Wednesday 25 March 2015

BLOK 22 UP 6



LEARNING OBJECTIVE
1.    Mengetahui penyakit yang sering menyerang burung hias!
 
PEMBAHASAN
Penyakit Burung Hias
a.    Canary Pox
Etiologi. Disebabkan oleh virus ds DNA berbentuk coccoid dari famili poxviridae, genus avianpoxvirus, tahan selama 30 menit pada suhu 56oC dan 2 tahun pada suhu 1 – 4oC, dan tahan hidup dalam keropeng yang terlepas selama 3 – 4 tahun. Virus senang berkembang biak dalam sel-sel kulit dan sel-sel selaput lendir mulut (Tabbu, 2000).

Patogenesis. Penularan terjadi secara langsung melalui kontak langsung atau secara tidak langsung melalui perantara nyamuk Culex dan Aedes. Nyamuk menghisap virus pada saat menghisap darah penderita dan apabila nyamuk yang tertular tersebut menghisap darah burung sehat maka virus akan menginfeksi melalui luka tusukan nyamuk. Masa inkubasi virus 4-10 hari (Tabbu, 2000).

Gejala Klinis. Bentuk kulit (noduler/ kering) berupa fokal berwarna merah jambu pada jengger, pial dan bagian-bagian yang tidak berbulu. Bentuk fokal ini bergabung membentuk bentukan keropeng yang lebih besar, berwarna hitam dan bertahan sampai 2 minggu yang kemudian diikuti dengan pelepasan dan kesembuhan. Gejala klinis bentuk difterik/ basah berupa bercak-bercak difterik berwarna kekuning-kuningan pada mukosa mulut dan larynx yang menimbulkan penyumbatan saluran pernafasan (Tabbu, 2000).

Diagnosa. Berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan postmortem dapat terlihat adanya hiperplasi nodular pada mukosa larynx  dan trakhea serta penyumbatan oleh eksudat dalam celah pita suara (glottis). Pada pemeriksaan histopatologis terhadap kulit dan saluran pernafasan akan ditemukan Bollinger bodies (Badan Bolinger) (Tabbu, 2000).

Terapi - Pencegahan. Dengan pemberian multivitamin dan mengolesi bintil-bintil cacar dengan methylen blue. Pencegahan dengan vaksinasi sekali pada umur 8 – 12 minggu metode “the wing web”, mencegah luka pada kulit ayam, karena virus masuk dan menyebar ke tubuh melalui luka, mengurangi populasi vektor perantara, misalnya mencegah tergenangnya air tempat perkembangan nyamuk, memberantas kutu, tungau serta insekta lain yang bisa membantu penyebaran virus cacar (Tabbu, 2000). 

b.   Mycobacterium avium
     Etiologi. Hospesnya burung air (pelikan), burung kakak tua, burung penyanyi (love bird,           parkit, kenari) (Harrison, 2006).

Patogenesis . Penularan lewat ingesta atau inhalasi dari tanah atau air yang terkontaminasi feses atau juga lewat urin. Bakteri ini masuk kemudian menginisiasi pembentukan koloni di usus. Kemudian, mengikuti aliran darah dan masuk ke organ terutama liver. Absennya nodus limfatikus di burung di ikuti dengan penyebaran mikobakteria ke parenkim, kantung empedu, tulang belakang, kulit dan paru-paru. Kontaminasi yang melalui air dan inhalasi, mikobakteria langsung berkolonisasi di saluran        respirasi. Lesi vocal dikulit merupakan inokulasi dari mikobakteria yang kemudian masuk ke mukosa atau lesi dermis kulit (Harrison, 2006).

Gejala Klinis. Lesi granulomatosa di saluran digesti, paratuberkulosis pada liver, emasiasi, nafsu makan baik akan tetapi anorexia. Kualitas bulunya jelek, lethargi, kelemahan dan kepucatan pada muka. Diare intermiten, asites (jarang). Lesi granulomatosa di tulang, dan sendi, dyspnoe (sesak nafas) (Harrison, 2006).

Diagnosa. Berdasarkan gejala klinis, uji serologi menggunakan ELISA, Uji HA, PCR. Uji histopatologi dengan sempel organ dan kantung empedu yang ditandai dengan adanya makrofag. Laporscopy untuk lesi pada permukaan liver, kantung empedu, usus, paru-paru dan air sac granulomatosa akan nampak putih atau kuning (Harrison, 2006).

Terapi – Pencegahan. Dapat diberikan obat  kombinasi dari beberapa obat, diantaranya :
·      Rifabutin – Ethambutol – Enterofloxacin, dengan dosis 15 mg/Kg PO 24 jam, 30 mg/Kg 24 jam, dan 30 mg/Kg 24 jam.
·      Rifabutin – Rthambutol – Ciprofloxacin, dengan dosis 15 mg/Kg PO 24 jam, 30 mg/Kg 24 jam, dan 80 mg/Kg 24 jam . Pencegahan dengan pemenuhan nutrisi yang seimbang, sanitasi yang baik, eliminasi hewan yang terinfeksi,           vaksinasi dengan bacille calmitte guerin (BCG) (Harrison, 2006).
c.    Aspergillosis
Etiologi. Disebabkan oleh Aspergillus spp. diantaranya A.flavus, A niger, A.glaucus dan Ustus. (Harrison, 2006).

Patogenesis. Penularan lewat inhalasi dengan menghirup spora jamur, ingesti dari makanan yang terkontaminasi spora. Setelah masuk ke saluran respirasi bagian bawah. Biasanya menimbulkan proses imunosupresif akibat mikotoxin, kemudian terjadi penyebaran fungi ke respirasi kemudian menimbulkan lesi di paru-paru, air sac, shirink dan bronkus (Harrison, 2006).

Gejala Klinis
. Terbagi atas 3 bentuk, yaitu :
·      Akut : dyspnoe, lethargy, sianosis, anorexia, poliurea, polidispsia, dan kematian. Eksudat mukoid, kongesti paru-paru dan air sac.
·      Kronik : biasa pada hewan yang lebih tua, akibat malnutrisi dan stress. Penurunan berat badan, dypsnoe, hepatomegali, poliurea, polidipsia, acites dan diare.
·      Mikotik trecheatis : lokasinya di trekea, shirink, bronki, batuk, dyspnoe, membuka mulut saat bernafas dan kematian (Harrison, 2006).
Diagnosa . Berdsarkan gejala klinis, hematologi dan pemeriksaan serum (interpretasinya peningkatan transpartat amino transferase (AST), lactate dehydrogenase (LDH) dan uji ELISA (Harrison, 2006).
Terapi - Pencegahan . Dapat diberikan obat antifungal diantaranya Amphotericin B 1,5 mg/Kg secara IV 8 jam untuk periode 2 – 5 hari: mengikat ergosterol, yang dikombinasikan dengan fluconazole.Itraconazole 5-10 mg/Kg PO sehari 2 kali selama 5 hari . Fluconazole 5-15 mg/Kg PO 12 jam atau kombinasi terbinafine dengan iatraconazole 15 mg/Kg PO 12 – 24 jam. Pencegahan dengan menghilangkan faktor stress, sanitasi yang baik, dan manajemen pemeliharaan yang baik (Harrison, 2006).
d.   Airsac mites
Etiologi. Disebabkan oleh Cytodites nudus  ditemukan pada kantung udara, dan pulmo burung liar serta  kenari dengan  bentuk oval, panjang 50µm dan atau Sternostoma tracheocolum yang memiliki tempat predileksi pada trakea dan bronchi (Farmer, 2008).

Patogenesis. Transmisi terjadi secara langsung antara cavitas nasal burung terinfeksi ke burung sehat melalui eksternal nostril, air  dan lingkungan tercemar. Tungau merayap dari kepala kemudian memasuki nostril, melewati trakea dan sampai ke pulmo. Siklus hidup parasit tersebut diawali dengan S.tracheocolum betina bertelur pada pulmo, menetas menjadi nympha dan dewasa, kemudian migrasi ke trakea dan nasal. Pada system respirasi tungau tersebut menyebabkan inflamasi, hemorragi dan lesi yang melanjut menjadi pneumonia dan dapat mengakibatkan kematian. Sistem imun tubuh akan bekerja dengan mengeluarkan mucus yang dapat mempersempit rongga trakea sehingga burung kesulitan bernapas (Farmer, 2008).

