A.
Merumuskan Sasaran / Tujuan Belajar / Learning
Objectives
Mengetahui penyakit ayam sistem pencernaan: Etiologi, Perubahan Patologik, Patogenesis, Diagnosa, Gejala Klinis, Pengobatan dan pencegahan.
B.
Belajar Mandiri (Mengumpulkan Informasi)
Penyakit Saluran Pencernaan Ayam
a)
Bakteri
1)
Clostridium colinum (Enteritis Ulseratifa)
a) Etiologi
Enteritis
ulseratifa disebabkan oleh Clostridium
colinum yang tergolong dalam bakteri Gram positif berbentuk basil atau
sedikit melengkung dengan ujung membulat. Bakteri tersebut bersifat anaerob dan
mempunyai spora berbentuk oval yang terletak pada posisi subterminal. Bakteri
tersebut dapat tumbuh pada media khusus yang diperkaya dan membutuhkan kondisi
anaerobik. Spora dari bakteri tersebut sangat resisten terhadap bahan kimiawi
dan berbagai perubahan kondisi fisik.
b) Patogenesis
Pada
kondisi alami, penyakit enteritis ulseratifa dapat menular melalui kontak langsung
dengan ayam yang sakit, atau secara tidak langsung melalui pakan dan litter
yang tercemar oleh bakteri tersebut. Lingkungan kandang yang pernah ditempati
ayam terinfeksi akan tercemar spora bakteri tersebut secara permanen. Ayam
carrier akan menularkan melalui feses. Bakteri ini juga dapat ditularkan
melalui mekanik seperti sepatu, kantong pakan, alat perlengkapan, dan lain –
lain.
c) Gejala Klinis
Burung
puyuh merupakan spesies yang paling peka. Ditemukan paling sering pada ayam
muda petelur yang berumur 4-12 minggu. Kerapkali mengikuti koksidiosis, anemia
aplastika, gumboro, dan berbagai faktor stress. Masa inkubasi 3-6 hari dan lama
proses penyakit antara 10 hari – 6 minggu. Pada burung puyuh, berlangsung akut
dengan mortalitas tinggi. Pada ayam gejala klinis bersifat lebih ringan. Jika
penyakit berlangsung kurang akut, terlihat gejala lesu, malas bergerak,
mata hamper tertutup, bulu kusam dan
berdiri. Jika penyakit tersebut berlangsung 1 minggu atau lebih maka ayam akan
mengalami emasiasi yang ditandai oleh atropi pada otot pectoralis. Jika terjadi
infeksi pada rongga perut, maka tercium bau busuk. Penyakit cenderung kronis,
mortalitas pada ayam 2% – 10%, dan pada puyuh muda mencapai 100% dalam waktu
beberapa hari.
d) Perubahan Patologi
a) Makroskopik
Burung puyuh, lesi akut terdapat enteritis hemoragika berat di duodenum.
Dinding ususnya terjadi perdarahan ukuran kecil. Pada unggas yang bertahan
hingga beberapa hari, reaksi keradangan diikuti oleh nekrosis dan ulserasi
ditemukan di usus dan sekum. Lesi awal, terdapat foki kecil berwarna kuning yang
dibatasi daerah hemoragik di bagian mukosa atau serosa usus. Foki berkembang
menjadi ulser dan daerah hemoragik sekitarnya menghilang. Ulser berbentuk
lenticular atau sirkular. Bentuk lenticular ebih banyak ditemukan di usus
bagian atas. Ulser kerapkali menembus dinding usus sehingga terjadi
peritonitis.
Lesi pada hati berwarna kuning muda hingga kuning tidak teratur yang
meluas di bagian tepi. Di samping itu terlihat adanya foki kelabu atau foki
kuning yang mengumpul, kadang dikelilingi lingkaran berwarna kuning muda. Bakteri
dapat diisolasi dari hati ayam yang terinfeksi secara kronis. Limpa mengalami
kongesti, membesar dan hemoragik. Jaringan abnormal akan berbau busuk, isi usus
cenderung keing dan menyerupai pasta.
