Wednesday, 7 January 2015

BLOK 21 UP 5



A.   Merumuskan Sasaran / Tujuan Belajar / Learning Objectives
Mengetahui dan memahami tentang mikotoksikosis pada unggas meliputi etiologi, patogenesis, gejala klinis, perubahan patologis, diagnosis, dan penanggulangan.


B.   Belajar Mandiri (Mengumpulkan Informasi)
Mikotoksikosis pada Unggas
1.    Aflatoksin
a.    Etiologi
 Aflatoksin merupakan mikotoksin yang bersifat sangat toksik dan karsinogenik, yang dihasilkan oleh fungi Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, dan Penicillium puberulum. Temperatur optimum untuk pertumbuhan Aspergillus flavus pada kacang adalah 28°C – 30°C dan kandungan air minimum 8% 10% dan kelembapan 80% – 85%. Aflatoksin bersifat relatif stabil di dalam pakan dan bahan baku pakan tetapi bersifat sensitif terhadap agen oksidasi, misalnya hipoklorit. Berdasarkan reaksi warna terhadap sinar fluorescence dan nilai Rf kromatografik, maka aflatoksin terdiri atas beberapa jenis, yaitu aflatoksin B1 dan B2 yang berwarna biru dan aflatoksin G1 dan G2 yang berwarna hijau (Syaif, 2008 ; Tabbu, 2002).
Aflatoksin pada layer akan mengakibatkan timbunan metabolit aflatoksin B1 dan B2 pada konsentrasi yang rendah di dalam ventrikulus, hati, dan ginjal. Tapi sebelumnya dapat diekskresikan dari tubuh dalam waktu 4 hari (Tabbu, 2002).
Aflatoksin bersifat imunosupresif dan karsinogenik; aflatoksin B­1 dengan kadar 1,0 ppm atau lebih dapat menimbulkan sejumlah morbiditas dan mortalitas. Jika kadar aflatoksin B1 200-500 ppb terjadi efek imunosupresif. Aflatoksin dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan, peningkatan konversi pakan, penurunan kualitas karkas, penurunan produksi telur, penurunan daya tetas telur, dan kepekaan terhadap penyakit (Tabbu, 2002).
b.   Patogenesis
Rute utama melalui inhalasi dan ingesti. Tempat metabolisme utama aflatoksin adalah organ hati, namun ada juga yang di dalam darah dan organ lain. Metabolisme aflatoksin terdiri atas tiga tahap, yaitu bioaktivasi, konjugasi, dan dekonjugasi. Pada ketiga tahap tersebut, tubuh berusaha mengurangi efek racun dari aflatoksin. Aflatoksin dikeluarkan oleh tubuh melalui cairan empedu, susu, telur, dan air seni. Bila aflatoksin tidak dapat dikeluarkan dari tubuh maka akan terjadi perubahan patologis dan menimbulkan beberapa gejala seperti teratogenik dan kanker (manusia dan hewan) (Syaif, 2008)
c.    Gejala Klinis
Akut karena aflatoksin B1 sekitar 1000 ppb. Kronis pada ayam tua lebih dari 5 minggu yang mengkonsumsi aflatoksin kadar rendah selama beberapa minggu. Gejala keracunan akut meliputi lesu, kehilangan nafsu makan, gangguan pertumbuhan, pigmentasi abnormal pada kaki dan jari dan kelumpuhan. Ataxia, konvulsi, dan opistotonus, berakhir dengan kematian. Infeksi kronis terjadi hambatan pertumbuhan, peningkatan konversi pakan, penurunan produksi telur, penurunan fertilitas dan daya tetas telur. Pada broiler terlihat penurunan kualitas karkas dan peningkatan lesi atau memar pada kulit akibat adanya pembuluh darah kapiler yang lebih rapuh. Ayam mengalami imunosupresif sehingga peka terhadap penyakit, dan mempunyai respon suboptimal terhadap program vaksinasi dan pengobatan (Tabbu, 2002).
Broiler, metabolit aflatoksin B1 dan B2 berkonsentrasi tinggi di gizzard, liver, dan ginjal tapi dibersihkan selama 4 hari. Aflatoksin berefek pada produksi telur dengan mengurangi sintesis dan transfor precursor yolk yang ada dihepar. Aflatoksin menginduksi imunosupresif karena atrofi bursa fabrisius, thymus, dan lien. Aflatoksin merupakan toxic untuk B limfosit pada masa embrio akhir. respon sel mediated imun menurun,mengganggu fungsi pembersihan oleh fagosit dan sistem retikuloendotelial (Syaif, 2008).
d.   Perubahan Patologis
Perubahan makroskopis : Pada saat dinekropsi skor kondisi tubuh ayam secara umum baik. Liver dan ginjal akan mengalami kongesti dan edema, pembesaran, dan kenyal. Bentuk akut pada hati dan ginjal terjadi pembesaran dan warna yang lebih pucat. Hati biasanya berwarna lebih pucat atau kekuning-kuningan dan bersifat rapuh. Ada pola capsular di permukaan akibat akumulasi lemak. Liver berkembang menjadi foci keputihan yang berisi peningkatan lipid. Duodenum mengalami distensi akibat adanya timbunan cairan kataral di dalam lumen. Perdarahan pada kulit, otot, dan saluran pencernaan. Bentuk kronis biasanya menimbulkan atrofi, pengerasan, dan perubahan bentuk nodular dari hati yang disertai oleh adanya perdarahan multifocal dan distensi vesica vellea. Terjadi asites, hidroperikardium, dan atrofi bursa Fabrisius, timus dan limpa. Atropi pada organ-organ limpoid merupakan faktor pendukung timbulnya efek imunosupresif (Syaif, 2008 ; Tabbu, 2002).
Perubahan Mikroskopis : Bentuk akut pada hati meliputi pembentukan makro dan mikrovakuola di dalam sitoplasma (indikasi degenerasi melemak), nekrosis yang ekstensif, perdarahan, dan proliferasi duktus biliverus ukuran kecil. Lesi mikroskopik pada ginjal, meliputi dilatasi tubulus proksimalis, nekrosis epitel tubuli, dan pembentukan nukleus yang sangat besar dengan nucleoli yang menonjol. Aflatoksikosis bentuk kronis dapat menimbulkan degenerasi melemak, nekrosis dan nodular hiperplasia hepatosit, proliferasi duktus biliverus ukuran kecil, dan fibroplasia yang ekstensif. Pada bursa fabrisius terjadi nekrosis limfosit dan atrofi folikel, sedangkan perubahan pada timus dan limpa, meliputi nekrosis limfosit dan penurunan populasi folikel limfoid (Tabbu, 2002).
e.    Diagnosis
Diagnosis sangakaan berdasarkan sejarah kasus dan perubahan patologik pada jaringan. Bahan paku pakan dapat diuji dengan sinar ultraviolet (sinar hitam) untuk mengetahui pembentukan fluoresen warna biru hijau. Metode analisis untuk mikotoksin dapat menggunakan kromatografi (lapis tipis, gas, dan cair), spektrometri, dan teknik antibodi monoclonal. Test kits untuk aflatoksin B1 menggunakan ELISA atau minicolumns. Sejumlah metode bioassay dapat juga digunakan untuk melakukan uji screening terhadap mikotoksin (Tabbu, 2002).
f.     Penanggulangan
Pengobatan yang spesifik terhadap ayam yang menderita aflatoksin belum ada. Pakan yang mengandung aflatoksin harus dibuang dan diganti dengan pakan yang bebas mikotoksin. Jika terdapat indikasi infeksi kompleks dengan bakteri atau parasit, maka perlu dilakukan pengobatan yang sesuai karena dapat terjadi efek aditif ataupun sinergistik dengan mikotoksikosis. Kadar vitamin, mikromineral, protein, lemak dalam pakan perlu ditingkatkan atau diberikan sebagai tambahan melalui air minum. Peningkatan kadar protein kasar dan vitamin dalam pakan dapat menghambat efek aflatoksin (Tabbu, 2002).
 Aflatoxin dapat diikat dan dinonaktifkan dengan penambahan hidrated sodium calsium alumino silicate (HSCAS) sebanyak 1,5-5 kg/ton ransum. Pemberian jamur Saccharomyces cerevisiae dilaporkan efektif menurunkan tingkat keparahan aflatoxin pada ayam. Kultur kapang mempunyai kemampuan mengikat aflatoxin dan membuat aflatoxin tidak dapat diserap oleh saluran pencernaan ternak (Syaif, 2008).