Gejala Klinis. Batuk, bersin, perubahan pada vocal , tail bobbing dan burung membuka paruhnya. Kasus yang berat dapat menimbulkan kelemahan dan kematian (Fowler, 2008).

Diagnosa. Dianosa dapat dilakukan  dengan melihat gejala klinis, pemeriksaan darah (peningkatan basofil) dan secara radiologi (adanya bintik2 hitam pada trakea dan air sac) (Fowler, 2008).

Terapi - Pencegahan . Dapat digunakan ivermectin 0.1% (1:10 dilusi dengan propylene glycol)sebagai pengobatan atau pyrethrin/piperonyl butoxide spray, pada berat 50 gram 1 tetes dan 100 gram 2 tetes pada bagian yang sedikit bulu dan bawah leher. Pencegahan dengan meningkatkan manajemen pemeliharaan burung yang lebih baik, cek kesehatan secara rutin serta peningkatan kualitas sanitasi perkandangan  (Sridadi, 2001).

e.    Chlamydiosis
Etiologi . disebut juga Chlamydiosis atau Parrot fever, disebabkan oleh Chlamydia psittaci. Bakteri gram negative, spheric, ukuran (0.4-0.6 micron diameter). Predileksi pada epithel saluran respirasi dan masa inkubasi 5-14 hari. Penularan pada manusia dapat terjadi melalui kontak langsung dengan paruh, gigitan, dan feses burung yang terinfeksi (Patterson, 2006).
Patogenesis . Bakteri diekskresikan lewat feses dan leleran hidung dari burung terinfeksi. Infeksi terjadi melalui inhalasi, atau kontak dengan burung secara langsung. Beberapa burung yang terinfeksi dapat terlihat sehat, dan menyebarkan organisme penyakit secara intermiten.penyebaran penyakit dapat disebabkan karena faktor stress, misalnya karena relokasi, pengangkutan, keramaian, dan lain-lain (Patterson, 2006).
Gejala Klinis . Ada 2 tipe, yaitu :
·      Gejala Akut (typical acute symptoms): burung yang terinfeksi tiba-tiba sakit segera setelah terpapar, gejala pernapasan: infeksi sinus, sesak napas, napas pendek, napas berbunyi. Leleran pada mata atau kebengkakan, lethargy, bulu berdiri, hilang nafsu makan, turun berat badan, kelemahan, dehidrasi, poliuria, diare atau urat berwarna  kekuningan, keabu-abuan, atau lime green.
·      Gejala Kronis: susah diketahui, bila tidak diobati maka dapat menjadi pneumonia yang parah dan masalah nonrespiratory lainnya. Beberapa burung yang terinfeksi asimptomatik, tremor dan atau konvulsif movements dan parsial atau komplit paralisis lengan (Patterson, 2006).
Diagnosa. Berdasarkan gejala klinis, uji serologi dengan ELISA, pemeriksaan darah (intepretasi : peningkatan leukosit dan enzym liver). (Patterson, 2006).
Terapi – Pencegahan. Antibiotik tetracycline atau doxycycline selama 45 hari. Chlortetracyclline diberikan lewat pakan, oxytetracyclin secara i.v dengan dosis 4.4 mg/kg dalam larutan infus 100 mg/kg. Pencegahan dengan meningkatkan manajemen pemeliharaan yang baik dan menghilangkan factor stress (Patterson, 2006).

DAFTAR PUSTAKA
Farmer, J.N. 2008. The Protozoa: Introduction to Protozoology. The C.V Mosby Company St.Louis, Missiouri.
Fowler, M.E. 2008. Zoo and Wild Animal Medicine. Philadelphia : W.B. Saunders Company.
Harrison, G.J., and Lightfoot T.L. 2006. Clinical Avian Medecine Volume II. Florida : Spix Publishing.
Paterson, S., 2006. Skin Diseases of Exotic Pets. Blackwell Science, Australia.
Sridadi. 2001. Kenari dan Permasalahannya. Kanisius. Yogyakarta.
Tabbu, C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya, volume 1. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment