Wednesday 3 December 2014

BLOK 21 UP 1



A.   Merumuskan Sasaran / Tujuan Belajar / Learning Objectives
1.    Mampu mengetahui tentang penyakit saluran respirasi pada ayam (etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis dan pengobatan).
2.    Mampu mengetahui pencegahan dan pengendalian pada penyakit saluran respirasi ayam.


B.   Belajar Mandiri (Mengumpulkan Informasi)
1.    Penyakit Saluran Respirasi Ayam
a.   Virus
1)   Newcastle Disease
a)   Etiologi
Disebabkan oleh virus familia Paramyxoviridae, Genus Avian Paramyxovirus  type 1 (APMV1). Termasuk kelompok virus ssRNA polaritas negatif. Virus beramplop, berbentuk pleumorfik biasanya berbentuk bulat dengan diameter 100-500 nm. Namun, adapula yang berbentuk filament (Yuniati, 2012).
Sifat virus ND relatif tahan terhadap pemanasan. Dapat bertahan selama berbulan – bulan di temperatur kamar bahkan dapat bertahan selama 1 tahun pada temperatur 4°C, menggumpalkan butir darah merah, di bawah sinar ultra violet akan mati dalam dua detik, mudah mati dalam keadaan sekitar yang tidak stabil dan rentan terhadap zat-zat kimia, seperti : kaporit, besi, klor dan lain-lain. Desinfektan yang peka untuk ND, antara lain  NaOH 2%, Formalin (1 – 2%), Phenol-lisol 3%, alkohol 95 dan 70%, fumigasi dengan Kalium permanganat (PK) 1 : 5000. Cemaran virus di kandang berasal dari hewan yang terinfeksi ND melalui feses, leleran dari hidung dan mulut yang jatuh ke lantai kandang (Quinn, 2007).
Pada amplop virus ini terdapat protein penting, yaitu hemaglutinin – neuraminidase (HN), protein fusi (F), dan lipid membran. Pada kapsid terdiri atas protein matriks. Diantara kapsid dan amplop terdapat nukeloprotein (NF). Protein fusi memicu adanya fusi antara amplop virus dengan membran sel terinfeksi. Protein HN berfungsi untuk perlekatan virus pada sel inang (Yuniati, 2012).
Berdasarkan virulensi, ND dibedakan atas :
Galur velogenik : adalah galur virus yang paling ganas, ditandai dengan penyakit yang bersifat akut. Dengan angka sakit dan angka kematian hewan yang tinggi dapat mencapai 100%.
Galur mesogenik : adalah galur virus dengan virulensi yang sedang, ditandai dengan gejala klinis yang menciri serta angka sakit dan angka kematian antara 40% – 50%.
Galur lentogenik : gejala penyakitnya lebih ringan dibandingkan dengan galur mesogenik, gejala penyakit sangat sedikit sampai bersifat sub-klinis terutama pada hewan dewasa (Yuniati, 2012).
b)   Patogenesis
Virus ND ditularkan secara inhalasi melalui pernafasan sewaktu ayam menghirup udara yang telah tercemari virus. Penularan penyakit ND secara aerosol dapat terjadi meskipun jaraknya cukup jauh, yakni 64 meter dari sumber infeksi. Penularan secara kontak langsung terjadi dari ayam sakit ke ayam peka disekitarnya dalam 1 kandang. Meskipun sangat jarang, penularan penyakit juga dapat terjadi melalui telur akibat kulit telur terkontaminasi oleh feses yang telah mengandung virus ND.  Penularan secara oral pada unggas terjadi karena pakan unggas dan air minum telah tercemari oleh leleran hidung dan leleran mulut dari ayam terinfeksi. Masa inkubasi virus ND velogenik adalah 2-6 hari (Yuniati, 2012).
Virus bereplikasi pada epitel mukosa saluran pernafasan bagian atas dan saluran pencernaan. Selanjutnya penyebaran virus ND melalui aliran darah yang disebut dengan viremia primer. Selanjutnya virus menyebar melalui aliran darah menuju ke ginjal dan sumsum tulang yang menyebabkan viremia skunder, kemudian menuju organ predileksi seperti usus, paru – paru, dan sistem syaraf pusat. Hal ini menyebabkan infeksi pada organ paru-paru, usus dan sistem saraf pusat. Sulit bernafas timbul karena penyumbatan paru-paru dan kerusakan pada pusat pernafasan di otak (Yuniati, 2012).
c)   Gejala Klinis
Secara umum penyakit diawali dengan anoreksia, terjadi peningkatan suhu tubuh sampai 43°C. gejala klinis ditandai dengan hewana tampak lesu, muncul rasa haus yang sangat, diare, bersin – bersin, bulu kering dan kusam. Pada ayam petelur ditandai dengan penurunan produksi telur yang terjadi selama 8 minggu. Bentuk telur yang dikeluarkan selama fase ini ukurannya lebih kecil, dengan kerabang lembek seta albumin yang cair. Pada ayam, virus ND strain lentogenik biasanya bersifat sub-klinis sampai menimbulkan penyakit pernafasan ringan. Seperti batuk – batuk, megap – megap dan bersih, disertai dengan sekresi leleran dari hidung. Kematian unggas umumnya sangat rendah (Yuniati, 2012).
Virus strain mesogenik menimbulkan penyakit pernafasan akut dan penyakit syaraf tetapi angka kematiannya rendah. Gejala klinis yang lain pada ayam ditandai dengan penurunan nafsu makan, jengger dan pial sianosis, dan pembengkakan di daerah kepala. Infeksi oleh virus ND lentogenik dan mesogenik dapat bersifat lebih parah apabila disertai dengan infeksi skunder oleh agen penyakit lain (Yuniati, 2012).
Virus ND strain velogenik menimbulkan penyakit parah yang fatal pada ayam dengan angka kematian mencapai 100%, gejala klinis bervariasi dari gejala lesu dan tidak ada nafsu makan, bulu kusam, konjuntiva merah dan odema. Selain itu dapat pula terjadi diare cair yang berwarna kehijauan atau keputihan. Gejala pernafasan akibat penyakit ND diantaranya adalah sianosis dan pembengkakan jaringan di daerah leher dan kepala. Penyakit ND juga ditandai dengan gejala syaraf yang meliputi tremor, spasmus, paresis, ataxia, dan paralisis dari sayap dan kaki. Gejala yang khas yakni tortikolis dan gerakan berputar – putar (Yuniati, 2012).
Beberapa perubahan yang sifatnya patognomonis ditemukan pada bebagai organ seperti perdarahan, ptechiae sampai eximose pada laryng, trachea, oesophagus, proventrikulus, ventrikulus dan seca tonsil. eksudat dan peradangan pada saluran pernapasan serta nekrosis pada usus (Calnek, 2003).
d)  Diagnosis
Gejala penyakit ini tidak spesifik sehingga harus dipastikan dengan isolasi virus dan serologi. Virus dapat diisolasi dari limpa, otak atau paru-paru melalui inokulasi alantois dari telur berembrio umur 10 hari, virus dibedakan dengan yang lainnya dengan menggunakan uji penghambatan-jerapan darah dan penghambatan hemaglutinasi. Penentuan virulensi sangat diperlukan untuk isolat lapangan. Sebagai tambahan atas indeks kerusakan syaraf dan rataan waktu kematian dari embrio ayam, juga dipakai pembentukan plak dalam keadaan ada atau tidak adanya tripsin pada sel ayam. Uji penghambatan-hemaglutinasi digunakan dalam diagnosis dan pemantauan penyakit Newcastle kronis di negara tempat bentuk penyakit ini merupakan endemis (Yuniati, 2012).

2)   Infectious Laryngotracheitis
a)   Etiologi
Disebabkan oleh virus dari familia Herpesviridae, subfamilia Alphaherpesvirinae, genus Varicellovirus, spesiesnya adalah Gallid herpesvirus. Termasuk virus dsDNA dan beramplop, berdiameter 80 – 100 nm. Nukleokapsid virus tersusun atas 162 kapsomer berbentuk icosahedral yang dikelilingi oleh amplop. Partikel lengkap virus berdiameter 195-250 nm. Pada permukaan amplop terdapat penonjolan glikoprotein. Virus penyakit ILT peka terhadap pelarut kloroform dan pH yang bersifat ekstrim, misalnya pH diatas atau dibawah 7. Virus ILT tetap infektif selama beberapa bulan pada suhu penyimpanan 40C dalam larutan gliserol dan nutrient broth. Virus ILT dapat diinaktivasi dengan cepat pada pemanasan 550C selama 15 menit atau 380C selama 48 menit (Yuniati, 2012).
b)   Patogenesis
Ayam dapat tertular oleh virus ILT melalui saluran pernafasan atas dan mata. Selain itu, penularan ILT juga terjadi secara per-oral, tetapi hal ini hanya terjadi apabila virus telah menginfeksi epitel nasal. Sumber penularan virus adalah eksudat bersin yang berasal dari hidung, oofaring, atau trakea unggas sakit yang menulari unggas lainnya. Secara tidak langsung penularan penyakit ILT terjadi melalui cemaran. Setelah virus menginfeksi saluran pernafasan atas, terjadi replikasi virus secara besar – besaran pada jaringan trakea. Selanjutnya virus dikeluarkan melalui leleran hidung 6-8 hari pasca infeksi. Eksudat yang berasal dari ayam yang sakit tersebut kemudian bercampur dengan pakan maupun debu serta mencemari alas kandang. Cemaran virus ini bersirkulasi lama dan mencemari kandang. Ayam yang telah sembuh sering kali bersifat sebagai carrier (Yuniati, 2012).
c)   Gejala klinis
Bentuk perakut ditandai dengan kejadian penyakit yang berlangsung sangat cepat. Beberapa unggas mati secara mendadak tanpa didahului dengan gejala klinis. Kondisi ayam masih terlihat bagus namun tiba-tiba mati secara mendadak akibatnya tersumbat saluran pernafasan (Yuniati, 2012).
Gejala klinis subakut ditandai dengan gejala yang berlangsung lebih lambat dibandingkan bentuk perakut dan berlangsung beberapa hari. Kasus ILT yang parah pada ayam ditandai dengan diangkatnya leher yang disertai dengan kepala yang dijulurkan pada saat ayam mengambil nafas. Pada saat ayam batuk terlihat kepalanya bergetar hebat untuk mengeluarkan gumpalan lender yang bercampur dengan darah. Gumpalan darah dapat dijumpai pada paruh, pada bulu di beberapa bagian tubuh dan sering dijumpai pada alas kandang, serta peralatan pakan dan di tempat air minumnya (Yuniati, 2012).
ILT kronis ditandai dengan batuk – batuk yang sifatnya ringan, bersin – bersin, disertai dengan keluarnya ingus dan air mata. Gejala lain yang terlihat adalah gangguan respirasi seperti sesak nafas, megap – megap, batuk yang hebat dan unggas terlihat lesu akibat kesulitan bernafas. (Yuniati, 2012).

d)  Perubahan patologis
Pada ILT perakut ditandai dengan beberapa perubahan saluran respirasi bagian atas, di daerah trachea dan laring bersifat ringan ditandai dengan mucus berlendir yang berlebihan, sinusistis dan trakheitis berlendir. Pada kasus yang berat perubahan anatomi dari ayam yang terserang ILT ditandai dengan nekrosis dan perdarahan pada trachea. Perdarahan pada trakea menyebabkan terjadinya gumpalan darah yang bercampur lendir atau jaringan nekrotik yang dapat menyumbat saluran pernafasan. Peradangan terjadi mulai dari bronchi sampai paru – paru dan air sac (Yuniati, 2012).
Hasil postmortem subakut dijumpai beberapa lesi dan eksudat mukoid dengan atau tanpa disertai perdarahan pada trachea. Membrana dipteritik caseosa dapat dijumpai pada daerah laring dan mukosa trachea bagian atas. Kejadian oklusi laring juga ditemukan pada kasus ILT kronis (Yuniati, 2012).
Perubahan patologi anatomi pada kasus ILT kronis tidaklah begitu menciri. Namun dapat ditemukan beberapa lesi antara lain konjungtivitis, sinusitis dan trakheitis pada daerah mukosa (Yuniati, 2012).
Hasil pemeriksaan histopatologi ditemukan adanya perubahan pada mukosa trachea seperti hilangnya sel goblet dan infiltrasi sel – sel radang. Selanjutnya, sejalan dengan perkembangan infeksi terjadi pembesaran sel – sel bersilia, hilangnya silia dan oedema. Adanya sel besar berinti banyak terbentuk dari sel – sel limfosit, histiosit dan sel plasma yang ditemukan pada sel mukosa dan submukosa trachea. Pada tahap lanjut terjadi deskuamasi dari mukosa trachea. Benda inklusi intranuklear ditemukan pada sel epitel trachea 3 hari pasca infeksi. Benda inklusi ini hanya ditemukan pada awal infeksi dan menghilang pada infeksi melanjut (Yuniati, 2012).
e)   Diagnosa
Laboratorium : sampel isolat virus pada unggas hidup dapat diambil dari swab trachea,  sedangkan pada unggas yang telah dinekropsi sampel isolate diambil dari jaringan takhea yang mengalami lesi. Hasil pemeriksaan preparat histopatologi ditemukannya inklusi intranuklear yang bersifat eosinofilik di saluran rspirasi dan epitel konjungtiva bersifat lesi patognomonik. Badan inklusi diamati pada preparat yang dicat dengan pengecatan Giemsa atau HE. Isolasi penyakit virus ILT dapat dilakukan pada TAB umur 11 hari diinokulasi di cairan korioallantois. Inokulasi tersebut menghasilkan bentukan pox pada selaput korioallantois. Selain itu, diagnosa dapat menggunakan media kultur sel yang berasal dari embrio ayam. Kultur sel yang dapat digunakan antara lain chicken embrio liver (CEL), chicken embrio lung, dan chicken kidney (CK). Kultur sel ini mengahsilkan bentuk sinsitia berupa cell cytopathic effect (CPE) dari biakan sel yang diinfeksi virus 4-6 jam pasca inokulasi. Sinsitium ditemukan 12 jam pasca infeksi (Yuniati, 2012).

3)   Egg Drop Syndrome
a)   Etiologi
Berasal dari family Adenoviridae genus Atadenovirus. Itik dan Angsa sebagai reservoir penyakit EDS. Dikenal pula dengan nama Duck Adenovirus – 1 (dV-1), Egg Drop Syndrome Virus, Egg Drop Syndrome 76 virus, dan Adenovirus 127 (Yuniati, 2012).
Termasuk kelompok virus DNA yang tidak beramplop dengan genom dsLinier berbentuk icosahedral dan berdiameter 70-90nm. Genom Adenovirus terdiri 252 kapsomer dengan 2 serat yang mencuat dari tiap vertiksnya. Secara molekuler dengan menggunakan sosodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis ditemukan bahwa adenovirus tersusun atas 10 macam protein dengan berat molekul berkisar antara 6,5 kDa – 126 kDa. Semua kelompok Adenoviruspeka terhadap pelarut lemak, resisten terhadap sodium dioksicolat, tripsin, 2% phenol dan alcohol 50%, pH 3 – 9. Tetapi dapat diinaktifkan dengan formalin dengan konsentrasi 1 : 1000. Adenovirus umumnya bersifat sangat peka terhadap pemanasan. Namun, ada beberapa strain dapat bertahan pada suhu 60°C selama 10 menit. Juga pada sushu 30°C selama 30 menit. Adenovirus mempunyai sifat dapat mengaglutinasi sel darah merah unggas tetapi tidak dapat mengaglutinai sel darah merah mamalia (Yuniati, 2012).
b)   Patogenesis
Secara horizontal penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dari unggas yang terinfeksi kepada unggas yang sehat dalam satu kelompok. Penularan penyakit EDS dapat terjadi secara peroral melalui respirasi dengan cara menghirup cemaran bercampur debu, air minum atau kontamiansi feses. Proses penularan penyakit EDS 76 dengan cara horizontal mengakibatkan penyakitnya bersifat endemik dan sulit untuk diberantas. Eksudat yang berasal dari cairan oviduk seringkali mencemari feses yang berakibat bertahannya virus penyakit EDS 76 di kandang dan selanjutnya berpotensi sebagai sumber penularan penyakit. Pola penyebaran penyakit di pasar unggas karena agen penyebabnya bersirkulasi secara terus – menerus di area tersebut. Masa inkubasi penyakit EDS berlangsung singkat, yaitu 3-4 hari (Yuniati, 2012).
c)   Gejala Klinis
Pada yama broiler penyakit EDS 76 juga ditemukan pada  umur 5-6 minggu tetapi sifat penyakitnya adalah subklinis. Beberapa ciri khas dari ayam yang terinfeksi oleh penyakit EDS 76 diantaranya telur yang dihasilkan mempunyai kerabang normal maupun tidak normal yang terjadi selama fase pertumbuhan virus EDS di dalam kelenjar oviduk. Bentuk telur juga tidak teratur dengan ukuran yang bervariasi, ada yang sedang, kecil, bahkan sangat kecil dibandingkan dengan ukuran telur normal. Kualitas kerabang telur sangat jelek disebabkan terjadinya gangguan pembentukan kalsium di oviduk. Telur yang dihasilkan dari ayam terinfeksi EDS 76 menjadi sangat mudah pecah akibat kualitas kerabang yang jelek (Yuniati, 2012).
d)  Diagnosa
Sampel uji diambil dari organ saluran reproduksi unggas terutama di daerah oviduk. Isolasi virus dilakukan pada TAB umur 9 hari melalui ruang allantois dan selanjutnya diinkubasikan telur pada suhu 37°C. Penanenan sebagai sumber antigen dilakukan pada hari ketiga atau keempat setelah inokulasi. Antigen selanjutnya diuji dengan teknik HA dan HI (Yuniati, 2012).

b.   Bakteri
1)   Infectious Coryza
a)   Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Avibacterium paragallinarum, yang merupakan bakteri gram-negatif, berbetuk coccobasil, tercat polar, non-motil, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Avibacterium paragallinarum terdiri atas sejumlah strain dengan antigenisitas yang berbeda dan paling sedikit 3 serotipe, yaitu A, B, dan C telah dikarakterisasi secara terperinci (Tabbu, 2000).
b)   Patogenesis
Di samping ayam, penyakit ini juga telah ditularkan pada burung merak, ayam mutiara, dan burung puyuh. Penularan hanya terjadi secara horizontal. Ayam yang menderita infeksi kronis atau carrier merupakan sumber utama penularan penyakit. Infeksius coryza terutama ditemukan pada saat pergantian musim atau berhubungan dengan adanya berbagai jenis stres, misalnya akibat cuaca, lingkungan kandang, nutrisi, perlakuan vaksinasi dan penyakit imunosupresif. Penularan secara langsung dapat terjadi melalui kontak antar ayam sakit atau carrier dengan ayam lain yang peka. Penularan dapat juga terjadi secara tidak langsung melalui pakan, peralatan atau pekerja kandang yang tercemar bakteri penyebab infectious coryza (Tabbu, 2000).
c)   Gejala Klinis
Terjadi pada semua umur. Masa inkubasi pendek 24-26 jam. Gejala awal, bersin, adanya eksudat di rongga hidung, dan berbau busuk. Pembengkakaan pial. Ngorok. Terganggu makan & minumnya. Produksi menurun. Mengalami diare. Morbiditas tinggi, mortalitas rendah (Tabbu, 2000).
d)  Perubahan Patologi
Terjadi keradangan kataralis akut pada membrane mukosa kavum nasi & sinus, konjungtivitis kataralis, serta edema subkutan (Tabbu, 2000).
e)   Diagnosa
Diagnosa dapat diteguhkan berdasarkan gejala klinis yang terlihat, perubahan patologik oleh snot (in vivo) inokulasi pada ayam, dan eksudat pada ayam. Uji serologis juga bisa dilakukan untuk meneguhkan diagnosa (Tabbu, 2000).
f)    Pengobatan
Terapi dengan antibiotik, antibakteri, obat kombinasi (flumekuin maupun kuinolon), serta multivitamin (Tabbu, 2000).

2)   Fowl Cholera
a)   Etiologi
Disebabkan Pasturella multocida, Gram (-), non motil, non spora, coccus. Dapat tumbuh aerod maupun anaerob.  Terdapat 3 macam koloni: halus dan terkapsulasi (sangat virulen), mukoid (moderat virulen), kasar dan terkapsulasi (kurang virulen). Inaktivasi: larutan 1% fenol, formalin, NaOH, beta-propiolakton (Quinn, 2007).
b)   Patogenesis
P.multocida masuk melalui mukus membrane pharynx atau saluran pernapasan atas ® memiliki 4 faktor virulensi ® fimbriae: membantu kolonisasi ® kapsul: menghambat penghancuran complement-mediated dari serum ® endotoksin: toksis terhadap endothelial sel ® leukotoksin: cytolisisn yang berefek pada leukosit dan trombosit (konsentrasi rendah) dan menyebabkan sitolisis (konsentrasi tinggi).
c)   Gejala Klinis
Bentuk akut: hanya teramati beberapa jam sebelum kematian ® sejumlah ayam akan tampak lesu, ddemam, penurunan nafsu makan dan minum, ayam mengantuk dengan bulu berdiri, leleran mukoid dari mulut yang menggantung. Diare (awal encer + kekuningan, kemudian kehijauan + bercampur mukus), Ngorok basah (eksudat cair pada saluran pernapasan bagian atas).
Bentuk kronis: ditemukan jika ayam bertahan selama fase akut ® pembengkakan pada pial, persendian kaki, persendian sayap, telapak kaki dan bursa sternalis. Sinus infraorbitalis membengkak karena adanya timbunan eksudat kaseus. Ngorok basah dan dypsnoe.
d)  Perubahan patologis
Makroskopik: perdarahan ptheciae dan ekimose pada berbagai jaringan (subepikardial, paru, jaringan lemak abdominalis, mukosa usus), hidroperikardium dan asites, hati bengkak (pucat dan nekrosis multifokal).
Mikroskopik: kerusakan endotel pembuluh darah. Infiltrasi heterofil pada paru-paru.
e)   Diagnosa
Gejala klinis, pemeriksaan patologis, pengecatan Gram. Isolasi dan identifikasi bakteri (isolat: sumsum tulang, darah, hati).
f)    Pengobatan : antibiotik, pemberian multivitamin (Calnek, 2003 ; Tabbu, 2000).
3)   Chronic Respiratory Disease
a)   Etiologi
Mycoplasmosis atau Cronic Respiratory Disease (CRD) merupakan suatu penyakit saluran pernafasan menular pada ayam yang disebabkan oleh Mycoplasma gallinarum. Penyakit ini bersifat akut pada ayam-ayam muda sedangkan pada ayam dewasa bersifat laten dan kronis (Calnek, 2003).
Pertumbuhan koloni Mycoplasma gallisepticum agak lambat berkisar 4-7 hari, pada suhu 370 C dengan PH 7,8, namum pewarnaan Giemsa dari sedimen yang disentrifugasi memperlihatkan karakteristik Mycoplasma gallisepticum berbentuk pleomorfik dan subkultur pada media padat menghasilkan koloni-koloni cocoid dengan ukuran 0,25-0,50 mikron, bersifat Gram negatif. Bentuk koloninya jernih dengan yang menebal dibagian tengahnya dan kalau dilihat dibawah mikroskop menyerupai bentuk-bentuk mata sapi, organisme ini dapat hidup secara aerob dan gakultatif anaerob (Quinn, 2007).
Mycoplasma gallisepticum mampu memfermentasi glukosa, organisme ini juga mampu menghemadsorbsi butir eritrosit ayam. Untuk menentukan spesies-spesies Mycoplasma dapat diidentifikasikan dengan cara biokimia dan serologi. Antigen CF dari Mycoplasma adalah glikolipid. Antigen untuk tes ELISA adalah protein. Beberapa spesiel mempunyai lebih dari 1 serotipe. Mycoplasma gallisepticum dapat hidup pada feses ayam selama 1-3 hari pada suhu 200 0C, pada kuning telur selama 18 minggu dengan suhu 30 oC atau 6 minggu pada suhu 20C. kuman ini tetap efektif pada chorio allantois selama 4 hari pada suhu 37C. Tetap hidup dalam kaldu biakan selama 2-4 tahun jika disimpan pada suhu 30 0C (Quinn, 2007).
b)   Patogenesis
Mycoplasma gallinarum patogen memilliki bentuk seperti botol atau filament serta memiliki kutup (polartip) yang special, yang menghubungkan secara adhesi dengan sel inangnya. Struktur ini merupakan kelompok yang kompleks dari protein interaktif, adhesin dan protein ini kaya akan proline yang mempengaruhi pembungkusan dan penyatuan protein-protein dimana hal itu penting untuk proses adhesi terhadap sel. Mycoplasma gallinarum menempel pada permukaan sel yang bersilia dan yang non silia melalui sel mukosa juga dan glikolipid sulfa (Calnek, 2003).
c)   Gejala Klinis
Gejala-gejala klinis dari penyakit ini ditandai dengan keluarnya eksudat dari hidung yang mula-mula berwarna kuning dan encer (sereous), tetapi lama-lama berubah menjadi kental dan bernanah dengan bau yang khas (mukopurulent). Bagian paruh disekitar hidung kotor atau berkerak oleh sisa pakan yang menempel pada eksudat. Sinus infraorbitalis membengkak, yang ditandai dengan pembengkakan sekitar mata dan muka. Kadang-kadang suara ngorok terdengar dan ayam penderita agak sulit bernafas. Penurunan nafsu makan dan diare sering terjadi, sehingga pertumbuhan ayam menjadi terhambat dan kerdil (Calnek, 2003).
d)  Pengobatan
Banyak strain Mycoplasma seperti juga Mycoplasma gallinarum resisten terhadap cephalosporin dan Vancomisin. Antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan macrolide seperti spiramycin maupun antibotik tetracsiklin (Calnek, 2003).

c.    Fungi
1)   Aspergillosis
a)   Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Aspergillus niger dan Aspergillus fumigatus.  Wabah yang hebat terjadi pada penetasan yang bisa menimbulkan kematian dengan angka mortalitas hingga 15% pada anak ayam 2 minggu awal pemeliharaan. Pada ayam yang masih hidup penyakit menyebabkan pertumbuhan terganggu dan terjadi asites komplek. Aspergillus fumigatus tumbuh pada bahan-bahan organik yang sedang membusuk dalam kandang ayam atau mesin penetas. Bisa tumbuh pula pada litter dan pakan ayam, pada komponen tanaman gramineae (padi-padian), seperti pada batang/daun padi, tebu, jagung dan alng-alang. Kondisi aerobik, kelembaban dan suhu yang optimal di daerah tropis menyebabkan jamur akan tumbuh baik. Angin pada saat musim pancaroba bisa membawa spora jamur ke areal peternakan (Calnek, 2003).
Jamur Aspergillus sp. ini mempunyai kepala konidium yang khas, yaitu memperlihatkan struktur yang halus. Jamur ini tumbuh pada suhu kamar, mempunyai masa inkubasi 2-5 hari dan pertama yang terbentuk adalah filamen-filamen putih, kemudian berubah menjadi biru kehijauan serta menghasilkan spora. Aspergillus menghasilkan beberapa jenis toksin misalnya sitotoksin dan karsinogenik (penyebab kanker). Jenis toksin aflatoksin lebih beracun daripada yang lain, bersifat toksik akut terhadap hati, otak, ginjal, jantung, dan menyebabkan infeksi kronis karsinogen pada hati. Pada ayam yang terserang aspergillosis ditandai dengan dipsnea, nervus, anorexia dan warna kehitaman pada jengger, jamur juga dapat menyerang otak dan selaputnya (Calnek, 2003).
b)   Patogenesis
      Penularan penyakit terjadi akibat menghirup sejumlah spora Aspergillus yang berasal dari pakan atau litter. Kejadian Aspergilosis di mesin penetasan merupakan indikasi tingkat sanitasi dan menejemen suatu perusahaan pembibitan. Aspergillus bisa menembus kulit telur, terutama telur yang kotor apalagi retak,  sehingga  terjadi kematian embrio saat umur16 hari inkubasi atau jika berhasil menetas, maka akan menghasilkan DOC yang lemah dengan paru-paru dan kantung udara terinfeksi Aspergillus. DOC yang demikian menderita brooderpneumonia. Tingkat kematian DOC rata-rata 5 – 10%, tingkat kematian tertinggi adalah 30% (Calnek, 2003).
c)   Gejala Klinis
      Unggas yang terserang menunjukkan tanda-tanda sulit bernapas, gasping. kecepatan pernapasan meningkat. Gejala lain yang sering muncul, antara lain : mencret, napsu makan menurun, pucat, kurus dan pertumbuhan lambat. Mata membenkak sebelah atau keduanya, jika infeksi terjadi di mata. Jamur juga bisa menyerang otak sehingga terlihat gejala-gejala syaraf, seperti kekakuan, tremor (gemetaran), kepala diletakkan pada punggung dan lumpuh (Calnek, 2003).
Ditemukan benjolan-benjolan atau sarang perkejuan berwarna kuning sampai abu-abu dalam Trakhea, paru-paru, kantong hawa dan tenggorokan. Sering juga ditemukan dalam perut, hati dan bagian tubuh yang lain (Calnek, 2003).
d)  Pengobatan
      Tindakan pengobatan yang bisa dilakukan adalah pemberian Fungisidin, dapat diberikan secara aerosol, melalui penyemprotan dengan sprayer atau pemberian Thiabendazole 0,2% per oral melalui pakan. Ayam dapat diberikan terapi dengan 0,5 gram sodium atau Calcium Propionate pada tiap 50 galon air minum (Calnek, 2003).


2.    Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Saluran Respirasi Ayam
a.    Disiplin dalam tatalaksana pemeliharaan, sanitasi mesin tetas dan mementingkan hygiene merupakan upaya pencegahan yang harus diperhatikan.
b.   Untuk jamur, usaha pencegahan dengan mengendalikan penyebaran penyakit dalam kandang dengan mengeliminasi sumber infeksi dan pengobatan dengan fungistat (mikostatin, garam, gentian violet) dalam makanan. Kotoran yang terdapat dalam kandang dapat disemprot dengan germisida untuk mengendalikan tebaran debu dan udara yang mengandung spora jamur.
c.    Vaksinasi sesuai dengan prosedur, baik jadwal, jenis vaksin, maupun aplikasi pemberiannya.
d.   Manajemen perkandangan harus diperhatikan dan ditingkatkan.
e.    Biosecurity (Sanitasi dan desinfeksi, lalu lintas, kontrol hama, isolasi dan disposal) dijalankan dengan benar sesuai prosedur yang ada, baik untuk peralatan, kandang, pekerja, kendaraan, ayam sakit dan lain – lain.
f.    Pemberian multivitamin pada ayam ditingkatkan saat pergantian musim karena pada pergantian musim angka morbiditas penyakit ini meningkat (Tabbu, 2000).

C.    Sumber Informasi (Daftar Pustaka)
Calnek., 2003. Disease of Poultry. Iowa : Iowa State Press
Quinn, P.J., Markey, B.K., Carter, M.E., Donnelly, W.J.C., Leonard, F.C. 2007. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Iowa : Blackwell Science
Tabbu, C, R., 2000, Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Penyakit Bakterial, Mikal, dan Viral, Yogyakarta : Penerbit Kanisisus
Yuniati, G. A. 2012. Penyakit Virus Unggas. Bali : Udayana University Press

No comments:

Post a Comment