b) Mikroskopik
Kasus
akut ditemukan deskuamasi epitel mukosa, edema dinding usus, dilatasi pembuluh
darah dan infiltrasi limfosit. Lumen usus terisi epitel deskuamasi, sel darah
merah, dan hancuran mukosa. Ulser yang baru terbentuk mirip dengan
mikrohemoragik pada vili dan submukosa. Ulser yang berkembang menjadi masa
granular yang tebal dan material asidofilik yang mengalami koagulasi bercampur
dengan hancuran sel dan bakteri. Ditemukan juga infiltrasi sel radang. Pembuluh
darah yang kecil tersumbat oleh bakteri. Lesi pasda hati foki nekrotik tersebar
di seluruh parenkim.
e) Diagnosa
Diagnosa
nekrotik ulseratifa didasarkan pada perubahan patologik, lesi spesifik khusus
terdiri atas ulserasi dengan nekrosis pada hati dan limpa membesar dan hemoragik.
Jaringan hati yang mengalami nekrosis dibuat preparat tempel atau digerus di
atas 2 glas objek. Difiksasi dan diwarnai dengan pengecatan Gram. Diagnosis
akhir dengan isolasi dan identifikasi dengan bahan isolai adalah hati.
f) Pengobatan
Pengobatan
dengan antibiotik, antara lain basitrasin, klortetrasiklin, eritromisin,
doksisiklin, penicillin, ampicillin, tylosin, dan lincomisin melalui air minum
atau pakan. Dosis basitrasin 100g/ton pakan sebagai perlindungan. Pengobatan
dilakukan secara simultan dengan 2 macam antibiotik melalui air minum dan
pakan, kemudian dilakukan melalui pakan sampai 14 hari (Tabbu, 2000)
2)
Clostridium perfringens (Enteritis
Nekrotikan)
a) Etiologi
Disebabkan
oleh Clostridium perfringens tipe A
dan C. Merupakan bakteri Gram positif, berbentuk basil, membentuk spora, dan
bersifat anaerobik. Bakteri ini mengeluarkan toksin alfa (oleh Clostridium perfringens tipe A dan C)
dan toksin beta yang diproduksi oleh Clostridium
perfringens C menimbulkan nekrosis pada mukosa usus halus. Toksin ini dapat
ditemukan pada feses. Bakteri ini dapat ditemukan difeses, tanah, debu, pakan, litter, dan isi usus.
b) Patogenesis
Tidak
menular secara langsung dari ayam ke ayam. Penyakit ini ditularkan secara tidak
langsung melalui pakan, alat perlengkapan, atau bahan lain yang tercemar.
Infeksi paling banyak terjadi pada kelompok ayam yang punya tingkat kepadatan
paling tinggi. Jika infeksi telah terjadi maka penyakit mudah menyebar dengan
cepat dari flok satu ke flok lain karena adanya jumlah bakteri yang tinggi
dalam feses ayam yang terinfeksi.
c) Gejala Klinis
Ditemukan
pada ayam umur 2 minggu sampai 6 bulan. Kasus terbanyak pada ayam broiler umur
2 sampai 5 minggu dipelihara pada kandang litter.
Biasanya disertai dengan koksidiosis (Eimeria
brunetti).
Bentuk
akut ditandai oleh adanya kematian mendadak tanpa adanya gejala klinis
tertentu. Bentuk ringan ditandai ayam bergerombol, bulu berdiri, depresi, dan
anoreksia. Biasanya ayam mengalami diare. Mortalitas antara 5% sampai 15%
bahkan dapat mencapai 40%. Bentuk kronis menunjukkan gejala emasiasi, gangguan
pertumbuhan, tingkat keseragaman rendah, dan peningkatan FCR. Masa inkubasi
3-60 hari. Penyakit menyebar secara cepat keseluruh flok selama 10-14 hari.
d) Perubahan Patologis
a) Makroskopis
Biasanya
lesi yang ditimbulkan terbatas pada usus halus terutama pada jejenum dan ileum,
tetapi dapat terjadi pada sekum. Usus menjadi rapuh dan mengalami distensi
karena pembentukan gas. Mukosa usus tertutup oleh suatu selaput semu yang mengeras
dan berwarna kuning atau hijau. Permukaan usus kadang ternoda oleh darah.
b) Mikroskopis
Infeksi
alami terjadi adanya nekrosis yang ekstensif pada mukosa usus disertai
pembentukan fibrin bercampur hancuran sel yang melekat pada mukosa. Awalnya,
lesi terjadi pada apeks dari vili yang ditandai dengan deskuamasi epitel,
kolonisasi lamina propria oleh bakteri dan nekrosis koagulasi yang dikelilingi
oleh heterofil. Lesi berkembang kedaerah kripta lieberkhun hingga submukosa dan
muskularis.
Ayam
yang bertahan ditemukan adanya perubahan regenerative terdiri atas proliferasi
epitel kripta. Sebagian besar epitel berbentuk kuboid, penurunan relative dari
sel goblet dan epitel kolumner.
e) Diagnosa
Didasarkan pada
perubahan patologis, isolasi dan identifikasi bakteri. Isolasi dapat dilakukan
dari isi usus atau kerokan dinding usus.
f) Pengobatan
Antibiotika
misalnya basitrasin, penicillin, ampicillin, virginiamisin, tilosin,
oksitetrasiklin, clortetrasiklin, dan linkomisin diberikan melalui air minum.
Jika disertai dengan eimeria brunette
dapat diberikan dengan anti koksidiosis (Tabbu, 2000)
b)
Jamur
Candida albicans
a) Etiologi
Kandidiasis
disebabkan oleh Candida albicans
merupakan yeast (ragi) tergolong
dalam kingdom fungi. Jamur ini dapat tumbuh pada perbenihan agar sabouroud dapat menghasilkan koloni
berbentuk konveks kekuning-kuningan atau putih mengkilat dan berbau mirip soda
kue. Jamur ini berbentuk bulat dan mempunyai membrane tebal. Relative resisten
didalam tanah dan tahan terhadap berbagai desinfektan.
b)
Patogenesis
Tidak
menular antar ayam. Penyakit ini menular melalui oral, karena mengonsumsi pakan
atau air minum atau kontak dengan bahan atau lingkungan tercemar oleh jamur
tersebut.
c) Gejala Klinis
Banyak
ditemukan pada anak ayam umur 1-2 minggu. Anak ayam menunjukkan gejala gangguan
pertumbuhan, pucat, lesu, dan bulu berdiri. Ayam petelur yang terinfeksi akan
terlihat seperti mengalami obesitas tetapi menderita anemic. Ayam yang
menderita keradangan pada kloaka akibat kandidiasis akan menunjukkan bulu yang
ternoda kotoran berwarna putih disekitar kloaka.
d) Perubahan Patologis
a) Makroskopik
Ditemukan
pada tembolok, esophagus, rongga mulut, dan proventrikulus. Kasus akut mukosa
tembolok akan menebal, berlipat, dan keruh. Kasus kronis ditemukan adanya
daerah menonjol berwarna putih disertai pembentukan ulser yang sirkuler pada
mukosa tembolok. Kasus berat permukaan mukosa yang menebal cenderung mengelupas.
Perubahan pada mukosa dapat juga berbentuk daerah membran semu yang mengandung
material nekrotikan yang mudah terlepas dari permukaan mukosa tersebut.
Esofagus dan rongga mulut menunjukkan adanya ulser. Proventrikulus mengalami
penebalan pada dinding dan nekrosis serta perdarahan dimukosa, terlihat juga
serosa yang lebih mengkilat.
b) Mikroskopik
Tidak
ada reaksi sel radang. Pada tembolok, meliputi nekrosi pada epitel skuamus
kompleks dan pembentukan ulser atau membran difteroid sampai sedodifteritik
pada mukosa. Lesi didaerah esophagus dan proventrikulus ditemukan adanya spora
dan hifa Candida albicans. Lesi
difteroid juga ditemukan pada proventrikulus dan usus.
e) Diagnosa
Didasarkan
pada perubahan patologik, diagnosis akhir dengan isolasi dan identifikasi jamur
dapat diperkuat dengan pemeriksaan apus mukosa tembolok yang diwarnai dengan
methylene blue untuk deteksi adanya hifa atau klamidio spora dari Candida albicans.
f) Pengobatan
Penyakit
ini tidak dapat diobati dengan hasil memuaskan. Pencegahan dapat dilakukan
dengan pemberian nystatin melalui pakan dengan dosis 142 mg/kg pakan selama 4
minggu. Pengobatan dengan nystiasin dosis 62,5-250 mg/liter dicampur dengan
Na-lauril sulfat dosis 7,8-25 mg/liter selama 5 hari melalui air minum.
Pengobatan lainnya, CuSO4 melalui air minum dosis 1:2000 selama
penyakit tersebut berlangsung. Pemberian vitamin A menekan derajat keparahan (Calnek, 1991).
c)
Protozoa
Koksidiosis
a) Etiologi
Secara umum
ookista berbentuk bulat,ovoid atau elips. Panjang ookista berkisar dari 16-29
mikron dan lebarnya sekitar 6-25 mikron. Dalam satu ookista terdapat 4
sporokista dan satu sporokista dapat melepaskan 2 sprozoit. Bila mengalami
ekskistasi satu ookista menghasilkan 8 sporozoit infektif. Ada 9 spesies
Eimeria yang biasa menyerang ternak ayam. Di bedakan lagi menurut habitatnya
dalam usus. Eimeria tenella dan E. necatrix pada sekum. E.acervulina, E. praecox, E. hagani, dan
E. mivati pada usus halus bagian
atas. E.maxima pada usus halus bagian
tengah. E. mitis dan E.brunetti pada usus halus belakang (Levine, 1997)
b) Patogenesis
Temperatur yang cocok siklus hidup bervariasi 21oC – 32oC
tergantung spesies koksidia. Pada suhu tersebut sporulasi berlangsung 1 – 2
hari. Jika ookista yang telah sporulasi tertelan oleh ayam, maka sporozoit akan
dibebaskan dan berkembang menjadi skizon.
Skizon yang telah dewasa akan pecah
dan menghasilkan merozoit yang akan berkembang menjadi mikrogametosit dan
makrogametosist yang keduanya akan bertemu menghasilkan secara berturut-turut,
zygot, ookinet, ookista. Ookista akan dilepaskan bersama feses.
c) Gejala Klinis
Koksidiosis
berjalan secara akut dan ditandai dengan depresi, bulu kusut dan diare dengan
tinja berwarna hijau, napsu makan hilang, muntah darah, paralisa dan diikuti
kematian akibat kolaps. Unggas yang terinfeksi E. tenella memperlihatkan
gejala kepucatan pada balung (jengger) dan pial disertai sekum yang bercampur
darah. Pada penyakit yang tidak menunjukkan gejala klinis, maka ditandai oleh
penurunan produksi telur dan daya tetas serta bobot badan. Lesi-lesi yang
ditimbulkan oleh koksidia memiliki kekhasan tergantung dari spesies yang
menyerang. Kekhasan tersebut sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
a) E. acervulina dan E. Mivati, menyebabkan daerah perdarahan 1 – 2 cm yang diselingi fokus berwarna
putih yang terlihat di sepanjang lapisan serosa duodenum bagian belakang
(distal) dan yeyunum bagian depan (proksimal).
b) E. necatrix, menimbulkan penggembungan yang berlebihan pada bagian tengah yeyunum
dengan perdarahan pada mukosa dan cairan berwarna kemerahan di dalam lumen
usus.
c) E. maxima, menyebabkan penggembungan pada bagian tengah yeyunum dengan
perdarahan pada lapisan mukosa.
d) E. Tenella, menimbulkan radang
perdarahan sekum/usus buntu.
e) E. brunetti, menimbulkan perdarahan mukosa bagian distal yeyunum dan kolon.
d)
Perubahan patologi
Terlihat
bintik-bintik atau bercak-bercak perdarahan hampir di seluruh organ, misalnya
hati, paru-paru, limpa, timus, ginjal, pankreas, usus, proventrikulus, bursa
fabricius, otak, otot dada dan paha. Gumpalan darah juga sering ditemukan dalam
rongga perut dan saluran pernapasan bagian atas.
e)
Pengobatan
Pengobatan
terhadap koksidiosis bisa diusahakan dengan pemberian larutan amprolium atau sulfonamida dalam air minum,
pemberian air yang dapat mensuspensi suplemen vitamin A dan K akan mempercepat proses kesembuhan. Preparat sulfa,
sulfaquinoxaline, sulfamethazine, Monensin, Vitamin K (Saif, 2008).
C.
Sumber
Informasi (Daftar Pustaka)
Calnek, B.W. 1991. Disease of Poultry. Iowa State Press.
USA.
Levine, ND. 1997. Parasitologi
Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarata.
Saif, Y.M. 2008. Disease of
Poultry. Blackwell Publishing. USA.
Tabbu, CR. 2000. Penyakit
Ayam dan Penanggulangannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment