LEARNING
OBJECTIVE
1. Mengetahui
penyakit yang sering menyerang burung hias!
PEMBAHASAN
Penyakit
Burung Hias
a.
Canary
Pox
Etiologi.
Disebabkan
oleh virus ds DNA berbentuk coccoid dari famili poxviridae, genus avianpoxvirus,
tahan selama 30 menit pada suhu 56oC dan 2 tahun pada suhu 1 – 4oC,
dan tahan hidup dalam keropeng yang terlepas selama 3 – 4 tahun. Virus senang
berkembang biak dalam sel-sel kulit dan sel-sel selaput lendir mulut (Tabbu,
2000).
Patogenesis.
Penularan
terjadi secara langsung melalui kontak langsung atau secara tidak langsung
melalui perantara nyamuk Culex dan Aedes. Nyamuk menghisap virus pada saat
menghisap darah penderita dan apabila nyamuk yang tertular tersebut menghisap
darah burung sehat maka virus akan menginfeksi melalui luka tusukan nyamuk.
Masa inkubasi virus 4-10 hari (Tabbu, 2000).
Gejala
Klinis. Bentuk
kulit (noduler/ kering) berupa fokal berwarna merah jambu pada jengger, pial
dan bagian-bagian yang tidak berbulu. Bentuk fokal ini bergabung membentuk
bentukan keropeng yang lebih besar, berwarna hitam dan bertahan sampai 2 minggu
yang kemudian diikuti dengan pelepasan dan kesembuhan. Gejala klinis bentuk
difterik/ basah berupa bercak-bercak difterik berwarna kekuning-kuningan pada
mukosa mulut dan larynx yang menimbulkan penyumbatan saluran pernafasan (Tabbu,
2000).
Diagnosa.
Berdasarkan
gejala klinis, pemeriksaan postmortem dapat terlihat adanya
hiperplasi nodular pada mukosa larynx
dan trakhea serta penyumbatan oleh eksudat dalam celah pita suara
(glottis). Pada pemeriksaan histopatologis terhadap kulit dan saluran
pernafasan akan ditemukan Bollinger
bodies (Badan Bolinger) (Tabbu, 2000).
Terapi
- Pencegahan. Dengan
pemberian multivitamin dan mengolesi bintil-bintil cacar dengan methylen blue. Pencegahan dengan
vaksinasi sekali pada umur 8 – 12 minggu metode “the wing web”, mencegah luka
pada kulit ayam, karena virus masuk dan menyebar ke tubuh melalui luka,
mengurangi populasi vektor perantara, misalnya mencegah tergenangnya air tempat
perkembangan nyamuk, memberantas kutu, tungau serta insekta lain yang bisa
membantu penyebaran virus cacar (Tabbu, 2000).
b. Mycobacterium
avium
Etiologi. Hospesnya burung air (pelikan),
burung kakak tua, burung penyanyi (love bird, parkit,
kenari) (Harrison,
2006).
Patogenesis . Penularan lewat ingesta atau
inhalasi dari tanah atau air yang terkontaminasi feses atau juga lewat urin.
Bakteri ini masuk kemudian menginisiasi pembentukan koloni di usus. Kemudian,
mengikuti aliran darah dan masuk ke organ terutama liver. Absennya nodus
limfatikus di burung di ikuti dengan penyebaran mikobakteria ke parenkim, kantung
empedu, tulang belakang, kulit dan paru-paru. Kontaminasi
yang melalui air dan inhalasi, mikobakteria langsung berkolonisasi di saluran respirasi.
Lesi vocal dikulit merupakan inokulasi dari mikobakteria yang kemudian masuk ke
mukosa atau lesi dermis kulit
(Harrison, 2006).
Gejala Klinis.
Lesi
granulomatosa di saluran digesti, paratuberkulosis pada liver, emasiasi, nafsu
makan baik akan tetapi anorexia. Kualitas bulunya jelek, lethargi, kelemahan
dan kepucatan pada muka. Diare intermiten, asites (jarang). Lesi granulomatosa di tulang, dan sendi,
dyspnoe (sesak nafas)
(Harrison, 2006).
Diagnosa.
