A.
Merumuskan
Sasaran / Tujuan Belajar / Learning Objectives
Mengetahui dan memahami tentang mikotoksikosis pada
unggas meliputi etiologi, patogenesis, gejala klinis, perubahan patologis,
diagnosis, dan penanggulangan.
B.
Belajar
Mandiri (Mengumpulkan Informasi)
Mikotoksikosis pada Unggas
1.
Aflatoksin
a. Etiologi
Aflatoksin
merupakan mikotoksin yang bersifat sangat toksik dan karsinogenik, yang
dihasilkan oleh fungi Aspergillus flavus,
Aspergillus parasiticus, dan Penicillium
puberulum. Temperatur optimum untuk pertumbuhan Aspergillus flavus pada kacang adalah 28°C – 30°C dan kandungan air
minimum 8% – 10% dan kelembapan 80% – 85%.
Aflatoksin bersifat relatif stabil di dalam pakan dan bahan baku pakan tetapi
bersifat sensitif terhadap agen oksidasi, misalnya hipoklorit. Berdasarkan
reaksi warna terhadap sinar fluorescence dan nilai Rf kromatografik, maka
aflatoksin terdiri atas beberapa jenis, yaitu aflatoksin B1 dan B2
yang berwarna biru dan aflatoksin G1 dan G2 yang
berwarna hijau (Syaif, 2008 ; Tabbu,
2002).
Aflatoksin pada layer akan mengakibatkan timbunan
metabolit aflatoksin B1 dan B2 pada konsentrasi yang
rendah di dalam ventrikulus, hati, dan ginjal. Tapi sebelumnya dapat
diekskresikan dari tubuh dalam waktu 4 hari (Tabbu, 2002).
Aflatoksin bersifat imunosupresif dan karsinogenik;
aflatoksin B1 dengan kadar 1,0 ppm atau lebih dapat menimbulkan
sejumlah morbiditas dan mortalitas. Jika kadar aflatoksin B1 200-500 ppb terjadi efek imunosupresif.
Aflatoksin dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan, peningkatan konversi pakan,
penurunan kualitas karkas, penurunan produksi telur, penurunan daya tetas
telur, dan kepekaan terhadap penyakit (Tabbu, 2002).
b. Patogenesis
Rute utama melalui
inhalasi dan ingesti. Tempat metabolisme utama aflatoksin
adalah organ hati, namun ada juga yang di dalam darah dan organ
lain. Metabolisme aflatoksin terdiri atas tiga tahap, yaitu bioaktivasi, konjugasi, dan dekonjugasi. Pada ketiga
tahap tersebut, tubuh berusaha mengurangi efek racun dari aflatoksin. Aflatoksin dikeluarkan oleh tubuh melalui cairan
empedu, susu, telur,
dan air
seni. Bila aflatoksin tidak dapat
dikeluarkan dari tubuh maka akan
terjadi perubahan patologis dan
menimbulkan beberapa gejala seperti teratogenik
dan kanker
(manusia dan hewan) (Syaif, 2008)
c. Gejala
Klinis
Akut karena aflatoksin B1 sekitar 1000 ppb. Kronis pada ayam tua lebih
dari 5 minggu yang mengkonsumsi aflatoksin kadar rendah selama beberapa minggu.
Gejala keracunan akut meliputi lesu, kehilangan nafsu makan, gangguan
pertumbuhan, pigmentasi abnormal pada kaki dan jari dan kelumpuhan. Ataxia,
konvulsi, dan opistotonus, berakhir dengan kematian. Infeksi kronis terjadi hambatan pertumbuhan,
peningkatan konversi pakan, penurunan produksi telur, penurunan fertilitas dan
daya tetas telur. Pada broiler terlihat penurunan kualitas karkas dan
peningkatan lesi atau memar pada kulit akibat adanya pembuluh darah kapiler
yang lebih rapuh. Ayam mengalami imunosupresif sehingga peka terhadap penyakit,
dan mempunyai respon suboptimal terhadap program vaksinasi dan pengobatan (Tabbu, 2002).
Broiler, metabolit
aflatoksin B1 dan B2 berkonsentrasi tinggi di gizzard, liver, dan ginjal tapi
dibersihkan selama 4 hari. Aflatoksin berefek pada produksi
telur dengan mengurangi sintesis dan transfor precursor yolk yang ada dihepar. Aflatoksin
menginduksi imunosupresif karena atrofi bursa fabrisius, thymus, dan lien.
Aflatoksin merupakan toxic untuk B limfosit pada masa embrio akhir. respon sel
mediated imun menurun,mengganggu fungsi pembersihan oleh fagosit dan sistem
retikuloendotelial (Syaif, 2008).
d. Perubahan
Patologis
Perubahan makroskopis : Pada saat dinekropsi skor kondisi tubuh ayam secara
umum baik. Liver dan ginjal akan mengalami kongesti dan edema, pembesaran, dan
kenyal. Bentuk akut pada hati
dan ginjal terjadi pembesaran dan warna yang lebih pucat. Hati biasanya
berwarna lebih pucat atau kekuning-kuningan dan bersifat rapuh. Ada pola capsular di permukaan akibat akumulasi
lemak. Liver berkembang menjadi foci keputihan yang berisi peningkatan lipid.
Duodenum mengalami distensi akibat adanya timbunan cairan kataral di dalam
lumen. Perdarahan pada kulit, otot, dan saluran pencernaan. Bentuk kronis
biasanya menimbulkan atrofi, pengerasan, dan perubahan bentuk nodular dari hati
yang disertai oleh adanya perdarahan multifocal dan distensi vesica vellea. Terjadi asites, hidroperikardium,
dan atrofi bursa Fabrisius,
timus dan limpa. Atropi pada organ-organ limpoid merupakan faktor pendukung timbulnya efek
imunosupresif (Syaif, 2008 ; Tabbu,
2002).
Perubahan Mikroskopis : Bentuk akut pada hati
meliputi pembentukan makro dan mikrovakuola di dalam sitoplasma (indikasi
degenerasi melemak), nekrosis yang ekstensif, perdarahan, dan proliferasi
duktus biliverus ukuran kecil. Lesi mikroskopik pada ginjal, meliputi dilatasi
tubulus proksimalis, nekrosis epitel tubuli, dan pembentukan nukleus yang
sangat besar dengan nucleoli yang menonjol.
Aflatoksikosis
bentuk kronis dapat menimbulkan degenerasi melemak, nekrosis dan nodular
hiperplasia hepatosit, proliferasi duktus biliverus ukuran kecil, dan
fibroplasia yang ekstensif. Pada bursa fabrisius terjadi nekrosis limfosit dan
atrofi folikel, sedangkan perubahan pada timus dan limpa, meliputi nekrosis
limfosit dan penurunan populasi folikel limfoid (Tabbu, 2002).
e. Diagnosis
Diagnosis sangakaan berdasarkan sejarah kasus dan
perubahan patologik pada jaringan. Bahan paku pakan dapat diuji dengan sinar
ultraviolet (sinar hitam) untuk mengetahui pembentukan fluoresen warna biru
hijau. Metode analisis untuk mikotoksin dapat menggunakan kromatografi (lapis
tipis, gas, dan cair), spektrometri, dan teknik antibodi monoclonal. Test kits untuk
aflatoksin B1 menggunakan ELISA atau minicolumns. Sejumlah metode
bioassay dapat juga digunakan untuk melakukan uji screening terhadap mikotoksin (Tabbu, 2002).
f. Penanggulangan
Pengobatan yang spesifik terhadap ayam yang
menderita aflatoksin belum ada. Pakan yang mengandung aflatoksin harus dibuang
dan diganti dengan pakan yang bebas mikotoksin. Jika terdapat indikasi infeksi
kompleks dengan bakteri atau parasit, maka perlu dilakukan pengobatan yang
sesuai karena dapat terjadi efek aditif ataupun sinergistik dengan mikotoksikosis.
Kadar vitamin, mikromineral, protein, lemak dalam pakan perlu ditingkatkan atau
diberikan sebagai tambahan melalui air minum. Peningkatan kadar protein kasar
dan vitamin dalam pakan dapat menghambat efek aflatoksin (Tabbu, 2002).
Aflatoxin dapat diikat dan dinonaktifkan dengan penambahan hidrated
sodium calsium alumino silicate (HSCAS) sebanyak 1,5-5 kg/ton ransum. Pemberian
jamur Saccharomyces cerevisiae
dilaporkan efektif menurunkan tingkat keparahan aflatoxin pada ayam. Kultur kapang
mempunyai kemampuan mengikat aflatoxin dan membuat aflatoxin tidak dapat
diserap oleh saluran pencernaan ternak (Syaif, 2008).
2.
Trikotesen
a. Etiologi
Mikotoksin
ini dihasilkan oleh Fusarium
sp.
dan
stadium perithecial fungi tersebut
tergolong Calonectria sp, dan Gibberella sp, dan genera Myrothecium, Stachybotrys, Cephalosporium,
Trichoderma, Trichothecium, Cylindrocarpon, Veriticimonosporium, dan Phomopsis. Produksi mikotoksin
trikotesen yang paling tinggi pada temperatur 6°C - 24°C pada kondisi
kelembapan tinggi (Tabbu,
2002).
Layer : Toksin yang dihasilkan Fusarium tricinctum. Metabolisme toksin T-2, terutama terjadi di
dalam hati dan merupakan jenis toksin kelompok trikotesen yang ditemukan di
dalam hati. T-2 toksin dieksresikan dalam jumlah yang relatif kecil ke dalam
telur. Jumlah metabolit toksin T-2 lebih tinggi di dalam kuning telur
dibandingkan dengan kadar bahan toksik tersebut di dalam albumin (Tabbu, 2002).
b. Gejala
Klinis
Toksin T-2 yang mencemari pakan dan litter dapat
menimbulkan depresi, gangguan pencernaan (diare berdarah), hambatan
pertumbuhan, rakhitis, pertumbuhan bulu yang abnormal, gangguan pigmentasi
kulit, gangguan saraf, dan perdarahan (Tabbu, 2002). peningkatan
akumulasi eksudat pada palatum, lidah, dan
mulut.
Toksisitas
kronis yang disebabkan T-2 toksin atau DAS menimbulkan penurunan konsumsi pakan
dan berat badan, timbul lesi oral, nekrosis jaringan limfoid, hematopoietic
jaringan dan mukosa oral, gangguan pertumbuhan bulu, kerabang telur tipis
karena gangguan metabolisme Ca dan P serta erosi pada mukosa gizzard (Syaif, 2008).
c. Perubahan
Patologis
Lesi Makroskopik : nekrosis mukosa rongga mulut
(perubahan yang paling sering) dan lesi vesikular pada kaki dan jari. Lesi pada
rongga mulut berbentuk ulser yang menonjol pada mukosa dan berwarna putih
sampai kekuning-kuningan. Keropeng biasanya ditemukan pada dalam dan tepi
paruh, kelenjar salivarius pada palatum, perbatasan antara lidah dan dinding
rongga mulut bagian bawah, dan sepanjang bagian dalam parub bagian atas dan
bawah. Ditemukan warna kemerahan pada mukosa sluran pencernaan, hati berwarna
belang kekuningan dengan vesica vellea membesar, dan atrofi limpa, bursa
Fabrisius dan tymus. Nekrosis pada ventrikulus dan perubahan warna sumsum
tulang menjadi lebih pucat dan berwarna kuning (Syaif, 2008 ; Tabbu, 2002).
Mikroskopik, nekrosis mukosa, ulserasi, pembentukan
jaringan granulasi di daerah submukosa, dan infiltrasi heterofil. Nekrosis pada
sel – sel hati dan perdarahan multiokal, nekrosis limfosit pada jaringan
limfoid (bursa Fabrisius, timu dan limpa), dan nekrosis epitel usus dan
ventrikulus (Tabbu, 2002).
d. Diagnosis
Diagnosis
berdasarkan atas gejala klinis, perubahan patologi, serta dapat melalui Chromatography,
Spectometry dan pemeriksaan monoclonal
antibody (Tabbu, 2002).
3.
Okratoksin
a. Etiologi
Berasal dari fungi Aspergillus ochraceus dan Penicillium
viridicatum biasanya terjadi akibat pencemaran pada jagung atau tepung
gandum. Dapat menimbulkan hambatan pertumbuhan, gangguan pencapaian berat
badan, sejumlah kematian, peningkatan FCR, gangguan pigmentasi akibat
penggunaan karetenoid yang suboptimal dan efek imunosupresif. Terget utama
adalah ginjal (Tabbu, 2002).
b. Gejala
Klinis
Ochratoxicosis terjadi dalam bentuk akut hingga kronis tergantung dosis
racun, lamanya waktu mengkonsumsi racun dan umur ayam. Bentuk akut biasanya
terjadi pada ayam muda, ayam mengkonsumsi racun dalam dosis tinggi dan dalam
waktu singkat. Sedangkan bentuk kronis terjadi pada ayam umur tua, ayam
mengkonsumsi racun dalam dosis rendah dan dalam waktu lama. Ochratoxicosis akan
menyebabkan kematian, nafsu makan turun, konversi ransum jelek, pertumbuhan
berat badan terhambat, menurunkan kualitas kerabang telur, serta meningkatkan
persentase telur dengan bintik daging dan darah. Gejala lain adalah lesu, ayam
nampak membungkuk, diare, gemetar dan gangguan syaraf lainnya
(Syaif, 2008).
c. Perubahan
Patologis
Makroskopis:
Akut, meliputi ginjal bengkak berwarna kepucatan, dan ureter mengalami dilatasi
akibat timbunan asam urat. Hati dan pankreas berwarna pucat. Mukosa usus
kemerahan. Timbunan
asam urat di
permukaan ginjal, pericardium, jantung, dan limpa.
Okratoksin menghasilkan suatu faktor yang
meningkatkan permeabilitas dinding usus sehingga organ tersebut mudah sobek dan
isi usus dapat mencemari karkas. Ayam juga dapat menderita pelunakan pada
tulang (Tabbu, 2002).
Perubahan mikroskopik: Akut, meliputi nefrosis
tubuler akut ditandai adanya edema, nekrosis epitel tubuler proksimal, dilatasi
tubuli yang disertai oleh timbunan material protein naseus dan Kristal urat
dalam lumen. Inflitrasi heterofil diantara jaringan interstisial. Terjadi
nekrosis dan vakuolisasi sel-sel hati. Proliferasi fibroblast multifocal,
nekrosis sel-sel limfoid di bursa fabrisius dan limpa. Pada usus meliputi
infiltrasi heterofil di daerah lamina propria dan muskularis (Tabbu, 2002).
4.
Zearalenon
a. Etiologi
Dihasilkan oleh fungi Fusarium graminearum dan
Fusarium roseum. Tergolong mikotoksik
estrogenik. Dapat ditemukan pada jagung, sorghum, gandum, jawawut, oats, milo,
rye, dan biji-bijiannya. Relatif tidak toksik untuk ayam, tapi toksik untuk
mamalia seperti babi (Tabbu,
2002).
b. Patogenesis
Zearalenone cepat diabsorbsi setelah paparan secara peroral. Di
dalam tubuh ayam zearelanon didistribusikan terutama pada hati, dan kantung
empedu untuk
dimetabolisme.
Paparan yang cukup banyak dapat mempengaruhi organ reproduksi dan organ lain
sehingga menimbulkan gejala klinis. Setelah itu di dalam tubuh akan mengalami 2
jalur biotransformasi yaitu hidroksilasi mengahasilkan α-
dan β- zearalenol, serta
konjugasi metabolit dengan glucuronic acid, dikatalasi oleh uridine diphospate
glucoronyl transferase. Kemudian dieksresikan melalui feses sebagai zearalenon dan
α- dan β- zearalenol. Residu
terjadi hanya di yolk dan tidak terdeteksi di tempat lain (Syaif, 2008 ; Zinedine,
2007).
c. Gejala
Klinis
Ayam pedaging yang terpapar zearalenon
0,5-5,0 ppm dapat mengalami penurunan
produktifitas telur, fertilitas, dan daya tetas. Induk ayam yang mengalami
mikotoksikosis ini akan mempunyai kadar progesterone yang rendah, dan asites
karena pembentukan kista pada oviduct. Ayam broiler punya toleransi tinggi terhadap zearalenone, lesi hanya
terbatas pada pertumbuhan jengger yang tidak optimal, oviduk membesar dan
leukopenia. Anak ayam yang mengalami keracunan zearelanon akan
mengalami peningkatan berat bursa fabrisius karena edema lokal. Pada angsa akan menurunkan fertilitas dan menghambat
spermatogenesis (Syaif, 2008 ; Tabbu, 2002).
5.
Fumonisin
a. Etiologi
Dihasilkan
oleh fungi Fusarium moniliforme,
penyebab moldy
corn poisoning.
Terdapat 6 tipe fumonisin yaitu A1, A2, B1, B2,
B3, B4. Jenis
yang paling sering ditemukan fumonisin B-1. Fumonisin paling sering
ditemukan di jagung dan produk asal jagung. (Syaif, 2008 ; Tabbu, 2003). Fusarium
moniliforme memproduksi
mikotoksin selain fumonisin yaitu moniliformin, fusarin, fusaric acid dan
sejumlah metabolit sitotoksik (Wang, 1991).
b. Patogenesis
Fumonisin memblok sintesis sphingolipid yang merupakan
substansi penting untuk integritas membran sel dan transport ion melalui sel.
Sphingolipid berada di dalam sistem saraf pusat dan perifer, terutama sebagai
myelin lipid dan terletak dalam oligodendrosit dan sel Schwann (Wang, 1991).
c. Gejala
Klinis
Gejala
yang ditimbulkan diare,
enteritis kataralis, gangguan pencapaian berat badan, dan
peningkatan FCR. Ayam yang diberi 450-525
ppm menunjukkan penurunan berat badan dan konversi pakan yang signifikan,
peningkatan berat hati dan ginjal, peningkatan konsentrasi hemoglobin (Tabbu,
2002).
d. Perubahan
Patologis
Perubahan
makroskopik; besaran hati, ginjal, pankreas, proventrikulus, dan ventrikulus.
Terlihat juga, atrofi organ limfoid dan rakhitis. Mikroskopik ditemukan pada
hati meliputi nekrosis multifocal dan hyperplasia sel-sel hati. Hiperplasia
duktus biliverus, dan hipertrofi sel kupffer. Atrofi vili, dan hiperplasia sel
goblet pada usus, dan nekrosis limfosit pada organ-organ limfoid (Tabbu, 2002).
Pencegahan yang dapat
dilakukan terhadap mikotoksin :
1.
Melakukan pemeriksaan kualitas bahan baku
secara rutin, terutama saat kedatangan bahan baku atau ransum. Menolak ransum yang terkontaminasi jamur. Pastikan kadar airnya tidak terlalu tinggi (> 14%) sehingga bisa menekan pertumbuhan jamur.
2.
Atur manajemen penyimpanan bahan baku
ransum. Berikan alas (pallet) pada tumpukan bahan baku dan atur posisi
penyimpanan sesuai dengan waktu kedatangannya (first in first out,
FIFO). Perhatikan suhu dan kelembaban tempat penyimpanan. Hindari penggunaan
karung tempat ransum secara berulang dan bersihkan gudang secara rutin. Saat
ditemukan serangga, segera atasi mengingat serangga mampu merusak lapisan
pelindung biji-bijian sehingga bisa memicu tumbuhnya jamur.
3.
Saat kondisi cuaca tidak baik, terutama
musim penghujan, tambahkan mold inhibitors (penghambat pertumbuhan
jamur), seperti asam organik atau garam dari asam organik tersebut. Asam
propionat merupakan mold inhibitors yang sering digunakan (Fadilah, 2004).
Hal – hal yang dilakukan untuk menekan efek mikotoksin apabila sudah terkontaminasi :
1.
Membuang ransum yang terkontaminasi jamur
dengan konsentrasi tinggi, mengingat mikotoksin ini sifatnya sangat stabil.
2.
Jika yang terkontaminasi sedikit, bisa
dilakukan pencampuran dengan bahan baku atau ransum yang belum terkontaminasi.
Tujuannya tidak lain untuk menurunkan konsentrasi mikotoksin. Namun yang perlu
diperhatikan ialah bahan baku ini hendaknya segera diberikan ke ayam agar
konsentrasi mikotoksin tidak meningkat.
3.
Penambahan toxin binder (pengikat
mikotoksin), seperti zeolit, bentonit, hydrate sodium calcium
aluminosilicate (HSCAS) atau ekstrak dinding sel jamur. Antioksidan,
seperti butyrated hidroxy toluene (BHT), vitamin E dan selenium juga
bisa ditambahkan untuk mengurangi efek mikotoksin, terutama aflatoksin, DON dan
T-2 toxin.
4.
Suplementasi vitamin, terutama vitamin
larut lemak (A, D, E, K), asam amino (metionin dan penilalanin) maupun meningkatkan
kadar protein dan lemak dalam ransum juga mampu menekan kerugian akibat
mikotoksin (Fadilah, 2004).
C.
Sumber Informasi
(Daftar Pustaka)
Fadilah, R., dan Polana, A., 2004. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara
Mengatasinya. Depok
: Agromedia Pustaka
Syaif, Y.
M., A.M. Fadly, J.R. Glisson, L.R. McDougald, L.K. Nolan, D.E. Swayne, 2008. Diseases of Poultry 12th edition
.Iowa : Blackwell Publishing
Tabbu, C. R., 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya volume 1, Penyakit Bakterial,
Mikal, dan Viral. Yogyakarta : Kanisius
Wang, E., W. P. Norred, C. W. Bacon, R. T. Riley, A. H. Merril, 1991. J. Biol Chem 1991 Aug 5 ; 266 (22) : 14486-90 : Inhibition of sphingolipid biosynthesis by fumonisins. Implications for diseases associated with Fusarium moniliforme. Maryland : U.S National Library of Medicine
Zinedine, A., J. M. Soriano, J. C. Molto, J. Manes.
2007. Food and Chemical Toxicology 45 (2007) 1–18 : Review on the toxicity,
occurrence, metabolism, detoxification, regulations and intake of zearalenone:
An oestrogenic mycotoxin.
Philadelphia : Elsevier
No comments:
Post a Comment