misalnya sitotoksin
dan karsinogenik (penyebab kanker). Jenis toksin aflatoksin lebih beracun
daripada yang lain, bersifat toksik akut terhadap hati, otak, ginjal, jantung,
dan menyebabkan infeksi kronis karsinogen pada hati. Pada ayam yang terserang aspergillosis ditandai dengan
dipsnea, nervus, anorexia dan warna kehitaman pada jengger, jamur juga dapat
menyerang otak dan selaputnya (Calnek, 2003).
b)
Patogenesis
Penularan penyakit terjadi akibat
menghirup sejumlah spora Aspergillus yang berasal dari pakan atau
litter. Kejadian Aspergilosis di mesin penetasan merupakan indikasi tingkat
sanitasi dan menejemen suatu perusahaan pembibitan. Aspergillus bisa
menembus kulit telur, terutama telur yang kotor apalagi retak, sehingga
terjadi kematian embrio saat umur16 hari inkubasi atau jika berhasil
menetas, maka akan menghasilkan DOC yang lemah dengan paru-paru dan kantung
udara terinfeksi Aspergillus. DOC yang demikian menderita brooderpneumonia.
Tingkat kematian DOC rata-rata 5 – 10%, tingkat kematian tertinggi adalah 30%
(Calnek, 2003).
c)
Gejala Klinis
Unggas yang terserang menunjukkan tanda-tanda
sulit bernapas, gasping. kecepatan pernapasan meningkat. Gejala lain yang
sering muncul, antara lain : mencret, napsu makan menurun, pucat, kurus
dan pertumbuhan lambat. Mata membenkak sebelah atau keduanya, jika infeksi
terjadi di mata. Jamur juga bisa menyerang otak sehingga terlihat gejala-gejala
syaraf, seperti kekakuan, tremor (gemetaran), kepala diletakkan pada punggung
dan lumpuh (Calnek, 2003).
Ditemukan benjolan-benjolan atau
sarang perkejuan berwarna kuning sampai abu-abu dalam Trakhea, paru-paru,
kantong hawa dan tenggorokan. Sering juga ditemukan dalam perut, hati dan
bagian tubuh yang lain (Calnek, 2003).
d) Pengobatan
Tindakan pengobatan yang bisa dilakukan adalah
pemberian Fungisidin, dapat diberikan secara aerosol, melalui penyemprotan
dengan sprayer atau pemberian Thiabendazole 0,2% per oral melalui pakan. Ayam dapat diberikan terapi
dengan 0,5 gram sodium atau Calcium Propionate pada tiap 50 galon air minum (Calnek, 2003).
2.
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Saluran Respirasi
Ayam
a.
Disiplin dalam tatalaksana pemeliharaan, sanitasi
mesin tetas dan mementingkan hygiene merupakan upaya pencegahan yang harus
diperhatikan.
b.
Untuk jamur, usaha pencegahan dengan
mengendalikan penyebaran penyakit dalam kandang dengan mengeliminasi sumber
infeksi dan pengobatan dengan fungistat (mikostatin, garam, gentian violet)
dalam makanan. Kotoran yang terdapat dalam kandang dapat disemprot dengan
germisida untuk mengendalikan tebaran debu dan udara yang mengandung spora
jamur.
c.
Vaksinasi sesuai dengan prosedur, baik jadwal,
jenis vaksin, maupun aplikasi pemberiannya.
d.
Manajemen perkandangan harus diperhatikan dan
ditingkatkan.
e.
Biosecurity (Sanitasi dan desinfeksi, lalu
lintas, kontrol hama, isolasi dan disposal) dijalankan dengan benar sesuai
prosedur yang ada, baik untuk peralatan, kandang, pekerja, kendaraan, ayam sakit
dan lain – lain.
f.
Pemberian
multivitamin pada ayam ditingkatkan saat pergantian musim karena pada
pergantian musim angka morbiditas penyakit ini meningkat (Tabbu, 2000).
C.
Sumber Informasi
(Daftar Pustaka)
Calnek.,
2003. Disease of Poultry. Iowa : Iowa State Press
Quinn, P.J., Markey, B.K., Carter, M.E.,
Donnelly, W.J.C., Leonard, F.C. 2007. Veterinary
Microbiology and Microbial Disease. Iowa : Blackwell Science
Tabbu,
C, R., 2000, Penyakit Ayam dan
Penanggulangannya Penyakit Bakterial, Mikal, dan Viral, Yogyakarta : Penerbit Kanisisus
Yuniati, G. A. 2012. Penyakit
Virus Unggas. Bali : Udayana University Press
No comments:
Post a Comment