Berdasarkan
gejala klinis, uji
serologi menggunakan ELISA, Uji HA, PCR. Uji histopatologi dengan sempel organ
dan kantung empedu yang ditandai dengan adanya makrofag. Laporscopy untuk lesi
pada permukaan liver, kantung empedu, usus, paru-paru dan air sac granulomatosa akan nampak putih atau kuning (Harrison, 2006).
Terapi
– Pencegahan. Dapat
diberikan obat kombinasi dari beberapa obat, diantaranya
:
·
Rifabutin – Ethambutol – Enterofloxacin, dengan dosis 15 mg/Kg PO 24 jam, 30
mg/Kg 24 jam, dan 30
mg/Kg 24 jam.
·
Rifabutin – Rthambutol – Ciprofloxacin, dengan dosis 15 mg/Kg PO 24 jam, 30
mg/Kg 24 jam, dan
80 mg/Kg 24 jam . Pencegahan dengan pemenuhan nutrisi yang seimbang,
sanitasi yang baik, eliminasi hewan yang terinfeksi, vaksinasi
dengan bacille calmitte guerin (BCG) (Harrison, 2006).
c. Aspergillosis
Etiologi. Disebabkan oleh
Aspergillus spp.
diantaranya
A.flavus, A niger,
A.glaucus dan Ustus. (Harrison, 2006).
Patogenesis.
Penularan
lewat inhalasi dengan menghirup spora jamur, ingesti dari makanan yang
terkontaminasi spora. Setelah masuk ke saluran respirasi bagian bawah. Biasanya
menimbulkan proses imunosupresif akibat mikotoxin, kemudian terjadi penyebaran
fungi ke respirasi kemudian menimbulkan lesi di paru-paru, air sac, shirink dan
bronkus (Harrison, 2006).
Gejala Klinis. Terbagi atas 3 bentuk, yaitu :
· Akut : dyspnoe, lethargy, sianosis,
anorexia, poliurea, polidispsia, dan kematian. Eksudat mukoid, kongesti
paru-paru dan air sac.
· Kronik : biasa pada hewan yang lebih tua,
akibat malnutrisi dan stress. Penurunan berat badan, dypsnoe, hepatomegali,
poliurea, polidipsia, acites
dan
diare.
· Mikotik
trecheatis :
lokasinya di trekea, shirink, bronki, batuk, dyspnoe, membuka mulut saat
bernafas dan kematian (Harrison, 2006).
Diagnosa
. Berdsarkan gejala klinis,
hematologi dan pemeriksaan serum (interpretasinya peningkatan transpartat amino
transferase (AST), lactate dehydrogenase (LDH) dan uji ELISA (Harrison, 2006).
Terapi
- Pencegahan . Dapat
diberikan obat antifungal diantaranya Amphotericin B 1,5
mg/Kg secara IV 8 jam untuk periode 2 – 5 hari: mengikat ergosterol, yang
dikombinasikan dengan fluconazole.Itraconazole 5-10 mg/Kg PO sehari 2 kali
selama 5 hari . Fluconazole
5-15 mg/Kg PO 12 jam atau kombinasi
terbinafine dengan iatraconazole 15 mg/Kg PO 12 – 24 jam. Pencegahan dengan menghilangkan faktor
stress, sanitasi yang baik, dan manajemen pemeliharaan yang baik (Harrison, 2006).
d. Airsac
mites
Etiologi.
Disebabkan
oleh Cytodites nudus ditemukan
pada kantung udara, dan pulmo burung liar serta
kenari dengan bentuk oval,
panjang 50µm dan atau Sternostoma tracheocolum yang memiliki tempat
predileksi pada trakea dan bronchi
(Farmer,
2008).
Patogenesis.
Transmisi
terjadi secara langsung antara cavitas nasal burung terinfeksi ke burung sehat
melalui eksternal nostril, air dan
lingkungan tercemar. Tungau merayap dari kepala kemudian memasuki nostril,
melewati trakea dan sampai ke pulmo. Siklus hidup parasit tersebut diawali
dengan S.tracheocolum betina bertelur pada pulmo, menetas menjadi nympha dan dewasa,
kemudian migrasi ke trakea dan nasal. Pada system respirasi tungau tersebut
menyebabkan inflamasi, hemorragi dan lesi yang melanjut menjadi pneumonia dan
dapat mengakibatkan kematian. Sistem imun tubuh akan bekerja dengan
mengeluarkan mucus yang dapat mempersempit rongga trakea sehingga burung
kesulitan bernapas (Farmer,
2008).
Gejala Klinis. Batuk, bersin, perubahan pada vocal
, tail bobbing dan burung membuka paruhnya. Kasus yang berat dapat
menimbulkan kelemahan dan kematian (Fowler, 2008).
Diagnosa. Dianosa dapat
dilakukan dengan melihat gejala klinis,
pemeriksaan darah (peningkatan basofil) dan secara radiologi (adanya bintik2
hitam pada trakea dan air sac) (Fowler, 2008).
Terapi - Pencegahan . Dapat digunakan ivermectin 0.1% (1:10 dilusi dengan propylene glycol)sebagai
pengobatan atau pyrethrin/piperonyl butoxide spray, pada berat 50 gram 1
tetes dan 100 gram 2 tetes pada bagian yang sedikit bulu dan bawah leher. Pencegahan dengan meningkatkan manajemen
pemeliharaan burung yang lebih baik, cek kesehatan secara rutin serta
peningkatan kualitas sanitasi perkandangan
(Sridadi, 2001).
e.
Chlamydiosis
Etiologi
. disebut
juga Chlamydiosis atau Parrot fever, disebabkan oleh Chlamydia psittaci. Bakteri gram negative, spheric, ukuran (0.4-0.6 micron diameter).
Predileksi pada epithel saluran respirasi dan masa inkubasi 5-14 hari.
Penularan pada manusia dapat terjadi melalui kontak langsung dengan paruh,
gigitan, dan feses burung yang terinfeksi (Patterson,
2006).
Patogenesis
. Bakteri diekskresikan lewat feses dan
leleran hidung dari burung terinfeksi. Infeksi terjadi melalui inhalasi, atau
kontak dengan burung secara langsung. Beberapa burung yang terinfeksi dapat
terlihat sehat, dan menyebarkan organisme penyakit secara intermiten.penyebaran
penyakit dapat disebabkan karena faktor stress, misalnya karena relokasi,
pengangkutan, keramaian, dan lain-lain
(Patterson, 2006).
Gejala Klinis . Ada 2 tipe, yaitu :
·
Gejala Akut (typical acute symptoms): burung yang terinfeksi tiba-tiba sakit segera setelah terpapar, gejala pernapasan: infeksi sinus, sesak napas,
napas pendek, napas berbunyi. Leleran
pada mata atau kebengkakan, lethargy, bulu berdiri, hilang nafsu makan, turun
berat badan, kelemahan, dehidrasi,
poliuria, diare atau urat berwarna
kekuningan, keabu-abuan, atau lime green.
· Gejala
Kronis: susah diketahui, bila tidak diobati maka dapat
menjadi pneumonia yang parah dan masalah nonrespiratory lainnya. Beberapa
burung yang terinfeksi asimptomatik, tremor
dan atau konvulsif movements dan
parsial
atau komplit paralisis lengan
(Patterson, 2006).
Diagnosa. Berdasarkan gejala klinis, uji serologi dengan ELISA,
pemeriksaan darah (intepretasi : peningkatan leukosit dan enzym liver). (Patterson, 2006).
Terapi – Pencegahan. Antibiotik
tetracycline atau doxycycline selama 45 hari. Chlortetracyclline diberikan
lewat pakan, oxytetracyclin secara i.v dengan dosis 4.4
mg/kg dalam larutan infus 100 mg/kg. Pencegahan dengan meningkatkan
manajemen pemeliharaan yang baik dan menghilangkan factor stress (Patterson,
2006).
DAFTAR
PUSTAKA
Farmer, J.N. 2008. The
Protozoa: Introduction to Protozoology. The C.V Mosby Company St.Louis,
Missiouri.
Fowler, M.E. 2008. Zoo
and Wild Animal Medicine. Philadelphia : W.B. Saunders Company.
Harrison, G.J., and Lightfoot T.L. 2006.
Clinical Avian Medecine Volume II.
Florida : Spix Publishing.
Paterson, S., 2006. Skin Diseases of Exotic Pets. Blackwell
Science, Australia.
Sridadi. 2001. Kenari dan
Permasalahannya. Kanisius. Yogyakarta.
Tabbu, C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya, volume 1. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment