Tuesday, 16 December 2014

BLOK 21 UP 3



A.   Merumuskan Sasaran / Tujuan Belajar / Learning Objectives
1.   Mampu memahami dan mengetahui penyakit leukositozoonosis pada unggas.
2.   Mampu memahami dan mengetahui penyakit pada sendi, bungkus sendi dan tendo.


B.   Belajar Mandiri (Mengumpulkan Informasi)
1.      Leukositozoonosis
a.      Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Protozoa darah genus Leucocytozoon, Famili Plasmodiidae. Sekitar 100 spesies Leucocytozoon telah teridentifikasi. Beberapa spesies dapat menginfeksi lebih dari satu unggas, tetapi berbagai spesies Leucocytozoon bersifat hospes spesifik seperti Leucocytozoon simondi dan Leucocytozoon anseris menginfeksi itik dan angsa. Leucocytozoon neavi menginfeksi ayam mutiara. Leucocytozoon smithi menginfeksi kalkun. Leucocytozoon sabrezi, Leucocytozoon caulleryi dan Leucocytozoon andrewsi menginfeksi ayam (Tabbu, 2002).
Kejadian leukositozoonosis pada ayam terutama disebabkan oleh Leucocytozoon caulleryi dengan vektor insekta Culicoides arakawa, Culicoides circumscritus, dan Culicoides odibilis. Di Indonesia Leucocytozoon caulleryi ditularkan oleh Culicoides arakawa (Tabbu, 2002).
b.      Patogenesis
Siklus hidup Leucocytozoon meliputi fertilisasi dan perkembangan seksual dengan cara sporogoni didalam tubuh insekta, skisogoni (merogoni) didalam sel-sel jaringan (sering pada paru, hati, ginjal) dan gametogoni didalam eritrosit atau leukosit. Lalat hitam (Simulium sp.) dan serangga penggigit bersayap dua (agas) (Culicoides sp.) bertindak sebagai reservoir penyakit tersebut selama suatu musim/periode tertentu. Kedua spesies serangga ini sebagai vektor dan menginfeksi unggas melalui gigitan.  Vektor insekta hanya bersifat infektif selama 18 hari. Jika letupan penyakit berlngsung terus selama musim serangga, maka kejadian tersebut mungkin disebabkan oleh adanya generasi penerus lalat hitam yang menggigit unggas carrier (Tabbu, 2002).
c.       Gejala Klinis
Kejadian akut terjadi pada unggas piaraan, unggas air, dan kalkun liar. Mortalitas pada kasus akut mencapai 80%. Mortalitas yang tinggi dapat juga ditemukan pada kasus subakut. Pada kasus akut proses penyakit berlangsung cepat dan mendadak, diikuti oleh anemia, demam, kelemahan umum, kehilangan nafsu makan, tidak aktif, dan lumpuh (Tabbu, 2002).
Ayam yang terinfeksi protozoa tersebut mengalami muntah, mengeluarkan feses berwarna hijau, dan mati akibat perdarahan. Infeksi Leucocytozoon caulleryi pada ayam dapat mengakibatkan muntah darah dan perdarahan atau kerusakan yang parah pada ginjal. Perdarahan tersebut terjadi akibat keluanya merozoit dari megaloskizont (Tabbu, 2002).
Derajat keparahan tergantung dari jumlah Leucocytozoon yang berkembang dalam tubuh ayam. Kematian biasanya mulai terlihat dalam waktu 1 minggu pasca infeksi. Ayam yang dapat bertahan akan mengalami infeksi kronik dan selanjutnya dapat terjadi gangguan pertumbuhan dan produksi (Tabbu, 2002).
d.      Perubahan Patologis
Makroskopik, perdarahan dengan ukuran yang bervariasi pada kulit, jaringan subkutan, otot, dan berbagai organ lain, misalnya ginjal, hati, paru – paru, usus, dan bursa fabrisius. Hati dan ginjal biasanya membengkak dan berwarna merah hitam. Lesi pada otak dapat ditemukan pada unggas yang menunjukkan gejala inkoordinasi (Tabbu, 2002).
Gambar 3. Perubahan makroskopik pada kulit dan otot, adanya perdarahan berbagai ukuran
Mikroskopik, perdarahan dan pembentukan megaloskizont pada berbagai jaringan misalnya ginjal, hati, paru – paru, usus, busa fabrisius dan otot. Ayam yang menderita leukositozoonosis biasanya mengalami anemia dan leukositosis. Protozoa tersebut dapat ditemukan di dalam leukosit terutama limosit dan monosit, dan eritrosit (Tabbu, 2002).
e.       Diagnosis
Diagnosis sangkaan didasarkan atas riwayat kejadian, gejala klinis, dan perubahan patologik yang ditimbulkan oleh penyakit. Diagnosa penunjang dilakukan dengan pemeriksaan serologis untuk mendeteksi kemungkinan adanya antibodi akibat infeksi Leucocytozoon. Diagnosis akhir didasarkan pemeriksaan mikroskopik preparat apus darah dan remasan jaringan (hati, paru, dan limpa). Preparat apus darah diwarnai dengan pewarnaan Wright’s atau Giemsa. Untuk membuktikan adanya Leucocytozoon dilakukan pewarnaan dengan brillian cresyl blue  (Tabbu, 2002).
f.       Pengobatan
Sulfadimetoksin 0,0025%  atau sulfaquinoksalin 0,005% melalui air minum dan pakan. 1 ppm pirimetamin atau 0,0125% – 0,025% klopidol melalui pakan biasanya dilakukan selama 18 minggu (Tabbu, 2002).
g.      Pencegahan
Pirimetamin 1 ppm dan sulfadimetoksin 10 ppm. Menekan atau mengeliminasi vektor biologik (insekta). Variasi umur dari suatu peternakan perlu ditekan untuk menghindari kelompok umur yang bertindak sebagai carrier. Granul abate celatom 2% untuk pengendalian larva insekta. Pemberian insektisida spray dikandang. Penggunaan tirai anti serangga dan kipas pada kandang ayam. Cegah burung liar sebagai carrier kontak dari ayam (Tabbu, 2002).

2.      Penyakit pada Sendi, Bungkus Sendi dan Tendo
a.      Infectious Tenosynovitis (Reoviral arthritis)
1)   Etiologi
Tergolong family Reoviridae, memiliki genom dsRNA, tidak mempunyai envelope dan mempunyai diameter sekitar 75 nm. Reovirus bersifat tahan panas, virus ini tidak sensitif terhadap eter, tetapi sedikit sensitive terhadap kloroform. Reovirus tahan terhadap pH 3, tahan terhadap HO2 pada temperatur kamar selama 1 jam, tahan terhadap larutan 2% lisol dan 3% formalin (Tabbu, 2000).
2)   Patogenesis
Cara penularan secara horizontal dan vertikal. Horizontal melalui rute saluran pernafasan dan pencernaan. Virus dapat ditemukan dalam feses kemudian menyebar secara lateral kea yam lainnya. Vertikal melalui telur yang terjadi selama viremik dari penyakit ini. Masa inkubasi antara 1-13 hari (Tabbu, 2000). Morbiditas dan mortalitas sangat beragam, 2-3% dan kadang mencapai 10% (Zanella, 2003).
3)   Gejala Klinis
Bentuk tenosynovitis ditandai kelumpuhan yang diikuti oleh pembengkakan pada pembungkus tendo di daerah persendian tarso-metatarsus. Akut, ayam menderita kelumpuhan, bertumpu pada persendian tarso-metatarsus da sulit untuk bergerak. Sejumlah ayam dalam satu kelompok akan mnegalami gangguan pertumbuhan.  Kronis, gejala kelumpuhan akan lebih mencolok dan pada sejumlah kecil ayam yang terinfeksi akan terlihat persendian taro-metatarsus yang sulit digerakkan (Tabbu, 2000).
Bentuk septisemik, ditemukan pada ayam petelur. Gejala awal terjadi peningkatan angka kematian. Produksi telur biasanya menurun pada kisaran 2-3 kali tingkat kematian. Ditemukan juga adanya gangguan persendiantapi derajat keparahannya lebih ringan (Tabbu, 2000).
4)   Perubahan Patologis
Makroskopik, edema dan bengkak pada tendo dan pembungkus tendo. Rupture dari tendo gastrocnemius, penebalan diafisis pada tibia dan pembentukan eksudat kuning kecoklatan pada persendian kaki. Kulit pada daerah yang bengkak biasanya berwarna kemerahan dan waktu dipalpasi akan terassa keras. Telapak kaki dapat juga membengkak (Tabbu, 2000).
Mikroskopik akut, hypertropi dan hyperplasia sel – sel synovial, infiltrasi limfosit dan makrofag, dan proliferasi sel – sel reticular. Di dalam ruang synovial, dapat ditemukan adanya heterofil, makrofag, dan sel sel synovial yang mengalami deskuamasi. Terlihat juga adanya periostitis yang ditandai oleh peningkatan pembentukan osteoklas. Kronis, ditemukan pembentukan fili dan noduli limfoid pada membran synovial. Jika berlanjut, terjadi peningkatan jumlah jaringan ikat fibrous, proliferasi sel – sel reticular, limfosit, makrofag, dan sel – sel plasma (Tabbu, 2000).
5)   Diagnosis
Diagnosa sangkaan dapat didasarkan pada perubahan patologis dan gejala klinis. Inokulasi virus pada kaki DOC yang sensitif, jika iolat reovirus bersifat patogenik, maka dalam 72 jam akan timbul keradangan pada telapak kaki. Uji agar gel Presipitasi (AGP) untuk mendeteksi adanya antibodi grup spesifik terhadap reovirus. Antibody tersebut dideteksi dengan uji inmunofluoresence tidak langsung. Pemeriksaan serologis dapat dilakukan dengan uji netralisasi virus (VN) dan ELISA (Tabbu, 2000).
6)   Penanganan
Pemberian antibiotik untuk menekan infeksi skunder yang sering mengikuti penyakit tersebut, meliputi kelompok ampicillin, doksisiklin, dan kelompok kuinolon. Meningkatkan manajemen meliputi sanitasi/desinfeksi, istirahat kandang (2-4 minggu), memelihara DOC dari breeder yang divaksinasi. Desinfeksi pada kandang dan peralatan menggunakan 0,5% yodium organic atau larutan soda (Tabbu, 2000).

b.      Infectious Synovitis
1)   Etiologi
Disebabkan oleh Mycoplasma synoviae. Bersifat sensitif terhadap pH rendah, organisme bersifat tidak stabil pada pH 6,8 atau lebih rendah. Sensitif terhadap temperatur >39°C. sensitive terhadap berbagai jenis desinfektan dan sinar matahari (Tabbu, 2000).
2)   Patogenesis
Secara horizontal terjadi melalui kontak langsung dengan ayam sakit. Penularan terjadi melalui saluran pernafasan dan morbiditas 100%. Secara vertikal, induk ayam bibit kepada anaknya melalui telur (Tabbu, 2000).
3)   Gejala Klinis
Bentuk synovitis, lebih banyak ditemukan pada anak ayam umur 4-12 minggu, bentuk pernafasan dapat ditemukan pada ayam dara dan ayam dewasa. Gejala awal ditandai dengan pial pucat, kelumpuhan dan gangguan pertumbuhan. Pada kasus melanjut bulu terlihat berdiri dan tulang mengkerut dan berwarna merah kebiruan. Kebengkakan terlihat sekitar persendian dan disertai oleh bursitis sternalis. Sendi yang sering terkena adalah sendi tarso-metatarsus dan telapak kaki. Ayam terlihat lemah, mengalami dehidrasi, emasiasi dan sulit bergerak. Sering terlihat adanya kotoran yang berwarna hijau bercampur asam urat yang berwarna putih (Tabbu, 2000).
4)   Perubahan Patologis
Makroskopik, stadium awal, dijumpai adanya eksudat kental yang berwarna kekuningan dan kelabu pada membrana synovial, pembungkus tendo, sendi dan bursa sternalis. Terlihat adanya pembesaran hati dan limpa. Ginjal biasanya membengkak, belang dan pucat.  Proses melanjut dijumpai adanya eksudat kaseous pada pembungkus tendo, persendian, dan dapat meluas ke dalam otot dan kantong udara.  Persendian tarso-metatarus akan menipis di permukaannya (Tabbu, 2000). Lesi makros terjadi penebalan membrane synovial dengan exudat creamy sampai kaseusa, dengan spleno dan hepatomegali. Morbiditas sangat beragam dari 2% sampai 50%. Mortalitas dari 1% sampai 10% (Zanella, 2003).
Mikroskopik, infiltrasi heterofil dan fibrin di antara ruang sendi dan sepanjang pembungkus tendo. Membrane synovial mengalami hyperplasia dan disertai oleh pembentukan vilus serta infiltrasi limfosit dan makrofag. Permukaan kartilago menjadi pucat, menipis atau berlubang. Hyperplasia system makrofag monosit di sekitar pembuluh darah limpa, infiltrasi sel – sel limfoid di dalam jantung, hati dan ventrikulus. Atrofi tymus dan bursa fabrisius (Tabbu, 2000).
5)   Diagnosis
Diagnosis sangkaan, berdasarakan riwayat kasus, gejala klinis, dan perubahan patologis. Diagnosis akhir didasarkan atas isolasi dan identifikasi Mycoplasma synoviae atau pemeriksaan serologik menggunakan metode RPAT, ELISA, HA, HI. Pengambilan sampel pada organ trakea, paru, kantong udara, dan lesi pada persendian (Tabbu, 2000).
6)   Pengobatan
Tylosin, spiramicin, lincomisin, spectinomicin dan beberapa golongan quinolone (enrofloksasin dan norfloksasin). Resisten terhadap eritromisin. Perlu diberikan terapi supportif seperti multivitamin untuk mempercepat penyembuhan (Tabbu, 2000).
7)   Pencegahan
Pengamanan biologis yang ketat dan pelaksanaan berbagai aspek manajemen lainnya secara optimal diperlukan untuk menghilangkan faktor pendukung atau sumber infeksi Mycoplasma synoviae. Sanitasi yang ketat pada telur tetas dan incubator (Tabbu, 2000).

c.       Fowl Cholera Kronis
1)   Etiologi
Disebabkan oleh Pasteurella multocida. Bakteri Gram negatif, tidak membentuk spora dan berbentuk batang. Organisme ini tercat bipolar dan tumbuh secara aerob maupun anaerob. Tahan dalam tanah, litter atau bahan – bahan yang membusuk selama beberapa bulan (Tabbu, 2000).
2)   Patogenesis
Melalui leleran hidung, mulut, atau kotoran ayam sakit. Ayam carrier membawa Pasteurella multocida  di dalam celah cavum nasi dan bagian saluran pernafasan atas sehingga pada waktu minum kuman tersebut akan mencemari air minum.dapat melalui kontak langsung dengan ayam sakit atau carrier (Tabbu, 2000).
3)   Gejala Klinis
Pembengkakan abses pada pial, persendian kaki, sayap, telapak kaki dan bursa sternalis. Sinus infraorbitalis dapat membengkak akibat timbunan eksudat kaseous. Suara ngorok yang basah (Tabbu, 2000).
4)   Perubahan Patologis
Makroskopik, infeksi local bersifat supuratif pada persendian tarsometatarsus, bursa sternalis, telapak kaki, rongga peritoneum dan oviduk. Mikroskopik, keradangan supuratif yang ditandai adanya daderah nekrosis, infiltrasi heterofil, pembentukan fibrin, multinucleated giant cells, dan proliferasi fibroblast (Tabbu, 2000).
5)   Diagnosis
Diagnosis sangkaan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan patologis. Pemeriksaan langsung pada preparat tempel jaringan atau pemeriksaan apus darah dengan pengecatan Gram atau Wright’s. diagnose akhir dengan isolasi dan identifikasi bakteri. Sampel yang diambil dari sumsum tulang, darah, jantung, hati, meninges atau lesi yang bersifat local (Tabbu, 2000).
6)   Pengobatan
Berbagai antibiotik antara lain berbagai jenis sulfa, atau kelompok flumekuin dan quinolone. Pemberian multivitamin atau memperketat kandungan nutrien dalam pakan (Tabbu, 2000).
7)   Pencegahan
 Pengamanan biologis yang ketat dan pelaksanaan berbagai aspek manajemen lainnya secara optimal diperlukan untuk menghilangkan faktor pendukung atau sumber infeksi. Menghindari kontak dengan ayam sakit atau carrier, mencegah adanya ternak lain, burung peliharaan, burung liar dan rodent di dalam lokasi peternakan. Vaksin dapat diberikan secara aktif maupun inaktif pada umur ± minggu (Tabbu, 2000).

C.    Sumber Informasi (Daftar Pustaka)

Tabbu, C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya volume 1, Penyakit Bakterial, Mikal, dan Viral. Yogyakarta : Kanisius
Tabbu, C.R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya volume 2, Penyakit Asal Parasit, Non infeksius dan etiologi kompleks. Yogyakarta : Kanisius
Zanella, A. 2003. Poultry Disease Manual, Characteristics and Control of Infections. Madrid : Neuva Biological Products

No comments:

Post a Comment