Tuesday, 16 December 2014

BLOK 21 UP 2



A.    Merumuskan Sasaran / Tujuan Belajar / Learning Objectives
Mengetahui penyakit ayam sistem pencernaan: Etiologi, Perubahan Patologik, Patogenesis, Diagnosa, Gejala Klinis, Pengobatan dan pencegahan.


B.     Belajar Mandiri (Mengumpulkan Informasi)
Penyakit Saluran Pencernaan Ayam
a)      Bakteri
1)   Clostridium colinum (Enteritis Ulseratifa)
a)      Etiologi
Enteritis ulseratifa disebabkan oleh Clostridium colinum yang tergolong dalam bakteri Gram positif berbentuk basil atau sedikit melengkung dengan ujung membulat. Bakteri tersebut bersifat anaerob dan mempunyai spora berbentuk oval yang terletak pada posisi subterminal. Bakteri tersebut dapat tumbuh pada media khusus yang diperkaya dan membutuhkan kondisi anaerobik. Spora dari bakteri tersebut sangat resisten terhadap bahan kimiawi dan berbagai perubahan kondisi fisik.
b)      Patogenesis
Pada kondisi alami, penyakit enteritis ulseratifa dapat menular melalui kontak langsung dengan ayam yang sakit, atau secara tidak langsung melalui pakan dan litter yang tercemar oleh bakteri tersebut. Lingkungan kandang yang pernah ditempati ayam terinfeksi akan tercemar spora bakteri tersebut secara permanen. Ayam carrier akan menularkan melalui feses. Bakteri ini juga dapat ditularkan melalui mekanik seperti sepatu, kantong pakan, alat perlengkapan, dan lain – lain.
c)      Gejala Klinis
Burung puyuh merupakan spesies yang paling peka. Ditemukan paling sering pada ayam muda petelur yang berumur 4-12 minggu. Kerapkali mengikuti koksidiosis, anemia aplastika, gumboro, dan berbagai faktor stress. Masa inkubasi 3-6 hari dan lama proses penyakit antara 10 hari – 6 minggu. Pada burung puyuh, berlangsung akut dengan mortalitas tinggi. Pada ayam gejala klinis bersifat lebih ringan. Jika penyakit berlangsung kurang akut, terlihat gejala lesu, malas bergerak, mata  hamper tertutup, bulu kusam dan berdiri. Jika penyakit tersebut berlangsung 1 minggu atau lebih maka ayam akan mengalami emasiasi yang ditandai oleh atropi pada otot pectoralis. Jika terjadi infeksi pada rongga perut, maka tercium bau busuk. Penyakit cenderung kronis, mortalitas pada ayam 2% – 10%, dan pada puyuh muda mencapai 100% dalam waktu beberapa hari.
d)      Perubahan Patologi
a)   Makroskopik
Burung puyuh, lesi akut terdapat enteritis hemoragika berat di duodenum. Dinding ususnya terjadi perdarahan ukuran kecil. Pada unggas yang bertahan hingga beberapa hari, reaksi keradangan diikuti oleh nekrosis dan ulserasi ditemukan di usus dan sekum. Lesi awal, terdapat foki kecil berwarna kuning yang dibatasi daerah hemoragik di bagian mukosa atau serosa usus. Foki berkembang menjadi ulser dan daerah hemoragik sekitarnya menghilang. Ulser berbentuk lenticular atau sirkular. Bentuk lenticular ebih banyak ditemukan di usus bagian atas. Ulser kerapkali menembus dinding usus sehingga terjadi peritonitis.
Lesi pada hati berwarna kuning muda hingga kuning tidak teratur yang meluas di bagian tepi. Di samping itu terlihat adanya foki kelabu atau foki kuning yang mengumpul, kadang dikelilingi lingkaran berwarna kuning muda. Bakteri dapat diisolasi dari hati ayam yang terinfeksi secara kronis. Limpa mengalami kongesti, membesar dan hemoragik. Jaringan abnormal akan berbau busuk, isi usus cenderung keing dan menyerupai pasta.
b)   Mikroskopik
Kasus akut ditemukan deskuamasi epitel mukosa, edema dinding usus, dilatasi pembuluh darah dan infiltrasi limfosit. Lumen usus terisi epitel deskuamasi, sel darah merah, dan hancuran mukosa. Ulser yang baru terbentuk mirip dengan mikrohemoragik pada vili dan submukosa. Ulser yang berkembang menjadi masa granular yang tebal dan material asidofilik yang mengalami koagulasi bercampur dengan hancuran sel dan bakteri. Ditemukan juga infiltrasi sel radang. Pembuluh darah yang kecil tersumbat oleh bakteri. Lesi pasda hati foki nekrotik tersebar di seluruh parenkim.
e)      Diagnosa
Diagnosa nekrotik ulseratifa didasarkan pada perubahan patologik, lesi spesifik khusus terdiri atas ulserasi dengan nekrosis pada hati dan limpa membesar dan hemoragik. Jaringan hati yang mengalami nekrosis dibuat preparat tempel atau digerus di atas 2 glas objek. Difiksasi dan diwarnai dengan pengecatan Gram. Diagnosis akhir dengan isolasi dan identifikasi dengan bahan isolai adalah hati.
f)       Pengobatan
Pengobatan dengan antibiotik, antara lain basitrasin, klortetrasiklin, eritromisin, doksisiklin, penicillin, ampicillin, tylosin, dan lincomisin melalui air minum atau pakan. Dosis basitrasin 100g/ton pakan sebagai perlindungan. Pengobatan dilakukan secara simultan dengan 2 macam antibiotik melalui air minum dan pakan, kemudian dilakukan melalui pakan sampai 14 hari (Tabbu, 2000)
2)   Clostridium perfringens (Enteritis Nekrotikan)
a)      Etiologi
Disebabkan oleh Clostridium perfringens tipe A dan C. Merupakan bakteri Gram positif, berbentuk basil, membentuk spora, dan bersifat anaerobik. Bakteri ini mengeluarkan toksin alfa (oleh Clostridium perfringens tipe A dan C) dan toksin beta yang diproduksi oleh Clostridium perfringens C menimbulkan nekrosis pada mukosa usus halus. Toksin ini dapat ditemukan pada feses. Bakteri ini dapat ditemukan difeses, tanah, debu, pakan, litter, dan isi usus.
b)      Patogenesis
Tidak menular secara langsung dari ayam ke ayam. Penyakit ini ditularkan secara tidak langsung melalui pakan, alat perlengkapan, atau bahan lain yang tercemar. Infeksi paling banyak terjadi pada kelompok ayam yang punya tingkat kepadatan paling tinggi. Jika infeksi telah terjadi maka penyakit mudah menyebar dengan cepat dari flok satu ke flok lain karena adanya jumlah bakteri yang tinggi dalam feses ayam yang terinfeksi.
c)      Gejala Klinis
Ditemukan pada ayam umur 2 minggu sampai 6 bulan. Kasus terbanyak pada ayam broiler umur 2 sampai 5 minggu dipelihara pada kandang litter. Biasanya disertai dengan koksidiosis (Eimeria brunetti).
Bentuk akut ditandai oleh adanya kematian mendadak tanpa adanya gejala klinis tertentu. Bentuk ringan ditandai ayam bergerombol, bulu berdiri, depresi, dan anoreksia. Biasanya ayam mengalami diare. Mortalitas antara 5% sampai 15% bahkan dapat mencapai 40%. Bentuk kronis menunjukkan gejala emasiasi, gangguan pertumbuhan, tingkat keseragaman rendah, dan peningkatan FCR. Masa inkubasi 3-60 hari. Penyakit menyebar secara cepat keseluruh flok selama 10-14 hari.
d)      Perubahan Patologis
a)      Makroskopis
Biasanya lesi yang ditimbulkan terbatas pada usus halus terutama pada jejenum dan ileum, tetapi dapat terjadi pada sekum. Usus menjadi rapuh dan mengalami distensi karena pembentukan gas. Mukosa usus tertutup oleh suatu selaput semu yang mengeras dan berwarna kuning atau hijau. Permukaan usus kadang ternoda oleh darah.
b)      Mikroskopis
Infeksi alami terjadi adanya nekrosis yang ekstensif pada mukosa usus disertai pembentukan fibrin bercampur hancuran sel yang melekat pada mukosa. Awalnya, lesi terjadi pada apeks dari vili yang ditandai dengan deskuamasi epitel, kolonisasi lamina propria oleh bakteri dan nekrosis koagulasi yang dikelilingi oleh heterofil. Lesi berkembang kedaerah kripta lieberkhun hingga submukosa dan muskularis.
Ayam yang bertahan ditemukan adanya perubahan regenerative terdiri atas proliferasi epitel kripta. Sebagian besar epitel berbentuk kuboid, penurunan relative dari sel goblet dan epitel kolumner.
e)      Diagnosa
Didasarkan pada perubahan patologis, isolasi dan identifikasi bakteri. Isolasi dapat dilakukan dari isi usus atau kerokan dinding usus.
f)       Pengobatan
Antibiotika misalnya basitrasin, penicillin, ampicillin, virginiamisin, tilosin, oksitetrasiklin, clortetrasiklin, dan linkomisin diberikan melalui air minum. Jika disertai dengan eimeria brunette dapat diberikan dengan anti koksidiosis (Tabbu, 2000)

b)      Jamur
Candida albicans
a)      Etiologi
Kandidiasis disebabkan oleh Candida albicans merupakan yeast (ragi) tergolong dalam kingdom fungi. Jamur ini dapat tumbuh pada perbenihan agar sabouroud dapat menghasilkan koloni berbentuk konveks kekuning-kuningan atau putih mengkilat dan berbau mirip soda kue. Jamur ini berbentuk bulat dan mempunyai membrane tebal. Relative resisten didalam tanah dan tahan terhadap berbagai desinfektan.
b)      Patogenesis
Tidak menular antar ayam. Penyakit ini menular melalui oral, karena mengonsumsi pakan atau air minum atau kontak dengan bahan atau lingkungan tercemar oleh jamur tersebut.
c)      Gejala Klinis
Banyak ditemukan pada anak ayam umur 1-2 minggu. Anak ayam menunjukkan gejala gangguan pertumbuhan, pucat, lesu, dan bulu berdiri. Ayam petelur yang terinfeksi akan terlihat seperti mengalami obesitas tetapi menderita anemic. Ayam yang menderita keradangan pada kloaka akibat kandidiasis akan menunjukkan bulu yang ternoda kotoran berwarna putih disekitar kloaka.
d)      Perubahan Patologis
a)      Makroskopik
Ditemukan pada tembolok, esophagus, rongga mulut, dan proventrikulus. Kasus akut mukosa tembolok akan menebal, berlipat, dan keruh. Kasus kronis ditemukan adanya daerah menonjol berwarna putih disertai pembentukan ulser yang sirkuler pada mukosa tembolok. Kasus berat permukaan mukosa yang menebal cenderung mengelupas. Perubahan pada mukosa dapat juga berbentuk daerah membran semu yang mengandung material nekrotikan yang mudah terlepas dari permukaan mukosa tersebut. Esofagus dan rongga mulut menunjukkan adanya ulser. Proventrikulus mengalami penebalan pada dinding dan nekrosis serta perdarahan dimukosa, terlihat juga serosa yang lebih mengkilat.
b)      Mikroskopik
Tidak ada reaksi sel radang. Pada tembolok, meliputi nekrosi pada epitel skuamus kompleks dan pembentukan ulser atau membran difteroid sampai sedodifteritik pada mukosa. Lesi didaerah esophagus dan proventrikulus ditemukan adanya spora dan hifa Candida albicans. Lesi difteroid juga ditemukan pada proventrikulus dan usus.
e)      Diagnosa
Didasarkan pada perubahan patologik, diagnosis akhir dengan isolasi dan identifikasi jamur dapat diperkuat dengan pemeriksaan apus mukosa tembolok yang diwarnai dengan methylene blue untuk deteksi adanya hifa atau klamidio spora dari Candida albicans.
f)       Pengobatan
Penyakit ini tidak dapat diobati dengan hasil memuaskan. Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian nystatin melalui pakan dengan dosis 142 mg/kg pakan selama 4 minggu. Pengobatan dengan nystiasin dosis 62,5-250 mg/liter dicampur dengan Na-lauril sulfat dosis 7,8-25 mg/liter selama 5 hari melalui air minum. Pengobatan lainnya, CuSO4 melalui air minum dosis 1:2000 selama penyakit tersebut berlangsung. Pemberian vitamin A menekan derajat keparahan (Calnek, 1991).
c)      Protozoa
Koksidiosis
a)      Etiologi
Secara umum ookista berbentuk bulat,ovoid atau elips. Panjang ookista berkisar dari 16-29 mikron dan lebarnya sekitar 6-25 mikron. Dalam satu ookista terdapat 4 sporokista dan satu sporokista dapat melepaskan 2 sprozoit. Bila mengalami ekskistasi satu ookista menghasilkan 8 sporozoit infektif. Ada 9 spesies Eimeria yang biasa menyerang ternak ayam. Di bedakan lagi menurut habitatnya dalam usus. Eimeria tenella dan E. necatrix pada sekum. E.acervulina, E. praecox, E. hagani, dan E. mivati pada usus halus bagian atas. E.maxima pada usus halus bagian tengah. E. mitis dan E.brunetti pada usus halus belakang (Levine, 1997)
b)      Patogenesis
Temperatur yang cocok siklus hidup bervariasi 21oC – 32oC tergantung spesies koksidia. Pada suhu tersebut sporulasi berlangsung 1 – 2 hari. Jika ookista yang telah sporulasi tertelan oleh ayam, maka sporozoit akan dibebaskan dan berkembang menjadi skizon. Skizon yang telah dewasa akan pecah dan menghasilkan merozoit yang akan berkembang menjadi mikrogametosit dan makrogametosist yang keduanya akan bertemu menghasilkan secara berturut-turut, zygot, ookinet, ookista. Ookista akan dilepaskan bersama feses.
c)      Gejala Klinis
Koksidiosis berjalan secara akut dan ditandai dengan depresi, bulu kusut dan diare dengan tinja berwarna hijau, napsu makan hilang, muntah darah, paralisa dan diikuti kematian akibat kolaps. Unggas yang terinfeksi E. tenella memperlihatkan gejala kepucatan pada balung (jengger) dan pial disertai sekum yang bercampur darah. Pada penyakit yang tidak menunjukkan gejala klinis, maka ditandai oleh penurunan produksi telur dan daya tetas serta bobot badan. Lesi-lesi yang ditimbulkan oleh koksidia memiliki kekhasan tergantung dari spesies yang menyerang. Kekhasan tersebut sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
a)      E. acervulina dan E. Mivati, menyebabkan daerah perdarahan 1 – 2 cm yang diselingi fokus berwarna putih yang terlihat di sepanjang lapisan serosa duodenum bagian belakang (distal) dan yeyunum bagian depan (proksimal).
b)      E. necatrix, menimbulkan penggembungan yang berlebihan pada bagian tengah yeyunum dengan perdarahan pada mukosa dan cairan berwarna kemerahan di dalam lumen usus.
c)      E. maxima, menyebabkan penggembungan pada bagian tengah yeyunum dengan perdarahan pada lapisan mukosa.
d)      E. Tenella, menimbulkan radang perdarahan sekum/usus buntu.
e)      E. brunetti, menimbulkan perdarahan mukosa bagian distal yeyunum dan kolon.
d)      Perubahan patologi
Terlihat bintik-bintik atau bercak-bercak perdarahan hampir di seluruh organ, misalnya hati, paru-paru, limpa, timus, ginjal, pankreas, usus, proventrikulus, bursa fabricius, otak, otot dada dan paha. Gumpalan darah juga sering ditemukan dalam rongga perut dan saluran pernapasan bagian atas.
e)      Pengobatan
Pengobatan terhadap koksidiosis bisa diusahakan dengan pemberian larutan amprolium atau sulfonamida dalam air minum, pemberian air yang dapat mensuspensi suplemen vitamin A dan K akan mempercepat proses kesembuhan. Preparat sulfa, sulfaquinoxaline, sulfamethazine, Monensin, Vitamin K (Saif, 2008).


C.     Sumber Informasi (Daftar Pustaka)
Calnek, B.W. 1991. Disease of Poultry. Iowa State Press. USA.

Levine, ND. 1997. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarata.

Saif, Y.M. 2008. Disease of Poultry. Blackwell Publishing. USA.

Tabbu, CR. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.


No comments:

Post a Comment