2.    Trikotesen
a.    Etiologi
 Mikotoksin ini dihasilkan oleh Fusarium sp. dan stadium perithecial fungi tersebut tergolong Calonectria sp, dan Gibberella sp, dan genera Myrothecium, Stachybotrys, Cephalosporium, Trichoderma, Trichothecium, Cylindrocarpon, Veriticimonosporium, dan Phomopsis. Produksi mikotoksin trikotesen yang paling tinggi pada temperatur 6°C - 24°C pada kondisi kelembapan tinggi (Tabbu, 2002).
Layer : Toksin yang dihasilkan Fusarium tricinctum. Metabolisme toksin T-2, terutama terjadi di dalam hati dan merupakan jenis toksin kelompok trikotesen yang ditemukan di dalam hati. T-2 toksin dieksresikan dalam jumlah yang relatif kecil ke dalam telur. Jumlah metabolit toksin T-2 lebih tinggi di dalam kuning telur dibandingkan dengan kadar bahan toksik tersebut di dalam albumin (Tabbu, 2002).
b.   Gejala Klinis
Toksin T-2 yang mencemari pakan dan litter dapat menimbulkan depresi, gangguan pencernaan (diare berdarah), hambatan pertumbuhan, rakhitis, pertumbuhan bulu yang abnormal, gangguan pigmentasi kulit, gangguan saraf, dan perdarahan (Tabbu, 2002). peningkatan akumulasi eksudat pada palatum, lidah, dan mulut. Toksisitas kronis yang disebabkan T-2 toksin atau DAS menimbulkan penurunan konsumsi pakan dan berat badan, timbul lesi oral, nekrosis jaringan limfoid, hematopoietic jaringan dan mukosa oral, gangguan pertumbuhan bulu, kerabang telur tipis karena gangguan metabolisme Ca dan P serta erosi pada mukosa gizzard (Syaif, 2008).
c.    Perubahan Patologis
Lesi Makroskopik : nekrosis mukosa rongga mulut (perubahan yang paling sering) dan lesi vesikular pada kaki dan jari. Lesi pada rongga mulut berbentuk ulser yang menonjol pada mukosa dan berwarna putih sampai kekuning-kuningan. Keropeng biasanya ditemukan pada dalam dan tepi paruh, kelenjar salivarius pada palatum, perbatasan antara lidah dan dinding rongga mulut bagian bawah, dan sepanjang bagian dalam parub bagian atas dan bawah. Ditemukan warna kemerahan pada mukosa sluran pencernaan, hati berwarna belang kekuningan dengan vesica vellea membesar, dan atrofi limpa, bursa Fabrisius dan tymus. Nekrosis pada ventrikulus dan perubahan warna sumsum tulang menjadi lebih pucat dan berwarna kuning (Syaif, 2008 ; Tabbu, 2002).
Mikroskopik, nekrosis mukosa, ulserasi, pembentukan jaringan granulasi di daerah submukosa, dan infiltrasi heterofil. Nekrosis pada sel – sel hati dan perdarahan multiokal, nekrosis limfosit pada jaringan limfoid (bursa Fabrisius, timu dan limpa), dan nekrosis epitel usus dan ventrikulus (Tabbu, 2002).
d.   Diagnosis
Diagnosis berdasarkan atas gejala klinis, perubahan patologi, serta dapat melalui Chromatography, Spectometry dan pemeriksaan monoclonal antibody (Tabbu, 2002).

3.    Okratoksin
a.    Etiologi
Berasal dari fungi Aspergillus ochraceus dan Penicillium viridicatum biasanya terjadi akibat pencemaran pada jagung atau tepung gandum. Dapat menimbulkan hambatan pertumbuhan, gangguan pencapaian berat badan, sejumlah kematian, peningkatan FCR, gangguan pigmentasi akibat penggunaan karetenoid yang suboptimal dan efek imunosupresif. Terget utama adalah ginjal (Tabbu, 2002).
b.   Gejala Klinis
Ochratoxicosis terjadi dalam bentuk akut hingga kronis tergantung dosis racun, lamanya waktu mengkonsumsi racun dan umur ayam. Bentuk akut biasanya terjadi pada ayam muda, ayam mengkonsumsi racun dalam dosis tinggi dan dalam waktu singkat. Sedangkan bentuk kronis terjadi pada ayam umur tua, ayam mengkonsumsi racun dalam dosis rendah dan dalam waktu lama. Ochratoxicosis akan menyebabkan kematian, nafsu makan turun, konversi ransum jelek, pertumbuhan berat badan terhambat, menurunkan kualitas kerabang telur, serta meningkatkan persentase telur dengan bintik daging dan darah. Gejala lain adalah lesu, ayam nampak membungkuk, diare, gemetar dan gangguan syaraf lainnya (Syaif, 2008).
c.    Perubahan Patologis
Makroskopis: Akut, meliputi ginjal bengkak berwarna kepucatan, dan ureter mengalami dilatasi akibat timbunan asam urat. Hati dan pankreas berwarna pucat. Mukosa usus kemerahan. Timbunan asam urat di permukaan ginjal, pericardium, jantung, dan limpa.
Okratoksin menghasilkan suatu faktor yang meningkatkan permeabilitas dinding usus sehingga organ tersebut mudah sobek dan isi usus dapat mencemari karkas. Ayam juga dapat menderita pelunakan pada tulang (Tabbu, 2002).
Perubahan mikroskopik: Akut, meliputi nefrosis tubuler akut ditandai adanya edema, nekrosis epitel tubuler proksimal, dilatasi tubuli yang disertai oleh timbunan material protein naseus dan Kristal urat dalam lumen. Inflitrasi heterofil diantara jaringan interstisial. Terjadi nekrosis dan vakuolisasi sel-sel hati. Proliferasi fibroblast multifocal, nekrosis sel-sel limfoid di bursa fabrisius dan limpa. Pada usus meliputi infiltrasi heterofil di daerah lamina propria dan muskularis (Tabbu, 2002).

4.    Zearalenon
a.    Etiologi
Dihasilkan oleh fungi Fusarium graminearum dan Fusarium roseum. Tergolong mikotoksik estrogenik. Dapat ditemukan pada jagung, sorghum, gandum, jawawut, oats, milo, rye, dan biji-bijiannya. Relatif tidak toksik untuk ayam, tapi toksik untuk mamalia seperti babi (Tabbu, 2002).
b.   Patogenesis
Zearalenone cepat diabsorbsi setelah paparan secara peroral. Di dalam tubuh ayam zearelanon didistribusikan terutama pada hati, dan kantung empedu untuk dimetabolisme. Paparan yang cukup banyak dapat mempengaruhi organ reproduksi dan organ lain sehingga menimbulkan gejala klinis. Setelah itu di dalam tubuh akan mengalami 2 jalur biotransformasi yaitu hidroksilasi mengahasilkan α- dan β- zearalenol, serta konjugasi metabolit dengan glucuronic acid, dikatalasi oleh uridine diphospate glucoronyl transferase. Kemudian dieksresikan melalui feses sebagai zearalenon dan α- dan β- zearalenol. Residu terjadi hanya di yolk dan tidak terdeteksi di tempat lain (Syaif, 2008 ; Zinedine, 2007).
c.    Gejala Klinis
Ayam pedaging yang terpapar zearalenon 0,5-5,0 ppm dapat mengalami penurunan produktifitas telur, fertilitas, dan daya tetas. Induk ayam yang mengalami mikotoksikosis ini akan mempunyai kadar progesterone yang rendah, dan asites karena pembentukan kista pada oviduct. Ayam broiler punya toleransi tinggi terhadap zearalenone, lesi hanya terbatas pada pertumbuhan jengger yang tidak optimal, oviduk membesar dan leukopenia. Anak ayam yang mengalami keracunan zearelanon akan mengalami peningkatan berat bursa fabrisius karena edema lokal. Pada angsa akan menurunkan fertilitas dan menghambat spermatogenesis (Syaif, 2008 ; Tabbu, 2002).

5.    Fumonisin
a.    Etiologi
Dihasilkan oleh fungi Fusarium moniliforme, penyebab moldy corn poisoning. Terdapat 6 tipe fumonisin yaitu A1, A2, B1, B2, B3, B4. Jenis yang paling sering ditemukan fumonisin B-1. Fumonisin paling sering ditemukan di jagung dan produk asal jagung. (Syaif, 2008 ; Tabbu, 2003). Fusarium moniliforme memproduksi mikotoksin selain fumonisin yaitu moniliformin, fusarin, fusaric acid dan sejumlah metabolit sitotoksik (Wang, 1991).
b.   Patogenesis
Fumonisin memblok sintesis sphingolipid yang merupakan substansi penting untuk integritas membran sel dan transport ion melalui sel. Sphingolipid berada di dalam sistem saraf pusat dan perifer, terutama sebagai myelin lipid dan terletak dalam oligodendrosit dan sel Schwann (Wang, 1991).
c.    Gejala Klinis
Gejala yang ditimbulkan diare, enteritis kataralis, gangguan pencapaian berat badan, dan peningkatan FCR. Ayam yang diberi 450-525 ppm menunjukkan penurunan berat badan dan konversi pakan yang signifikan, peningkatan berat hati dan ginjal, peningkatan konsentrasi hemoglobin (Tabbu, 2002).
d.   Perubahan Patologis
Perubahan makroskopik; besaran hati, ginjal, pankreas, proventrikulus, dan ventrikulus. Terlihat juga, atrofi organ limfoid dan rakhitis. Mikroskopik ditemukan pada hati meliputi nekrosis multifocal dan hyperplasia sel-sel hati. Hiperplasia duktus biliverus, dan hipertrofi sel kupffer. Atrofi vili, dan hiperplasia sel goblet pada usus, dan nekrosis limfosit pada organ-organ limfoid (Tabbu, 2002).

Pencegahan yang dapat dilakukan terhadap mikotoksin :
1.     Melakukan pemeriksaan kualitas bahan baku secara rutin, terutama saat kedatangan bahan baku atau ransum. Menolak ransum yang terkontaminasi jamur. Pastikan kadar airnya tidak terlalu tinggi (> 14%) sehingga bisa menekan pertumbuhan jamur.
2.     Atur manajemen penyimpanan bahan baku ransum. Berikan alas (pallet) pada tumpukan bahan baku dan atur posisi penyimpanan sesuai dengan waktu kedatangannya (first in first out, FIFO). Perhatikan suhu dan kelembaban tempat penyimpanan. Hindari penggunaan karung tempat ransum secara berulang dan bersihkan gudang secara rutin. Saat ditemukan serangga, segera atasi mengingat serangga mampu merusak lapisan pelindung biji-bijian sehingga bisa memicu tumbuhnya jamur.
3.     Saat kondisi cuaca tidak baik, terutama musim penghujan, tambahkan mold inhibitors (penghambat pertumbuhan jamur), seperti asam organik atau garam dari asam organik tersebut. Asam propionat merupakan mold inhibitors yang sering digunakan (Fadilah, 2004).

Hal – hal yang dilakukan untuk menekan efek mikotoksin apabila sudah terkontaminasi :
1.     Membuang ransum yang terkontaminasi jamur dengan konsentrasi tinggi, mengingat mikotoksin ini sifatnya sangat stabil.
2.     Jika yang terkontaminasi sedikit, bisa dilakukan pencampuran dengan bahan baku atau ransum yang belum terkontaminasi. Tujuannya tidak lain untuk menurunkan konsentrasi mikotoksin. Namun yang perlu diperhatikan ialah bahan baku ini hendaknya segera diberikan ke ayam agar konsentrasi mikotoksin tidak meningkat.
3.     Penambahan toxin binder (pengikat mikotoksin), seperti zeolit, bentonit, hydrate sodium calcium aluminosilicate (HSCAS) atau ekstrak dinding sel jamur. Antioksidan, seperti butyrated hidroxy toluene (BHT), vitamin E dan selenium juga bisa ditambahkan untuk mengurangi efek mikotoksin, terutama aflatoksin, DON dan T-2 toxin.
4.     Suplementasi vitamin, terutama vitamin larut lemak (A, D, E, K), asam amino (metionin dan penilalanin) maupun meningkatkan kadar protein dan lemak dalam ransum juga mampu menekan kerugian akibat mikotoksin (Fadilah, 2004).


C.    Sumber Informasi (Daftar Pustaka)

Fadilah, R., dan Polana, A., 2004. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara Mengatasinya. Depok : Agromedia Pustaka
Syaif, Y. M., A.M. Fadly, J.R. Glisson, L.R. McDougald, L.K. Nolan, D.E. Swayne, 2008. Diseases of Poultry 12th edition .Iowa : Blackwell Publishing
Tabbu, C. R., 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya volume 1, Penyakit Bakterial, Mikal, dan Viral. Yogyakarta : Kanisius

Wang, E., W. P. Norred, C. W. Bacon, R. T. Riley, A. H. Merril, 1991. J. Biol Chem 1991 Aug 5 ; 266 (22) : 14486-90 : Inhibition of sphingolipid biosynthesis by fumonisins. Implications for diseases associated with Fusarium moniliforme. Maryland : U.S National Library of Medicine

Zinedine, A., J. M. Soriano, J. C. Molto, J. Manes. 2007. Food and Chemical Toxicology 45 (2007) 1–18 : Review on the toxicity, occurrence, metabolism, detoxification, regulations and intake of zearalenone: An oestrogenic mycotoxin. Philadelphia : Elsevier



No comments:

Post a Comment