A.
Merumuskan
Sasaran / Tujuan Belajar / Learning Objectives
1.
Mampu
memahami dan mengetahui penyakit leukositozoonosis pada unggas.
2.
Mampu
memahami dan mengetahui penyakit pada sendi, bungkus sendi dan tendo.
B.
Belajar
Mandiri (Mengumpulkan Informasi)
1.
Leukositozoonosis
a. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Protozoa darah genus Leucocytozoon, Famili Plasmodiidae. Sekitar 100 spesies Leucocytozoon telah teridentifikasi. Beberapa
spesies dapat menginfeksi lebih dari satu unggas, tetapi berbagai spesies Leucocytozoon bersifat hospes spesifik
seperti Leucocytozoon simondi dan Leucocytozoon anseris menginfeksi itik
dan angsa. Leucocytozoon neavi
menginfeksi ayam mutiara. Leucocytozoon
smithi menginfeksi kalkun. Leucocytozoon
sabrezi, Leucocytozoon caulleryi dan Leucocytozoon
andrewsi menginfeksi ayam (Tabbu, 2002).
Kejadian leukositozoonosis pada ayam terutama
disebabkan oleh Leucocytozoon caulleryi
dengan vektor insekta Culicoides arakawa,
Culicoides circumscritus, dan Culicoides odibilis. Di Indonesia Leucocytozoon caulleryi ditularkan oleh Culicoides arakawa (Tabbu, 2002).
b. Patogenesis
Siklus hidup Leucocytozoon
meliputi fertilisasi dan perkembangan seksual dengan cara sporogoni didalam
tubuh insekta, skisogoni (merogoni) didalam sel-sel jaringan (sering pada paru,
hati, ginjal) dan gametogoni didalam eritrosit atau leukosit. Lalat hitam (Simulium sp.) dan serangga penggigit
bersayap dua (agas) (Culicoides sp.)
bertindak sebagai reservoir penyakit tersebut selama suatu musim/periode
tertentu. Kedua spesies serangga ini sebagai vektor dan menginfeksi unggas
melalui gigitan. Vektor insekta hanya
bersifat infektif selama 18 hari. Jika letupan penyakit berlngsung terus selama
musim serangga, maka kejadian tersebut mungkin disebabkan oleh adanya generasi
penerus lalat hitam yang menggigit unggas carrier (Tabbu, 2002).
c. Gejala
Klinis
Kejadian akut terjadi pada unggas piaraan, unggas air,
dan kalkun liar. Mortalitas pada kasus akut mencapai 80%. Mortalitas yang
tinggi dapat juga ditemukan pada kasus subakut. Pada kasus akut proses penyakit
berlangsung cepat dan mendadak, diikuti oleh anemia, demam, kelemahan umum,
kehilangan nafsu makan, tidak aktif, dan lumpuh (Tabbu, 2002).
Ayam yang terinfeksi protozoa tersebut mengalami
muntah, mengeluarkan feses berwarna hijau, dan mati akibat perdarahan. Infeksi Leucocytozoon caulleryi pada ayam dapat
mengakibatkan muntah darah dan perdarahan atau kerusakan yang parah pada
ginjal. Perdarahan tersebut terjadi akibat keluanya merozoit dari megaloskizont
(Tabbu, 2002).
Derajat keparahan tergantung dari jumlah Leucocytozoon yang berkembang dalam
tubuh ayam. Kematian biasanya mulai terlihat dalam waktu 1 minggu pasca
infeksi. Ayam yang dapat bertahan akan mengalami infeksi kronik dan selanjutnya
dapat terjadi gangguan pertumbuhan dan produksi (Tabbu, 2002).
d. Perubahan
Patologis
Makroskopik, perdarahan dengan ukuran yang bervariasi
pada kulit, jaringan subkutan, otot, dan berbagai organ lain, misalnya ginjal,
hati, paru – paru, usus, dan bursa fabrisius. Hati dan ginjal biasanya membengkak
dan berwarna merah hitam. Lesi pada otak dapat ditemukan pada unggas yang menunjukkan
gejala inkoordinasi (Tabbu, 2002).
Gambar 3. Perubahan makroskopik pada kulit dan otot,
adanya perdarahan berbagai ukuran
Mikroskopik, perdarahan dan pembentukan megaloskizont
pada berbagai jaringan misalnya ginjal, hati, paru – paru, usus, busa fabrisius
dan otot. Ayam yang menderita leukositozoonosis biasanya mengalami anemia dan
leukositosis. Protozoa tersebut dapat ditemukan di dalam leukosit terutama limosit
dan monosit, dan eritrosit (Tabbu, 2002).
e. Diagnosis
Diagnosis sangkaan didasarkan atas riwayat kejadian,
gejala klinis, dan perubahan patologik yang ditimbulkan oleh penyakit. Diagnosa
penunjang dilakukan dengan pemeriksaan serologis untuk mendeteksi kemungkinan
adanya antibodi akibat infeksi Leucocytozoon.
Diagnosis akhir didasarkan pemeriksaan mikroskopik preparat apus darah dan
remasan jaringan (hati, paru, dan limpa). Preparat apus darah diwarnai dengan
pewarnaan Wright’s atau Giemsa. Untuk membuktikan adanya Leucocytozoon dilakukan pewarnaan dengan
brillian cresyl blue (Tabbu, 2002).
f. Pengobatan
Sulfadimetoksin 0,0025% atau sulfaquinoksalin 0,005% melalui air
minum dan pakan. 1 ppm pirimetamin atau 0,0125% – 0,025% klopidol melalui pakan
biasanya dilakukan selama 18 minggu (Tabbu, 2002).
g. Pencegahan
Pirimetamin 1
ppm dan sulfadimetoksin 10 ppm. Menekan atau mengeliminasi vektor biologik (insekta).
Variasi umur dari suatu peternakan perlu ditekan untuk menghindari kelompok
umur yang bertindak sebagai carrier. Granul abate
celatom 2% untuk pengendalian larva insekta. Pemberian insektisida spray
dikandang. Penggunaan tirai anti serangga dan kipas pada kandang ayam. Cegah burung
liar sebagai carrier kontak dari ayam (Tabbu, 2002).
2.
Penyakit pada Sendi, Bungkus Sendi dan Tendo
a. Infectious
Tenosynovitis (Reoviral arthritis)
1) Etiologi
Tergolong
family Reoviridae, memiliki genom dsRNA, tidak mempunyai envelope dan mempunyai
diameter sekitar 75 nm. Reovirus bersifat tahan panas, virus ini tidak sensitif
terhadap eter, tetapi sedikit sensitive terhadap kloroform. Reovirus tahan
terhadap pH 3, tahan terhadap H2O2 pada temperatur kamar
selama 1 jam, tahan terhadap larutan 2% lisol dan 3% formalin (Tabbu, 2000).
2) Patogenesis
Cara
penularan secara horizontal dan vertikal. Horizontal melalui rute saluran
pernafasan dan pencernaan. Virus dapat ditemukan dalam feses kemudian menyebar
secara lateral kea yam lainnya. Vertikal melalui telur yang terjadi selama
viremik dari penyakit ini. Masa inkubasi antara 1-13 hari (Tabbu, 2000).
Morbiditas dan mortalitas sangat beragam, 2-3% dan kadang mencapai 10%
(Zanella, 2003).
3) Gejala Klinis
Bentuk tenosynovitis ditandai kelumpuhan yang diikuti oleh pembengkakan
pada pembungkus tendo di daerah persendian tarso-metatarsus. Akut, ayam
menderita kelumpuhan, bertumpu pada persendian tarso-metatarsus da sulit untuk
bergerak. Sejumlah ayam dalam satu kelompok akan mnegalami gangguan
pertumbuhan. Kronis, gejala kelumpuhan
akan lebih mencolok dan pada sejumlah kecil ayam yang terinfeksi akan terlihat
persendian taro-metatarsus yang sulit digerakkan (Tabbu, 2000).
Bentuk septisemik, ditemukan pada ayam petelur. Gejala awal terjadi
peningkatan angka kematian. Produksi telur biasanya menurun pada kisaran 2-3
kali tingkat kematian. Ditemukan juga adanya gangguan persendiantapi derajat
keparahannya lebih ringan (Tabbu, 2000).
4) Perubahan Patologis
Makroskopik, edema dan bengkak pada tendo dan pembungkus tendo. Rupture
dari tendo gastrocnemius, penebalan diafisis pada tibia dan pembentukan eksudat
kuning kecoklatan pada persendian kaki. Kulit pada daerah yang bengkak biasanya
berwarna kemerahan dan waktu dipalpasi akan terassa keras. Telapak kaki dapat
juga membengkak (Tabbu, 2000).
Mikroskopik akut, hypertropi dan hyperplasia sel – sel synovial,
infiltrasi limfosit dan makrofag, dan proliferasi sel – sel reticular. Di dalam
ruang synovial, dapat ditemukan adanya heterofil, makrofag, dan sel sel
synovial yang mengalami deskuamasi. Terlihat juga adanya periostitis yang
ditandai oleh peningkatan pembentukan osteoklas. Kronis, ditemukan pembentukan
fili dan noduli limfoid pada membran synovial. Jika berlanjut, terjadi
peningkatan jumlah jaringan ikat fibrous, proliferasi sel – sel reticular,
limfosit, makrofag, dan sel – sel plasma (Tabbu, 2000).
5) Diagnosis
Diagnosa
sangkaan dapat didasarkan pada perubahan patologis dan gejala klinis. Inokulasi
virus pada kaki DOC yang sensitif, jika iolat reovirus bersifat patogenik, maka
dalam 72 jam akan timbul keradangan pada telapak kaki. Uji agar gel Presipitasi
(AGP) untuk mendeteksi adanya antibodi grup spesifik terhadap reovirus.
Antibody tersebut dideteksi dengan uji inmunofluoresence tidak langsung.
Pemeriksaan serologis dapat dilakukan dengan uji netralisasi virus (VN) dan
ELISA (Tabbu, 2000).
6) Penanganan
Pemberian antibiotik
untuk menekan infeksi skunder yang sering mengikuti penyakit tersebut, meliputi
kelompok ampicillin, doksisiklin, dan kelompok kuinolon. Meningkatkan manajemen
meliputi sanitasi/desinfeksi, istirahat kandang (2-4 minggu), memelihara DOC
dari breeder yang divaksinasi. Desinfeksi pada kandang dan peralatan
menggunakan 0,5% yodium organic atau larutan soda (Tabbu, 2000).
b. Infectious
Synovitis
1) Etiologi
Disebabkan
oleh Mycoplasma synoviae. Bersifat
sensitif terhadap pH rendah, organisme bersifat tidak stabil pada pH 6,8 atau
lebih rendah. Sensitif terhadap temperatur >39°C. sensitive terhadap
berbagai jenis desinfektan dan sinar matahari (Tabbu, 2000).
2) Patogenesis
Secara
horizontal terjadi melalui kontak langsung dengan ayam sakit. Penularan terjadi
melalui saluran pernafasan dan morbiditas 100%. Secara vertikal, induk ayam
bibit kepada anaknya melalui telur (Tabbu, 2000).
3) Gejala Klinis
Bentuk
synovitis, lebih banyak ditemukan pada anak ayam umur 4-12 minggu, bentuk
pernafasan dapat ditemukan pada ayam dara dan ayam dewasa. Gejala awal ditandai
dengan pial pucat, kelumpuhan dan gangguan pertumbuhan. Pada kasus melanjut
bulu terlihat berdiri dan tulang mengkerut dan berwarna merah kebiruan.
Kebengkakan terlihat sekitar persendian dan disertai oleh bursitis sternalis. Sendi
yang sering terkena adalah sendi tarso-metatarsus dan telapak kaki. Ayam
terlihat lemah, mengalami dehidrasi, emasiasi dan sulit bergerak. Sering
terlihat adanya kotoran yang berwarna hijau bercampur asam urat yang berwarna
putih (Tabbu, 2000).
4) Perubahan Patologis
Makroskopik, stadium awal, dijumpai adanya eksudat kental yang berwarna
kekuningan dan kelabu pada membrana synovial, pembungkus tendo, sendi dan bursa
sternalis. Terlihat adanya pembesaran hati dan limpa. Ginjal biasanya
membengkak, belang dan pucat. Proses
melanjut dijumpai adanya eksudat kaseous pada pembungkus tendo, persendian, dan
dapat meluas ke dalam otot dan kantong udara. Persendian tarso-metatarus akan menipis di
permukaannya (Tabbu, 2000). Lesi makros terjadi penebalan membrane synovial
dengan exudat creamy sampai kaseusa, dengan spleno dan hepatomegali. Morbiditas
sangat beragam dari 2% sampai 50%. Mortalitas dari 1% sampai 10% (Zanella,
2003).
Mikroskopik, infiltrasi heterofil dan fibrin di antara ruang sendi dan
sepanjang pembungkus tendo. Membrane synovial mengalami hyperplasia dan
disertai oleh pembentukan vilus serta infiltrasi limfosit dan makrofag. Permukaan
kartilago menjadi pucat, menipis atau berlubang. Hyperplasia system makrofag
monosit di sekitar pembuluh darah limpa, infiltrasi sel – sel limfoid di dalam
jantung, hati dan ventrikulus. Atrofi tymus dan bursa fabrisius (Tabbu, 2000).
5) Diagnosis
Diagnosis
sangkaan, berdasarakan riwayat kasus, gejala klinis, dan perubahan patologis.
Diagnosis akhir didasarkan atas isolasi dan identifikasi Mycoplasma synoviae atau pemeriksaan serologik menggunakan metode
RPAT, ELISA, HA, HI. Pengambilan sampel pada organ trakea, paru, kantong udara,
dan lesi pada persendian (Tabbu, 2000).
6) Pengobatan
Tylosin,
spiramicin, lincomisin, spectinomicin dan beberapa golongan quinolone
(enrofloksasin dan norfloksasin). Resisten terhadap eritromisin. Perlu
diberikan terapi supportif seperti multivitamin untuk mempercepat penyembuhan (Tabbu,
2000).
7) Pencegahan
Pengamanan
biologis yang ketat dan pelaksanaan berbagai aspek manajemen lainnya secara
optimal diperlukan untuk menghilangkan faktor pendukung atau sumber infeksi Mycoplasma synoviae. Sanitasi yang ketat
pada telur tetas dan incubator (Tabbu, 2000).
c.
Fowl Cholera Kronis
1)
Etiologi
Disebabkan
oleh Pasteurella multocida. Bakteri
Gram negatif, tidak membentuk spora dan berbentuk batang. Organisme ini tercat
bipolar dan tumbuh secara aerob maupun anaerob. Tahan dalam tanah, litter atau
bahan – bahan yang membusuk selama beberapa bulan (Tabbu, 2000).
2)
Patogenesis
Melalui
leleran hidung, mulut, atau kotoran ayam sakit. Ayam carrier membawa Pasteurella multocida di dalam celah cavum nasi dan bagian saluran
pernafasan atas sehingga pada waktu minum kuman tersebut akan mencemari air
minum.dapat melalui kontak langsung dengan ayam sakit atau carrier (Tabbu,
2000).
3)
Gejala
Klinis
Pembengkakan abses pada
pial, persendian kaki, sayap, telapak kaki dan bursa sternalis. Sinus
infraorbitalis dapat membengkak akibat timbunan eksudat kaseous. Suara ngorok
yang basah (Tabbu, 2000).
4)
Perubahan
Patologis
Makroskopik,
infeksi local bersifat supuratif pada persendian tarsometatarsus, bursa
sternalis, telapak kaki, rongga peritoneum dan oviduk. Mikroskopik, keradangan
supuratif yang ditandai adanya daderah nekrosis, infiltrasi heterofil,
pembentukan fibrin, multinucleated giant cells, dan proliferasi fibroblast
(Tabbu, 2000).
5)
Diagnosis
Diagnosis
sangkaan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan patologis. Pemeriksaan
langsung pada preparat tempel jaringan atau pemeriksaan apus darah dengan
pengecatan Gram atau Wright’s. diagnose akhir dengan isolasi dan identifikasi
bakteri. Sampel yang diambil dari sumsum tulang, darah, jantung, hati, meninges
atau lesi yang bersifat local (Tabbu, 2000).
6)
Pengobatan
Berbagai
antibiotik antara lain berbagai jenis sulfa, atau kelompok flumekuin dan
quinolone. Pemberian multivitamin atau memperketat kandungan nutrien dalam
pakan (Tabbu, 2000).
7)
Pencegahan
Pengamanan biologis yang ketat dan pelaksanaan
berbagai aspek manajemen lainnya secara optimal diperlukan untuk menghilangkan
faktor pendukung atau sumber infeksi. Menghindari kontak dengan ayam sakit atau
carrier, mencegah adanya ternak lain, burung peliharaan, burung liar dan rodent
di dalam lokasi peternakan. Vaksin dapat diberikan secara aktif maupun inaktif
pada umur ± minggu (Tabbu, 2000).
C.
Sumber Informasi
(Daftar Pustaka)
Tabbu, C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya volume
1, Penyakit Bakterial, Mikal, dan Viral. Yogyakarta : Kanisius
Tabbu, C.R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya volume
2, Penyakit Asal Parasit, Non infeksius dan etiologi kompleks. Yogyakarta :
Kanisius
Zanella, A. 2003. Poultry Disease Manual, Characteristics and
Control of Infections. Madrid : Neuva Biological Products
No comments:
Post a Comment